Anda di halaman 1dari 56

BAB 11 PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

BAB 11

PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

A. UMUM I. PENDAHULUAN Pembangunan pangan dan perbaikan gizi adalah suatu upaya pembangunan yang bersifat lintas bidang dan lintas sektor yang saling berkaitan, ditujukan untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat secara adil dan merata baik dalam jumlah maupun mutu gizinya sehingga terpenuhi salah satu kebutuhan pokok untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara khusus pembangunan pangan merupakan upaya mengembangkan sistem pangan yang andal, mencakup rangkaian kegiatan yang saling terkait mulai dari kegiatan produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran pangan sampai di tingkat rumah tangga, untuk mencapai ketersediaan pangan yang cukup bagi masyarakat baik jumlah, mutu maupun keragamannya. Adapun upaya perbaikan gizi menekankan pentingnya perbaikan konsumsi pangan rakyat dalam jumlah dan mutu gizi yang cukup dan seimbang sehingga berdampak pada peningkatan keadaan gizi masyarakat. 149

Dipadukannya upaya pembangunan pangan dan perbaikan gizi dimaksudkan agar kebijaksanaan dan upaya dalam sistem pangan dapat menjamin adanya ketahanan dan keamanan pangan. Ketahanan pangan menjamin tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan gizi tidak saja pada tingkat masyarakat, tetapi juga pada tingkat rumah tangga dan perorangan. Andalnya ketahanan pangan antara lain dicerminkan oleh keadaan gizi masyarakat yang diukur dengan jumlah dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi pada tingkat perorangan, pertumbuhan fisik anak dan remaja, dan adatidaknya penyakit karena kekurangan zat gizi tertentu. Sementara itu, keamanan pangan menjamin bahwa persediaan pangan bebas dari pencemaran bahan yang berbahaya bagi kesehatan atau tidak sesuai dengan keyakinan seseorang atau masyarakat. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 menegaskan bahwa sasaran umum Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Kedua (PJP II) adalah terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat yang maju dan mandiri dalam suasana tenteram dan sejahtera lahir batin. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) VI sasaran tersebut diupayakan melalui peningkatan peran serta, efisiensi dan produktivitas rakyat. Kemajuan dan kemandirian masyarakat hanya akan terwujud antara lain apabila kualitas manusia dan masyarakat cukup tinggi dan keadaan ekonominya kukuh. Oleh karena itu, GBHN 1993 meletakkan titik berat PJP II dan prioritas Repelita VI pada bidang ekonomi seiring dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM). Pangan dan gizi terkait sangat erat dengan upaya peningkatan SDM. Kemampuan masyarakat mempersiapkan manusia yang mandiri dan berkualitas antara lain tercermin dalam mutu dan keseimbangan pangan yang tersedia. Masyarakat yang terpenuhi kebutuhan pangan dengan mutu gizi yang seimbang lebih mampu berkiprah dalam pembangunan. Peningkatan kualitas SDM merupakan rangkaian upaya untuk mewujudkan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia

150

seluruhnya. Dengan demikian, peningkatan kualitas SDM meliputi pembangunan manusia sebagai insan dan sebagai sumber daya pembangunan, merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Berdasarkan pengertian di atas, pengembangan SDM tidak terbatas pada kelompok umur tertentu, tetapi berlangsung dalam seluruh siklus kehidupan manusia sejak janin sampai usia lanjut. Pembangunan manusia sebagai sumber daya pembangunan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok umur produktif agar prestasi dan produktivitas mereka meningkat. Perbaikan keadaan gizi masyarakat merupakan syarat penting untuk meningkatkan kesehatan ibu yang mengandung dan ibu menyusui, menurunkan angka kematian bayi dan anak di bawah lima tahun (balita), meningkatkan kemampuan tumbuh-kembang fisik, mental, intelektual dan sosial anak, dan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan prestasi, baik di bidang akademik maupun jasmani seperti olahraga. Oleh karena itu, keadaan gizi masyarakat merupakan salah satu ukuran penting dari kualitas SDM. GBHN 1993 juga menyatakan bahwa pembangunan bidang ekonomi dalam Repelita VI di sektor pertanian pangan diarahkan untuk tidak saja memelihara kemantapan swasembada pangan, tetapi juga untuk memperbaiki keadaan gizi rakyat. Sementara itu, di bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan, dan kebudayaan, pentingnya perbaikan keadaan gizi rakyat ditekankan dalam pembangunan sektor-sektor kependudukan, kesehatan, anak dan remaja, pemuda, dan peranan wanita, serta olahraga. Pembangunan pangan dan perbaikan gizi dalam PJP I telah menghasilkan berbagai kemajuan yang dapat menjadi peluang untuk ditingkatkan dan disempurnakan dalam PJP II dan Repelita VI. Dalam bagian berikut diuraikan hasil PJP I dan arahan GBHN 1993, baik untuk pembangunan pangan maupun perbaikan gizi. Oleh karena pembangunan pangan dan perbaikan gizi merupakan upaya pembangunan yang saling berkaitan, tetapi dalam beberapa hal memiliki ciri-ciri yang berbeda, penyajiannya dijadikan dalam

151

satu bab meskipun secara rinci masing-masing diuraikan dalam subbab tersendiri. Pembangunan pangan diuraikan pada subbab B, sedangkan perbaikan gizi diuraikan pada subbab C. II. PEMBANGUNAN PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI DALAM PJP I Dalam PJP I, salah satu sasaran penting pembangunan ekonomi adalah tersedianya pangan yang dapat mencukupi kebutuhan dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat sehingga kesejahteraan rakyat meningkat. Dalam kurun waktu tersebut beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia, yang sangat berpengaruh terhadap kestabilan perekonomian, di samping terhadap nilai rill tingkat upah. Beras merupakan komoditas tanaman pangan utama yang diusahakan petani sehingga kesejahteraan petani juga tergantung dari tanaman pangan padi. Swasembada beras dicapai pada tahun 1984 dan berhasil dipertahankan sampai dengan tahun terakhir PJP I. Keberhasilan dalam peningkatan ketersediaan beras dalam PJP I merupakan hasil dari pelaksanaan usaha intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi usaha tani. Usaha tersebut didukung oleh pengembangan prasarana irigasi dan jalan, pengembangan dan penerapan teknologi produksi pertanian, kelembagaan petani, serta pengembangan sistem transportasi dan distribusi pangan yang efektif. Untuk menjamin bahwa usaha peningkatan produksi pangan sejalan dengan usaha peningkatan pendapatan masyarakat, pemerintah menerapkan upaya stabilisasi melalui kebijaksanaan harga. Dalam rangka melindungi petani, Pemerintah telah menerapkan kebijaksanaan harga dasar gabah untuk mencegah turunnya harga gabah pada waktu panen. Harga batas tertinggi untuk beras juga diterapkan untuk menjamin harga pangan dapat dijangkau oleh daya beli seluruh lapisan masyarakat. Untuk menjaga stabilitas dan menjamin penerapan harga pangan secara efektif, maka dilakukan pengadaan sediaan beras sebagai sarana penyangga. Pengadaan

152

sediaan yang cukup telah berhasil mengatasi kekurangan pangan yang sewaktu-waktu terjadi di masyarakat, yang disebabkan oleh antara lain faktor alam. Kebijaksanaan pangan dalam PJP I telah berhasil meningkatkan ketersediaan beras dari 95,9 kilogram per orang pada tahun 1968, menjadi 154 kilogram per orang pada tahun 1992. Tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 telah memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan produksi pangan lainnya, seperti hortikultura, peternakan dan perikanan. Jika pada tahun 1969 ketersediaan daging, telur, dan susu untuk konsumsi masingmasing mencapai 2,7; 0,2; dan 1,5 kilogram per orang, pada tahun 1992 ketersediaan bahan-bahan tersebut untuk konsumsi meningkat menjadi 6,3; 2,4; dan 4,9 kilogram per orang per tahun. Ketersediaan hasil perikanan untuk konsumsi juga telah meningkat dari 10,6 kilogram per orang pada tahun 1969, menjadi 16,6 kilogram per orang pada tahun 1992. Meningkatnya ketersediaan hasil peternakan dan perikanan telah mendorong peningkatan konsumsi protein hewani. Perubahan pola konsumsi pangan ini telah memperbaiki keadaan gizi dan kesehatan serta produktivitas kerja masyarakat. Keberhasilan di bidang pangan berpengaruh positif terhadap stabilitas ekonomi, meningkatnya kesempatan kerja dan pendapatan petani, penghematan devisa, serta penanggulangan kemiskinan. Ketahanan pangan berjalan seiring dengan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional bangsa Indonesia. Swasembada beras yang telah dicapai memberikan jaminan ketersediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi rata-rata penduduk. Pada awal PJP I persediaan energi rata-rata masih sekitar 2.035 kilokalori per orang per hari. Pada tahun 1990 sudah mencapai rata-rata 2.701 kilokalori per orang per hari atau telah melebihi kebutuhan rata-rata penduduk Indonesia sebesar 2.150 kilokalori. Peningkatan persediaan pangan tidak saja terbatas pada energi, tetapi juga pada protein, lemak, dan zat gizi mikro.

