Anda di halaman 1dari 20

BAB I KEBIJAKAN PEMERINTAH BERPIHAK KEPADA PEDAGANG KAKI LIMA Menghadapi kehidupan masyarakat perkotaan di Indonesia pada krisis

ekonomi seperti dialami sekarang ini, dibutuhkan saling kerjasama dan saling support antar berbagai institusi bagi pedagang kaki lima yang selama ini dalam kehidupan ekonomi perkotaan adanya gejala dari kemunculannya usaha mikro informal. Kehadiran pedagang kaki lima tersebut, umumnya di kota-kota besar merupakan suatu gejala sosial ekonomi perkotaan yang sering menjadi salah satu pemicu munculnya masalah di perkotaan, seperti kekumuhan, kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas, yang mana keadaan ini tidak jarang orang menganggap bahwa pedagang kaki lima dianggap sebagai musuh dilihat dari segi ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan. Di sisi lain bagi masyarakat yang tergolong masyarakat ekonomi lemah yang jumlahnya relatif besar, kehadiran pedagang kaki lima justru sangat dibutuhkan, sebab kehadiran pedagang kaki lima yang keberadaannya mudah dijangkau, harga barangnya yang masih dimungkinkan untuk tawar menawar, sehingga dianggap harga barangnya relatif murah diukur dengan kemampuan keuangan pembeli dan keadaan ini dianggap sangat praktis dibandingkan dengan usaha yang bersifat formal. Jadi disini terdapat pandangan yang bersifat kontroversial antara musuh dan dibutuhkan. Namun, keberadaan pedagang kaki lima selalu memberikan konstribusi bagi semua kalangan masyarakat terutama pada situasi dan kondisi tertentu. Berdasarkan tataran di atas, maka dalam konteks kebijakan pemerintah bagi pedagang kaki lima di perkotaan menjadi dasar pemikiran yang rasional dan proporsional dalam mengeluarkan kebijakan pada lokasi strategis yang mudah dijangkau pada pusat keramaian yang dilengkapi dengan sarana penunjangnya mendapat tempat layak untuk berusaha, termasuk menyediakan transportasi massal. Sehingga pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang tertib, bersih dan indah yang sekaligus memberdayakan keberadaan pedagang kaki lima di perkotaan dalam menopang sosial ekonomi perkotaan.

Pemberdayaan pedagang kaki lima di perkotaan pada lokasi strategis ditujukan untuk formalisasi sektor informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima pada pasar tradisional di los maupun di kios yang disediakan oleh pemerintah maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut pemerintah dapat menarik sumber pendapatan pajak negara dari pedagang kaki lima yang terbilang cukup besar apabila dikelola secara profesional. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang selalu timbul akibat adanya interaksi sosial ekonomi perkotaan yang dilakukan secara bersama-sama oleh individu, kelompok dan kelembagaan. Sebagai fungsi pemerintah Hamdi (2002) yakni melakukan pengaturan, pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan. Maksudnya dalam pencapaian tujuan pemerintah menegaskan bingkai kesepakatan kehidupan kolektif, terdapat kepastian tindakan dan perilaku yang memberikan kemanfaatan pada kepentingan umum. Tujuan untuk kebijakan pemerintah bagi pedagang kaki lima di perkotaan merupakan akibat logis dari kenyataan berinteraksinya sekelompok orang, yang dengan keanekaragaman nilai kebutuhan, potensi, harapan dan persoalannya, tidak dapat dihindari terjadinya benturan kepentingan. Maka dalam hal ini kepentingan pedagang kaki lima dapat terpenuhi dan tentunya dalam hal inipun pemerintah dapat mempertimbangkan juga bahwa lahan baru tidak mengganggu ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan. Untuk mewujudkan kebijakan pemerintah berpihak kepada pedagang kaki lima tidaklah mudah, memerlukan penyuluhan dengan perubahan perilaku pedagang kaki lima yang dilakukan melalui pendekatan edukatif. Pendekatan edukatif diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematik, terencana, dan terarah dengan peran serta aktif individu, kelompok pedagang kaki lima maupun masyarakat untuk memecahkan masalah dengan memperhitungkan faktor sosial ekonomi perkotaan dengan untuk menciptakan kedinamisan dalam meningkatkan kesejahtraan pedagang kaki lima. Kebijakan pemerintah berpihak kepada pedagang kaki lima diharapkan mengandung aspek edukatif sebagai upaya penanaman sikap dari pedagang kaki lima dalam rangka memelihara ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan. Terkait dengan upaya pencapaian

tujuan pemerintah pengaturan, pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan sosial, baik secara langsung ataupun tidak langsung, disadari bahwa pengaturan, pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan sosial tidak saja melibatkan aspek fisik tetapi disertai dengan upaya pemasyarakatan pola hidup. Untuk mencapai hal tersebut dilakukan penilaian (assesment) terhadap kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan. Karena hak masyarakat sebagai warga negara sudah diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian. Kebijakan Pemerintah Sebagai Pengaturan Bagi Pedagang Kaki Lima
A.

