Anda di halaman 1dari 16

RADIOLOGI PADA KEGAWATDARURATAN KEPALA DAN LEHER: INFEKSI-INFEKSI LEHER

*Jason A. McKellop, MD, dan Suresh K. Mukherji, MD, FACR

Kegawatdaruratan pada infeksi-infeksi leher, baik dalam artikel ini dan pada populasi pasien yang terinfeksi; secara patologi biasanya terjadi dari pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher pada anak hingga nekrosis yang menyebar secara cepat pada orang dewasa dengan diabetes. Walaupun ketersediaan antibiotik yang banyak dan penanganan bedah awal dilakukan, angka morbiditas dan mortalitas dari infeksi leher masih tetap signifikan di pusat klinik pengobatan. Anatomi leher yang kompleks dapat mengaburkan atau

memperlambat diagnosis, sehingga ketepatan waktu dan interpretasi radiologi yang tepat sangat penting dalam hal menentukan penanganan pasien. Artikel ini akan membahas mengenai infeksi leher yang mungkin ditemui dalam keadaaan emergensi dan gambaran khas yang dapat ditemukan pada hasil pencitraan. INFEKSI PADA KELENJAR GETAH BENING (KGB) Pada anak-anak, pembesaran KGB pada daerah servikal paling sering disebabkan oleh proses infeksi daripada malignansi. Proses infeksi dan non infeksi mungkin dapat menyebabkan pembesaran KGB. KGB yang terangsang ini sering disebut sebagai reaktif. Pembesaran KGB yang berkelanjutan dan infeksi yang tidak diobati pada akhirnya dapat menyebabkan nekrosis pada KGB yang mengarah menjadi adenitis supuratif. Adenitis servikal Istilah adenitis servikal mengacu pada inflamasi KGB yang disebabkan oleh proses infeksi (Gambar 1A). Adenitis supuratif menunjukkan adanya KGB terinfeksi yang telah terdapat cairan nekrosis (Gambar 1B). Kemungkinan terjadinya adenitis servikal, terutama cairan supuratif, menurun pada usia yang tua meskipun adenitis supuratif meningkat pada pasien yang lebih tua.

Gambar 1. Adenitis supuratif dan servikal. CT dengan peningkatan kontras pada aksial (A) menunjukkan pembesaran homogen berbagai ukuran kelenjar getah bening (tanda panah) pada pasien dengan nyeri leher karena adenitis servikal. CT dengan peningkatan kontras pada aksial (B) menunjukkan kelenjar getah bening servikal yang supuratif (panah besar) dengan terjadi phlegmon disekitarnya. Penyebab paling umum pembesaran KGB pada anak-anak adalah infeksi virus jinak pada saluran pernafasan atas. Pada dewasa muda dengan infeksi mononucleosis, juga mengalami limfadenopati secara umum, yang disertai dengan kelemahan, demam dan malaise. Infeksi virus lain yang perlu dicatat adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), yang disebabkan oleh human Tcell lymphotropic Virus tipe III (HTLV-III), dan berpotensi menghancurkan penyakit kanak-kanak. Gejalanya berupa limfadenopati lokal atau sistemik, oral truhsh, pembengkakan kelenjar parotis, pneumonitis intersisial,

hepatosplenomegali dan diare. Infeksi bakteri paling sering menyebabkan adenitis servikal supuratif dengan etiologi paling sering adalah bakteri staphylococcus aureus dan bakteri streptococcus grup A (streptococcus pyogenes). Pasien yang terinfeksi bakteri ini biasanya mengeluhkan adanya demam, dan infeksi saluran pernafasan atas. Pada awal infeksi ini, kelenjar dapat diraba. Infeksi yang tidak terkontrol, kelenjar yang teraba sebelumnya berubah menjadi massa yang berfluktuasi (adenitis supuratif), dimana mungkin perlu dilakukan tindakan drainase. Computed tomografi (CT) merupakan pilihan utama untuk mengevaluasi pasien yang dicurigai menderita limfadenitis servikal. Reaksi awal dari proses infeksi ditandai dengan pembesaran homogen, hilangnya lemak pada hilus dan pembesaran KGB pada CT. Retikulasi dari lemak yang mengelilingi KGB supuratif atau yang mengelilingi jaringan lunak, mungkin menunjukkan etiologi inflamasi sebagai penyebab yang abnormal (metastase).