153

Swasembada pangan yang makin mantap dan harga pangan yang terjangkau oleh masyarakat luas membawa dampak positif terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup. Meningkatnya ketersediaan pangan yang cukup dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat telah mengurangi usaha-usaha eksploitasi lahan secara tidak bertanggung jawab. Sebagian besar pangan yang dihasilkan adalah beras yang diusahakan pada lahan irigasi. Pengembangan produksi padi pada lahan irigasi dalam bentuk pertanian sawah dengan terasnya yang kuat merupakan media konservasi tanah dan air. Keberhasilan memelihara swasembada beras dan kestabilan harga pangan besar pengaruhnya terhadap perbaikan gizi masyarakat khususnya masyarakat miskin. Sejak dicapainya swasembada beras tahun 1984, tidak terdapat lagi penderita kurang energi dan protein (KEP) berat pada orang dewasa akibat kelaparan yang pada waktu dulu dikenal dengan sebutan honger oedeem (HO). Pada masa-masa sebelumnya, penduduk perdesaan di daerah tertentu sering menderita kelaparan dan KEP berat. Prevalensi KEP berat dan sedang pada anak balita juga sudah berkurang dengan cukup berarti, yaitu pada tahun 1992 menurun menjadi 11,8 persen menurut baku rujukan organisasi kesehatan sedunia atau World Health Organization (WHO). Adapun KEP total (gabungan dari KEP berat, sedang, dan ringan) juga menurun dari 48,2 persen pada tahun 1978 menjadi 40 persen pada tahun 1992. Dampak dari perbaikan gizi antara lain terlihat dari makin baiknya pertumbuhan berat dan tinggi badan anak. Rata-rata tinggi remaja Indonesia bertambah 2,3 sentimeter selama 14 tahun terakhir sejalan dengan pertumbuhan berat badan yang lebih berimbang dengan tinggi badan. Prevalensi kurang vitamin A (KVA) yang menyebabkan kebutaan pada akhir PJP I sudah hampir tidak terdapat lagi. Prevalensi KVA tercatat telah menurun dari 1,3 persen pada awal PJP I menjadi 0,35 persen pada tahun 1992. Hal tersebut berarti bahwa

154

program perbaikan gizi, khususnya penanggulangan KVA telah dapat menyusutkan jumlah penderita tunanetra. Selain mencegah kebutaan, penanggulangan KVA telah dibuktikan ikut berperan dalam menekan kematian bayi dan balita. Keberhasilan pembangunan keluarga berencana (KB) dalam menurunkan laju pertumbuhan penduduk, juga berpengaruh terhadap keadaan gizi ibu dan anak. Jumlah rata-rata anggota keluarga yang makin kecil pada umumnya berpengaruh terhadap kesehatan dan keadaan gizi ibu dan anak karena kebutuhan gizi dan kesehatannya lebih mudah terpenuhi. Peningkatan derajat kesehatan dan keadaan gizi ibu dan anak ini juga erat kaitannya dengan keberhasilan pembangunan di sektor pendidikan pada umumnya dan pendidikan wanita khususnya serta keberhasilan pembangunan di sektor kesehatan. Berbagai keberhasilan di atas tidak terlepas dari keberhasilan berbagai program pengadaan pangan dan perbaikan gizi dalam PJP I. Program pengadaan pangan yang dikenal luas oleh masyarakat adalah program bimbingan massal (Bimas) dan intensifikasi massal (Inmas) untuk meningkatkan produksi beras, yang didukung oleh program distribusi beras dan pangan tertentu lainnya serta kebijaksanaan stabilisasi harga beras. Adapun untuk program perbaikan gizi yang telah lama dikenal oleh masyarakat perdesaan adalah program usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), suatu program lintas sektor yang didukung oleh peran serta aktif masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat khususnya pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK). Kegiatan UPGK dimulai di beberapa desa percobaan di 6 propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Selatan) dalam Repelita I. Pada akhir PJP I UPGK telah dilaksanakan di hampir seluruh desa. Keberhasilan program UPGK didukung oleh tumbuhnya kelembagaan pelayanan gizi oleh masyarakat dalam PJP I dalam bentuk taman gizi (TG). Di TG wanita dan anak balita berkumpul pada waktu-waktu tertentu untuk mendapatkan penyuluhan gizi dan menimbang berat badan anak secara teratur. 155

Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh para kader gizi desa dari PKK, di bawah bimbingan petugas gizi dan kesehatan dari puskesmas. Mulai pertengahan PJP I TG dikembangkan menjadi pos pelayanan terpadu (posyandu). Dalam posyandu pelayanan gizi dipadukan dengan pelayanan KB, pelayanan kesehatan dasar untuk ibu dan anak, dan penyuluhan kesehatan. Pada akhir PJP I telah tercatat sekitar 241.236 posyandu di seluruh tanah air sehingga hampir semua desa telah memiliki setidak-tidaknya satu posyandu. Keberhasilan upaya program pangan dan perbaikan gizi dimungkinkan pula oleh keberhasilan penyediaan sumber daya manusia berupa tenaga-tenaga profesional dalam bidang pertanian, penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan penyuluh pertanian spesialis (PPS) dan tenaga di bidang gizi dengan berbagai jenjang diploma-1 (D-1), diploma-3 (D-3) sampai ke jenjang sarjana (S-1, S-3). Untuk UPGK, pada akhir PJP I, program ini didukung oleh tenaga kader gizi desa yang jumlahnya puluhan ribu. Dampak keberhasilan berbagai program pembangunan tersebut di atas antara lain dapat dilihat dari makin baiknya beberapa indikator kualitas fisik sumber daya manusia seperti menurunnya angka kematian bayi, makin baiknya keadaan gizi rakyat dan makin meningkatnya umur harapan hidup rata-rata penduduk. III. ARAHAN GBHN 1993 GBHN 1993 mengamanatkan bahwa peningkatan kesejahteraan rakyat dilaksanakan melalui peningkatan pelayanan umum, yang makin adil dan merata serta menjangkau seluruh lapisan masyarakat, penyediaan sandang, pangan, dan papan yang memadai. Pembangunan pertanian tanaman pangan terus ditingkatkan untuk memelihara kemantapan swasembada pangan, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperbaiki keadaan gizi melalui 156

penganekaragaman jenis bahan, pangan. Pembangunan perikanan dilanjutkan dan lebih diarahkan pada upaya peningkatan pendapatan dan taraf hidup nelayan dan memajukan kualitas kehidupan desa pantai melalui-peningkatan dan diversifikasi produksi ikan guna memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta meningkatkan nilai ekspor. Pembangunan peternakan diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani peternak, mendorong diversifikasi pangan dan perbaikan mutu gizi masyarakat, serta mengembangkan ekspor. Penyediaan kebutuhan pokok dan kebutuhan masyarakat lainnya serta usaha pemasarannya perlu disesuaikan dengan pola produksi dan konsumsi masyarakat, didukung oleh sistem pembiayaan dan jasa transportasi, baik antardaerah maupun antarpulau, dan jaringan distribusi yang mantap agar terjamin penyebaran barang yang merata dengan harga yang layak dan terjangkau oleh daya beli masyarakat banyak di seluruh wilayah tanah air. Pembangunan agroindustri ditingkatkan agar mampu menjamin pemanfaatan hasil pertanian secara optimal dengan memberikan nilai tambah yang tinggi melalui pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan teknologi pengolahan dan melalui keterkaitan yang saling menguntungkan antara petani produsen dengan industri. Industri perikanan dan budi daya laut lainnya perlu terus ditingkatkan, baik sarana, prasarana maupun sumber daya manusia sehingga potensi biota lautnya dapat dimanfaatkan guna kepentingan pembangunan, dengan tetap memperhatikan kelestarian daya dukungnya. GBHN 1993 menetapkan arah dan menekankan sifat lintas bidang dan lintas sektor dari upaya perbaikan gizi. Di bidang ekonomi upaya perbaikan gizi termasuk dalam pembangunan sektor pertanian, industri, dan perdagangan. Di bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan dan kebudayaan, perbaikan gizi merupakan bagian dari pembangunan kesehatan, kependudukan, anak dan remaja, wanita, dan pembangunan olahraga. 157

Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan melalui upaya perbaikan kesehatan masyarakat diarahkan untuk terus meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan permukiman, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan, serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, juga dilakukan pengawasan ketat terhadap makanan dan minuman yang mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan. Pembangunan kependudukan dan keluarga sejahtera, antara lain diarahkan untuk meningkatkan kualitas penduduk dan pengendalian laju pertumbuhan penduduk, serta mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera. Pembinaan anak yang dimulai sejak anak dalam kandungan diarahkan pada peningkatan kualitas kesehatan ibu dan anak dengan mempertinggi mutu gizi, menjaga kesehatan jasmani dan ketenangan jiwa ibu serta dengan menjaga ketenteraman suasana keluarga dan pemenuhan kebutuhan dasar keluarga. Pembinaan anak di bawah usia lima tahun diupayakan terutama dengan meningkatkan mutu gizi anak, pembiasaan awal dalam perilaku kehidupan beragama dan berbudi pekerti luhur serta memberikan kesempatan bermain bersama dalam rangka menumbuhkan daya cipta dan hidup bermasyarakat. Pembinaan anak usia sekolah dilaksanakan, antara lain melalui peningkatan mutu gizi dan penumbuhan kesadaran akan hidup sehat, sedangkan pembinaan remaja dilaksanakan melalui pengembangan kreativitas dan keterampilan, serta peningkatan gizi dan kesehatan jasmani. Dalam pembinaan olahraga, peningkatan prestasi antara lain dilaksanakan dengan memperbaiki gizi olahragawan.