Hamdi (2002) mengatakan bahwa Pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah merupakan suatu prosedur untuk menyerap dan menyalurkan aspirasi, sekaligus kesepakatan para pemegang kedaulatan tentang hal-hal dan cara-cara yang perlu dilakukan untuk menjamin kemaslahatan kehidupan bersama. Bagi pemerintah perkotaan memang tidak mudah membuat peraturan daerah perkotaan yang mendukung upaya menyediaan ruang kota khusus untuk pedagang kaki lima. Akhirnya, karena pedagang kaki lima ternyata tidak dapat dibendung, dan tidak adanya dukungan peraturan bagi upaya penyediaan ruang kota khusus untuk pedagang kaki lima sering menyebabkan timbulnya salah pengertian antara pedagang kaki lima dengan pemerintah perkotaan terutama yang menyangkut ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan. Seyogyanya membuat kebijakan pemerintah sebagai pengaturan daerah perkotaan mengakomodasi bagi pedagang kaki lima lebih penting dan mengutamakan perubahan yang menjamin kemaslahatan kehidupan masyarakat melalui proses pemerintahan adalah berlangsungnya kehidupan secara wajar dalam menciptakan rasa keadilan dan menyelesaikan masalah sosial yang ditimbulkannya dari ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan. Pengaturan di satu sisi menampil sebagai pemberian pedoman perilaku, dan pada sisi lain penampilkan pembatasan perilaku. Pengaturan yang dilakukan dalam proses pemerintahan yang demokratis selalu didasarkan pada pemikiran bahwa setiap warganegara adalah pemegang kedaulatan rakyat. Artinya sumber pengaturan adalah warganegara itu sendiri. Oleh karena itu, fungsi pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah yakni kebijakan

bagi pedagang kaki lima di perkotaan merupakan gambaran kesepakatan terhadap perwujudan bingkai pengaturan perilaku warganegara yang berlangsung harmonis, yakni ketertiban, kebersihan, dan keindahan Kebijakan pemerintah sebagai pengaturan bagi pedagang kaki lima yang merupakan aspek yang penting untuk mengatur kepentingan dengan tujuan yang saling menguntungkan atau demi ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut maka proses pembuatan kebijakan pemerintah mengacu pada masalah rill yang diselesaikan dengan berbagai pengetahuan dan disiplin ilmu yang relevan dengan permasalahan yang dimaksud. Permasalahan yang ada bagi pedagang kaki lima diproses menjadi suatu kebijakan pemerintah dengan mendesak, urgent, relevan dan tidak menyangkut kepentingan pedagang kaki lima yang luas serta diagendakan menjadi kebijakan pemerintah, maka merupakan sebuah fenomena sosial ekonomi perkotaan yang tidak berpihak kepada pedagang kaki lima yang tidak jarang kebijakan dari pemerintah justru menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah dalam melayani, memberdayakan, dan membangun bagi pedagang kaki lima di perkotaan. Kebijakan pemerintah dalam tatanan perkotaan yang merujuk pada ketertiban, kebersihan dan keindahan menjadikan sebuah harga mahal bagi kehadiran para pedagang kaki lima. Hal tersebut dari proses kebijakan pemerintah sebuah pengaturan yang tidak berpihak kepada pedagang kaki lima secara otomatis tidak tercapai. Jones (1994) mengatakan yang sangat sederhana getting the job done and doing it mengartikan kebijakan pemerintah merupakan suatu proses kebijakan yang tidak mudah dapat dilakukan. Karena dalam pelaksanaannya adanya persyaratan yang diperlukan antara lain; adanya orang atau pelaksana, uang, dan kemampuan organisasional yang mana hal ini sering disebut dengan resources. Lebih lanjut Jones (1994) menyebutkan merumuskan batasan sebagai a process of getting additional resources so as to figure out what is to be done mengartikan kebijakan pemerintah merupakan proses mendapatkan sumber daya tambahan, sehingga dapat diperhitungkan apa yang mesti dikerjakan. Fenomena kebijakan pemerintah berpihak kepada pedagang kaki lima terutama di kota-kota besar menjadi warna tersendiri serta menjadikan pekerjaan rumah bagi pemerintah perkotaan. Pedagang

kaki lima adalah merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terutama kebijakan tentang ketertiban, kebersihan dan keindahan perkotaan. Dampak yang paling signifikan yang dirasakan oleh pedagang kaki lima adalah seringnya dikejar-kejar pedagang kaki lima menjadi korban penggusiran, dan penggusuran maupun penyingkiran oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) serta banyaknya kerugian yang dialami oleh pedagang kaki lima, baik kerugian materil maupun kerugian non materil. Kondisi pedagang kaki lima yang dianggap illegal, juga mengganggu ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan. Maka kebijakan pemerintah sebagai aturan bagi pedagang kaki lima dilayani, diberdayakan, dan dibangun sehingga pedagang kaki lima dapat melangsungkan usahanya tanpa menimbulkan kerugian. Untuk mensinergikan kepentingan antara pemerintah sesuai dengan keinginan pedagang kaki lima yaitu dengan cara menyediakan lahan strategis, namun kegagalan letak lahan yang kurang strategis sehingga mempengaruhi daya beli konsumen. Maka tempat berjualan bagi pedagang kaki lima kepada stakeholders yang memiliki kepentingan, dan kepada masyarakat sebagai konsumen dilakukan dengan bermusyawarah dan melibatkan pihak yang terkait. Kegagalan lahan kurang strategis sebagai solusi selalu dihadapkan dengan masalah ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan, disatu sisi pedagang kaki lima ingin berjualan di tempat umum, seperti trotoar, tempat taman, jalur hijau, badan jalan, fasilitas umum ataupun di lahan yang bukan diperuntukan tempat berjualan bagi pedagang kaki lima, disisi lain pemerintah perkotaan ingin menciptakan ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan bagi masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan lahan strategis sebagai lokasi usaha dan tempat berjualan bagi pedagang kaki lima ini, maka pemerintah perkotaan mempersiapkan berbagai lahan baru yang strategis untuk kegiatan perdagangan dalam menampung pedagang kaki lima yang kena penggusiran, dan penggusuran maupun penyingkiran oleh Satuan Polisi Pamong Praja. Selain itu disiapkan pula berbagai kelengkapannya seperti jongkonya. Dan di lain pihak kepentingan pedagang kaki lima pun tidak luput dari perhatian, mengingat bahwa keberadaan pedagang kaki lima pun mempunyai manfaat yang tidak kecil seperti; penyerapan tenaga kerja bagi penduduk strata menengah dan bawah, sarana

