Anda di halaman 1dari 9

Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci

PENYAMAKAN KULIT KELINCI DENGN TEKNOLOGI TEPAT GUNA SEBAGAI BAHAN KERAJINAN KULIT DAN SEPATU DALAM MENUNJANG AGRIBISNIS TERNAK KELINCI
SRI UNTARI
Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik, Jl. Sokonandi No. 9, Yogyakarta

ABSTRAK Kulit kelinci mempunyai luas anatara 1,5 sampai dengan 2,5 feet persegi jadi termasuk ukuran kecil sehingga penyamakannya bisa dilakukan dengan tangan maupun drum penyamakan dengan ukuran kecil (diameter drum 80100 cm) dan bisa dilakukan di pedesaan. Tetapi harus diingat bahwa penyamakan kulit merupakan proses produksi yang mengandung limbah yang berbahaya oleh karena itu perlu dilakukan dengan metode teknologi bersih. Yaitu mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan baku, air dan energi serta menghindari bahan beracun dan berbahaya. Sebelum dilakukan penyamakan kulit perlu dilakukan pengawetan terlebih dahulu dengan menggunakan garam atau asap cair untuk kulit yang akan disamak dengan bulunya atau dikeringkan untuk kulit yang akan disamak untuk kulit jaket atau kulit kelinci untuk atasan sepatu. Perontokan bulu dapat menggunakan enzim exolite yang dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Sedangkan untuk bating dapat menggunakan ragi tempe, papain maupun nanas, untuk penyamakan kulit dapat menggunakan mimosa apabila kulit tersebut dihilangkan bulunya dan akan dijadikan barang kulit seperti tas, dompet, dll. Agar kulit menjadi lemas maka perlu diberi minyak. Minyak yang digunakan dapat menggunakan minyak kelapa atau kuning telur. Bahan-bahan tersebut di atas mudah didapatkan di pedesaan, sedangkan peralatan untuk proses dapat menggunakan ember atau drum penyamakan ukuran kecil. Kata Kunci: Teknologi Tepat Guna, Penyamakan, Kulit Kelinci

PENDAHULUAN Ekspor kerajinan Indonesia belum juga pulih sejak krisis ekonomi melanda pertengahan tahun 1998. Akibatnya tingkat ekspor kerajinan Indonesia hingga kini belum juga mampu menembus nilai ekspor kerajinan tertinggi yang sempat dicapai di awal tahun 1998, yakni 1,963 miliar dollar AS. Sejak tahun 1999 nilai ekspor kerajinan Indonesia tidak pernah menembus angka 500 juta Dollar AS, hanya mencapai 499,21 juta Dollar AS, kemudian tahun 2000 menurun menjadi 481,05 juta Dollar AS, tahun 2001 juta Dollar AS sebesar 469,38 juta Dollar AS, tahun 2002 juta Dollar AS, senilai 423,32 juta Dollar AS. Penurunan terjadi karena lemah dalam hal permodalan, tidak punya akses ke info pasar Internasional, dan tidak mengetahui trend desain yang dibutuhkan. Hal ini sangat mengkhawatirkan dan merugikan karena industri handycraft ini terdiri atas dua juta unit

usaha dan menyerap sepuluh juta tenaga kerja di seluruh Indonesia. Berdasarkan data terakhir dari ASEPHI (Asosisasi Eksportir Handicraft Indonesia) bahwa pangsa pasar ekspor kerajinan tangan terbesar Indonesia tahun 2004 US$ 169,9 juta dengan negara tujuan Amerika Serikat sebesar 41,36 persen, Jepang sebesar 10,71 persen, Singapura sebesar 8 persen, Inggris 5,26, dan Perancis 4,01 persen. Untuk industri kerajinan di berbagai daerah pedesaan yang merupakan industri kecil atau industri rumahtangga sangat tidak mampu mengakses info pasar, hal ini sangat mengkhawatirkan karena sebagian besar produk kerajinan justru berasal dari pedesaan yang diekspor melalui para pedagang pengumpul. Salah satu industri kerajinan dengan sumbangan cukup potensial di Indonesia adalah Industri kerajinan kulit. Data terakhir ekspor kerajinan kulit secara nasional $US 13,9 ribu Kondisi ini turun sangat tajam