158

B. PANGAN I. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG PEMBANGUNAN Pembangunan pangan dalam PJP I telah mencapai hasil yang sangat besar, antara lain swasembada beras dan ketersediaan pangan secara luas serta terjangkau oleh masyarakat. Upaya ini akan dilanjutkan dan ditingkatkan dalam PJP II. Dalam pelaksanaannya pembangunan pangan diperkirakan akan menghadapi berbagai tantangan dan kendala, di samping adanya peluang yang dapat dimanfaatkan. 1. Tantangan Meskipun swasembada beras yang dicapai dalam tahun 1984 dan dapat dipertahankan sampai dengan akhir Repelita V, swasembada pangan masih rentan terhadap perubahan, yaitu perubahan iklim, perubahan harga dan serangan hama penyakit. Dalam pada itu, sistem produksi pangan yang terpusat pada padi di Pulau Jawa sebagai daerah produksi pangan utama, merupakan masalah untuk menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan. Selain itu, ketergantungan penyediaan pangan yang terlalu besar pada padi menyebabkan terjadinya tekanan yang berat terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Ketersediaan sumber daya alam yang sesuai untuk usaha tani padi, terutama di Jawa, juga makin terbatas. Bahkan sudah terjadi pengalihan pemanfaatan lahan sawah untuk kegunaan lainnya, seperti untuk pengembangan industri dan permukiman. Selanjutnya laju peningkatan produktivitas di Jawa menurun karena terjadinya perubahan struktur tanah dari lahan sawah. Meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap pangan. Jika produksi pangan nasional tidak mencukupi kebutuhan, penyediaan pangan sangat tergantung pada situasi pangan dunia. Peningkatan penyediaan pangan melalui 159

impor sangat dipengaruhi oleh kemampuan untuk meningkatkan devisa negara dan situasi produksi pangan dunia. Oleh karena itu, upaya memelihara dan memantapkan swasembada pangan secara dinamis senantiasa akan merupakan tantangan dalam pembangunan nasional dalam PJP II. Tersedianya pangan pada tingkat rumah tangga sangat tergantung pada kemampuan daya beli masyarakat dan kestabilan harga pangan. Keterjangkauan rumah tangga terhadap pangan ditentukan oleh daya beli masyarakat. Masih cukup besarnya jumlah penduduk yang tergolong miskin menggambarkan keperluan adanya kebijaksanaan harga dan sistem distribusi pangan yang efektif dan efisien. Struktur wilayah Indonesia yang berupa kepulauan menggambarkan adanya masalah untuk menyalurkan pangan secara efektif ke seluruh pelosok tanah air. Meskipun dalam PJP I sarana dan prasarana transportasi telah berkembang dengan pesat, jumlah penduduk yang bermukim di daerah terpencil masih cukup banyak. Di samping permasalahan jarak spasial, distribusi pangan mencakup juga masalah ketepatan waktu karena adanya unsur musim dalam produksi pangan. Dengan adanya berbagai masalah seperti diuraikan di atas, tantangan dalam pembangunan pangan adalah meningkatkan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga sesuai dengan keadaan dan pola pangan setempat. Dalam PJP I ketersediaan pangan telah berhasil ditingkatkan, tetapi ketersediaan itu belum berimbang karena ketersediaan energi sebagian besar berasal dari karbohidrat. Pola konsumsi pangan secara nasional menggambarkan bahwa padi-padian dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk. Untuk penduduk yang berpendapatan rendah, padi-padian hampir merupakan satu-satunya makanan pokok utama. Keseimbangan pola konsumsi pangan padi-padian dengan pangan hewani, kacang-kacangan dan sayuran serta buah-buahan merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian dalam pembangunan pangan. Dengan mengacu pada patokan

160

pola pangan harapan (PPH) hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V tahun 1993, mutu pola ketersediaan pangan yang dikonsumsi penduduk Indonesia masih tergolong rendah. PPH adalah pola pangan dengan komposisi energi dari padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, lemak dan minyak, buah/biji berminyak, kacangkacangan, gula serta sayuran dan buah-buahan, yaitu masingmasing sebesar 50 persen; 5 persen; 15,3 persen; 10 persen; 3 persen; 5 persen; 6,7 persen; dan 5 persen. PPH berkaitan erat dengan upaya penganekaragaman pangan untuk memenuhi pedoman umum gizi seimbang (PUGS) yang digalakkan dalam program perbaikan gizi. Dengan demikian, tantangan selanjutnya adalah meningkatkan penyediaan pangan yang beraneka ragam sehingga terwujudnya pola konsumsi pangan yang memenuhi kebutuhan gizi yang memadai dan berimbang. Selama PJP I untuk meningkatkan produksi hasil pertanian, para petani dan produsen pangan menerapkan teknologi pertanian dengan menggunakan pestisida dan hormon. Bahan kimia tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen. Selain itu, pengawasan lingkungan belum dilaksanakan secara efektif sehingga limbah industri menyebabkan timbulnya polusi. Keadaan ini telah menyebabkan bahan pangan dan pangan olahan mudah tercemar oleh mikroba atau zat kimia yang membahayakan kesehatan manusia. Dengan demikian, tantangannya adalah meningkatkan kesadaran produsen untuk menjaga keamanan bahan pangan sehingga tidak membahayakan kesehatan konsumen. Perwujudan ketahanan dan keamanan pangan yang andal, serta tersedianya berbagai ragam bahan pangan memerlukan koordinasi dan keterpaduan dari berbagai kebijaksanaan lembaga pemerintah, dan para produsen pangan. Koordinasi dan keterpaduan itu sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan pangan sehingga mencukupi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, serta terjaminnya keamanan pangan.

161

Dengan demikian, tantangannya adalah mengembangkan perangkat hukum dan kelembagaan yang mendukung koordinasi dan pengembangan sistem produksi, distribusi, dan penyediaan pangan yang efisien dan efektif. 2. Kendala Dalam mewujudkan ketahanan pangan yang andal, kendalanya secara umum adalah masih terbatasnya penyediaan teknologi dan kemampuan petani dan masyarakat. Swasembada pangan masih terbatas pada komoditas padi. Spektrum jenis komoditas yang telah diusahakan secara intensif masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh penguasaan iptek pertanian yang masih terbatas pada komoditas tertentu, khususnya padi. Kemampuan untuk menangani pengembangan komoditas pangan lain relatif terbatas. Dalam pada itu sebagian besar produksi padi masih terdapat di Jawa, sedangkan perluasan areal pertanian pangan di luar Jawa masih terbatas. Hal ini disebabkan kurangnya prasarana irigasi dan sistem transportasi serta kurangnya sarana dan prasarana pertanian pangan nonpadi, khususnya bibit unggul dan prasarana irigasi untuk 'pengembangan usaha ternak dan perikanan tambak. Usaha pertanian pangan, termasuk perikanan laut, masih didominasi oleh kelembagaan usaha tani yang bersifat tradisional dengan skala usaha tani relatif kecil dan modal terbatas. Hal ini erat hubungannya dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Kemampuan petani, nelayan, dan pelaku ekonomi masih terbatas untuk memanfaatkan sumber daya alam secara optimal. Sumber daya alam tersebut, antara lain sumber daya alam lahan kering, rawa dan pasang surut, serta sumber daya pantai dan sumber daya laut. Rendahnya penguasaan teknologi pemuliaan dan makanan ternak serta iptek budi daya perikanan laut dan darat menyebabkan biaya produksi pangan sumber protein masih tinggi. Peningkatan produksi hortikultura dan kacang-kacangan terhambat 162

