Catatan Awal:
Penulis adalah seorang pelajar ekonomi yang menaruh minat pada kajian-kajian
antropologi Indonesia terutama pada aspek “ekonomi antropologi”. Karena itu, dalam
artikel ini, tidak banyak aspek antropologi (secara teoretis) yang diangkat tetapi lebih
kepada perkembangan Antropologi Indonesia dalam tataran empiris selain berkenalan
dengan sosok Koentjaraningrat. Judul artikel ini sama dengan judul salah satu tajuk
rencana Harian Sore Sinar Harapan3 Namun, isi dari artikel ini adalah sesuatu yang
berbeda dari konteks waktu dan perkembangan antropologi Indonesia itu sendiri.
Selamat Berdiskusi … Syalom
1
Artikel ini disampaikan dalam Diskusi yang diselenggarakan oleh Kelompok Diskusi Bawah Tangga
(BANGGA)-Senat Mahasiswa Fakultas Teologi UKSW tanggal 21.4.2008.
2
Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan UKSW Salatiga
3
Maaf, saya tidak ingat tanggal, bulan dan tahunnya, namun bisa di cek melalui internet.
4
Lihat Masinambow, et al (1997)
5
Artikel Sinar Harapan http://www.sinarharapan.co.id/berita/0603/15/ipt06.html menulis: Koentjaraningrat
mendapatkan M.A pada Tahun 1956.
1
Madiun (1948), yang kemudian dihancurkan oleh pasukan Siliwangi. Koen
menikah dengan Kustiani yang dikenalnya sejak di UI, ayah tiga anak yang juga
berjasa dalam mendirikan LP3ES.
Koen tertarik pada antropologi sejak menjadi asisten Prof. G.J. Held,
guru besar antropologi di Universitas Indonesia yang mengadakan penelitian
lapangan di Sumbawa. Tak mau memendam ilmu yang diperolehnya,
Koentjaraningrat terus memperkenalkan dan mengembangkan antropologi yang
saat itu merupakan ilmu pengetahuan baru di Indonesia. Ia mendirikan Jurusan
Antropologi dan mengajar di sana. Ia juga mendirikan jurusan antropologi di
berbagai universitas di berbagai daerah Indonesia.
Sembilan tahun sudah doktor antropologi Indonesia pertama itu
meninggal dunia. Ia mewariskan pemikirannya dalam berbagai buku dan tulisan
yang tak kurang dari 200 judul yang diterbitkan dari majalah-majalah ilmiah di
dalam maupun di luar negeri, 22 buah buku dan beberapa buah karangan ilmiah
populer untuk surat kabar. Rata-rata buku tersebut menjadi buku pegangan
mahasiswa antropologi selama bertahun-tahun, di antaranya Pengantar
Antropologi, Keseragaman Aneka Warna Masyarakat Irian Barat (1970), Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia (1971), Petani Buah-buahan di Selatan Jakarta
(1973), Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (1974), Pengantar Ilmu
Antropologi (1979), Masyarakat Desa di Indonesia (1984), Kebudayaan Jawa
(1984), Irian Jaya, Membangun Masyarakat Majemuk (1992).
Kepiawaiannya di bidang antropologi seolah belum ada pesaing di
eranya. Oleh karena itu, Koentjaraningrat “langganan” menjadi guru besar di
banyak kampus, selain Deputi Ketua LIPI. Ia pernah menjadi Guru Besar
Antropologi pada Universitas Indonesia, kemudian menjadi Guru Besar Luar
Biasa pada Universitas Gadjah Mada, dan juga Guru Besar di Akademi Hukum
Militer di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Ia juga pernah diundang sebagai guru besar tamu di Universitas Utrecht,
Belanda, Universitas Columbia, Universitas Illinois, Universitas Ohio, Universitas
Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes, Etudes en Sciences Sociales di
Paris dan Center for South East dan Asian Studies di Kyoto. Ia juga meraih
penghargaan ilmiah gelar doctor honoris causa dari Universitas Utrecht, 1976
dan Fukuoka Asian Cultural Price pada tahun 1995. Salah satu mahasiswa
bimbingan Prof.Dr. Koentjaraningrat adalah Dr. Nico L. Kana (Alumni
UKSW/Mantan Ketua GMKI Cabang Salatiga/Mantan Dosen UKSW, kini Ketua
Yayasan Percik-Salatiga).