103

Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci

dibanding tahun 1998 yang mencapai $US 85,677.2 ribu. Disamping akibat krisis ekonomi yang terjadi secara umum, disisi lain industri kerajinan kulit mempunyai kendala utama, yaitu ketersediaan bahan baku, oleh karena itu perlu adanya diversifikasi produk kulit antara lain kulit kelinci. Kelinci dikembangkan di Indonesia pada umumnya diambil dagingnya terutama kelinci lokal sedangkan kulitnya belum dimanfaatkan secara maksimal. Padahal kulit kelinci tersebut dapat dipergunakan sebagai barang kerajinan kulit maupun sepatu baik sebagai aksesori sepatu maupun sebagai barang kulit. Karena kulit kelinci mempunyai bulu yang sangat indah maka kulit kelinci biasanya disamak bersama bulunya. Sedangkan kulit kelinci yang bulunya jelek artinya keadaan bulu tidak rata, banyak yang rontok karena kesalahan pengawetan masih dapat dimanfaatkan sebagai kulit jaket atau atasan sepatu. Kulit kelinci sebelum digunakan untuk kerajinan maupun sepatu harus disamak terlebih dahulu, agar kulit tersebut bersifat stabil yaitu tahan terhadap perlakuan fisis maupun kimiawi. Kulit kelinci mempunyai luas anatara 1,5 samapai dengan 2,5 feet persegi jadi termasuk ukuran kecil sehingga penyamakannya bisa dilakukan dengan tang an maupun drum penyamakan dengan ukuran kecil (diameter drum 80100 cm) dan bisa dilakukan di pedesaan. Tetapi harus diingat bahwa penyamakan kulit merupakan proses produksi yang mengandung limbah yang berbahaya oleh karena itu perlu dilakukan dengan metode teknologi bersih. Yaitu mengurangi atau meminimumkan penggunaan bahan baku, air dan energi serta menghindari bahan beracun dan berbahaya. Untuk mengurangi limbah yang berbahaya itu pada proses penyamakan dapat menggunakan bahan nabati maupun hewani dan bahan tersebut mudah didapat di pedesaan. TUJUAN Membuat diversifikasi produk kulit dan barang kulit dari kulit kelinci dengan teknologi tepat guna sehingga dapat diterapkan di pedesaan.

Proses penyamakan kulit kelinci dengan teknologi tepat guna Pengertian tepat guna adalah teknologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, layak teknis, aman dipakai, afektif, layak ekonomis, adanya dukungan pembiayaan, diterima sesuai dengan lingkungan masyarakat clan menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan kualitas yang diminta kosumen. Teknologi tepat guna pasca-penyamakan kulit kelinci ini menggunakan peralatan yang mudah dapat diperoleh dengan teknologi yang sederhana antara lain ember atau drum penyamakan dengan ukuran kecil, serta hasilnya bisa memenuhi persyaratan. Selain alat, bahan yang dipergunakan mudah diperoleh di pedesaan dan tidak berbahaya bagi lingkungan misalnya garam, asap cair, papain, nanas, minyak kelapa, telor, dll. Proses penyamakan kulit sendiri mempunyai arti yaitu mengubah kulit mentah menjadi kulit tersamak yang stabil. Kulit kelinci dapat dipergunakan menjadi beberapa macam barang kulit, baik kulit bulunya maupun kulit jaket, kulit untuk atasan sepatu atau untuk barang kulit lainnya. Kulit kelinci sebelum disamak perlu diawetkan terlebih dahulu, pengawetan dapat dilakukan dengan cara digarami, dikeringkan atau dengan menggunakan asap cair. Tahapan proses dengan teknologi tepat guna adalah sebagai berikut: Cara pengawetan kulit kelinci Pada prinsipnya pengawetan kulit kelinci seperti kulit lainnya yaitu dengan dikeringkan maupun digaram. Untuk kulit kelinci yang akan disamak bulu (fur) sebaiknya diawet dengan garam karena akan mengurangi kerontokan bulunya. Untuk kulit kelinci yang bulunya banyak yang rontok masih bisa dimanfaatkan yaitu disamak menjadi kulit kulit glace. Kulit glace adalah kulit ternak kecil yang disamak chrome dan umumnya digunakan untuk atasan sepatu wanita bagian atas. Mengingat bahwa kulit kelinci kecil atau tidak luas maka masih memungkinkan untuk dijadikan bahan untuk membuat sepatu bagian atas.