Cat-scratch Disease (CSD) Cat-scratch Disease sangat umum menjadi penyebab pembesaran KGB pada kelompok usia anak-anak dan telah dilaporkan 73% menjadi penyebab dari massa di kepala dan leher yang diderita oleh anak-anak dimana diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan biopsi. Gangguan ini disebabkan oleh bakteri Bartonella henselae dan biasanya menyebabkan reaksi patologis setelah 3-10 hari setelah kontak. Keadaan klinis berupa tender, pembesaran KGB servikal, demam dan malaise. Sekitar 10% dari pasien mengalami eritema dan KGB berfluktuasi yang memerlukan drainase. Temuan khas pada CT adalah KGB yang membesar dan berkumpul di the primary echelon drainage dari daerah kontak. Pusat daerah dengan penurunan kelemahan KGB jarang terjadi (Gambar 2). Mungkin ada beberapa retikulasi halus dari lemak KGB sekitarnya, bagaimanapun, penemuan gross dari perluasan ekstrakapsular jarang terjadi. Pada pencitraan MRI, karakteristik sinyal nonspesifik dan dapat dilihat dalam beberapa kelainan. Kelenjar biasanya meningkat dengan kontras dan mengandung sinyal T2 tinggi.

Gambar 2. CT dengan peningkatan kontras pada aksial menunjukkan pembesaran KGB tingkat 2 dan 5 pada pasien dengan keadaan patologi Cat-scratch Disease (tanda panah). Limfadenitis Tuberkulosa Terdapat peningkatan yang signifikan dalam prevalensi TB pada negaranegara industri yang disebabkan oleh epidemi AIDS, penyalahgunaan obat-obatan dan peningkatan jumlah migrasi. Bentuk paling umum pada TB kepala dan leher adalah limfadenitis. Limfadenopati servikal biasanya tidak nyeri. Limfadenopati umumnya bilateral dan lebih sering melibatkan jugularis interna, segitiga posterior

dan kelenjar supraklavikular. Pada tahap lebih lanjut, kulit di atasnya mengalami inflamasi dan saluran sinus dapat muncul. Secara patologis, TB khas memperlihatkan tuberkel dengan ditandai respon fibroblastik. Tuberkel-tuberkel ini memperlihatkan karakteristik nekrosis kaseosa amorf yang mungkin dapat ruptur ke sekitarnya, seperti jalan nafas dan aliran darah, menyebabkan endobronkial atau diseminasi hematogen. Pencitraan CT dari tahap awal limfadenitis TB menunjukkan gambaran kelenjar dengan peningkatan kontras homogen. Pada perkembangan penyakit, pusat nekrosis dapat dideteksi sebagai fokus densitas rendah yang terkait dengan peningkatan rim (Gambar 3). Lesi yang telah diobati dan kelenjar yang telah menjalani kemoterapi mungkin memperlihatkan kalsifikasi. Pencitraan MR memperlihatkan peningkatan nonspesifik yang homogen pada gambaran T1-weighted (T1W) dan sinyal tinggi pada T2-weighted (T2W). Pada kelenjar yang mengalami nekrosis, peningkatan kontras pada pencitraan MR memperlihatkan peningkatan rim dengan tidak ada peningkatan pada daerah pusat yang menggambarkan nekrosis kaseosa. Nodul-nodul khas menunjukkan intensitas sinyal tinggi dari gambaran T2W. Pencitraan MR, meskipun dapat membantu menunjukkan adanya limfadenitis namun tidak dapat mendeteksi adanya kalsifikasi nodul.

Gambar 3. Limfadenitis tuberkulosa. CT dengan peningkatan kontras pada aksial menunjukkan pembesaran KGB yang supuratif dan nekrosis pada pasien dengan tuberculosis (tanda panah).