pemasaran berbagai produk dalam negeri, dan bila lokasi baru bagi pedagang kaki lima ditata dengan baik dan dilengkapi dengan sarana penunjangnya, tidak mustahil dapat dijadikan asset kepariwisataan perkotaan. Kehadiran pedagang kaki lima tidak dapat diabaikan karena pedagang kaki lima telah memenuhi kebutuhan masyarakat golongan ekonomi lemah. Dengan adanya kebijakan pemerintah sebagai pengaturan bagi pedagang kaki lima dapat dibenahi dengan baik, sehingga ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan tercapai, namun karena sifat pedagang kaki lima sulit untuk diatur, maka harapan tersebut tidak begitu membawa hasil yang baik. Dalam kenyataannya pemerintah menyadari bahwa kebijakan pemerintah sebagai pengaturan bagi pedagang kaki lima dilakukan ini masih berorientasi pada sisi pemerintah (pembuat kebijakan) dan tidak mengikutsertakan peran serta pedagang kaki lima dan masyarakat. Dalam berbagai kegiatan pedagang kaki lima ternyata belum menyentuh sebagian kelompok sasaran dan program yang dibuat tidak berkelanjutan. Hal ini alternatif kebijakan pemerintah sebagai pengaturan bagi pedagang kaki lima secara garis besar dalam bentuk : Penataan, yang berhubungan dengan dilingkungan perkotaan dan berdialog secara berkelanjutan antara aparatur pemerintah dengan pedagang kaki lima, supaya kedua belah pihak saling memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan antara lain dalam bentuk ketertiban, kebersihan, dan keindahan pada lokasi usaha, dan tempat berjualan pedagang kaki lima. Penataan bertujuan keberadaan pedagang kaki lima tidak mengganggu hak publik seperti jalan raya untuk lalu lintas kendaraan bermotor, dan trotoar yang dipergunakan untuk pejalan kaki.
1.

Pembinaan, yang berhubungan dengan kegiatan berupa penyuluhan, bimbingan dan pengarahan kepada pedagang kaki lima perkotaan untuk meningkatkan pengembangan usaha ke arah yang lebih maju dari segi pengelolaannya, komoditi perdagangannya, omset usaha, dan aspek usaha lainnya. Pembinaan ini antara lain dalam bentuk pembinaan latihan peningkatan manajerial dan keahlian untuk menjadi pengusaha formal, bantuan modal, mengatur keuangan, penanaman sikap perilaku, keterampilan,
2.

melakukan promosi, membangun sistem kerjasama dengan pihak lain, membangun akses dengan pihak perbankan dan sebagainya terjadi peningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Dalam kegiatan usaha perdagangan pedagang kaki lima kesehariannnya merupakan salah satu pelaku penjualan secara langsung. Ini sangat terlihat dengan jelas dalam memasarkan barang dagangannya, dimana interaksi dengan pembeli sangat terlihat tawarmenawar antara pedagang kaki lima dengan pembeli. Dengan kata lain, tempat berjualan dilakukan pedagang kaki lima sebagai salah satu penyebab bila terjadinya ketidaktertiban, ketidakbersihan, dan ketidakindahan perkotaan, maka petugas Satuan Polisi Pamong Praja dengan para pedagang kaki lima yang selalu terjadi konflik di lapangan. Untuk memiliki tempat berjualan, bagi pedagang kaki lima perkotaan tidak bisa sembarangan menempati tempat, tetapi dengan mengikuti pengaturan yang berlaku bagi pedagang kaki lima di tetapkan oleh pemerintah perkotaan. Jika para pedagang kaki lima melanggar pengaturan yang berlaku, maka para pedagang kaki lima dilakukan penggusiran, dan penggusuran maupun penyingkiran oleh Satuan Polisi Pamong Praja. Oleh karena itu dalam memelihara ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan jumlah personil yang memadai, maka kemampuan Satuan Polisi Pamong Praja ditingkatkan dengan jalan mengadakan pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan tugas ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan. Satuan Polisi Pamong Praja mampu mengartikan makna dari setiap gejala yang dihadapi dengan tepat, supaya dapat menentukan tindakan yang tepat dalam penanganan ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan. Sikap mental tanggungjawab sebagai seorang dari Satuan Polisi Pamong Praja ditanamkan selalu melekat dalam diri anggota tersebut walaupun diluar jam dinasnya, begitu juga disiplin dari Satuan Polisi Pamong Praja diperhatikan dari setiap anggota dapat melakukan tugas dengan baik sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Sehingga tidak ada dari Satuan Polisi Pamong Praja yang menerima setoran untuk mencukupi kebutuhan pribadi yang dilakukan misalnya patron, supaya dari Satuan Polisi Pamong Praja melalaikan tugasnya dan tidak melakukan ketertiban, kebersihan, dan keindahan perkotaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kebijakan Pemerintah Pedagang Kaki Lima


B.

