Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS KOMUNIKASI POLITIK SBY

Disusun oleh: Anggie Herdian D2C607009 Ilmu Komunikasi FISIP UNIVERSITAS DIPONEGORO 2010

Latar Belakang SBY terpilih menjadi presiden RI untuk yang kedua kalinya, hal ini tidak dapat dipisahkan dari pola komunikasi SBY dan tim suksesnya. Namun mengamati komunikasi politik SBY belakangan ini, utamanya periode pemrintahan kedua SBY beberapa kali melakukan blunder dengan mengeluarkan statemen yang mengundang kontroversi, diantaranya pernyataan beliau tentang sistem monarki di Jogja yang bertentangan dengan demokrasi di Indonesia yang tengah dibangun, pidato mengenai hubungan diplomatis antara Indonesia Malaysai terkait dengan insiden penyanderaan petugas lapangan perbatasan Indonesia Malaysia oleh polisi air Malaysia. Memang SBY terkenal penyabar, bahkan mungkin terlalu penyabar hingga tetangga sebelah dengan santainya mengambil alih budaya kita,dll. Publik jangan suka mengira-ngira, pengamat jangan coba menduga-duga, dan media jangan sering menggiring-giring opini tentang hal yang akan diputuskan presiden. Kalau tidak mau SBY berkehendak lain, sehingga semua ramalan menjadi tidak berlaku sama sekali sering terjadi sepanjang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Memasuki periode kepemimpinan SBY jilid II, kita akan membahas bagaimana pola komunikasi politik SBY dan pencitraan beliau.

Barangkali, SBY kerap kali memutus lain dari yang diperkirakan banyak pihak karena ada proses yang tidak diketahui publik. Menurut kami, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kerap

mengeluarkan pernyataan-pernyataan atas situasi yang berkembang dalam dinamika sosial kemasyarakatan di negara ini. Salah Desember satu 2009) (9 pernyataannya dalam Desember aksi anti adalah dalam pidato Hari Presiden Anti (8

menyambut 2009). korupsi lebih

Peringatan Seperti

Korupsi mencoba

Internasional terkait

biasa

SBY oleh

menetralisasi pernyataan-pernyataan yang dia sampaikan sebelumnya agenda yang dalam gerakan digalang pidatonya komponen SBY korupsi masyarakat menyatakan sipil. Kurang tersebut.

dukungan

terhadap

pemberantasan

termasuk mendukung aksi peringatan hari anti korupsi internasional seraya menegaskan bahwa dia berada di garis paling depan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Tidak lupa sambil menyelipkan klaim prestasi-prestasi dalam bidang pemberantasan korupsi. Pernyataan yang menurut kami sungguh berbeda nuansanya dengan pernyataan beberapakali kekhawatiraanya yang SBY atas keluarkan SBY rencana sebelum-sebelumnya. berulangkali aksi massa Dalam untuk kesempatan, menekankan

pelaksanaan

memperingati hari anti korupsi yang digalang oleh kelompok sipil akan digunakan untuk kepentingan politik berupa penjatuhan posisinya sebagai presiden. Juga menyatakan bahwa aksi massa tersebut akan dibonceng oleh para penumpang gelap. Tidak cukup hanya SBY saja, aparat di bawahnyapun bersuara senada. Sehingga terkesan kekhawatiran ini telah menajdi kekhawatiran rezim.

