Anda di halaman 1dari 3

Politik Etis Kemenagan kaum Liberal di Belanda berakibat pada di gantikannya era tanam paksa oleh program politik

etis. Pemiskinan di tanah Hindia Belanda dijadikan sebagai basis argumen kaum Liberal untuk menyerang kebijakan ekonomi politik pemerintah Belanda. Van De Venter melaui Een Eerreschuld (Debt of Honourl) utang Budi, dalam majalah De Gids 1899, mengkritik kebijakan Kolonial yang tidak memperhatikan kesejahteraan masysarakat pribumi, terutama di akhir abad ke-19 (G. Moedjanto, 1996:21). Kemakmuran Belanda, menurutnya, didapat dari jasa dan kerja orang Hindia Belanda. Ini adalah hutang yang harus di bayar. Pokok pikirannya di tuangkan dalam Trias Politica (Trias Van Devebter) yakni Irigasi, Emigrasi, dan Edukasi oleh pemerintah Belanda di tanah koloni. Inilah program politik dari politik etis yang di canagkan Tahun 1901 oleh ratu Wilhelmina. Bagi kaum Liberal Belanda, politik etis secara ekonomi politik adalah kewajiban pemerintah Belanda untuk menyiapkan infrastruktur bagi masuknya modal swasta ke negeri jajahan. Swasta menuntut keterlibatan pada pengelolaan ekonomi Negara jajahan, yang pada saat yang bersamaan menuntut minggirnya Negara sebagai aktor utama. Pemiskinan yang melanggar kemanusiaan adalah propagandis bagi kebutuhan tenaga terdidik bagi perkebunan di Jawa dan luar Jawa, termasuk di dalamnya program irigasi dan emigrasi. Dalam tafsir ini, politik etis adalah kamuflase politik bagi kebutuhan cara baru pengelolaan Negara jajahan dalam kerangka Kolonialistis dan imperialistis. Tesisini dapat di lihat dari sekian reduksi di level praktek. Tiga program ini senyatanya lebih menguntungkan Belanda, dan bukan untuk pribumi, seperti ekonomi (perlindungan dan bantuan bagi masyarakat pribumi), politik (pembebasan mobilitas vertikal pribumi untuk jabatan penting), dan pendidikan (keterbatasan akses, dan mobilitas untuk pos kebutuhan cara politik etis). Kelak, dampak dari transformasi eksploitasi itu melahirkan sekian perlawanan di Sumatra dan Lampung, yang menjadi sasaran trans migrasi. Namun demikian implementasinya tidaklah tunggal. Di sisi lain, politik etis justru menjadi semacam nemesis (paradoks pendidikan) yang out putnya justru di pakai untuk melawan Belanda. Secara bertahap, kesadaraqn keterjajahan menimbulakan berbagai perlawanan, dari yang tadinya lokal ke Nasional. Ini tidak lepas dari faktor internal dan eksternalnya. Faktor internal tersebut adalah penderitaan penjajahan (rasa senasib seperjuangan); Pax Neerlandica yang telah memberi jalan kesatuan bangsa; komunikasi dan transportasi yang semakin maju; konsolidasi bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahas persatuhan; pergerakan Nasional sebagai reaksi terhadap lahirnya semangat kedaerahan; inspirasi kejayaan Majapahit dan Sriwijaya dan sebgainya. Sedangkan faktor eksternalnya: kemenagan Jepang atas Rusia; perlawanan rakyat India; revolusi kaum muda Turki 1908 (Musthafa Kemal Fasha); revolusi Tionghoa 1911 (Dr,Sun Yat Sen) dan sebagainya (G. Moedjanto: 26). Begitu politik etis dilaksanakan, sekolah untuk anak-anak Eropa mulai dibuka untuk anak-anak pribumi oleh Abendanon. Tahun 1902, sekolah juru kesehatan Bumiputera atau Sekolah Dokter Bumi Putera (School Voor Genees Kundigen) ditingkatkan menjadi Sekolah Dokter Bumim Putera (School Tot Opleiding Van Inlandsche Arts STOVIA) (Parakitri, 1955:225). Pada Tahun ini pula di mulai program politik etis yang lain, yakni transmigrasi dan irigasi. Sekolah-sekolah inilah yang kemudian melahirkan lapis-lapis sosial terpelajar dalam masyarakat pribumi. Gerakan