Sebagai

Pemberdayaan

Bagi

Pemberdayaan bagi pedagang kaki lima perkotaan sangat terkait dengan persoalan kemiskinan, kesenjangan, ketergantungan, ketidakberdayaan (powerless) dan keterbelakangan merupakan masalah yang paling ramai dibicarakan bahkan diperdebatkan, sehingga merupakan isu nasional dengan kebijakan pemerintah sebagai pemberdayaan bagi pedagang kaki lima perkotaan yang memegang peranan kunci didalam memperbaiki harkat dan martabatnya secara terus-menerus misalnya melalui kredit koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) pada hakekatnya adalah pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan kebutuhan nyata bagi pedagang kaki lima perkotaan dalam memutuskan sendiri pilihan kegiatannya secara demokratis tanpa adanya suatu paksaan. Dengan demikian program yang berorientasi pada upaya pemerataan (equity) dianggap tidak efisien dan tidak memberikan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan sehingga tidak mendapat perhatian yang sepantasnya. Akibatnya walaupun tingkat pertumbuhan pada era sebelum krisis moneter 1997 cukup tinggi namun telah terjadi ketimpangan-ketimpangan yang sangat kentara, baik antara kelompokkelompok usaha besar dengan kelompok usaha kecil maupun ketimpangan antar wilayah. Proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah dapat melahirkan masyarakat yang berdaya atau memiliki keberdayaan yang disebut dengan masyarakat madani, yang merupakan kata lain dari masyarakat sipil (civil society), kata ini sangat sering disebut sejak kekuatan otoriter orde baru tumbang selang beberapa tahun ini. Malah cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi oleh bangsa kita. Kecenderungan sakralisasi berpotensi untuk menambah derajat kefrustasian yang lebih mendalam dalam masyarakat bila terjadi kesenjangan antara realisasi dengan keinginan. Padahal kemungkinan untuk itu sangat terbuka, antara lain, kesalahan mengkonsepsi dan juga pada saat menarik parameter ketercapaian. Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam kerangka pendidikan kepemimpinan bagi masyarakat luas.

Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis dengan memarjinalkan peran masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kekuatan non pemerintah yang mampu mengimbangi dan mencegah kekuatan negara untuk mengurangi tekanan-tekanan yang tidak adil kepada rakyatnya. Di sisi lain, mendukung peran pemerintah dalam menjadi juru damai dan menjaga keamanan dari kemungkinan konflik antar kepentingan dalam masyarakat. Dengan kata lain diperlukan adanya reposisi struktural dan kultural antara komponen dalam masyarakat, sederhananya, serahkan urusan rakyat pada rakyat, dan posisikan pemerintah sebagai pejaga malam. Berkaitan kepemimpinan kepala daerah terhadap pemberdayaan masyarakat yang dihubungkan merupakan sebuah kemampuan suatu pihak untuk mempengaruhi pihak lain melalui dirinya sendiri dengan cara tertentu sehingga perilaku pihak lain tersebut berubah atau tetap dan menjadi terintergrasi dengan pihak yang mempengaruhi, demikian pula dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun yang diharapkan dapat lebih mendekatkan dan bersatu dengan masyarakatnya. Karena itu, sebagai pemimpin Kepala Daerah memiliki memiliki otoritas/kewenangan dan sebagai pemimpin; mendapat kepercayaan dan mandat dari masyarakat. Kepala Daerah yang berkepemimpinan sangat ideal serta mempunyai potensi yang besar dan sinergi sekali ditujukan untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat. Apalagi dilaksanakan dengan sebaikbaiknya, dilandasi dengan niat yang tulus dan rasa pengabdian yang tinggi.

Kondisi ini menyebabkan jumlah penduduk miskin terus bertambah apalagi setelah krisis ekonomi, kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk masalah diatas membutuhkan penelitian untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut yang perlu diteliti,

10

sehingga dapat ditetapkan langkah-langkah intervensi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber ekonomi masih sangat terbatas bagi kepentingan masyarakat luas. Intervensi dalam bentuk kebijakan pemerintah tersebut dimulai bidang ekonomi, kemudian dalam bidang sosial dan politik untuk lebih mengefektifkan kebijakan ekonomi. Kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi semula dimaksudkan untuk menyempurnakan koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) terhadap efektivitas pemberdayaan masyarakat yang mempunyai arah Pertama upaya melepaskan belenggu kemiskinan, keterbelakangan, dan pengangguran. Kedua memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya dan dilengkapi dengan pemberian kredit guna mendukung pembangunan kemandiriannya. Dengan demikian efektivitas pemberdayaan masyarakat pada intinya adalah pemberian kekuasaan, kekuatan, dan kemampuan kepada masyarakat melalui berbagai menstimuli, mendorong, dan memotivasi individu agar mempunyai keberdayaan untuk menentukan yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog, sehingga lepas dari belenggu kemiskinan, keterbelakangan, dan pengangguran. Bertolak dari latar belakang masalah penelitian dapat dikemukakan di atas, tergambar, bahwa implementasi kebijakan koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) terhadap efektivitas pemberdayaan masyarakat ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain implementasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang selalu timbul akibat adanya interaksi sosial yang dilakukan secara bersama-sama oleh individu, kelompok dan kelembagaan yang mempengaruhi kebijakan yang ditetapkan sebagai pengikat seluruh masyarakat, baik macam maupun cara perwujudannya.

ebijakan Pemerintah Sebagai Aturan Bagi Pedagang Kaki Lima kita berbicara mengenai kebijakan kebijakan yang dibuat pemerintah pasti mempunyai alas hak (aturan hukum) atau didasarkan pada asas legalitas, yaitu bahwa pemerintah tunduk pada undang undang[1]. Walaupun memang ada kebijakan kebijakan pemerintah