Mungkin lantaran tekanan situasi politik yang berbeda sehingga respon SBY dalam penyikapan hari anti korupsi Internasional kali ini berbeda jauh dengan peringatan yang sama pada tahun 2008. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa di awal kepemimpinan jilid keduanya, SBY telah dihadiahi persoalan politik dan hukum yang berat. Mulai dari rekayasa kriminalisasi KPK sampai kondisi politik serius dimana hak angket atas kasus Bank Century bergulir begitu maju. Dapat dikatakan hak angket tersebut berbeda dengan 8 hak angket yang bergulir di era kepresidenan SBY yang pertama. Namun paparan di atas dapat saja terbantahkan bila merunut kembali berbagai pernyataan SBY yang kerap mendramatisasi keadaan bahkan cenderung prematur. Mari cermati kembali sikap SBY dalam menanggapi tragedi Bom JW Mariot Jakarta (17 Juli 2009). Dengan sangat yakin SBY menyatakan bahwa tragedi bom tersebut berhubungan dengan persoalan politik terutama menyangkut kemenangannya dalam pilpres 2009. SBY mensinyalir bahwa ada kelompok-kelompok yang tidak suka dengan kemenangannya dan mencoba mengganggu termasuk merencanakan pendudukan KPU demi penggagalan hasil Pemilu. Bahkan dengan keyakinan diri yang tinggi berulangkali SBY menyatakan bahwa pernyataannya berdasarkan data intelijen, data yang valid dan seolaholah tidak terbantahkan. Namun demikian faktanya, setelah kasus pemboman hotel itu dapat dibongkar oleh aparat kepolisian, tidak satupun fakta-fakta yang dapat menjelaskan hubungannya dengan gangguan politik yang ditujukan terhadap SBY. Beberapakali terkesan bahwa pernyataan yang disampaikan SBY cenderung tidak terbukti dan terlihat terburu-buru. Terkesan bahwa SBY salah langkah dalam menyikapi perekembangan dinamika politik. Bahkan banyak yang menganggap SBY telah gagal membangun komunikasi

politik yang efektif. Dengan sikapnya yang reaktif, banyak pengamat politik dan akademisi komunikasi poltik yang menyatakan komunikasi poltik SBY sangat buruk. SBY dianggap membuang energi dan waktu atas reaksinya terhadap komentar-komentar yang mengkritisi posisi dan kebijakannya. Penilaian ini termasuk tindakan SBY yang over-reaktif seolah melupakan suatu ketetapan dalam komunikasi politik, bahwa tindakan politik ternyata lebih penting ketimbang komunikasi politik yang bersifat verbal. Dalam teori pragmatis-informatif, seluruh tindakan komunikator adalah bagian dari komunikasi politik, dan menjadi elemen-elemen informasi yang bisa jadi cermin dari posisi dan reposisi politik sang komunikator politik di mata publik. Teori ini juga menekankan bahwa komunikasi politik secara non-verbal (baca: tindakan politik) lebih dominan dan signifikan dalam tindak komunikasi secara keseluruhan. Alangkah elegannya jika SBY diam, tidak terpancing, lebih berusaha membenahi dan meningkatkan kualitas tindakannya sejalan dengan tugasnya sebagai presiden, ketimbang memerangkap diri ke dalam jurang kebodohan komunikasi politik. Namun berbeda dalam pandangan kami. Tindakan komunikasi politik yang dilakukan SBY tidaklah meupakan kebodohan komunikasi politik. Bagi kami, seluruh tindakan komunikasi politik SBY justru telah dihitung secara matang dan dilakukan dengan kesengajaaan. Bahkan hasil akhirnya selalu menempatkan SBY sebagai pemenang komunikasi politik. Bahkan menurut hemat kami tindakan-tindakan mendramatisasi keadaan yang selama ini diperlihatkan SBY adalah sebagai pola komunikasi politik yang dianut SBY dan rezimnya. SBY berhasil memanfaatkan posisi yang ada dengan mengeluarkan pernyataan-pernyatan yang mengambang dan bahkan bila perlu bersifat intimidatif. Contoh kasus dapat dilihat dalam kasus Bom JW Mariot dan