oleh kurang tersedianya bibit unggul dan masih rendahnya penguasaan budi daya tanaman kedelai. Hal ini juga disebabkan oleh masih terbatasnya kemampuan petani untuk mencegah dan memberantas hama penyakit secara biologis. Sistem pemasaran komoditas pangan masih belum efektif, karena terbatasnya kemampuan para pedagang dalam rantai pemasaran pangan. Demikian pula, masih melembaganya tradisi pemasaran komoditas pangan yang kurang mendukung upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi dari sistem pemasaran. Hal ini dicirikan oleh adanya ongkos transaksi yang tinggi dalam sistem pemasaran pangan dan masih lemahnya peranan koperasi dalam pemasaran hasil pertanian. Investasi swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) dalam pertanian dan industri pangan relatif terbatas karena masih kurangnya informasi teknologi pangan dan penyediaan dana investasi. Sebagian besar investasi dalam pertanian pangan berada di Jawa. Keadaan ini melemahkan sistem pangan nasional karena terbatasnya cakupan wilayah produksi pangan. Dalam rangka meningkatkan kesadaran produsen untuk menjaga keamanan pangan, sistem produksi pangan berwawasan lingkungan belum berkembang. Petani dalam meningkatkan produksi pangan banyak menggunakan bahan kimia, seperti pestisida yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Sistem pengawasan komoditas pangan masih lemah, di samping masih rendahnya kesadaran pengusaha pangan tentang pentingnya penyediaan informasi jenis bahan pangan yang digunakan sesuai dengan persyaratan kesehatan dan keyakinan masyarakat. Kendala dalam diversifikasi konsumsi pangan terutama adalah masih rendahnya pendapatan dan daya beli sebagian masyarakat. Kendala kedua, masih terbatasnya ragam komoditas pangan di luar beras. Kendala lainnya adalah masih melembaganya sikap dan kebiasaan konsumen, yang belum mengutamakan segi gizi dalam memilih pangan yang dikonsumsi. 163

Usaha diversifikasi pertanian pangan dihadapkan pada kendala belum berkembangnya teknologi sumber daya, di samping masih rendahnya penguasaan budi daya tanaman hortikultura, kedelai dan teknologi reproduksi ternak perah dan ternak potong, serta belum berkembangnya budi daya perikanan air tawar, air payau, dan budi daya air laut. Di samping itu, kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam kegiatan pangan masih rendah. Hal ini termasuk sumber daya manusia dari sektor swasta yang memproduksi pangan. 3. Peluang Pembangunan ekonomi dan pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia menciptakan peluang yang besar bagi pembangunan pangan. Pembangunan ekonomi yang disertai pengendalian laju pertumbuhan penduduk meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat. Pembangunan ekonomi juga meningkatkan ketahanan pangan dan keamanan pangan. Meningkatnya daya beli dan penyediaan pangan berpengaruh terhadap usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peluang untuk meningkatkan ketangguhan sistem pertanian pangan masih cukup besar, karena sumber daya alam yang dimiliki Indonesia masih belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Sumber daya kelautan memiliki potensi penghasil pangan yang besar untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Sumber daya pantai, rawa dan pasang surut belum dimanfaatkan secara optimal. Dari sumber daya tersebut dapat dihasilkan beragam komoditas pangan. Sumber daya lahan kering juga belum dimanfaatkan secara optimal. Buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, ternak, dan komoditas pangan lainnya dapat dihasilkan dari agroekosistem lahan kering. Tanpa merusak lingkungan hidup, hutan merupakan sumber daya alam yang memiliki peluang besar untuk ditingkatkan pemanfaatannya bagi produksi pangan.

164

Pembangunan pertanian selama PJP I memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi kelanjutan peningkatan produksi pangan. Partisipasi petani yang besar dalam pembangunan pertanian, yang ditunjang oleh makin kukuhnya kelembagaan pertanian merupakan aset nasional untuk melanjutkan usaha-usaha pembangunan pertanian. Kemajuan dalam penguasaan iptek pertanian menciptakan peluang-peluang yang lebih besar untuk memperkukuh sistem pangan. Telah adanya lembaga pemerintah yang menangani masalah pangan memberikan peluang bagi peningkatan koordinasi kebijaksanaan pembangunan pangan. Pengalaman dalam melaksanakan distribusi pangan nasional dan pengendalian harga, khususnya beras, memperkaya wawasan dan pengalaman dalam mengatasi distribusi pangan di negara kepulauan yang luas. Hal ini merupakan titik tolak untuk lebih memahami permasalahan, sehingga terbuka peluang untuk dapat menemukan alternatif sistem distribusi yang lebih sesuai dengan tantangan pembangunan yang dihadapi dalam PJP II.

II. SASARAN DAN KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN 1. Sasaran a. Sasaran PJP II Dengan memperhatikan berbagai tantangan, kendala dan peluang serta arahan seperti diuraikan di atas, sasaran pembangunan pangan selama PJP II adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, yang antara lain tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dan terjangkaunya harga pangan oleh masyarakat, dan terwujudnya diversifikasi konsumsi pangan, yang tercermin dari tersedianya berbagai komoditas pangan dan pangan olahan. Sasaran lain adalah terjaminnya keamanan pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan tidak 165

sesuai dengan keyakinan masyarakat. Sasaran tersebut didukung oleh mantapnya kelembagaan pangan yang dicirikan oleh meningkatnya pelayanan dan koordinasi tentang penyediaan pangan, kebijaksanaan harga dan distribusi pangan, serta pengembangan industri pangan. b. Sasaran Repelita VI Sasaran pada Repelita VI adalah makin mantapnya ketahanan pangan yang dicirikan oleh terpeliharanya kemantapan swasembada pangan secara dinamis. Artinya secara keseluruhan selama Repelita VI, swasembada pangan khususnya beras dapat dipelihara dengan produksi dalam negeri. Apabila pads tahun tertentu oleh karena kondisi obyektif persediaan beras di dalam negeri tidak mencukupi, maka dimungkinkan untuk impor beras. Sebaliknya, dalam keadaan berlebih dimungkinkan untuk ekspor. Dalam hubungan ini ketersediaan berbagai komoditas pangan akan meningkat. Selain itu, ketersediaan energi, baik yang berasal dari karbohidrat maupun dari protein hewani juga meningkat. Dalam Tabel 11-1 disajikan kemampuan penyediaan pangan berasal dari produksi dalam negeri. Proyeksi penyediaan pangan didasarkan atas perhitungan energi dari setiap produksi pangan terpenting yang berasal dari produksi dalam negeri. Pada tabel tersebut terlihat bahwa pada akhir tahun Repelita VI, energi yang tersedia akan melampaui kebutuhan pangan sesuai dengan pola pangan harapan (PPH), kecuali energi berasal dari kacangkacangan, sayuran, dan buah-buahan. Perkiraan produksi hasil pertanian pangan dalam negeri disajikan dalam Bab 21 Pertanian. Kualitas konsumsi pangan ditentukan oleh komposisi jenis pangan. Jenis pangan yang beraneka ragam merupakan persyaratan penting untuk menghasilkan pola pangan yang bermutu gizi seimbang. Dalam hubungan ini PPH, hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V tahun 1993, merupakan sasaran diversifikasi konsumsi pangan. PPH dalam Repelita VI diharapkan mencapai 166

TABEL 11-1 PERBANDINGAN PROYEKSI PENYEDIAAN, PERMINTAAN DAN POLA PANGAN HARAPAN PER ORANG 1993 -1998 (kilokalori per hari) Proyeksi Penyediaan Pangan 1993 1. Padi-padian 2. Umbi-umbian 3. Pangan hewani 4. Minyak dan lemak 5. Buah/biji berminyak 6. Kacang-kacangan 7. Gula 8. Sayuran dan buah Jumlah Skor mutu 1.813 282 86 443 132 106 123 71 3.057 70 1998 1.860 264 103 603 138 111 143 84 3.303 73 Proyeksi Permintaan Pangan 1993 1.809 236 82 228 128 155 140 72 2.850 70 1998 1.823 231 99 277 132 179 143 88 2.972 73 Pola Pangan Harapan (PPH) 1998 1.510 193 89 211 135 115 148 100 2.500 72

Janis

Catatan : - Padi-padian adalah beras dan jagung. Umbi-umbian antara lain ubi kayu dan ubi jalar. Pangan hewani terdiri atas daging, telur, susu dan ikan. Minyak dan lemak adalah minyak kelapa sawit. Biji berminyak adalah kelapa. Kacangkacangan terdiri atas kedelai, kacang tanah dan kacang hijau. Gula adalah gula tabu. - Skor ideal PPH adalah 100; makin tinggi kontribusi pangan hewani, kacangkacangan, sayuran dan buah, makin baik mutu PPH.