11

yang bersifat bebas atas inisiatifnya sendiri, namun dalam hal ini kadang melanggar aturan hukum yang ada dengan alasan untuk kepentingan umum. Seperti halnya apabila kebijakan kebijakan pemerintah untuk menangani masalah Pedagang Kaki Lima (PKL) ini didasarkan kepada asas oportunitas sebagaimana yang telah diuraikan di atas, walaupun mungkin akan melanggar peraturan yang ada, namun apabila penanganannya ditujukan untuk kesejahtraan rakyat dalam hal ini PKL maka akan memberikan nilai tambah untuk pemerintah. Apabila pemerintah dalam menangani masalah PKL ini dengan mendasarkan kepada asas legalitas sepenuhnya, maka akan bersifat kaku karena hanya terpaku pada larangan larangan atau perintah perintah, sehingga bisa terjadi suatu kondisi yang justru menyulitkan masyarakat itu sendiri walaupun mungkin di satu sisi lain akan menciptakan ketertiban. Tetapi jika pemerintah lebih mendasarkan setiap tindakannya pada asas oportunitas dalam hal membuat kebijakan untuk menangani masalah PKL, maka akan menciptakan kedinamisan dan memberikan nilai tambah tapi mungkin melanggar aturan yang ada, walaupun demikian yang terpenting menurut asas oportunitas ini adalah apapun kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang dalam hal ini kebijakan untuk menangani masalah PKL haruslah ditujukan untuk kesejahtraan rakyat. Tujuan dari penyusunan policy paper ini adalah memberikan gambaran kepada pemerintah tentang implikasi dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut serta memberikan alternatif kebijakan yang lain yang mungkin bisa dijadikan rujukan untuk memberdayakan PKL tersebut. Dalam penulisan Policy Paper ini dilakukan dengan metode studi kepustakaan. Berbagai sumber bacaan, terutama artikel dari jurnaljurnal pada beberapa situs internet, menjadi bahan rujukan penulis dalam penulisan policy paper ini. Penulis menemukan berbagai refrensi yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah dalam penanganan masalah Pedagang Kaki Lima. Oleh sebab itu, banyaknya pedagang kaki lima yang menempati pada pasar tradisional di los-los maupun di kios-kios yang disediakan oleh pemerintah pusat keramaian, juga masih banyak pedagang kaki

12

lima yang menempati tempat lainnya menjual barang dagangannya yang dianggap strategis seperti dipusat-pusat keramaian, pinggir jalan ataupun bagian jalan/trotoar untuk berjalan kaki yang bukan miliknya, karena menggunakan hak ekonominya untuk mencari nafkah. dengan lebih tenang, teratur, dan aman serta dihadapkan pada pertumbuhan permintaan yang begitu tinggi merupakan kebutuhan publik yang dipelihara dan diciptakan oleh pemerintah perkotaan.

Kenyataannya menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan aparat Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Pekanbaru dengan pedagang kaki lima yang sudah berusaha untuk mengurangi dampak ketidak nyamanan dari kehadiran pedagang kaki lima seperti disebutkan di atas dengan melaksanakan apa yang dikenal oleh masyarakat dengan razia, namun usaha tersebut dirasa kurang efektif dan bersifat sementara. Bila telah dilakukan razia oleh Pemerintah Kota Pekanbaru, maka keadaan kota terlihat lebih teratur dan tertib, tetapi selang beberapa hari pedagang kaki lima muncul kembali seperti biasa. Dalam upaya penertiban tersebut tidak jarang terjadinya bentrokan antara aparat pemerintah dan pedagang kaki lima itu sendiri. Tindakan ini bagi Pemda Kota Pekanbaru merupakan beban yang cukup besar dilihat dari beban biaya sosial maupun beban biaya ekonomi. Beban biaya sosial yaitu berupa beban munculnya bentrokan dan bahkan demo yang banyak mengganggu kehidupan masyarakat perkotaan, sedangkan biaya ekonomi adalah biaya yang dikeluarkan Pemda Kota Pekanbaru untuk melakukan penertiban ini cukup besar, karena itu kegiatan penertiban ini tidak dilakukan secara rutin. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh Pemda Kota Pekanbaru Tahun Anggaran 2007 dalam melakukan penertiban pedagang kaki lima sebesar Rp. 2.578.125.000,(Dua Milyar Lima Ratus Tujuh Puluh Delapan Juta Seratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah),Seperti dikemukakan di atas, keberadaan pedagang kaki lima khususnya dikota-kota besar dapat dikatakan sudah merupakan hal yang biasa, maka dengan terjadinya krisis moneter tahun 1997, kehadiran pedagang kaki lima di Kota Pekanbaru makin meningkat. Peningkatan jumlah pedagang kaki lima yang cukup signifikan ini antara lain disebabkan oleh berbagai faktor yang diakibatkan oleh krisis

13

moneter tersebut seperti antara lain : a). kelesuan dalam kegiatan ekonomi sehingga banyak pekerja yang di pemutusan hubungan kerja (PHK) dan keadaan ini menambah jumlah pengangguran; b) daya beli masyarakat yang relatif menurun; c) urbanisasi dari masyarakat yang keakhlian dan pendidikannya rendah serta keadaan ekonominya yang relatif lemah, dan keadaan ini sebagai dampak dari keengganan generasi muda disektor pertanian untuk mengikuti jejak orang tuanya sebagai petani serta glamournya kehidupan diperkotaan sebagai daya tarik untuk melakukan urbanisasi, karena untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan yang lebih menjanjikan sebagai tempat bermukim, bekerja, berusaha dan bermasyarakat. Pada akhirnya urbanisasi ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan sepertinya tingginya tingkat pengangguran, kejahatan, gelandangan dan pengemis. Disamping itu urbanisasi juga telah menciptakan lapangan usaha baru, seperti kehadiran pedagang kaki lima. Kehadiran pedagang kaki lima turut memberikan sumbangan bagi perkembangan dan kegiatan usaha di sektor informal. Implikasi atau permasalahan ini menjadi sangat menarik dan bermanfaat dikaji secara komprehensif, mengingat kegiatan sektor informal dapat memutar perekonomian di tingkat bawah. Kegiatan pedagang kaki lima untuk dapat menampung angkatan kerja yang menganggur dan mampu meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat lapisan bawah. Oleh karena itu, pedagang kaki lima ini diangap sebagai peluang membuka lapangan kerja dengan memiliki motivasi usaha yang kuat, keras, tangguh tanpa menghiraukan ketertiban kota yang berani menggunakan badan jalan umum, akibatnya dapat mengganggu kelancaran lalu lintas dan kenyamanan pejalan kaki. Dari gambaran mengenai pedagang kaki lima meskipun kehadirannya yang semakin tahun banyak tumbuh di Kota Pekanbaru, jelas memberikan berbagai gejala seperti kekurangmampuan Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru dalam menyiapkan prasarana dan sarana yang diperlukan oleh pedagang kaki lima dengan cukup, karena ketidakmampuan Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru telah menyebabkan terjadinya berbagai masalah, yang mana pedagang kaki lima secara terang-terangan tetap berjualan ditempat-tempat yang mengganggu kepentingan umum seperti trotoar, jembatan penyemberangan, taman, dan pelantaran kendaraan umum maupun