104

Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci

Kulit kelinci biasanya disamak menjadi kulit bulu (fur) tetapi tidak menutup kemungkinan untuk disamak menjadi kulit lainnya seperti kulit garmen, kulit glace dll., terutama ditujukan pada kulit yang mengalami kerontokan bulunya. Untuk mendapatkan kulit kelinci berbulu (fur) yang berkualitas baik harus diawali dengan cara pengawetan yang baik dan benar, hal ini disebabkan karena pengawetan yang salah akan menyebabkan kerontokan bulu bahkan bisa terjadi kebusukan kulit yang dapat mengakibatkan kerusakan pada struktur kulit sehingga komponen kulit yang diperlukan pada penyamakan yaitu kolagen, elastin, retikulin tidak reaktif dengan bahan penyamak. Teknologi pengawetan yang paling umum adalah dengan pengeringan di bawah sinar matahari, penggaraman dan pemberian racun kulit (SUMARMI et al., 1998). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengeringan merupakan teknik pengawetan yang paling sederhana dan murah, namun intensitas panas dan waktu pengeringan kurang diperhatikan. Pengeringan dan intensitas panas yang tinggi akan menyebabkan kerusakan kolagen, sehingga dapat menyebabkan kolagen rusak, maka kulit akan menjadi kaku, kurang elastis (O'FLAHERTY dan RODDY LOLLAR, 1962). Penggaraman dengan menggunakan penggaraman jenuh dalam waktu yang lama bisa merusak struktur kulit. Hal serupa bisa terjadi pada penggunaan racun kulit apabila yang digunakan tidak tepat. Pengawetan dengan cara penggaraman yang cukup akan mengurangi kerusakan, meskipun cara penggaraman ini juga mempunyai resiko yang besar (THORTENSEN, 1985). Selama ini penggaraman kulit yang dilakukan di industri perkulitan Indonesia tidak menggunakan anti septik, karena garam dianggap sudah cukup untuk mencegah kebusukan. Tetapi kenyataanya ada sejenis mikro organisme yang tahan terhadap kepekatan garam yang tinggi yang disebut Halophilic bacteria (BULYAN YAKOV, 1995), dimana pada larutan garam yang kepekatannya tinggi akan memproduksi enzim proteolitic yang akan merusak protein pada permukaan kulit (bagian nerf). Sehingga setelah diproses akan menyebabkan warna yang tidak rata yaitu terjadinya doff (dull), karena bagian yang kena bakteri tersebut akan menyerap cat 1ebih banyak, disamping itu

bakteri tersebut juga mampu memproduksi pigmen yang disebut chromogenic bacteria yang menimbulkan spot-spot berwama merah kekuningan pada bagian daging (ATTEN, 1955), dan biasanya diikuti timbulnya jamur, dan dapat mengakibatkan kebusukan sehingga tidak dapat digunakan untuk pembuatan kulit suede dan glace. Untuk menghindari kerusakan tersebut perlu ditambah anti bakteri dan anti septik. Pengawetan kulit dapat dilakukan dengan pengasapan, caranya beberapa lembar kulit digantungkan diatas, kemudian diasapi, dengan cara tersebut kulit bisa disimpan lama karena asap tersebut telah membunuh bakteri yang ada di dalam kulit (ATTEN, 1955). Tetapi hal tersebut dianggap tidak efektif karena disamping memerlukan banyak tenaga juga kurang praktis dan tidak dapat terkontrol. Asap cair bersifat asam dan mempunyai kemampuan antimikrobia dan anti oksidan yang tinggi. Asap cair adalah basil kondensasi atau pengembunan uap asap kayu yang diperoleh melalui perolisis (pembakaran dengan udara terbatas) pada suhu tinggi. Kayu yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin, pada proses pembakaran tanpa udara pada suhu 400C selama satu jam akan menghasilkan asap cair sekitar 40% arang dan 10% tar. Komponen utama dalam asap cair ini berupa cairan berwarna coklat sampai coklat tua, berbau dan berasa asap dengan pH 2,0, sehingga mampu membunuh bakteri dan menghambat oksidasi (TRANGGONO, 1997) Asap cair yang bersifat asam, mempunyai kemampuan anti mikrobia dan anti oksidan yang tinggi sebagai pengganti asam formiat dan sebagai agent pengawet. Salah satu anti septik yang digunakan pada penelitian ini ada1ah asap cair. Asap cair dibuat dari limbah industri kayu dan pertanian yang ada dipedesaan, asap cair tersebut bersifat asam dan mengandung Karbonil dan Fenol yang anti oksidan, sehingga dapat dipakai sebagai pengawetan ikan pari dan makanan khas Indonesia (DARMAJI, 2000). Kulit yang akan disamak bersama bulunya lebih baik diawet dengan garam. Menurut UNTARI et al. (2004) bahwa ada pengaruh pengawetan dengan garam dan asap cair terhadap kua1itas fisis maupun organoleptis. Sedangkan pada pengawetan dengan asap cair dan dikering anginkan tidak ada pengaruhnya terhadap kualitas fisis maupun organoleptis.