INFEKSI PADA RUANG SUBLINGUAL (SLS) SLS terletak pada inferior musculus intrinsik lidah, lateral dari kompleks genioglossus-geniohyoid dan superomedial dari M. mylohyoid. Pada bagian anterior, SLS berhubungan dengan mandibula. Pada bagian posterior, SLS berhubungan dengan Submandibular space (SMS) tanpa fascia yang memisahkan antar rongga. Abses Ruang Sublingual Abses yang terjadi pada rongga ini biasanya disebabkan oleh stenosis pada duktus sublingual atau duktus submandibula atau penyakit pada kalkulus. Infeksi gigi atau osteomyelitis mandibular juga dapat meluas hingga SLS. Bakteri yang sering ditemukan pada abses SLS adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus viridians. Secara klinis, pasien dengan abses SLS biasanya mengeluhkan adanya nyeri, distensi dan bengkak pada bagian anterior dasar rongga mulut. Gejala ini mungkin berhubungan dengan nyeri pada kelenjar saliva, penyakit gigi yang baru atau manipulasi gigi yang ada sebelumnya. Pengobatan untuk abses SLS sebaiknya dimulai dengan pemberian antibiotik kemudian dilakukan tindakan drainase. CT memperlihatkan peninggian massa yang melibatkan SLS yang berhubungan dengan lapisan subcutaneous dan penebalan platysma. Kompleks genioglossus-geniohyoid sering tertarik ke medial atau melewati garis tengah (Gambar 4). Jika komponen SMS juga terlihat, abses yang terjadi mungkin terjadi hingga ruang parapharyngeal, dimana perjalaran lebih lanjut dapat terjadi hingga axis craniocaudal. Infeksi juga dapat menjalar ke medial M. pterygoid dan M. masseter. Pencitraan MRI jarang digunakan untuk penyakit inflamasi pada dasar rongga mulut. Abses yang terjadi pada dasar rongga mulut memperlihatkan peninggian massa tipikal pada gambaran T1W dan intensitas sinyal tinggi pada gambaran T2W. Pada pencitraan dengan peningkatan kontras, tidak ada peninggian pada pusat area, kumpulan pus bisa dengan mudah terlihat. Edema sumsum mandibula lebih mudah terlihat pada MR dengan sinyal jaringan

menengah yang menggantikan intensitas sinyal lemak yang tinggi pada gambaran T1W.

Gambar 4. Abses ruang sublingual. CT dengan peningkatan kontras pada aksial menunjukkan abses pada ruang sublingual kiri (tanda panah). Susunan tulang (B) menunjukkan bahwa penyebab abses adalah gigi busuk (tanda panah). Ludwigs angina Istilah Ludwigs angina mengacu pada selulitis di dasar rongga mulut. Infeksi ini biasanya disebabkan oleh bakteri streptococcus dan staphylococcus. Pasien biasanya mengeluhkan adanya nyeri, distensi dan pembengkakan pada dasar mulut. Infeksi ini biasanya dipercepat dengan adanya infeksi pada odontogenik. Pada kasus-kasus yang tidak diobati, Ludwigs angina dapat menjalar ke bagian inferior melewati fascia hingga ke mediastinum. Oleh sebab itu, beberapa pasien mungkin mengeluhkan adanya nyeri dada. Perlindungan jalan nafas merupakan aspek penting pada penanganan infeksi ini. Selain itu, penanganan infeksi ini dapat diatasi dengan pemberian AB IV, jika dibutuhkan, drainase dapat dilakukan sebagai penanganan sekunder. CT dengan peningkatan kontras memperlihatkan pembengkakan pada dasar mulut (Gambar 5). Penemuan ini sering dikaitkan dengan garis perubahan pada perbatasan lemak subcutaneous dan penebalan yang melapisi muskulus platysma. Pembesaran KGB submental atau submandibular juga dapat terlihat. Pada kasus yang terlambat penanganannya, pus atau udara mungkin terjadi dan jalan nafas akan terjadi kompresi. Pencitraan MR dengan peningkatan kontras memperlihatkan dasar rongga mulut dengan penebalan yang kuat. Pada gambaran T2W, sinyal tinggi menyebar jelas pada dasar rongga mulut dan perbatasan jaringan lunak yang berdekatan.