Kasus peringatan Hari Anti Korupsi Internasional. Dengan lihai SBY mendramatisasi keadaan tersebut, dengan mendorong bahwa peristiwa tersebut adalah manuver dari kelompok-kelompok yang berseberangan serta ingin menjatuhkan posisi SBY. Dengan retorika politiknya SBY kemudian mampu mengintimidasi keadaan dan memotong gerakan sosial yang ada. Dan hal tersbut cukup efektif. Dalam kasus rencana aksi peringatan Hari Anti Korupsi Internasional, menurut Fadjroel Rahman, bahwa pernyataan SBY telah menimbulkan kekhawatiran sebagian warga sehingga menyurutkan niat mereka untuk turut berpartisipasi. Isu-isu bahwa aksi tersebut ditunggangi, berpotensi anarkis pada akhirnya secara efektif menyerang psikologis warga. Pernyataan tersebut memang dipastikan menimbulkan kontroversi, terlebih pernyataan senada keluar secara kompak dari bawahan SBY seperti Andi Mallarangeng, Menkopolhukam dll. Dan setelah kontroversi memuncak, lalu menjelang detik-detik momentum yang ada, SBY akan segera mengakhiri dengan pidato yang indah yang tentu akan berbeda jauh dengan pernyataan sebelumnya. Maka SBY lah yang jadi pemenangnya. SBY tetap akan nampak sebagai seorang presiden yang menghargai demokrasi, kebebasan berekspresi dengan membuat pidato yang meralat pernyataan sebelum-sebelumnya. Sementara di sisi lain efek pernyataan intimidatif yang diumbar sebelumnya masih belum hilang dan masih menghantui warga. Demikian pula dengan sikap SBY dalam kasus kriminalisasi KPK. Walaupun banyak yang menilai komunikasi politik SBY dalam kasus tersebut buruk. Dimana pernyataan SBY dianggap bertele-tele dan mengambang, namun hasil akhirnya kembali dimenangi SBY dengan pidatonya pasca menerima rekomendasi Tim 8 yang dibentuk untuk kasus tersebut. Kami tidak hendak mengulas atau menafsir pernyataan-pernyataan

dari SBY, namun dalam tulisan ini kami hendak menyatakan bahwa dampak dari pola-pola yang digunakan oleh SBY dalam menyikapi perkembangan sosial kemasyarakatan terkait dengan proses demokratisasi di Indonesia sangat besar. Pola komunikasi yang diterapkan oleh SBY dan timnya patut dicermati secara serius. Secara tidak sadar komunikasi tersebut mirip dengan bangunan dan kerangka komunikasi politik Suharto dan rezim Orde Barunya. Melakukan politik satu arah, selanjutnya menciptakan tekanan dan intimidasi kepada publik dan terakhir menangguk untung dari situasi yang ada. Demi menjaga proses demokratisasi di negeri ini, sebaiknya SBY dalam konteks komunikasi politik berhenti mengunakan pola-pola seperti itu. Sebaiknya komunikasi yang dibangun dengan pihak lain didasari dengan sikap fair dalam setiap proses dan efek komunikasi politik itu sendiri. Artinya setiap tindakan komunikasi poltik yang dibangun baik oleh SBY dan juga timnya harus digunakan untuk membangun demokratisasi dan bukan untuk mempertahankan status quo. Data tersebut merupakan awal dari citra buruk komunikasi politik SBY jilid 2. Dalam pidatonya, SBY menganalogikan kerbau yang dibawa mahasiswa saat berdemo sebagai representasi dirinya. "SBY itu badannya besar namun pemalas". Pernyataan inilah yang kemudian memancing penilaian negatif atas SBY. pengamat komunikasi politik menilai tindakan SBY sebagai respon yang berlebihan dan tidak layak dilakukan oleh Pemimpin Negara. pola komunikasi politik yang "bodoh" Sebelumnya SBY pernah ,melakukan blunder serupa. Dalam kondisi masyarakat dengan segala kekurangannya, SBY secara mengejutkan melakukan konfrensi pers mengenai temuan intelejen negara. Badan