105

Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci

Untuk kulit kelinci yang akan disamak untuk ku1it bulu (fur) sebaiknya direndam dalam asap cair dengan konsentrasi 1,0% per 1iter air selama 10 menit kemudian diawetkan dengan garam. Untuk kulit kelinci yang akan dibuat kulit garmen sebaiknya direndam dengan asap cair dengan konsentrasi sebesar 1,0% per liter air kemudian dikeringanginkan. Sedangkan menurut RAHARJO (2004) bahwa kulit bulu sangat dipengaruhi oleh teknik pengawetan pada penampilan umum dari bulunya, untuk kulit bulu sebaiknya jangan diawet keringkan. Proses buang bulu Setelah proses pengawetan, selanjutnya dilakukan proses huang bulu terlebih dahulu untuk kulit-kulit yang akan disamak menjadi kulit jakel, kulit untuk atasan sepatu atau kulitkulit yang bulunya lepas. Bisa dengan menggunakan azim exolite, yang merupakan enzim protease. PUVANAKRISHNAN dan SUSIL (1988) mengatakan bahwa enzim merupakan protein yang bekerja sebagai biokatalis pada reaksi bahan organik seperti protein, karbohidrat dan lemak, yang bisa digunakan di industri penyamakan kulit pada tahapan proses "soaking", "liming dan unhairing", "bating" dan "degreasing". Di samping itu dapat juga digunakan dalam pengolahan limbah padat. Di industri penyamakan kulit ada dua jenis enzim yang umum digunakan yakni ensim protease dan enzim lipase. Ensim protease digunakan pada proses "soaking", "liming", "unhairing", "bating", dan pengolahan limbah. Sedangkan enzim lipase digunakan terutama pada proses "degreasing" untuk penghilangan lemak. Ada juga industri yang menggunakannya pada proses unhairing. Enzim exolite buatan BPPT yang telah digunakan untuk bahan penelitian di BBKKP adalah enzim jenis protease, meliputi proses buang bulu ("unhairing"), dan proses pengikisan protein ("bating"), untuk pembuatan berbagai jenis kulit (boks, garmen, jaket). SUNARYO et al. (1997) mengemukakan bahwa pemakaian enzim exolite untuk proses buang bulu pada saat itu masih tinggi yakni bervariasi antara 35%. Pemakaian ensim tersebut dapat mengurangi BOD 7982%; COD 6870%; N-NH3 9396%; lemak/ minyak 3141%; S 7176% dan TSS 8890%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses bating

dengan 1% enzim exolite, hasilnya terhadap kekuatan tarik dan kemuluran sudah dapat memenuhi SII 0065-74, tetapi masih lebih rendah bila dibandingkan dengan menggunakan 2% oropon. Menurut PAIMAN (2001) dengan pemakaian exolite dapat mengurangi ongkos produksi, kulit lebih baik, rendemen kulit finish naik 0,03%, kulit lebih keset sehingga resiko kerusakan pada saat spliting kecil, dapat mencuci dengan air yang lebih sedikit, kulit lebih bersih, limbahnya tidak berbau, dan ramah lingkungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa hasil kulit finishnya tidak berbeda dengan proses pengapuran biasanya. Enzim exolite buatan BPPT ini sekarang sudah banyak beredar di pasaran terutama di lingkungan industri penyamakan kulit dengan harga Rp. 6.000 per liter. Proses bating Pada proses bating dapat juga menggunakan berbagai bahan nabati misalnya nanas, ragi tempe. Menurut UNTARI (2001), bahwa tidak ada perbedaan pada jenis bahan bating tetapi ada perbedaan pada besamya konsentrasi bahan bating. Hasil uji fisis, organoleptis clan kimiawi selain kadar air sesuai SNI 06-4362-1996, sehingga dapat digunakan sebagai bahan bating. Baik pancreas, papain, Rhizopus sp dapat digunakan sebagai bahan bating pengganti bahan bating impor. Sedangkan menurut SUSILAWATI (2001). Enzim bromeline dari juice limbah nanas (Ananas comocus (L) merr) mempunyai protease yang mampu berperan sebagai agensi bating dalam industri penyamakan kulit. Efek penggunaan protease dalam juice limbah nanas mulai terlihat efektif pada pemekatan 0,75% dan pemakaian sampai dengan 1,50% masih menunjukkan trend penurunan negatif. Hasil uji fisika terhadap kulit glase dari kulit kelinci kulit jaket dari kulit kambing dan kulit boks dari kulit sari memenuhi SNI yang bersangkutan. Menurut SETIYONO (1995) bahwa pada proses bating yang menggunakan papain sebesar 2% akan mencapai hasil yang optimum, karena papain tersebut akan menyebabkan aktivitas enzim proteolitik bekerja dengan sempurna, karena akan menghidrolisa rantai-rantai peptida protein