2
bentuk kebijaksanaan, program, atau proyek, yang secara terencana merubah
cara-cara hidup atau kebudayaan dari sesuatu masyarakat sehingga warga
masyarakat tersebut dapat hidup lebih baik atau lebih sejahtera daripada
sebelum adanya pembangunan tersebut (Suparlan, 1995).
Program-program tersebut biasanya terwujud sebagai program-program
pembangunan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang mencakup
program-program peningkatan kesejahteraan hidup atau mutu dalam bidang-
bidang sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, kehidupan keluarga
dan kependudukan, pertanian, industri, pasar dan kewiraswastaan, hukum dan
hak-hak untuk memperoleh keadilan, keteraturan sosial dan politik, komunikasi
dan transportasi, hiburan dan pariwisata, pandangan hidup dan keyakinan
keagamaan (ideologi). Koentjaraningrat telah mengidentifikasi masalah-
masalah yang tercakup dalam pembangunan di Indonesia, yang dinamakannya
Antropologi Terapan, yaitu masalah-masalah (1) penduduk; (2) struktur
masyarakat desa; (3) migrasi, transmigrasi dan urbanisasi; (4) integrasi
nasional; (5) pendidikan dan modernisasi.
Mengapa harus melibatkan Antropolog atau menggunakan Ilmu
Antropologi dalam pembangunan di Indonesia? Antropologi sebagai sebuah ilmu
pengetahuan sosial, yang berbeda dari ilmu-ilmu humaniora (ilmu filsafat atau
ilmu sejarah, misalnya) dan dari sains (fisika, kimia dan biologi misalnya),
bercorak intelektual dan akademis serta berlandaskan pada metode ilmiah yang
universal serta baku dan yang obyektif serta membumi (grounded) yang
berpihak pada kemanusiaan.
Keberpihakan pada kemanusiaan yang ada dalam antropologi tidak
berarti bahwa antropologi tidak bebas nilai, sebagaimana yang ada dan menjadi
ciri dari humaniora seperti yang dikemukakan oleh tokoh sejahrawan Indonesia,
Profesor Taufik Abdullah yang berulang kali mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan tidak bebas nilai. Antropologi, sebagai ilmu pengetahuan,
terbebas dari nilai-nilai budaya maupun nilai-nilai pribadi yang dipunyai oleh
ahli antropologi yang bersangkutan.
Antropologi, Sebagai ilmu pengetahuan ytang berisikan konsep-konsep
dan teori-teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan makna dari gejala-
gejala dan hakekat hubungan antara gejala-gejala yang ada dalam kehidupan
masyarakat, secara sadar atau tidak sadar banyak ahli dari bidang-bidang ilmu
pengetahuan lainnya telah menggunakan konsep-konsep dan teori-teori yang
ada dalam antropologi untuk menjelaskan berbagai masalah sosial yang
relevan, bahkan pejabat pemerintah dan orang awam juga menggunakannya
(contoh: konsep rintangan-rintangan mental dan pembangunan dari
Koentjaraningrat yang secara luas diacu dan digunakan dalam masyarakat
Indonesia).
Apapun jabatannya dan seperti apa pun peranannya, para ahli
antropologi yang bekerja di pemerintahan atau lembaga-lembaga pembangunan
internasional atau nasional, yang dapat dinamakan sebagai ahli antropologi
pembangunan, melakukan kegiatan-kegiatan kajiannya dengan berprinsip pada
metode pengamatan terlibat atau partisipatori yang melakukan kajiannya dari
3
perspektif masyarakat yang dijadikan sasaran pembangunan (Green 1986:1-9;
Rhoades 1986:36-66).