167

skor mutu pangan sekitar 72 dengan kecukupan ketersediaan energi mencapai rata-rata 2.500 kilokalori per orang per hari. Sasaran berikutnya adalah terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Hal ini tercermin oleh meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen terhadap bahan pangan yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat, dan tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat. Sasaran selanjutnya dari pembangunan pangan adalah makin mantapnya kelembagaan pangan, yang antara lain dicerminkan oleh adanya peraturan perundangan yang mengatur keamanan pangan, yang juga dapat memberikan dasar hukum yang lebih mantap bagi pelaksanaan koordinasi pembangunan pangan. 2. Kebijaksanaan Kebijaksanaan pangan mencakup usaha peningkatan produksi dan pemerataan distribusi pangan, efisiensi perdagangan, pengembangan industri pangan, dan peningkatan daya beli masyarakat. Kebijaksanaan tersebut meliputi upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan, yang meliputi peningkatan produksi, daya beli masyarakat, distribusi dan peningkatan kemampuan penyediaan pangan serta terkoordinasinya kebijaksanaan harga; mendorong diversifikasi konsumsi pangan; meningkatkan keamanan pangan; dan mengembangkan kelembagaan pangan yang efektif dan efisien. a. Peningkatan Ketahanan Pangan Kebijaksanaan peningkatan ketahanan pangan bertujuan untuk menjamin tersedianya pangan yang adil dan merata di tingkat masyarakat, rumah tangga dan perseorangan, sesuai dengan kemampuan daya beli sehingga terpenuhi kebutuhan gizinya. Kebijaksanaan ini ditempuh dengan memelihara kemantapan swasembada pangan, meningkatkan efektivitas dan efisiensi 168

distribusi pangan, dan meningkatkan daya beli masyarakat, serta meningkatkan kemampuan penyediaan pangan yang diperlukan, termasuk potensi pangan dari hutan dan laut. Swasembada pangan dimantapkan dalam arti luas, yaitu tidak hanya terbatas pada swasembada beras, tetapi juga mencakup pemenuhan kebutuhan bahan pangan lainnya, termasuk hasil hortikultura dan bahan makanan lain yang merupakan sumber karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi mikro. Untuk itu, produksi pangan terus ditingkatkan melalui upaya pemanfaatan sumber daya pertanian dengan pola pengusahaan yang berorientasi agrobisnis, keterpaduan, dan dikembangkan sesuai dengan sumber daya setempat, termasuk pemanfaatan lahan pekarangan. Sejalan dengan itu diupayakan adanya peningkatan investasi swasta, BUMN, dan koperasi di bidang pertanian pangan. Peningkatan investasi tersebut diarahkan untuk perluasan areal pertanian pangan, yang disesuaikan dengan kondisi tanah, pola tata ruang, dan upaya pelestarian lingkungan hidup. Pengembangan usaha pertanian pangan tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan dan mendapat dukungan sepenuhnya dari peran serta aktif petani sehingga menciptakan kemitraan dan kebersamaan antara perusahaan dan petani. Peningkatan produksi pangan memerlukan perluasan areal pertanian pangan di luar Jawa, yang didukung oleh pengembangan prasarana irigasi, perhubungan dan kelembagaan petani, serta peningkatan penyediaan teknologi dan dana investasi. Untuk menjamin tersedianya pangan bagi seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, efisiensi distribusi dan pemasaran pangan ditingkatkan. Struktur wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan membutuhkan adanya sistem distribusi dan pemasaran pangan yang efektif dan efisien sehingga daya saing produksi pangan nasional meningkat. Hal ini dilakukan melalui pengembangan lembaga tata niaga dan ekonomi pasar yang efisien, yang menyangkut pengembangan prasarana legal dan institusional,

169

prasarana angkutan dan komunikasi, serta lembaga pembiayaan pendukung kegiatan produksi dan pemasaran. Dalam pada itu, peranan koperasi untuk penyaluran pangan ditingkatkan seiring dengan meningkatnya kemampuan lembaga distribusi dan pemasaran lainnya. Upaya meningkatkan efisiensi distribusi pangan ditempuh dengan melaksanakan sistem perdagangan pangan berdasarkan mekanisme pasar, kecuali bagi komoditas pangan yang sangat berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak dan kestabilan perekonomian, seperti beras. Untuk komoditas tersebut, Pemerintah mengendalikan distribusi pangan dengan menerapkan harga dasar gabah dan harga batas tertinggi. Penetapan harga dasar gabah dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan petani sehingga petani terdorong untuk meningkatkan produksi. Penerapan harga batas tertinggi dimaksudkan agar harga pangan di pasar dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Dalam rangka menjaga stabilitas dan mengendalikan harga pangan, Pemerintah mengadakan sarana penyangga. Pengadaan sarana penyangga ini dibutuhkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri, di samping berfungsi untuk menunjang kebijaksanaan harga. Cadangan penyangga nasional bagi komoditas penting seperti beras dijaga pada tingkat yang efisien. Untuk itu dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap harga dan produksi pangan. Selain itu partisipasi aktif masyarakat perdesaan didorong untuk ikut serta mengembangkan cadangan pangan di lumbung desa. Ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga tergantung pada kemampuan penyediaan pangan dan peningkatan daya beli masyarakat. Untuk meningkatkan penyediaan pangan dalam negeri, impor pangan dilakukan bagi komoditas yang belum dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri atau jika keadaan pangan dalam negeri terancam. Komoditas tersebut antara lain adalah susu, kedelai, dan gandum. Dengan menggali potensi lahan yang masih tersedia serta memanfaatkan teknologi, diupayakan menurunkan jenis komoditas dan jumlah impor pangan. Sebaliknya melakukan ekspor komoditas 170

yang mengalami kelebihan produksi dalam negeri seperti kelapa sawit, kelapa, ikan dan telur. Selanjutnya bila terjadi kelebihan produksi beras, kelebihan tersebut dapat diekspor atau dipinjamkan ke negara yang memerlukan bantuan pangan. Impor dan ekspor pangan dilaksanakan melalui mekanisme pasar dan peningkatan partisipasi dunia usaha. Kebijaksanaan untuk meningkatkan daya beli masyarakat adalah mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; seiring dengan usaha meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas tenaga kerja, serta menanggulangi masalah kemiskinan. Dalam hubungan ini, perhatian lebih besar diberikan kepada pengembangan sistem agrobisnis dan penataan kembali perekonomian di perdesaan yang dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja, baik yang setengah menganggur maupun menganggur penuh. b. Diversifikasi Konsumsi Pangan Kebijaksanaan untuk meningkatkan diversifikasi konsumsi pangan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pola pangan yang beraneka ragam untuk meningkatkan mutu gizinya. Pola konsumsi pangan, yang lebih banyak menekankan pada energi dari karbohidrat didorong untuk berubah ke arah pola pangan sesuai dengan pedoman umum gizi seimbang (PUGS). Kebijaksanaan selanjutnya adalah meningkatkan penyediaan berbagai komoditas pangan dengan mendorong usaha diversifikasi, yang mencakup diversifikasi wilayah dan diversifikasi komoditas. Diversifikasi wilayah bertujuan untuk mengembangkan pusat produksi pangan di luar Jawa, terutama di kawasan timur Indonesia dan daerah-daerah tertinggal lainnya di kawasan barat Indonesia. Adapun diversifikasi komoditas bertujuan untuk meningkatkan berbagai komoditas pangan, terutama ikan dan sumber protein hewani lainnya, sayuran, dan buahbuahan. Selain itu, dikembangkan kebijaksanaan harga untuk mendorong perubahan konsumsi konsumen ke arah terpenuhinya PUGS. 171

c.

Peningkatan Keamanan Pangan

Kebijaksanaan peningkatan keamanan pangan bertujuan untuk melindungi masyarakat dari pangan yang berbahaya bagi kesehatan dan bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Kebijaksanaan tersebut terutama berupa upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketaatan produsen untuk memenuhi ketentuan yang ada mengenai cara produksi yang baik sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Dalam syarat tersebut antara lain mendorong pemanfaatan teknologi produksi dan industri pangan berwawasan lingkungan. Upaya lain untuk meningkatkan keamanan pangan adalah melakukan pengawasan ketat terhadap mutu hasil produksi pangan dan pemasarannya. Upaya ini dilaksanakan dengan meningkatkan peran serta masyarakat termasuk lembaga konsumen untuk turut melakukan pengawasan kualitas pangan di pasar. Peningkatan keamanan pangan tersebut memerlukan pengembangan peraturan perundangan tentang pangan. d. Pengembangan Kelembagaan Sasaran pembangunan pangan dicapai dengan meningkatkan koordinasi dan kerja sama antara berbagai lembaga terkait dengan pembangunan pangan, baik antarlembaga pemerintah, antara pemerintah dan masyarakat, maupun antarkelompok masyarakat. Peningkatan koordinasi didukung oleh penyusunan perangkat hukum tentang pangan dan pemasyarakatannya. Perangkat hukum itu termasuk peraturan tentang penyediaan bahan baku, produk pangan olahan dan bahan penolong lainnya. Di samping kelembagaan tersebut di atas dikembangkan pula kebijaksanaan untuk mendorong dunia usaha, swasta, serta koperasi, untuk berperan serta dalam produksi dan pengolahan pangan, penyediaan dan distribusi pangan yang berkualitas dan aman sehingga menjadi mitra pemerintah untuk mencapai sasaran pembangunan pangan; menata kelembagaan yang terkait dengan