106

Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci

terutama non kolagen, sehingga mengakibatkan pembukaan tenunan kulit berlangsung sempurna pula maka bahan penyamak dan minyak akan meresap pada serat-serat kulit secara merata. Lebih lanjut dikatakan bahwa kandungan enzim pada papain 765 84. Enzim ini dapat digunakan sebagai reagensia bating dengan konsentrasi papain 2% dan pankreas sebanyak 1%. Menurut WHITAKER (1994), papain bersifat stabil terhadap suhu (60C80C) pada pH mendekati normal, sedangkan menurut MUHCHTADI et al. (1992) pada pH asam kurang dari 4, papain akan cepat menjadi inaktif pada suhu tinggi. Sedangkan pada pH yang sangat asam kurang dari 2 inaktifasi akan cepat terjadi walaupun pada suhu 25C. Pancreas, papain, Rhizopus sp (ragi tempe) dan nanas adalah bahan alami yang mengandung enzim protease yang cukup tinggi sehingga memungkinkan digunakan sebagai bahan bating (bating agent), dan banyak terdapat di Indonesia. Proses penyamakan kulit Pada proses penyamakan kulit dapat menggunakan berbagai macam bahan penyamakan yaitu bahan penyamak mineral nabati dan sintetis. "Reduced-Chrome" (RC), merupakan garam chrome yang mempunyai Cr-enam, supaya dapat digunakan sebagai bahan penyamak maka harus direduksi terlebih dahulu yaitu direaksikan dengan reduktor dalam suasana asam. Bahan reduktor biasanya gula, molase (tetes), sedangkan asam yang digunakan adalah asam sulfat. Menurut PURNOMO (1992) garam chrome compleks dibuat dari natrium bikarbonat atau kalium bikarbonat, yang direduksi dengan glukosa atau sukrosa dalam suasana asam. Saat ini RC dibuat oleh industri penyamakan kulit di Magetan sebagai upaya untuk mengurangi ongkos produksi, karena garam chrome yang biasa digunakan untuk penyamakan kulit biasanya berasal dari impor, misalnya Chromosal B, dengan sendirinya harganya lebih mahal dibandingkan dengan RC yang dibuat sendiri. RC ini sudah dipakai untuk menyamak kulit sari, hasilnya cukup bagus. Kulit kelinci biasanya disamak bersama bulunya (fur), untuk mendapatkan fur yang

baik ini perlu penanganan awal yang baik pula, antara lain pemeliharaan, pemotongan, dan cara pengawetan kulitnya. Kulit kelinci yang bulunya sudah rontok termasuk kulit yang afkir maka harganya lebih murah dibandingkan dengan kulit kelinci yang bulunya masih kuat, sehingga perlu diusahakan beaya penyamakannya rendah. Menurut UNTARI et al. (2004) Reduced- Chrome yang digunakan sebanyak 12% dari berat kulit setelah buang daging dan lemak untuk proses penyamakan kulit bulu, untuk kulit glace sebanyak 12% dari berat bloten. Dengan menggunakan Reduced Chrome sebesar 12% akan lebih ekonomis dibandingkan dengan ,menggunakan Chromosal B sebanyak 8% maupun kombinasi keduanya. Kulit kelinci yang rontok bulunya dapat disamak dengan bahan penyamak nabati. Kulit yang disamak dengan bahan penyamak nabati akan terjadi hubungan antara tanin dengan protein kulit yang akan berikatan dan membentuk kulit tersamak, maka kulit menjadi padat. Karena kepadatan kulit tersebut, kulit menjadi lebih kaku dan plastis, sehingga kekuatan tariknya rendah dibandingkan dengan kulit yang disamak mineral maupun sintetis. Disamping itu kulit yang disamak dengan bahan penyamak nabati bersifat buffing eject yang baik, mempunyai daya serap air yang tinggi, wama coklat muda, kulit kaku, tetapi prosesnya sederhana. Menurut UNTARI et al. (2004) bahan penyamak nabati (Valonea) mempunyai kemuluran antara 5759%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan penyamakan yang menggunakan mimosa, karena valonea termasuk golongan pyrogallol, dimana golongan ini mempunyai daya ikat kurang kuat yang mengakibatkan bahan penyamak ini tidak bisa digunakan untuk penyamakan tunggal (LUTFIE dan WIDHIATI, 1999). Sedangkan mimosa, akasia termasuk golongan cathecol, yang merupakan kondensasi dari cathechin, yang dapat digunakan untuk penyamakan tunggal. Pada proses penyamakan kulit dapat menggunakan bahan nabati apabila kulit kelinci akan dipergunakan barang kulit seperti dompet, tas, dll. Menurut UNTARI (2001) penyamakan dengan menggunakan 9% mimosa dan 9% minyak sudah baik untuk barang kulit karena kulit sudah berwarna coklat sehingga