Intelejen Negara menemukan sarang teroris yang telah kosong, dengan foto SBY sebagai sasaran tembak. masyarakat menangkap tindakan SBY sebagai respon yang tidak penting. Kondisi masyarakat yang serba kekurangan kurang mendapat respon dan tindakan langsung dari sang presiden. Namun ketika keselamatannya terancam, sesegera mungkin ia menggelar konfrensi pers. Sesuatu yang mutlak perlu dilakukan Presiden SBY dalam konteks komunikasi politik dengan pihak lain adalah tekadnya untuk senantiasa mendasari kepemimpinannya sebagai pucuk pimpinan pemerintahan dan kepala negara yang bersikap fair dalam setiap proses dan efek komunikasi politik itu sendiri. Konsisten dengannya, maka setiap simbol yang dilontarkan dirinya, juru bicaranya, dan para pembantunya terdekat, harus selalu dihindarkan dari orientasi mempertahankan kekuasaan (status quo).

Kajian Komunikasi Politik Setiap teks (simbol) dalam proses dan efek komunikasi politik, tidak terlepas dari konteksnya. Konteks dimaksud, bisa waktu, keadaan, problematika, dan kepentingan di zamannya. Dengan pemahaman demikian, ketika kita bermaksud mengkaji komunikasi politik Preiden SBY, dalam kapasitas dirinya selaku sumber, atau sasaran informasi, kita perlu senantiasa menyadari apa pun kebijakan, langkah atau tindakan SBY (sebagai presiden, kepala pemerintahan dan kepala negara), tidak hanya harus meampertimbangkan ketepatan informasi dengan penggunaan media, waktu (momentum), dan problematikanya, tetapi juga mesti mengukur kemungkinan efek (akibat jangka pendek), di samping dampak

(akibat jangka panjang) atas segala sesuatu yang dilontarkannya. Referensi dan preferensi ini, perlu disadari Presiden SBY, pada setiap saat dirinya menjalin komunikasi langsung atau tak langsung dengan wartawan. Bagaimana seharusnya Presiden di berbagai kesempatan menyampaikan orasi politik, dalam aneka forum legal, serta forum publik, formal atau nonformal. Sebab, bila ia gagal mengaitkan teks dengan konteks, akan sangat mungkin terjadi perubahan dari simbol wajar (sebagaimana adanya, atau sebagaimana seharusnya), menjadi crucial symbol yang sebetulnya tidak lazim dikemukakan seorang presiden. Yang dimaksud dengan simbol krusial bukanlah simbol yang dikemukakan tidak tepat waktu, misalnya yang bertentangan dengan tuntutan mahasiswa, dan berbagai segmen publik kritis lainnya. Simbul krusial eksis manakala kandungan makna di balik simbol (teks) yang dikemukakan Presiden SBY bersifat terbuka atau terselubung, mengisyaratkan pembohongan publik. Ini didasarkan paradigma komunikasi politik, yang tidak dibangun di atas landasan kepastian semata, melainkan juga transparansi. Dengan pertimbangan tersebut, Presiden SBY perlu selalu menyadari, sekalipun dirinya sedang menjadi sasaran sinisme kelompok kritis di negeri ini, ia tetap boleh selalu melakukan perlawanan (simbol) terhadap siapa pun yang menolak dirinya.

Teori Komunikasi Politik Kasus tersebut masuk dalam teori komunikasi politik : Teori psikoanalitik yang terbagi dalam dua variasi personjal dan interpersonal yang mempengaruhi belajar dan perilaku politik. Personal. Aliran personal dari teori psikoanalitik adalah tradisi Sigmund Freud. Freud berpendapat bahwa orang bertindak atas dasar motif yang tak disadarinya maupun atas dasar pikiran, perasaan dan