Walaupun demikian kajian-kajian antropologi pembangunan mempunyai
corak yang berbeda dan kajian antropologi pada umumnya, karena etnografi
yang dihasilkan oleh para ahli antropologi pembangunan menekankan pada
tema-tema yang relevan dengan masalah utama dalam upaya penerapan
teknologi modern (pertanian, kesehatan, pendidikan, politik dan administrasi
pemerintahan atau bidang-bidang lainnya).
Beberapa contoh diantaranya, keberhasilan pembangunan pariwisata Bali
sampai dengan akhir 1980-an, keberhasilan pembangunan di Wamena dengan
pusat kegiatannya adalah pertanian sawah, model transmigrasi dan pemugaran
desa (Kampung Development) di Timika dan masih banyak contoh lainnya.
Kebisuan Antropologi
Bagi orang awam, mungkin ilmu Antropologi hanyalah berkutat pada
romantisme tradisionalis semata yang menaruh minat pada kearifan nilai luhur.
Dan mirisnya, kini sudah tak sesuai pada konteks perkembangan Indonesia ke
depan.
Sebab secara historis, antropologis sepertinya mempunyai stereotipe
sebagai the study of Europeans on non-Europeans, seperti yang diucapkan
Jonathan Benthall dalam bukunya yang berjudul Ahmed & Shore yang
diterbitkan 1995 lalu.
Paradigma ini seharusnya bisa dipahami. Karena kebanyakan pelaku
penelitian antropologi saat itu adalah orang-orang Eropa yang mulai melakukan
aneksasi terhadap banyak kepulauan lain di dunia.
Paham itu kemudian lanjut berkembang saat kolonialisme merasuki
kepulauan nusantara. Objek studi kebanyakan orang Belanda waktu itu
kebanyakan adalah mengenai kehidupan suku bangsa di Indonesia. Yang
semuanya tentulah terkumpul dalam definisi ”suku-suku primitif” dari sudut
pandang Eropa.
Studi S.E. Hartthoorn mengenai kesengsaraan orang Jawa primitif dan
Islam bila dibandingkan oleh mereka yang sudah memeluk Nasrani, bisa dija-
dikan contoh disini. Selain beberapa contoh lain seperti studi mengenai orang
Batak yang kanibal oleh Burton dan Friedman, tentang Minahasa oleh Wilken,
tentang Toraja oleh Kruyt dan Adriani, tentang Aceh dan Gayo oleh Snouk
Hurgronje, tentang Minangkabau oleh de Josselin de Jong, tentang hukum adat
oleh van Vollenhoven, tentang Orang Rote oleh James J. Fox, tentang
Perempuan Wehali di Atambua-Belu oleh Tom Therik, tentang Dunia Orang
Sawu oleh Nico L. Kana, tentang Civil Society di Aras Lokal di Klaten oleh Kutut
Suwondo, tentang Kebatinan Jawa oleh Semuel Patty dan banyak lagi yang
lainnya.
Namun semua itu adalah gambaran pragmatis mengenai kekinian ilmu
antropologi milik kita. Sebuah ilmu yang berlatar belakang dari perbedaan
antara si Eropa dan bukan. Antara negara maju dan terbelakang.
Sebuah konteks keilmuan yang tak memiliki relevansi dengan semangat
nasionalisme kita. yang pada ujungnya kalau terus-terusan diterapkan, malah
4
akan makin memperuncing perbedaan, dan menimbulkan kekecewaan-
kekecewaan, seperti juga yang dialami Bapak antropologi Indonesia,
Koentjoroningrat saat bertemu dengan salah seorang peneliti bernama Prof.
T.S.G. Moelia, yang masih menganggap ilmu antropologi sebagai ilmu bangsa
kolonial tentang ”bangsa-bangsa primitif” yang tak berguna bagi masyarakat
Indonesia yang sedang bergerak maju.
Padahal bagi Koen, antropologi adalah sebuah ilmu yang menjanjikan
bagi Indonesia. Baik dalam rangka mempelajari masyarakat suku tersebut
secara ilmiah, maupun untuk membangun masyarakat Indonesia yang bersatu
dan maju.
Referensi