Gambar 5. Ludwigs angina. CT dengan peningkatan kontras pada menunjukkan abses multiple (tanda panah) di ruang sublingual. Pada pasien ini juga terdapat edema laring, seperti yang ditunjukkan oleh penebalan lipatan aryepiglottic kiri (tanda panah). INFEKSI-INFEKSI LEHER Infeksi Ruang Retropharyngeal Pada orang dewasa, infeksi ruang retropharyngeal biasanya disebabkan oleh luka penetrasi. Kokus gram positif paling sering ditemukan dalam banyak kasus. Pada anak-anak, infeksi ruang retropharyngeal paling sering disebabkan oleh infeksi pada saluran pernafasan atas. Faringitis akut umumnya terjadi pada masa kanak-kanak dan biasanya memberikan pengaruh pada usia < 3 tahun. Organism penyebab biasanya Hemophilus influenza. Dari faring, mikroorganisme dapat menyebar hingga ke kelenjar retrofaringeal yang menyebabkan adenitis supuratif. Jika pengobatan terlambat, KGB yang supuratif dapat ruptur dan akhirnya terbentuk abses retrofaringeal atau selulitis retrofaringeal. Secara klinis, pasien dengan infeksi ruang retropharyngeal sering mengeluhkan demam, nyeri leher, sakit tenggorokan dan massa pada leher. Pasien ini mungkin juga mengeluhkan adanya rasa seperti tersedak dan kesulitan menelan. Pada pemeriksaan faring didapatkan edema dan kemerahan. Pada pencitraan, foto polos biasanya menunjukkan penebalan jaringan lunak dalam ruang prevertebral. Ini merupakan penemuan nonspesifik dan dapat dilihat juga pada selilitis retrofaringeal, adenitis supuratif retrofaringeal atau abses retrofaringeal. Pada CT, selulitis retrofaringeal diidentifikasi penipisan simetris pada ruang retropharyngeal (Gambar 6). Terjadi perpindahan dari dinding posterior faring ke arah anterior otot-otot prevertebral. Namun, perpindahan yang terjadi tidak simetris dan tidak lebih dari beberapa milimeter. Adenitis retrofaringeal supuratif diidentifikasi dari KGB paramedian retrofaringeal yang mengalami

pembesaran dan berisi pusat dengan redaman yang rendah (Gambar 7). Abses retrofaringeal diidentifikasi dari kumpulan cairan dengan redaman yang rendah yang menyebabkan perpindahan dari dinding posterior faring ke arah anterior otot-otot prevertebral (Gambar 8). Gambaran ini asimetris. Abses retrofaringeal biasanya tidak mengalami penebalan dinding. Pada MRI, KGB retrofaringeal yang membesar menunjukkan intensitas sinyal menengah pada gambaran T1W dan peningkatan kontras yang kuat. Peningkatan rim menunjukkan terjadinya limfadenitis supuratif. Pada gambaran T2W, kelenjar yang mengalami inflamasi menunjukkan intensitas sinyal tinggi. Penebalan jaringan lunak karena selulitis juga menunjukkan peningkatan kuat kontras dan sinyal tinggi pada gambaran T2W.

Gambar 6. Edema pada ruang retrofaringeal. Terlihat penipisan rendah simetris pada ruang retrofaringeal (tanda panah) tanpa adanya cairan fokal.

Gambar 7. Adenitis supuratif pada KGB retrofaringeal. CT dengan peningkatan kontras pada aksial menunjukkan KGB retrofaringeal supuratif (tanda panah besar) dengan terjadi phlegmon di sekitarnya (tanda panah besar). Tanda panah kecil menunjukkan edema, bukan abses ruang retrofaringeal.

Gambar 8. Abses retrofaringeal. CT dengan peningkatan kontras menunjukkan cairan (tanda panah besar) dan udara (tanda panah kecil) pada ruang retrofaringeal. Abses Tonsil Abses tonsil berbeda dengan tonsillitis akut. Tonsilitis akut paling sering terjadi pada anak-anak sedangkan abses tonsil paling sering terjadi pada dewasa muda dengan rata-rata usia 25 tahun dan > 65% pasien berumur sekitar antara 20 dan 40 tahun. Gejala yang paling umum adalah sakit tenggorokan, disfagia, demam dan trismus. Hampir semua pasien memiliki riwayat faringitis berulang. Penanganan biasanya mencakup insisi dan drainase dengan pemberian antibiotik. CT sebaiknya digunakan untuk mengevaluasi suspek abses tonsilar karena CT lebih cepat dan lebih murah dibandingkan dengan MRI. CT menunjukkan adanya massa pada fossa tonsilar dan dapat juga terlihat adanya pus (Gambar 9). Penjalaran ke ruang parafaringeal mungkin melibatkan M. Pterygoiddeus medial (yang mengarah ke trismus). Jika meluas, proses inflamasi dapat menyebar ke posterolateral yang melibatkan karotis sheath. Hal ini penting untuk mengevaluasi adanya thrombosis v. jugularis atau erosi arteri karotis.