kecenderungan yang disadari dan sebagaian disadari. Freud berpendapat tentang proses yang menjadi pokok berfungsinya kepribadian: (1) Id, yaitu proses orang yang berusaha memaksakan keinginnanya akan hal yang menyenangkan. (2) Ego, alat yang digunakan untuk menliai sekitar orang itu, atau realitas. (3) Superego, yaitu gagasan orang diturunkan (biasanya melalui pengalaman dengan orang tuanya) tentang apa baik dan buruk itu. Proses id mencari kesenangan dan perasaan benar atau salah, direfleksiakn didalam superego, sering berselisih. Ego menyeleseikan konflik ini melalui berbagai mekanisme pertahanan. Mekanisme ini mencakup represi (memaksakan kepercayaan nilai, dan pengharapan yang mengancam keluar dari kesadaran), pengalihan (mengalihkan reaksi emosional dari satu objek ke objek yang lain), sublimasi (mencari cara yang dapat diterima untuk mengungkapkan dorongan yang dengan cara lain tidak diterima), rasionalsasi ( memberikan alasan yang meragukan untuk membenarkan perilaku atau utnuk menghilangkan kekecewaan), regresi (kembali kepada perilaku yang tidak dewasa, pembentukan reaksi (beralih dari satu ekstrem kepada ekstrem yang berlawanan), introjeksi (memungut pendirian orang lain sebagai pendirian sendiri), atau identifikasi ( meningkatkan rasa kuat, aman dan atau terjamin dengan mengambil sifat orang lain) Teori psikoanalitik yang dibawa ke dalam dunia politik ini

mengemukakan bahwa mekanisme pertahanan yang tidak disadari menghalangi belar politik yang adaptif. Interpersonal. Varian intrepersonal dari teori psikoanalitik sebagian besar berasal dari karya Harry Stack Sullivan. Dalam kata-kata Sullivan,

Keprinadian adalah pola yang relatif kekal dari situasi interpersonal yang berulang yang menjadi ciri kehidupan manusia. Sullivan menerima pandangan pembawaan. bahwa manusia memiliki kebutuhan air, biologis sebagai dan kebutuhan akan makanan, kehangatan,

pembuangan yang tidak diperlukan oleh tubuh. Tambahnya, bahwa manusia membutuhkan rasa aman dari pengalaman dengan orang lain yang membangkitkan kecemaan maupun jaminan pemuasan ketegangan yang bersifat biologis. Dan dalam mengurangi kecemasan dan memuasakan tuntutan bilogis orang sering terbentur pada hubungan sengan oarang lain yang rumit dan menyimpang. Dalam keadaan ini orang mengembangkan mekanisme pertahanan, atau apa yang oleh Sullivan disebut operasi keamanan., untuk memelihara rasa aman bersama sesamanya. Sullivan menekankan empat operasi yaitu: (1) Sublimasi, yang sama dengan mekanisme pertahanann yang diakui dalam teori Freud. (2) Obsesionalime, yaitu kecenderungan gagasan atau dorongan untuk tumbuh begitu mendesak dan mengganggu sehingga individu tidak dapat menghilangkannya dari kesadaran (dalam beberapa hal, dorongan ini mengambil bentuk verbalime ritualisitk dengan sifat hampir magis. (3) Disosiasi, yaitu mekanisme untuk menjaga agar pikiran yang bertentangan tetap terpisah, (4) Keacuhan selektif dan lawannya, perhatian selektif, atau

kebiasaan melihat apa yang kita ingin melihatnya dan menghindari informasi yang mengancam. disosiasi dan keacuhan selektif memilki gabungan langsung dengan komunikasi politik dan proses opini. Selain itu para peneliti sosialisasi politik yang mengambil dari pemikiran Sullivan, mengemukakan bahwa salah satu cara utama anak-

anak memperoleh kepercayaan dan nilai politik ialah melalui proses pengalihan interpersonal. sumber: politik-sby/ http://gendovara.com/mencermati-kelihaian-komunikasi-

Anda mungkin juga menyukai