14

kendaraan pribadi yang diparkir dalam suatu tempat atau areal yang dilarang beraktivitas bagi pedagang kaki lima menggelar barang dagangannya dalam bentuk kerumunan yang kemudian menimbulkan gangguan berbagai tindak kriminalitas misalnya pncopetan, penodongan, pencurian, penyambretan, dan pencurian kendaraan bermotor (curanmor). Untuk menanggapi hal tersebut maka dikeluarkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 11 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima dengan Keputusan Walikota Pekanbaru Nomor SK.100/143/WK/2001 Tentang Pembentukan Tim Yustisi Pelanggaran Peraturan Daerah Kota Pekanbaru pada tanggal 1 Oktober 2001, sesuai dengan Keputusan Walikota tersebut, organisasi dari Tim Yustisi berada di bawah atau pimpinan Asisten Tata Pemerintahan Daerah (Asda I). Dalam melaksanakan tugasnya Asda I berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja, Poltabes, Dempom, dan Lanud yang semuanya mengatur tentang implementasi kebijakan penataan dan pembinaan pedagang kaki lima terhadap ketertiban kota. Maksud dari Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 11 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima dengan Keputusan Walikota Pekanbaru Nomor SK.100/143/WK/2001 Tentang Pembentukan Tim Yustisi Pelanggaran Peraturan Daerah Kota Pekanbaru pada tanggal 1 Oktober 2001 yakni; (1) bahwa pembangunan daerah Kota Pekanbaru merupakan bagian pembangunan Nasional yang pada hakekatnya adalah merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya yang merata baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, (2) bahwa salah satu potensial pembangunan Nasional adalah usaha sektor informal, tercakup di dalamnya pedagang kaki lima yang memperoleh jaminan termasuk perlindungan, pembinaan dan pengaturan dalam melakukan usaha yang berdaya guna dan berhasil guna serta meningkatkan kesejahteraannya. Harapan dengan adanya Peraturan Daerah Kota Pekanbaru dengan Keputusan Walikota Pekanbaru tersebut keberadaan pedagang kaki lima dapat dibenahi dengan baik sehingga ketertiban kota tercapai, namun karena sifat pedagang kaki lima sulit untuk ditertibkan, maka harapan tersebut tidak begitu membawa hasil yang baik. Dalam kenyataannya pemerintah menyadari bahwa penataan dan pembinaan pedagang kaki lima dilakukan ini masih berorientasi pada

15

sisi pemerintah (pembuat kebijakan) dan tidak mengikutsertakan peran serta pedagang kaki lima dan masyarakat. Dalam berbagai kegiatan penataan dan pembinaan pedagang kaki lima ternyata belum menyentuh sebagian kelompok sasaran dan program yang dibuat tidak berkelanjutan. Hal ini alternatif implementasi kebijakan penataan dan pembinaan pedagang kaki lima terhadap ketertiban kota secara garis besar dalam bentuk : 1. Penataan, berhubungan dengan lingkungan antara lain dalam bentuk penertiban lokasi usaha, dan tempat berjualan pedagang kaki lima. Penataan bertujuan keberadaan pedagang kaki lima tidak mengganggu hak publik seperti jalan raya untuk lalu lintas kendaraan bermotor, dan trotoar yang dipergunakan untuk pejalan kaki. 2. Pembinaan, berhubungan dengan kegiatan berupa bimbingan dan pengarahan kepada pedagang kaki lima untuk meningkatkan pengembangan usaha ke arah yang lebih maju dari segi pengelolaannya, komoditi perdagangannya, omset usaha, dan aspek usaha lainnya. Pembinaan ini antara lain dalam bentuk pembinaan latihan peningkatan manajerial dan keahlian untuk menjadi pengusaha formal, bantuan modal, mengatur keuangan, penanaman sikap perilaku, keterampilan, melakukan promosi, membangun sistem kerjasama dengan pihak lain, membangun akses dengan pihak perbankan dan sebagainya terjadi peningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Untuk mempertahankan nama baik ibukota Provinsi Riau, yaitu Kota Pekanbaru sebagai Kota Metropolis, kenyataan setelah dikeluarkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru dengan Keputusan Walikota Pekanbaru tersebut bahwa pedagang kaki lima tidak mengalami pengurangan bahkan bertambah jumlah dan aneka ragamnya seiring berkembangnya Kota Pekanbaru sebagai sebagai pusat perdagangan dan jasa. Sementara kekurangmampuan pemerintah kota Pekanbaru dalam penataan dan pembinaan pedagang kaki lima dalam membatasi masuknya pekerja di sektor informal ini, membuat permasalahan pada sektor informal ini semakin tidak mudah untuk diatasi. Karena keberadaan pedagang kaki lima terpengaruh oleh setiap gerak pembangunan disegala bidang. Hal ini terlihat dari gambaran perkembangan keberadaan pedagang kaki lima setelah ada Peraturan Daerah Kota Pekanbaru dengan Keputusan Walikota Pekanbaru tersebut terlihat dari tabel di bawah ini :