Gambar 9. Abses tonsil. CT dengan peningkatan kontras pada axial menunjukkan abses pada tonsil kiri (tanda panah).

Abses parafaringeal Ruang parafaringeal merupakan suatu area di dalam leher di bagian medial M. masseter dan lateral dari M. konstriktor faringeal superior. Ruang parafaringeal dibagi menjadi kompartemen anterior dan posterior oleh styloid, di bagian akhir berisi arteri karotis dan vena jugularis interna. Abses di ruang ini dapat muncul langsung dari infeksi pada faring melalui dinding faring, sebagai akibat dari infeksi odontogenik, trauma pada parafaringeal dan abses peritonsil. Diabetes merupakan kondisi sistemik yang paling sering menjadi predisposisi terjadinya abses parafaringeal. Pasien dengan abses parafaringeal sering mengeluhkan adanya demam, nyeri tenggorokan, dan bengkak pada leher. Eritema, odynofagia dan disfagia sering juga terjadi bersamaan infeksi. Trismus paling sering dikaitkan dengan abses kompartemen anterior. Pada pencitraan, dengan foto polos ditemukan tanda khas yang nonspesifik dan mencakup penebalan dan jaringan lunak dalam ruang prevertebral dan lordosis servikal. CT dengan peningkatan kontras merupakan pilihan pemeriksaan untuk diagnosis abses parafaringeal. CT menunjukkan lesi single atau multiple dengan udara atau cairan di tengah (Gambar 10). Dengan peningkatan kontras, kadang-kadang menunjukkan penebalan dinding abses.

Gambar 10. Abses parafaringeal. CT dengan peningkatan kontras pada axial menunjukkan adanya cairan dalam tonsil kiri pada ruang parafaringeal. Nekrosis Fasciitis Nekrosis fasciitis servikal merupakan infeksi bakteri yang penyebarannya cepat pada jaringan lunak dan cepat pula berubah menjadi kondisi yang mengancam. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh infeksi streptococcus atau polimikrobial. Namun spesies methicillin resistant S. aureus (MRSA) telah

terlihat pada peningkatan prevalensi kejadian. Pasien umumnya mengeluhkan adanya demam tinggi dan terlihat sakit. Lapisan jaringan kulit yang terinfeksi mungkin terjadi eritema dan terasa lembut. Pasien mungkin merasakan krepitasi dan adanya gas yang diproduksi oleh bakteri. Penanganan pasien dengan nekrosis fasciitis paling baik dilakukan di ICU dan pengobatan dengan pemberian antibiotik parenteral serta dilakukan debridement. Pencitraan CT akan menunjukkan temuan nonspesifik dari retikulasi difus lemak subkutaneus disertai penebalan dan peningkatan platysma. Terkadang mungkin juga ditemukan abses multiple di sepanjang fascia tersebut. Adanya gas dalam jaringan lunak sebelum dilakukan operasi atau terapi radiasi merupakan keadaan patologis dari nekrosis fasciitis (Gambar 11).

Gambar 11. Nekrosis fasciitis servikal. CT-scan dengan peningkatan kontras menunjukkan penebalan yang difus dari jaringan lunak leher yang dikaitkan dengan adanya sedikit cairan (tanda panah besar). Adanya udara (tanda panah kecil) pada pasien dengan demam yang tidak pernah menjalani pembedahan atau terapi radiasi merupakan necrotizing fasciitis. Abses Bezolds Abses Bezolds merupakan komplikasi dari otomastoditis yang jarang terjadi, yang ditandai dengan nekrosis pada ujung mastoid dan penyebaran infeksi terjadi dari tulang ke jaringan lunak sekitarnya. Inflamasi terjadi dari bagian inferior hingga mastoid dan dapat terjadi di sepanjang M. sternocleidomastoideus hingga bagian bawah leher. Jika tidak ada penanganan, abses dapat menyebar jauh hingga ke laring dan mediastinum sehingga prognosis menjadi buruk. Secara klinis, pasien mengeluhkan adanya demam, nyeri leher, gerakan leher yang terbatas, dan otalgia. Jika terjadi abses sekunder yang terletak jauh ke fascia superficial di sekitar sternocleidomastoideus dan M. trapezius, fluktuasi dan contour sulit untuk diraba. Pada pencitraan CT, dapat menunjukkan adanya kekeruhan pada telinga tengah yang bersifat unilateral dan kavitas mastoid yang sering dikaitkan dengan