di masa awal, mulanya di pelopori oleh seorang ningrat-bukan mahasiswa-Dr. Wahidin Sodirohusodo yang pada Tahun 1901 memimpin majalah Retnodoemilah yang di terbitkan di Yogyakarta sejak Tahun 1895 (saat itu di pimpin oleh F.L Winter, seorang ahli bahsa Jawa). Wahidin berasal dari melati, Sleman Yogyakarta (W. 26 mei 1916) di Yogyakarta. Pada Tahun 1906 ia keliling Jawa untuk merealisasikan keinginannya. Kemajuan menurtnya, akan tercapai dengan ilmu pengatahuan Barat lewat pendidikan dengan tanpa meninggalkan warisan Jawa. Safari ini juga dalam rangka mengumpulkan beasiwa (studiefonds), untuk meningkatkan pendidikan rakyat pribumi. Mamun gagasan Wahidin tidak di sukai oleh kalangan priyayi yang khawatir tersaingi. Tahun1907, di Jakarta dia bertemu mahasiswa STOVIA dan mendirikan perkumpulam pemuda dan mahasiswa, yakni Budi Utomo 20 Mei Tahun 1908. personelnya di ketuai oleh Dr. SUtomo (lahir di desa Ngapeh, Nganjuk, Jatim, 30 Juli 1888), Gunawan Mangun Kusumo (wakil ketua), dan dan Gondo Sowarno (sekretaris). Pada Tahun 1924 ia juga mendirikan Sutdie Club di Surabaya yang kemudian melebur dalam Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) pada 16 Oktober 1930, cara PBI dalam menghadapi penerintahahn Kolonial Belanda memilih jalan Tengah antara jalur kooperatif atau Non Kooperataf. Atas prakarsanya pada Tahun 1935 Budi Utomo dan PBI disatukan dalam wadah Partai Indonesia Raya (PARINDRA). Sotomo juga pernah bekerja sama dengan Ir. Soekarno membentuk badan pederasi bernama PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) pada Tahun 1927. PPPKI juga memiliki kontri busi besar bagi terlaksananya Kongres Indonesia Raya Tahun 1928 dan 1931 di Surabaya dimanan SUtomo menjadi ketuanya. Pada dasawarsa 1920-an perlawanan di Jawa terbagi menjadi tiga Front, yaitu Front Jakarta yang dipimpin oleh Husni Tamrin, Front Bandung yang dipimpin oleh Sukarno, dan Front Jawa Timur yang di pimpin oleh SUtomo, yang meminpin dan banyak sekali menerbitkan surat kabar sebagai corong pergerakan seperti Suara Umum, Tempo, Majalah Bangun, dan sebagainya. Masih di Tahun 1908, SUtomo di gantikan Rd. Adiati Tirtokusumo melalui kongres Budi Utomo I (11 Oktober 1909) bila masih terus di pimpin oleh para mahsiswa maka Budi Utomo akan kesulitan dalam hal finansial. Oleh karena itu disepakati untuk di serahkan pada kalangan para priyayi. Tirto Kusumo meminpin Budi Utomo mulai Tahun 1908-1914 (2 Priode), dilanjutkan Rd,Ng. Wediodipuro Tahun 1914-1915, R.M. Ario Suryosaputro Tahun 1915-1916, R.M. Ario Wuryonigrat. Kepemimpinan golongan priyayi membawa Budi Utomo pada karakter perlawanan yang cenderung kooperatif dengan pihak Kolonial. Sebagai varian gerakan, Budi Utomo membuat Organ Taktis yakni Tri Koro Dharmo (berdiri 7 Maret 1915) yang diketuai oleh Sutiman Wryosanjoyo dan beranggotakan Sunardi (Wongso Negoro), SUtomo, Muslich, Musoda, dan Abdul Rahman. Walaupun asasnya bersifat Nasional dalam arti organisasi ini menpunyai kesadaran Hindia, namun anggotanya adalah murud-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Trikoro Dharmo dengan demikian masih sangat Jawa sentries. Namun demikian dari organisasi ini dapat menjadi perkumnpulan pemuda-pemuda dan mahasiswa seluruh Hindia. Pada kongresnya di Solo, 12 Juni 1918, Trikoro Dharmo berubah menjadi Jong Java yang corak pergerakan an ruang lingkupnya lebih luas termasuk pemuda dan mahasiswa sunda. Konteks situasi Nasional

pada saat itu samangat pergerakan untuk merebut kemerdekaan. Selama eksis, Jong Java telah mampu menjadi salah satu bagian penting dalam pergerakan Nasional. Trikoro Dharmo secara konsep taktik-setrategik memang masih bersifat kedaerahan (Jawa sentris), walaupun kemudian mengalami perluasan. Namun konteks perlawanan tidaklah berbeda dengan yang terjadi di daerah lain pada saat itu (kurun waktu 1908-1917), yakni upaya keluar dan membeaskan diri dari jarring-jaring Kolonialisme, Kapitalisme dan Feodalisme. Sebagai elemen pelopor atau perintis Trikoro Dharmo menjadi referensi gerakan di daerah lain. Pergantian nama menjadi Jong Java mengakhiri stigma Jawa sentris. Inilah usaha memperluas cakupan dan orientasi pergerakan. Di daerah lain organisasi-organisasi serupa-pun dibentuk, yang juga masih bersifat kedaerahan seperti Jong Sumatranen Bond/JBS (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918-1928), Jong Batak Bond (1925). Yang agak berbeda adalah Jong Islamieten Bond (JIB) Tahun 1925 yang menunjukkan-walaupun masih Partikularkecendrungan kebutuhan menyatukan organisasi pemuda dan mahasiswa dalam skope yang lebih luas (Nasional), namun juga menandai pengaruh keagamaan yang menjadi daya dorong pergerakan secara formal dikalangan pemuda. Inilah kecenderungan yang mampu melahirkan Jong Indonesia di Bandung pada Tanggal 27 Februari 1927 (hasi keputusan kongres pemuda I, 30 April 1926), Sumpah Pemuda (SP) sring disebut sebagai generasi penegas atau pendobrak-Tanggal 26-28 Oktober 1928. namun ini tentunya lebih bersifat momentum, karena sebelumnya pun tidak bisa di nafikan arti kegiatan serupa yang juga bersifat Nasional. manifesto politik perhimpunan Indonesia sebelumnya (indische vereeniging 1906-1922) yang dimuat Hindia poetra, edisi Maret 1923, telah mengintrodusir gagasan kesatuan, demokrasi, penilakan penjajahan, dan hak menentukan nasib sendiri dalam Indonesia yang merdeka. (1000 Tahun Nusantara, 2000:139-140).

Anda mungkin juga menyukai