107

Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci

tidak perIu di beri warna, disamping itu mengurangi limbah yang berbahaya. Bahan pewarna biasanya mengandung logam berat, maka dapat dijadikan industri rumah tangga, dengan peralatan yang sederhana. Bahan penyamak nabati adalah bahan penyamak yang berasal dari tumbuhtumbuhan. Dikenal beberapa istilah dalam bahan penyamak nabati. Adanya zat penyamak nabati dalam tumbuhan dapat diketahui dari rasanya yang kelat (sepet) dan menjadi biru hitam bila bersentuhan dengan pisau besi. Secara laboratoris, sari rebusan bahan ditetesi dengan pereaksi galatin (larutan gelatin 1% + 10% garam, pH 4,7), bila timbul endapan berarti mengandung zat penyamak. Makin banyak endapan yang timbul, berarti makin banyak terdapat zat penyamak. Secara kuantitatip analisa penyamak nabati dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Ekstraksi zat yang dapat larut, pemisahan zat bukan penyamak dengan mereaksikannya dengan tepung kulit dengan sistem penyaringan (filter) atau penggojogan (shaking), diuapkan, ditimbang kemudian dilakukan perhitungan. Pengusahaan bahan penyamak nabati hanya dilakukan untuk kadar zat penyamak lebih dari 10%. Makin tinggi zat penyamaknya makin baik mutunya. Namun secara keseluruhan, mutu bahan penyamak nabati selain ditentukan oleh kadar zat penyamak, juga ditentukan oleh mudahnya bahan itu menyamak kulit dan kebaikan warna kulit jadinya. Sebagai contoh babakan (kulit kayu) akasia bermutu baik karena kadar zat penyamak tinggi, mudah proses penyamakannya dan warna kulit yang dihasilkan cukup cerah. Babakan bakau, sekalipun kadarnya cukup tinggi tetapi sukar proses penyamakannya dan warna kulit jadi tua, dikatakan mutunya sedang saja. Daun gambir, sekalipun kadar zat penyamaknya rendah, dan proses penyamakannya cukup sukar, tetapi karena wama kulit yang dihasilkan cukup cerah/baik, dianggap berrnutu sedang juga. Bahan penyamak nabati biasanya diperdagangkan dalam bentuk ekstrat padat berupa bongkahan atau serbuk. Cara pembuatan ekstrak bahan penyamak nabati adalah sebagai berikut: Mula-mula bahan dasar dipotong kecilkecil, lalu disarikan dengan sistem Counter Current (aliran berlawanan arah) dalam alat

yang bebas dari besi. Sari penyamak yang didapatkan bila perlu dipekatkan dengan penguapan, kemudian disempro-keringkan, sehingga didapat serbuk ekstrak penyamak. Bila diuapkan terus sampai benar-benar kental lalu dituangkan dalam karung goni, didapat ekstrak pada berupa bongkahan. Untuk memperbaiki kecepatan di dalam proses penyamakan dan wama kulit yang dihasilkan, biasanya sebelum dikentalkan sari penyamak disulfitasikan lebih dahulu. Sifat penyamak nabati, dalam larutan encer molekulnya kecil peneterasi cepat, fiksasinya sukar, dan sebaiknya. Ada beberapa bahan penyamak nabati yaitu: 1. Golongan pirogallol (golongan hidrolisa, pembentuk asam). Contoh: kayu oak, buah myrobalan, valonea, sumac. 2. Golongan pirokatekhol (golongan kondensasi, pembentuk flobafen/endapan) Contoh: kayu quebracho, akasia mimosa, bakau, gambir Proses pengecatan dasar (kusus untuk kulit selain samak bulu) Tujuan dari pengecatan dasar adalah: 1. Untuk memberi wama dasar bagi kulit yang akan dicat tutup, sehingga bila cat tutup sedikit tergores, atau retak, tidak akan mudah terlihat. 2. Untuk kulit yang tidak diberi cat tutup, cat celup ini berguna untuk pemberi warna, memperindah dan mempertinggi daya tarik kulit, misalnya untuk kulit sued, kulit sarung tangan yang dapat dicuci, dll. Cat dasar ada beberapa macam: 1. Cat dasar langsung. Molekulnya besar dan berat molekulnya tinggi. 2. Cat asam, molekulnya lebih kecil dibandingkan cat langsung. 3. Cat metal, biasanya mempunyai gugus hidroksi/dihidroksi yang dalam molekulnya cat terikat kepada atom Cr atau Co. Cara pengerjaannya seperti cat asam. 4. Cat basa, molekulnya mempunyai gugus amino, cat ini memberikan warna cerah dan rata, tetapi jarang digunakan sedirian sebab