erosi tulang terutama pada ujung mastoid (Gambar 12A). Abses ini melibatkan otot-otot yang berdekatan disekitar mastoid dan meluas ke arah inferior (Gambar 12B). Di sekitar abses, mungkin terjadi kehilangan lemak, retikulasi jaringan subkutan dan penebalan di atas kulit.

Gambar 12. Abses Bezolds. CT-scan dengan peningkatan kontras pada axial menunjukkan kekeruhan pada cairan sel mastoid yang disertai dengan erosi tulang dan proses peradangan yang agresif. Susunan jaringan lunak menunjukkan abses multiloculated yang meliputi muskulus paraspinal. PATOLOGI-PATOLOGI LAIN Benda asing yang tertelan Di antara komplikasi-komplikasi yang lain, benda asing yang tertelan dapat mengakibatkan infeksi ruang retrofaringeal, terutama abses, bentuk abses retrofaringeal. Hampir 80% dari semua kasus benda asing yang tertelan oleh faring dan esophagus terjadi pada populasi anak-anak. Namun, pasien dewasa yang mengalami stupor, pikun dan memiliki penyakit kejiwaan, cenderung mudah tertelan berbagai benda asing termasuk tulang hewan dan gigi palsu. Benda-benda ini biasanya berada di daerah cricofaringeus, arkus aorta atau pada bagian distal esophagus. Benda-benda tajam dapat menyebabkan perforasi pada faring atau esophagus dan dapat bermigrasi hingga sepanjang jaringan dan kompartemen. Hal ini mungkin dapat menyebabkan terbentuknya abses di ruang-ruang sekitar perforasi seperti ruang retrofaringeal. Pada anak-anak, keadaan klinis dapat berupa kesusahan bernafas, sering meneteskan air liur atau regurgitasi sedangkan pada dewasa, keadaan klinis biasanya berupa nyeri dan disfagi. Pikun, gangguan kejiwaan atau pasien dengan stupor dapat terjadi demam atau sepsis. CT tanpa kontras pada leher dapat dilakukan untuk memastikan ada atau tidaknya benda asing yang tertelan. CT dengan peningkatan kontras akan

menunjukkan ukuran dan jumlah peradangan atau abses yang terjadi. Seringkali juga terdeteksi gas yang translusen pada ruang retrofaringeal. MRI jarang digunakan untuk mendeteksi adanya benda asing yang tertelan karena tidak dapat menentukan adanya benda asing atau kumpulas gas. Tendinitis kalsifikasi Tendinitis kalsifikasi merupakan kondisi peradangan jinak yang

disebabkan oleh endapan hydroxyapatite dalam serat tendon m. longus colli. Keadaan klinis dapat berupa nyeri mendadak atau subakut pada leher dan tenggorokan yang diperburuk dengan pergerakan kepala dan menelan. Karena angka kejadian yang langka, tendinitis kalsifikasi sering keliru, secara klinis, untuk cedera trauma, abses retrofaringeal, atau spondylitis, menyebabkan pasien sering menjalani pemeriksaan dan pengobatan yang tidak perlu. Kondisi ini dapat sembuh sendiri, 1-2 minggu setelah resorpsi kalsium. Radiografi leher lateral dapat menunjukkan pembengkakan jaringan lunak yang luas antara C1-C4 dengan kalsifikasi amorf pada anterior C1-C2. CT juga akan menunjukkan temuan yang sama dengan edema prevertebral, temuan yang harus dibedakan dengan infeksi pada ruang retrofaringeal (Gambar 13). Meskipun biasanya tidak diperlukan untuk diagnosis, MRI akan menunjukkan kekosongan sinyal anterior C1 dan C2 yang menggambarkan kalsifikasi amorf. Selain itu, MRI mungkin menunjukkan edema sumsum pada vertebrae yang berdekatan.