172

pengawasan kualitas dan pengendalian pangan; dan meninjau kembali dan menata ketentuan dan peraturan yang menghambat usaha peningkatan produksi, distribusi dan penyediaan pangan, serta menghambat pengembangan industri dan sistem perdagangan pangan. III. PROGRAM PEMBANGUNAN Dalam rangka pembangunan pangan dalam Repelita VI ditetapkan dua program pokok yaitu, program pemantapan swasembada pangan dan program diversifikasi pangan. Kedua program pokok tersebut didukung oleh empat program penunjang, yaitu program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pangan; program penelitian dan pengembangan pangan; program pengembangan kelembagaan pangan; dan program perbaikan gizi. 1. Program Pokok a. Program Pemantapan Swasembada Pangan Program ini bertujuan untuk memelihara kemantapan swasembada pangan melalui peningkatan ketahanan pangan dan efisiensi sistem distribusi pangan disertai usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian pangan, serta peningkatan nilai tambah. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi antara lain usaha: 1) meningkatkan penyediaan bibit unggul dan sarana produksi lainnya seperti pupuk, pakan ternak dan ikan, serta dana investasi; 2) meningkatkan efisiensi pemanfaatan air irigasi dan mencetak sawah di luar Jawa; 3) memperluas usaha perikanan rakyat terutama untuk perikanan air tawar, tambak, perairan umum, dan perairan lepas pantai; 173

4) meningkatkan pemanfaatan lahan kering, lahan rawa, dan pasang surut, antara lain untuk pengembangan padang penggembalaan ternak dan usaha peternakan rakyat terutama ternak unggas dan ternak perah di perdesaan; 5) memperluas areal perkebunan pangan terutama areal tanaman tebu guna mencapai swasembada gula; 6) meningkatkan kegiatan ekstensifikasi melalui pengembangan investasi swasta, badan usaha milik negara dan koperasi, terutama di bidang usaha peternakan, perikanan, perkebunan pangan dan hortikultura, serta tanaman pangan lainnya, seperti kedelai dan jagung; 7) meningkatkan nilai tambah komoditas pangan melalui pengembangan agroindustri pangan, antara lain industri pengolahan ikan, jagung, kedelai, buahbuahan, gula, daging, susu, kelapa, dan kelapa sawit; 8) membina usaha menengah dan kecil di bidang produksi dan pengolahan pangan; 9) menjaga sarana penyangga pangan yang efisien melalui kegiatan pembelian dan penjualan pangan, serta menerapkan harga dasar pangan dan harga batas tertinggi; 10) meningkatkan pemerataan produksi dan efisiensi distribusi pangan di luar Jawa terutama kawasan timur Indonesia dan daerah tertinggal lainnya. b. Program Diversifikasi Pangan Program ini bertujuan untuk menggali dan meningkatkan penyediaan berbagai komoditas pangan sehingga terjadi 174

penganekaragaman konsumsi pangan oleh konsumen. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi usaha, antara lain:

1) meningkatkan produksi berbagai bahan pangan sumber karbohidrat, tidak hanya ditekankan pada produksi beras tetapi juga karbohidrat lainnya seperti jagung dan umbiumbian; 2) meningkatkan produksi pangan surnber protein, baik nabati maupun hewani, serta sayuran dan buah-buahan; 3) menggali potensi sumber protein dari sumber daya hayati laut, seperti rumput laut dan kerang-kerangan; 4) meningkatkan produksi sayuran dan buah-buahan, antara lain dengan memanfaatkan lahan pekarangan, lahan hutan rakyat, dan perkebunan, melalui peningkatan penyediaan bibit tanaman pangan dan sarana produksi lainnya; 5) meningkatkan usaha diversifikasi secara horizontal melalui pemanfaatan sumber daya yang beraneka ragam, dan diversifikasi vertikal melalui pengembangan berbagai hasil olahan pertanian. 2. Program Penunjang a. Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Pangan Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan petani dan nelayan, produsen pangan olahan, pedagang kecil dan menengah di bidang pangan. Selain itu, program ini ditujukan juga untuk mengembangkan kemampuan petugas pemerintah antara lain di bidang analisa harga, produksi, distribusi dan perdagangan serta pengolahan pangan. Kegiatan dalam program ini mencakup usaha, antara lain: 1) meningkatkan kemampuan pegawai di bidang manajemen dan teknologi pangan melalui pendidikan dan pelatihan penjenjangan, program diploma dan pascasarjana; 175

2) melatih perencana pembangunan pangan di bidang analisa harga, produksi, distribusi dan perdagangan serta sistem pengolahan pangan, terutama perencana di daerah kawasan timur Indonesia dan daerah tertinggal di kawasan barat Indonesia; 3) meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola usaha tani secara komersial melalui sistem penyuluhan pertanian terpadu; 4) meningkatkan kemampuan usaha menengah dan kecil serta usaha tradisional masyarakat di bidang pengolahan pangan; 5) mengadakan pelatihan bagi wanita tani, terutama di bidang teknologi produksi dan pengolahan serta pemasaran pangan. b. Program Penelitian dan Pengembangan Pangan Program ini bertujuan untuk mengembangkan informasi di bidang pangan dan meningkatkan pemanfaatan, penguasaan, dan penerapan teknologi pangan. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi usaha, antara lain: 1) mengembangkan teknologi produksi pangan yang sesuai dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat; 2) mengembangkan teknologi pengolahan pangan untuk mendukung pengembangan industri pengolahan pangan; meningkatkan penyediaan informasi tentang produksi, distribusi, perdagangan dan pengolahan serta pola konsumsi pangan;

176

4) 5) 6)

mengadakan penelitian potensi komoditas pangan baru; melakukan identifikasi masalah pangan di desa tertinggal; mengembangkan teknologi pangan tradisional dan teknologi pengendalian pencemaran pangan dari limbah industri dan rumah tangga; melakukan analisa jangka panjang tentang kebutuhan dan produksi serta perubahan pola konsumsi pangan.

7)

c. Program Pengembangan Kelembagaan Pangan Program ini bertujuan untuk mengembangkan sistem koordinasi upaya penyediaan pangan dan meningkatkan efisiensi pelayanan kelembagaan pangan untuk mendorong investasi di bidang produksi dan industri pengolahan pangan. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi usaha, antara lain: 1) mengembangkan perangkat hukum serta pranata lainnya melalui penyusunan peraturan perundangan tentang pangan; 2) mengembangkan insentif bagi peningkatan investasi di bidang produksi dan pengolahan pangan, antara lain melalui penyederhanaan izin dan peningkatan dana investasi; 3) meningkatkan peranan koperasi dalam produksi dan sistem distribusi pangan; 4) mengembangkan peranan usaha menengah dan kecil serta usaha tradisional masyarakat di bidang pangan; 5) menyusun sistem pengendalian dan pencegahan dini timbulnya kerawanan dalam penyediaan pangan;

177

6) mengembangkan kerja sama regional dan internasional di bidang pangan. d. Program Perbaikan Gizi Program ini bertujuan untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi antara lain usaha (1) penyuluhan gizi masyarakat; (2) perbaikan gizi keluarga; (3) perbaikan gizi institusi; (4) fortifikasi bahan pangan; dan (5) penerapan sistem kewaspadaan pangan dan gizi. C. PERBAIKAN GIZI I. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG PEMBANGUNAN Upaya perbaikan gizi bagi masyarakat dalam PJP I telah berhasil meningkatkan pemenuhan kebutuhan energi dan keadaan gizi sebagian penduduk. Hal ini terbukti dengan makin berkurangnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk dapat meningkatkan perbaikan gizi dalam PJP II perlu dikenali berbagai tantangan, kendala, dan peluang yang ada. 1. Tantangan Pada PJP I, swasembada beras dan kecukupan persediaan pangan memungkinkan tersedianya energi dan protein yang melebihi kebutuhan rata-rata penduduk di tingkat nasional. Namun, karena distribusi pendapatan yang belum merata, belum semua rumah tangga terpenuhi kecukupan pangannya. Ini tercermin dari 27 juta penduduk yang tergolong miskin yang umumnya belum terpenuhi kebutuhan energi sebesar rata-rata 2.100 kilokalori per orang per hari. Masalah lain adalah ketersediaan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga ternyata belum menjamin 178