108

Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci

tidak tahan terhadap cahaya dan larut dalam pelarut organik. Cat yang dikembangkan untuk serat poliakrilonitril adalah tahan terhadap sinar dan dapat dipergunakan untuk memperbaiki cat basa. Ini dapat digunakan untuk pengecatan kulit sarung tangan dan kulit semi khrom. 5. Cat yang larut pada pelarut tertentu, misalnya cat yang larut dalam minyak. 6. Cat khusus yang pekat. Biasanya digunakan untuk mempertajam/membuat cerah cat tutup. Cat-cat ini dapat pula dibagi-bagi secara kimia menjadi cat anionik, kationik dan amfoter, tergantung dari molekulnya, mempunyai gugus amino, sulfonat, hidroksil, karboksil, atau memiliki semuanya. Reaksifitas dari kulit tersamak berdasar pada gugus NH3+, polipeptida, dan hidroksil, biasanya dinyatakan permukaannya bermuatan katonik untuk kulit samak khrom, anionik untuk kulit samak nabati dan sintesis. Proses peminyakan kulit Secara sederhana, minyak untuk pelemasan kulit dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Minyak anionik, 2. Minyak kationik, dan 3. Minyak dengan muatan ganda. Minyak anionik didapat dari proses sulfatasi/sulfonasi/sulfitasi minyak. Yang umum dikenal adalah minyak basil sulfatasi/ sulfonasi/sulfitasi dari minyak ikan, minyak jarak dan minyak tracak/kuku sapi. Minyak ikan walaupun mudah didapat tetapi kurang disukai karena baunya. Sulfatasi adalah proses perlakuan minyak dengan asam sulfat pekat untuk mendapatkan minyak yang dapat teremulsi dalam air. Minyak sulfat ini mempunyai sifat aktif permukaan, dan dapat mengemulsikan minyak bebas. Minyak mineral yang disulfonasi juga banyak digunakan, karena harganya yang relatif murah dan daya emulsinya sangat kuat. Minyak yang disulfitasikan juga semakin banyak digunakan karena sifatnya yang khas, yaitu emulsinya tahan terhadap asam dan elektrolit. Sulfitasi dikerjakan dengan larutan natrium bisulfit dengan sirkulasi udara. Minyak

kafionik bermuatan positif, karena itu bereaksi dengan zat bermuatan negatif sehingga terjadi netralisasi. Minyak kayionik ini diperoleh dengan cara mengemulsikan minyak bebas dengan bahan kationik aktif permukaan yang sangat kuat. Minyak kationik ini digunakan untuk meminyaki permukaan kulit yang sudah diminyaki dengan minyak anionik, juga digunakan untuk meminyaki kulit corrected grain, hal ini untuk mengurangi kemungkinan mudah retaknya nerf. Selain itu peminyakan dapat pula dilakukan dengan menggunakan telur atau minyak kelapa. Menurut UNTARI et al. (1998) bahwa telur mempunyai lemak yang terpusat pada kuning telurnya sebesar 99 persen, sedangkan minyak kelapa mempunyai sifat yang dapat melemaskan kulit. Dengan campuran telur maka minyak kelapa akan lebih mudah teremulsi, sehingga ada persamaan atau keseimbangan pada peminyakan dengan menggunakan telur maupun dengan campuran telur dan minyak pada proses peminyakan kulit kelinci. Pengecatan tutup (khusus untuk kulit jaket, glace) Persiapan kulit Sesudah kulit dibuf/diampelas bagian dagingnya, bagian nerfnya dibersihkan kemudian disikat dengan larutan encer dari cat dasar yang ditambah sedikit dengan asam asetat, asam tartrat atau amoniak. Maksudnya untuk menyiapkan bagian nerf untuk menerima cat tutup. Larutan persiapan ini membuang kelebihan minyak dan lemak natural yang terdapat pacta bagian nerf. Tambahan asam asetat juga untuk menurunkan tegangan permukaan, kadang juga membasahkan permukaan kulit. Hanya untuk cat dasar yang langsung digunakan tanpa ditambah asam atau basa. Hal ini dapat meratakan warna, dan menyiapkan dasar yang baik untuk cat tutup. Persiapan ini sangat perlu untuk kulit samak khrom atau semi khrom karena biasanya sukar menjadi basah kembali oleh larutan cat tutup. Sesudah disikat dengan larutan persiapan, kulit dijemur supaya menjadi kering.