16

Penyebab mengenai tidak tertibnya Peraturan Daerah tersebut meliputi pelanggaran atas meliputi; (1) tertibnya jalur hijau, taman, dan tempat umum. (2) tertib usaha tertentu. (3) tertibnya sosial. (4) tertib lingkungan. (5) tertibnya jalan dan angkutan jalan raya. (6) terjadi bencana alam seperti banjir, dan lainnya. Hal ini terlihat dari intisari dari kerangka teori Jones (1994 : 296) implementasi kebijakan penataan dan pembinaan pedagang kaki lima oleh pemerintah kota yang menjadi masalah yang ditemukan di lapangan antara lain seperti : 1. Organisasi tim penertiban pedagang kaki lima oleh pemerintah kota didasarkan pada Keputusan Walikota Pekanbaru Nomor SK.100/143/ WK/2001 yang dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober 2001 belum efektif sebagai pedoman dalam proses pencapaian tujuan organisasi, karena bersifat umum yang menerangkan tentang pelindung, pertanggung jawab, komando pengendali, wakil komando pengendali, sekretaris, wakil sekretaris, dan melibatkan anggota Polri, dan anggota TNI. Hal ini menandakan bahwa ketertiban kota didukung oleh seluruh aparat pemerintah berupa suatu tim Yustisi. 2. Interpretasi penataan dan pembinaan pedagang kaki lima belum efektif dilaksanakan pemerintah kota yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan penertiban di seluruh wilayah dimana pedagang kaki lima berada. Razia ini biasanya dilakukan secara berpindah-pindah dari suatu pasar ke pasar lain dengan melibatkan personil yang lebih besar, manakala pihak pedagang kaki lima ditertibkan jumlahnya cukup besar sehingga membutuhkan aparat yang banyak. 3. Aplikasi implementasi kebijakan penataan dan pembinaan pedagang kaki lima yang dilakukan oleh pihak pemerintah kota belum efektif diterapkan secara bijak, mengingat kegiatan pedagang kaki lima tidak dikendalikan, maka berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi ekonomi sektor informal. Mingingat jumlah pedagang kaki lima setiap tahun bertambah besar. Masalah sering terjadinya bertrok antara pihak pemerintah kota dengan pihak pedagang kaki lima memenuhi tuntutan kepentingan. Patron pedagang kaki lima sebagai aspirasi dan penyambung lidah masyarakat, hal ini seolah-olah Patron pedagang kaki lima lepas tangan. Padahal yang duduk dalam susunan tim misalnya sebagai penasehat, sehingga jika implementasi kebijakan ini mendapat reaksi keras dari pedagang kaki lima, Patron pun ikut bertanggung jawab.

17

Sebagai konsekuensi dari ketertiban kota lokasi usaha dan tempat berjualan bagi pedagang kaki lima ini, maka Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru mempersiapkan berbagai lahan baru yang cukup strategis untuk kegiatan perdagangan dalam menampung pedagang kaki lima yang kena penggusuran. Selain itu disiapkan pula berbagai kelengkapannya seperti jongkonya. Kesemua kegiatan tersebut disiapkan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Pekanbaru. Demikian besarnya perhatian dari Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru ini dalam rangka tetap mempertahankan sebagai kota metropolis, dan di lain pihak kepentingan pedagang kaki lima pun tidak luput dari perhatian, mengingat bahwa keberadaan pedagang kaki lima pun mempunyai manfaat yang tidak kecil seperti; penyerapan tenaga kerja bagi penduduk strata menengah dan bawah, sarana pemasaran berbagai produk dalam negeri, dan bila lokasi baru bagi pedagang kaki lima ditata dengan baik dan dilengkapi dengan sarana penunjangnya, tidak mustahil dapat dijadikan asset kepariwisataan perkotaan bagi Kota Pekanbaru. Meskipun Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru dirasa sudah berusaha maksimal dalam menangani keberadaan pedagang kaki lima, namun kenyataanya tidak menunjukkan hasil yang diharapkan. Kekumuhan, kotor dan kemacetan lalu lintas tetap terjadi. Untuk mencari apa gerangan yang menyebabkan terjadinya ketidak efektipan implementasi Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 11 Tahun 2001 Tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima, dengan cara melakukan pengamatan langsung di lapangan disertai dengan mengadakan wawancara dengan berbagai pihak yang ada hubungannya dengan pedagang kaki lima tersebut. C. Kebijakan Pemerintah Sebagai Pelayanan Bagi Pedagang Kaki Lima

D. Kebijakan Pemerintah Pedagang Kaki Lima

Sebagai

Pembangunan

Bagi

18

Kondisi tersebut merupakan akibat kebijakan pembangunan ekonomi pada masa lalu yang terlalu berorientasi pada pencapaian pertumbuhan yang tinggi dengan keberpihakan yang sangat kuat pada kelompok usaha besar (konglomerat), dengan berbagai macam kemudahanan dan fasilitas baik finansial maupun regulatori. Pada saat itu diyakini bahwa untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi maka kelompok usaha yang besar yang diasumsikan lebih efisien dalam berusaha terus mendongkrak angka pertumbuhan ekonomi. Fenomena meningkatnya perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang lebih dikenal dengan urbanisasi terjadi karena masingmasing kota mempunyai daya tarik tersendiri bagi para migran. Urbanisasi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam proses pembangunan ekonomi, baik di negara maju maupun sedang berkembang. Ada perbedaan dalam proses urbanisasi antara negara maju dan negara sedang berkembang. Di negara maju industrialisasi mendahului urbanisasi, dalam arti para pekerja umumnya terserap di sektor industri sedangkan di negara sedang berkembang proses urbanisasi tidak sejalan dengan industrialisasi. Keadaan itu cenderung memunculkan masalah tenaga kerja, baik pengangguran maupun setengah pengangguran di desa disertai dengan meluasnya kegiatan sektor informal di kota (Effendi, 1992: 41). Fenomena sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi terjadi di negara-negara berkembang. Persentase sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti Amerika Latin, Sub Sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara, dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga kerja. Di Indonesia, menurut data Indikator Ketenagakerjaan dari Badan Pusat Statistik (2003), 64,4 persen penduduk bekerja di sektor informal. Di pedesaan sektor informal didominasi oleh sektor pertanian (80,6 persen), sementara di perkotaaan didominasi oleh sektor perdagangan (41,4 persen) (Rukmana, 2005). Keterbatasan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh para pendatang menyebabkan mereka lebih memilih pada jenis kegiatan usaha yang tidak terlalu menuntut pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Pilihan mereka jatuh pada sektor informal yaitu pedagang kaki lima atau sebagai pedagang asongan. Dalam pandangan Rachbini (1991), para pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan barang dagangannya di berbagai sudut kota sesungguhnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong marjinal