tercukupinya kebutuhan gizi setiap anggota keluarga terutama wanita dan anak-anak, yang disebabkan oleh tingkat kemampuan ekonomi, ketidakmengertian, serta pengaruh adat, kebiasaan, dan kebudayaan. Oleh karena itu, tantangan dalam PJP II adalah meningkatkan kesadaran, sikap dan perilaku setiap anggota masyarakat pada tingkat rumah tangga agar mengonsumsi pangan yang cukup dan bergizi seimbang. Masih banyaknya wanita hamil yang menderita kekurangan gizi, termasuk anemia, menimbulkan masalah tersendiri. Dampaknya selain meningkatkan risiko kematian ibu waktu melahirkan, juga sering mengakibatkan ibu melahirkan bayi dengan berat badan lebih rendah dari pada normal, yaitu kurang dari 2,5 kilo gram. Diperkirakan tidak kurang dari 15 persen bayi di Indonesia lahir dengan berat badan kurang dari normal. Tingginya angka be-rat badan lahir kurang dari normal erat kaitannya dengan tingginya angka kematian bayi. Selain itu, bila mereka dapat hidup, tidak dapat tumbuh kembang dengan optimal sebagai manusia yang penuh potensi sebagai sumber daya pembangunan yang tangguh dan berkualitas. Di beberapa daerah perdesaan dan di daerah pergunungan yang terpencil, banyak ibu hamil yang menderita kekurangan gizi karena gangguan akibat kurang iodium (GAKI). Selain itu, dalam masyarakat dimana pertanian merupakan kegiatan utama, produktivitas ternak juga menurun akibat pakan dan air minumnya kekurangan iodium. Jenis kekurangan gizi lain yang juga menghambat tumbuhkembang anak adalah kurang 179

vitamin A (KVA). Masalah ini terutama diderita oleh anak balita. Dampaknya menyebabkan rendahnya daya tahan anak terhadap infeksi dan secara tidak langsung juga menyebabkan tingginya angka kematian balita. Gangguan tumbuh-kembang pada bayi dan anak balita, selain disebabkan oleh keadaan gizi ibu yang kurang baik pada waktu mengandung juga karena kurangnya pengetahuan ibu mengenai perawatan bayi dan

anak balita yang baik, terutama mengenai pentingnya air susu ibu (ASI) dan pemberian makanan tambahan pendamping ASI yang bermutu gizi seimbang. Berdasarkan masalah seperti diterangkan di atas, maka tantangan perbaikan gizi dalam PJP II adalah mencukupi kebutuhan gizi ibu selama hamil dan sesudah melahirkan, diikuti dengan mencukupi kebutuhan untuk kelangsungan hidup dan tumbuhkembang secara optimal bagi bayi, anak balita, dan remaja sesuai dengan potensinya, serta perbaikan gizi bagi tenaga kerja dalam rangka peningkatan produktivitas kerja, baik di sektor formal maupun informal. Kecenderungan meningkatnya kematian akibat penyakit bukan infeksi seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, tekanan darah tinggi dan kanker yang diamati pada tahun-tahun terakhir PJP I, erat kaitannya dengan perubahan gaya hidup sebagian penduduk terutama di perkotaan. Salah satu perubahan tersebut adalah dalam pola makan. Peningkatan pendapatan yang makin tinggi akan mendorong perubahan pola makan terutama di daerah perkotaan ke arah makanan yang mempunyai kadar lemak tinggi dan serat kasar rendah sehingga menimbulkan mute gizi yang tidak seimbang. Perubahan pola makan ini dipercepat oleh makin kuatnya pengaruh budaya makan asing yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi dan globalisasi ekonomi. Arus pola budaya asing ini lambat laun akan dapat menggeser pola makan tradisional Indonesia yang umumnya lebih seimbang mute gizinya. Oleh karena itu, merupakan tantangan pula mencegah timbulnya masalah gizi baru akibat perubahan pola konsumsi pangan yang disebabkan perubahan gaya hidup akibat kemajuan ekonomi, teknologi, urbanisasi, dan pengaruh globalisasi. Berbagai masalah pembangunan seperti jumlah penduduk yang terus meningkat, urbanisasi, kemiskinan, dan industrialisasi sering membawa dampak negatif kepada kebersihan lingkungan. Dampaknya antara lain terlihat dari makin tingginya kasus pencemaran

180

lingkungan termasuk pencemaran air dan makanan. Selain itu, perkembangan industri pengolahan pangan yang tidak terawasi dengan baik dapat mendorong pengelolaan industri pangan yang mengabaikan masuknya zat-zat berbahaya ke dalam makanan olahan. Akibat pangan yang tercemar adalah terjadinya keracunan makanan, penyakit infeksi karena pencemaran makanan, dan berbagai penyakit kanker yang diduga karena pemakaian zat pengawet yang tidak memenuhi syarat kesehatan dalam berbagai produk makanan olahan. Dampak pencemaran tersebut tidak hanya ditinjau dari segi fisik biologis konsumen, tetapi ditinjau pula dari segi ketenteraman batin sesuai dengan keyakinan konsumen. Dengan demikian, menjadi pula tantangan untuk menjamin agar penyediaan dan konsumsi pangan penduduk aman dari berbagai pencemaran bahan-bahan berbahaya yang merugikan kesehatan dan bertentangan dengan agama, kepercayaan dan keyakinan konsumen. 2. Kendala Dalam upaya perbaikan gizi kendala yang paling utama adalah kemiskinan. Kemiskinan menghalangi kemampuan masyarakat untuk memperoleh pangan yang baik dan bermutu gizi. Di samping itu, tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah menyebabkan masyarakat kurang dapat memanfaatkan segala potensi yang ada di lingkungan rumah tangga, seperti potensi lahan pekarangan, sebagai sumber pendapatan, dan pemenuhan kebutuhan gizi keluarga. Adat dan kebiasaan yang terkait dengan pola pangan antar anggota keluarga yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi juga dapat menjadi kendala. Diversifikasi pangan bagi berbagai golongan penduduk yang sesuai dengan kebiasaan setempat, belum sepenuhnya berjalan. Selain itu, ketersediaan sayuran dan buahbuahan, serta tingkat harganya belum mampu mencukupi kebutuhan gizi masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah. 181

Kendala selanjutnya, masih tingginya prevalensi kekurangan gizi wanita terutama wanita hamil, wanita menyusui dan wanita pranikah, serta anak balita. Cakupan pelayanan kesehatan dasar, termasuk imunisasi dan pelayanan gizi untuk ibu dan anak, juga masih belum merata khususnya di daerah-daerah terpencil, desa tertinggal, di daerah transmigrasi, dan daerah kumuh di kota. Usaha perbaikan gizi keluarga belum sepenuhnya merupakan gerakan masyarakat yang efektif dalam meningkatkan keadaan gizi masyarakat, terutama dalam menjangkau sasaran penduduk yang terpencil maupun termiskin terutama di perdesaan. Di samping itu, sarana air bersih dan kesehatan lingkungan belum terpenuhi secara merata terutama di daerah perdesaan. Keadaan ini antara lain menyebabkan masih tingginya prevalensi penyakit cacing dan malaria di beberapa daerah tertentu sehingga mendorong juga timbulnya masalah gizi. 3. Peluang Pembangunan ekonomi yang telah dicapai selama PJP I, yang diiringi oleh meningkatnya kualitas sumber daya manusia, serta makin meningkatnya jumlah dan kualitas tenaga pembangunan sampai di tingkat perdesaan, menciptakan peluang yang baik bagi perluasan dan peningkatan perbaikan gizi pada PJP II. Dengan makin melembaganya norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS), serta mengecilnya jumlah anggota dalam keluarga akan meningkatkan peluang untuk perbaikan derajat gizi keluarga. Meningkatnya pendidikan keluarga terutama wanita akan berpengaruh terhadap kemampuan keluarga dalam membina dan memelihara kesehatan dan pengaturan gizi. Selain itu, kegiatan penyuluhan gizi yang didukung oleh perkembangan teknologi 182

informasi, memungkinkan masyarakat dapat menerima pengetahuan mengenai gizi dari berbagai media dengan lebih cepat. Kegiatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), meskipun belum merupakan gerakan masyarakat yang andal, telah dikenal secara luas di hampir semua desa. Selain itu, kegiatan penyuluhan gizi melalui berbagai media yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi akan dapat diterima lebih cepat oleh masyarakat. Kerja sama lintas sektor dalam UPGK yang makin baik dan kemampuan lembaga swadaya masyarakat, terutama peran PKK dalam posyandu yang makin meningkat akan mendukung upaya perbaikan gizi lebih efektif. Peran posyandu dalam pelayanan kesehatan yang makin meningkat, khususnya imunisasi akan menurunkan angka penyakit yang mempengaruhi status gizi terutama diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Kemudian, dengan makin baiknya koordinasi berbagai upaya pembangunan, baik di tingkat pusat maupun daerah, akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program perbaikan gizi. II. SASARAN DAN KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN 1. Sasaran a. Sasaran PJP II Dengan memperhatikan berbagai tantangan, kendala dan peluang serta arahan yang ditetapkan GBHN 1993, sasaran perbaikan gizi dalam PJP II adalah terwujudnya kesadaran gizi yang tinggi di masyarakat yang antara lain tercermin dari pola konsumsi pangan masyarakat yang beraneka ragam dan bermutu gizi seimbang; dan tercapainya penurunan prevalensi penyakit bukan infeksi akibat gizi-lebih seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker sampai pada tingkat yang serendah mungkin, 183