109

Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci

Cat tutup anilin dapat terdiri dari lapisan film yang keras yang menjadi mengkilap oleh gosokan pengkilap, yaitu albumin telur, albumin darah, shellak, gelatin, kasein. Bahan pengisi untuk lebih bisa menutup permukaan kulit, misal kasein, tepung kanji atau agar-agar. Untuk penyetrikaan bisa menggunakan setrika listrik biasa karena kulit kelinci kecil. KESIMPULAN Kulit kelinci mempunyai luas antara 1,5 sampai dengan 2,5 feet persegi jadi termasuk ukuran kecil sehingga penyamakannya bisa dilakukan dengan tangan maupun drum penyamakan dengan ukuran kecil (diameter drum 80100 cm) dan bisa dilakukan di pedesaan. Kulit kelinci biasanya disamak bersama bulunya (fur) tetapi kulit kelinci yang bulunya rontok masih bisa digunakan untuk barang kulit lainnya misalnya untuk kulit jaket, sarung tangan, maupun untuk atasan sepatu. Untuk mendapatkan kulit yang baik maka perlu dilakukan pengawetan yang baik. Pengawetan biasa dilakukan dengan sinar matahari, diagram atau dengan asap cair. Untuk menghilangkan bulunya dapat menggunakan kapur atau enzim exolite dari BPPT, disamping untuk membuang bulu biasa pula dipergunakan pada waktu perendaman dan bating, dengan hasil kulit yang memenuhi SNI dan limbahnya tidak berbau. Pada proses bating dapat menggunakan Ragi tempe (Rhizopus sp) papain atau nanas, dengan cara penyesuaian pH dan aktifitas enzimnya. Penyamakan agar lebih murah dapat menggunakan reduce krom buatan Magetan atau dengan mimosa sebagai bahan penyamakan nabati. Sedangkan untuk kelemasan kulit dapat menggunakan minyak kelapa atau kuning telur. Dengan alat yang sederhana dan bahan yang mudah diperoleh di pedesaan penyamakan kulit kelinci ini dapat dikembangkan sebagai bahan kerajinan kulit dan sepatu dalam rangka menunjang agribisnis ternak kelinci.

DAFT AR PUSTAKA 0'FLAHERTY and RODDY LOLLAR. 1962. The Chemistry and Technology of Leather Litton. Volume II, Edes Certional Publishing Co, Inc Parthasarathi, K. Manual on Tanning And Finishing, Consultant UNIDO. India. 2000 ATEN at al. 1955. Flaying and Curing of Hide and Skins as a Rural Industri.Food and Agricultur Organization of the United Nations Rome, Italy. BULYAN LAKOV. 1995. Raw Hide Trade and Preservation, XXIII IUL TSCSCongress in May 1995. UNIDO Viena International Centre, A-1400 Viena, Austria. DARMAJI, P. 2000. Teknologi " Zero Waste" dalam Industri Perkebunan Karet. Pros. Seminar Nasional Industri Kulit, Karet dan Plastik, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Barang Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta. GUSTAVSON, K.H. 1956. The Chemistry and Reactivity of Collagen. Academic Press Inc Publisher New York. LUTFIE, M. dan WHIDIATI. 1999. Pemanfaatan Kulit Skrotum Sadi sebagai Bahan Baku Industri Barang Kulit. Majalah Barang Kulit Karet dan Plastik. XV(2) Tahun 1999. 34-39. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Barang Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta. RAHARJO C. YONO dan SRI UNTARI. 2004. Pengaruh Pengawetan dan Jenis Kelinci terhadap Karakteristik Mutu Kulit-Bulu Samak. Pros. Seminar Nasional Klinik Teknologi Pertanian Sebagai Basis Pertumbuhan Usaha Agribisnis Menuju Petani Nelayan Mandiri. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. SETIYONO, SUYADI, L.M. YUSIATI dan JAMHARI. 1995. The Production of Non Collagen Enzyme of Pancreatic Gland, Papaya, Pineeapple Juice, Oropon and Microbes For Bating Agent in Technology of Leather Processing. Bull. of Anim. Sci., A Publication of Faculty of Animal Husbandry, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta UNTARI, S., S. AGUSTINI, W. IMELDA ARSITA dan W. ELISABETH BRIDASARI. 2003. Pengaruh Asap Cair Pada Pengawetan Dengan Garam Kering Angin Terhadap Kualitas Kulit Kelinci Tersamak. J. Nusantara Kimia 1(2). Yogyakarta.

110

Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci

UNTARI, S., DWI SETYOWATI dan ENDANG SRI JATMIKOWATI. 2004. Penyamakan Kulit Bulu/fur dan Kulit Glace dari Kulit Kelinci dengan Menggunakan Reduced Chrome. Bull. of Anim. Sci. 28(2). A Publication of Faculty of Animal Husbandry, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. UNTARI, S., W. KUSUMO dan L.M.S. ARIE WIBOWO. 1998. Telur Ayam Ras sebagai Bahan untuk Peminyakan (Fat Liquoring) pada Proses Penyamakan Kombinasi (Krom Sintetis) Kulit Kelinci Berbulu. JNK-(2). Yogyakarta. SUMARMI, KOESNAN, B. OETOYO dan S. UNTARI. 1989. Pedoman Pengawetan Kulit Mentah. Penerbit Kanisius, Yogyakarta

THORSTENSEN THOMAS, T. 1985 . Practical Leather Technology. Robert E Krieger Publishing Company, INC. Krieger Drive. Malabar, Florida 32950 TRANGGONO, SUHARDI dan BAMBANG SETIAJI. 1997. Produksi Asap Cair dan Penggunaanya pada Pengolahan Beberapa Bahan Makanan Khas Indonesia, Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu III (19951997). Kantor Menteri Riset dan Teknologi, Proyek Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

111

Anda mungkin juga menyukai