Gambar 13. Tendinitis kalsifikasi. CT-scan dengan peningkatan kontras pada axial menunjukkan edema pada ruang retrofaringeal (tanda panah besar). Tanda panah kecil menunjukkan the alar fascia dimana mengindikasikan adanya redaman rendah yang merupakan edema dan bukan abses. Susunan tulang menunjukkan massa ossifikasi anterior ke dental yang menyatakan bahwa edema pada ruang retrofaringeal disebabkan oleh tendinitis kalsifikasi.

KESIMPULAN Infeksi emergensi kepala dan leher memang beragam dan membutuhkan perhatian secara menyeluruh pada anatomi leher dan modalitas pencitraan yang digunakan untuk mengetahui adanya suatu keadaan patologi. Foto polos, USG dan MRI memainkan peranan dalam mengetahui adanya inflamasi, dan infeksi patologi pada leher, pencitraan cross-sectional dengan CT memiliki peran utama. Dalam keadaan darurat, interpretasi pencitraan radiologi yang tepat waktu penting untuk penanganan pasien yang akut (pasien dengan gangguan jalan nafas).

DAFTAR PUSTAKA

1. Peters T, Edwards K. Cervical lymphadenopathy and adenitis. Pediatr Rev. 2000;21:399-405. 2. Baker CJ. Group B streptococcal cellulitis-adenitis in infants. Am J Dis Child. 1982;136:631-633. 3. Dajani AS, Garcia RE, Wolinski E. Etiology of cervical lymphadenitis in children. N Engl J Med. 1963;268:1329-1333. 4. Weed HG, Forest LA. Deep neck infection. In: Cummings CW, Flint PW, Harker LA, et al, eds. Otolaryngology: Head and Neck Surgery, vol. 3. 4th edition. Philadelphia, PA: Elsevier Mosby;2005: 2515-2524. 5. Bross-Soriano D, Arrieta-Gomez J, Prado-Calleros H, et al. Management of Ludwigs angina with small neck incisions: 18 years experience. Otolaryngol Head Neck Surg. 2004;130:712-717. 6. Brook I. Microbiology and management of peritonsillar, retropharyngeal, and parapharyngeal abscesses. J Oral Maxillofac Surg. 2004;62: 1545-1550. 7. Craig FW, Schunk JE. Retropharyngeal abscess in children: Clinical presentation, utility of imaging, and current management. Pediatrics. 2003;111:1394-1398. 8. Johnson RF, Stewart MG. The contemporary approach to diagnosis and management of peritonsillar abscess. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2005;13:157-160. 9. Glynn F, Skinner LJ, Riley N, Donnelly M. Parapharyngeal abscess in an insulin dependent diabetic patient following an elective tonsillectomy. J Layngol Otol. 2007;121:e16. Epub. 10. Page C, Biet A, Zaatar R, Strunski V. Parapharyngeal abscess: Diagnosis and treatment. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2008;265:681-686. 11. Smouha EE, Levenson MJ, Anand VK, Parisier SC. Modern presentations of Bezolds abscess. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1989;115:1126-1129. 12. Miller LG, Perdreau-Remington F, Rieg G, et al. Necrotizing fasciitis caused by community-associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus in Los Angeles. N Engl J Med. 2005;352:1445-1453. 13. Castillo M, Albernaz VS, Mukherji SK, et al. Imaging of Bezolds abscess. AJR Am J Roentgenol. 1998;171:1491-1495. 14. Gaffney RJ, ODwyer TP, Maguire AJ. Bezolds abscess. J Laryngol Otol. 1991;105:765-766. 15. Digoy GP. Diagnosis and management of upper aerodigestive tract foreign bodies. Otolaryngol Clin North Am. 2008;41:485-496. 16. Vieira F, Allen SM, Stocks RM, Thompson JW. Deep neck infection. Otolaryngol Clin North Am. 2008;41:459-483, vii.

17. Eastwood JD, Hudgins PA, Malone D. Retropharyngeal effusion in acute calcific prevertebral tendinitis: Diagnosis with CT and MR imaging. AJNR Am J Neuroradiol. 1998;19:1789-1792. 18. Haun CL. Retropharyngeal tendinitis. AJR Am J Roentgenol. 1978;130:11371140.

Anda mungkin juga menyukai