19

dan tidak berdaya. Dikatakan marjinal sebab mereka rata-rata tersisih dari arus kehidupan kota dan bahkan ditelikung oleh kemajuan kota itu sendiri. Dikatakan tidak berdaya, karena mereka biasanya tidak terjangkau dan tidak terlindungi oleh hukum, posisi tawar (bargaining position) mereka lemah dan acapkali menjadi obyek penertiban dan penataan kota yang tak jarang bersikap represif (dalam Alisjahbana, 2006: 1-2). Denpasar merupakan salah satu kota yang menjadi sasaran urbanisasi baik yang berasal dari kabupaten lain di Provinsi Bali maupun bagi mereka yang berasal dari luar daerah Bali misalnya Jawa, Lombok, NTT, Minangkabau dan beberapa daerah lain di Indonesia. Tingginya minat para migran untuk datang ke kota ini selain karena Denpasar merupakan ibukota provinsi sebagai pusat pemerintahan juga karena potensi Denpasar sebagai kota yang dianggap mampu memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat pendatang (migran) khususnya mereka yang terjun di sektor informal dan salah satunya adalah pedagang kaki lima (PKL). Ada beberapa tempat di kota Denpasar yang menjadi lokasi kegiatan PKL. Salah satunya adalah kawasan Lapangan Puputan Margarana atau yang lebih terkenal dengan Lapangan Renon Denpasar. Kawasan ini merupakan lokasi yang strategis bagi PKL karena di samping letaknya di pusat kota, lapangan Renon juga dijadikan sebagai tempat untuk olahraga, tempat santai, tempat rekreasi untuk melepaskan lelah bagi mereka yang sekedar ingin jalan-jalan menikmati sejuknya pemandangan dan udara segar, sebagai arena bermain bagi anak-anak, dan bahkan juga dijadikan sebagai sarana pertemuan maupun melakukan transaksi bagi mereka yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Kondisi ini menyebabkan kawasan lapangan ini tidak pernah sepi dari pengunjung dan hal inilah membuat kawasan ini sebagai lahan yang sangat menguntungkan bagi pedagang kaki lima (PKL) yang sedang menjajakan barang dagangan makanan baik berupa bakso, mie ayam, siomay, es kelapa muda, sate, dan berbagai jenis makanan yang lainnya misalnya jagung bakar, minuman atau makanan ringan seperti buah, kacang, telur, kerupuk, dan lainnya. Para pedagang kaki lima sangat terbantu dengan ramainya para pengunjung yang datang ke lapangan Renon karena banyak pengunjung yang memanfaatkan jasa para PKL yaitu membeli makanan dan minuman yang mereka jajakan. Kehidupan ekonomi para PKL menjadi meningkat dan tingkat usaha mereka juga semakin pesat dengan semakin ramainya pedagang

20

yang datang dan menjajakan barang dagangannya di kawasan ini baik pagi, siang, sore maupun malam hari. PKL menjadi pilihan bagi para pendatang sehingga sektor ini mampu menyerap dan memberikan lapangan pekerjaan di tengah persaingan kehidupan ekonomi perkotaan. Ditinjau dari modal usaha yang dimiliki, PKL yang di satu sisi sering dipandang sebelah mata tetapi mereka mampu dan mempunyai jiwa wirausaha dan tingkat kemandirian yang tinggi. Namun demikian, ternyata keberadaan para PKL menjadi tidak nyaman manakala pemerintah kota sudah mulai menerapkan beberapa kebijakan yang menyangkut masalah tata kota dan keindahannya. Stigma negatif tentang keberadaan sektor informal dalam hal ini PKL semakin kental manakala muncul wacana keindahan kota karena kalau dilihat dari segi estetika lingkungan keberadaan PKL ini terkesan semrawut dan kumuh serta dianggap mengganggu keindahan kota, sehingga keberadaan PKL di kawasan lapangan Renon perlu digusur ke tempat lain. Pemerintah Kotamadya Denpasar melalui kebijakankebijakannya yang dikeluarkan berusaha untuk membatasi ruang gerak PKL yang semakin hari semakin tumbuh subur di kawasan lapangan ini. Petugas-petugas Satpol PP sebagai pengontrol dari kebijakan tersebut yang langsung turun ke lapangan dan berhadapan langsung dengan para PKL pun akhirnya harus selalu siap siaga dan tidak jarang menghadapi berbagai reaksi dari para PKL. Upaya pemerintah kota dalam menata keberadaan PKL memang selalu mengundang reaksi dari para PKL yang akan ditertibkan, bahkan jauh sebelum pelaksanaan penertiban dilakukan. Bagi para PKL, operasi penertiban, penggusuran, dan penggarukan sesungguhnya bukan merupakan hal yang sama sekali baru sehingga alih-alih untuk menaati, mereka cenderung melakukan resistensi atau mencoba menyiasati situasi dan bahkan mereka tidak jarang kucing-kucingan dengan para petugas keamanan dan ketertiban (Trantib). Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk pengendalian pemerintah terhadap pedagang kaki lima? 2. Bagaimana strategi pedagang kaki lima dalam menghadapi pelarangan dari pemerintah (Perda)?

Anda mungkin juga menyukai