sehingga tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berarti. Merupakan sasaran pula pada PJP II turunnya secara bermakna berbagai jenis penyakit gizi-kurang terutama pada bayi, anak balita, dan ibu hamil sehingga tidak lagi menjadi masalah gizi masyarakat. Tabel 11-2 menyajikan data menurunnya prevalensi empat masalah gizi-kurang pada akhir PJP II yaitu (a) gangguan akibat kurang iodium (GAKI) menjadi 9 persen, (b) anemia gizi besi (AGB) pada ibu hamil menjadi 9 persen, balita menjadi 10 persen, dan angkatan kerja wanita menjadi 10 persen, (c) kurang energi dan protein (KEP) terutama pada ibu hamil, bayi baru lahir dan balita, serta anak-anak sekolah dasar yang diperlihatkan melalui penurunan prevalensi KEP total pada anak balita menjadi 5 persen. Adapun untuk kurang vitamin A (KVA) pada akhir PJP II semua anak balita bebas dari kurang vitamin A. b. Sasaran Repelita VI Sasaran perbaikan gizi pada Repelita VI adalah tercapainya konsumsi rata-rata energi dan protein per. orang per hari sebesar 2.150 kilokalori dan 46,2 gram protein. Untuk itu, di masyarakat tersedia pangan yang cukup dengan mutu gizi rata-rata per orang per hari 2.500 kilokalori dan 55 gram protein. Guna memenuhi pedoman umum gizi seimbang, dari 55 gram protein tersebut, 15 gram berasal dari protein hewani yang terdiri atas 9 gram protein ikan dan 6 gram protein yang berasal dari ternak. Sasaran Repelita VI juga meliputi meningkatnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang gizi sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup manusia, serta meningkatnya peran serta aktif masyarakat terutama di perdesaan sehingga kegiatan UPGK menjadi gerakan masyarakat yang mantap. Selanjutnya, jumlah dan jangkauan posyandu makin meluas dan makin bermutu kegiatannya dalam mendukung UPGK di samping pelayanan kesehatan dasar di puskesmas serta pelayanan KB dan lain-lainnya. 184

TABEL 11-2 SASARAN PERBAIKAN G I Z I DALAM PJP II (persen) Akhir Repelita V ') P J P II Akhir Akhir Repelita VIII Repelita D(

Janis Sasaran

Akhir Repelita VI

Akhir Repelita VU

Akhir Repelita X

1. 2.

Gangguan akibat kurang sodium (GAKI) Anemia, kurang zat gizi bees (AGB) pada: a. Ibu hamil b. Balita c. Angkatan kerja wanita

27,7

18,0

15,0

13,0

11,0

9,0

83,5 55,5 30,0 40,0

40,0 40,0 20,0 30,0

30,0 25,0 15,0 21,0

22,0 18,0 13,0 18,0

18,0 13,0 12,0 12,0

9,0 10,0 10,0 5,0

3.

Kurang energi protein (KEP) total pada anak balita

Catatan : Angka perkiraan realisasi (keadaan pada akhir Repelita V)

Sasaran lain adalah menurunnya prevalensi empat masalah gizi-kurang, yaitu, GAKI, AGB, KVA dan KEP antara 25 persen sampai 75 persen dari keadaan pada akhir PJP I terutama pada wanita pranikah, wanita hamil, wanita menyusui, bayi, balita, dan anak sekolah khususnya SD. Dalam Tabel 11 - 3 disajikan rincian sasaran menurunnya prevalensi empat masalah gizi-kurang tersebut sampai dengan akhir Repelita VI yaitu GAKI menjadi 18 persen; AGB pada ibu hamil menjadi 40 persen, balita menjadi 40 persen dan tenaga kerja wanita 20 persen; sedangkan KEP balita menjadi 30 persen, dan pada akhir Repelita VI KVA pada anak balita turun menjadi 0.1 persen. Sasaran penurunan tersebut diutamakan pada keluarga-keluarga miskin di perkotaan dan perdesaan, dan penduduk di desa-desa tertinggal. 2. Kebijaksanaan Kebijaksanaan perbaikan gizi dalam Repelita VI meliputi (a) penyuluhan gizi masyarakat; (b) penanggulangan masalah gizikurang, dan (c) pengelolaan upaya perbaikan gizi. a. Penyuluhan Gizi Masyarakat Perhatian lebih besar diberikan pada penyuluhan gizi masyarakat yang merupakan kegiatan pokok dalam upaya meningkatkan keadaan gizi penduduk. Pada penyuluhan gizi masyarakat perhatian utama' diberikan pada upaya pencegahan dan penanggulangan masalah gizi-salah yang meliputi masalah gizi-kurang dan gizi-lebih antara lain melalui penganekaragaman pola konsumsi pangan. Khusus untuk tujuan penganekaragaman pola konsumsi pangan, kegiatan penyuluhan gizi antara lain ditekankan pada upaya melestarikan dan mengembangkan keanekaragaman makanan tradisional dari berbagai daerah. Selain itu perlu diperhatikan pula upaya guna menjamin agar penyediaan dan konsumsi pangan penduduk aman dari berbagai pencemaran bahan berbahaya yang merugikan kesehatan. Selanjutnya perkembangan iptek komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) dimanfaatkan secara 186

TABEL 113 SASARAN PERBAIKAN GIZI 1994/95 -1998/99 (person) Janis Sasaran Akhir Repelita VI Repelita V ) 1994/95 1998/99 27,7 27,7 18,0

1. Gangguan akibat kurang iodium (GAKI) 2. Anemia, kurang zat gizi bold (AGB) pads : a. Ibu hamil b. Balita c. Angkatan kerja wanita 3. Kurang energi protein (KEP) total pada anak balita

83,5 55,5 30,0 40,0

63,5 55,5 30,0 40,0

40,0 40,0 20,0 30,0

Catatan : Angka perkiraan realisasi (keadaan pada akhir Repelita V)

187

optimal guna meningkatkan jangkauan dan efektivitas kegiatan penyuluhan gizi. Pesan KIE gizi disesuaikan dengan nilai-nilai agama, kepercayaan, dan keyakinan serta kebiasaan setempat. Oleh karena itu, pemanfaatan media massa tidak terbatas pada apa yang ada di tingkat nasional tetapi juga memanfaatkan sebesar-besarnya media yang berkembang di daerah-daerah, baik media elektronik, cetak maupun media massa tradisional berupa kesenian-kesenian daerah. Selain itu, peran serta masyarakat seperti organisasi masyarakat, organisasi profesi, tokoh masyarakat dan agama, perlu lebih ditingkatkan, serta memadukan kegiatan tenaga lapangan dari berbagai sektor pembangunan lainnya. b. Penanggulangan Masalah Gizi-Kurang Upaya penanggulangan empat masalah gizi-kurang ditingkatkan, yaitu (1) gangguan akibat kurang iodium (GAKI); (2) anemia gizi besi (AGB) dan kurang vitamin A (KVA); dan (3) kurang energi dan protein (KEP). Oleh karena keempat masalah gizi tersebut umumnya erat kaitannya dengan masalah kemiskinan, penanggulangannya sejauh mungkin dipadukan dengan upaya penanggulangan kemiskinan, terutama di daerah perdesaan. 1) Gangguan Akibat Kurang Indium (GAKI) Perhatian lebih besar diberikan pada upaya penanggulangan masalah GAKI, mengingat dampak negatifnya terhadap perkembangan kecerdasan dan mental anak. Untuk itu, diadakan pengaturan keharusan untuk menambahkan zat iodium pada garam (iodisasi garam) untuk konsumsi. Demikian pula, kegiatan penyuluhan, pengawasan mum, penindakan hukum atas pemalsuan mutu garam beriodium makin ditingkatkan. Karena lokasi penderita GAKI umumnya tersebar di daerah terpencil, tanggung jawab lebih besar dari pelaksanaan iodisasi garam diserahkan kepada pemerintah daerah, terutama untuk daerah-daerah rawan GAKI. 188

Pelaksanaannya merupakan upaya terpadu berbagai sektor dengan dukungan peran serta masyarakat dan dunia usaha. Sementara itu, melanjutkan upaya lain untuk penanggulangan GAKI, seperti pemberian kapsul iodium, iodisasi air minum, dan cara lain yang efektif dan efisien sesuai dengan perkembangan iptek. 2) (KVA) Anemia Gizi Besi (AGB) dan Kurang Vitamin A

Penanggulangan AGB, terutama pada wanita hamil ditingkatkan, dengan cara meningkatkan konsumsi makanan yang kaya akan zat besi disertai pemberian pil besi secara komplementer pada kasus khusus dengan cara yang lebih efektif. Upaya yang lain adalah fortifikasi bahan makanan yang banyak dikonsumsi penduduk rawan AGB dengan peran serta aktif masyarakat dan dunia usaha. Dalam rangka penanggulangan KVA, upaya penyuluhan gizi terus dilakukan untuk meningkatkan konsumsi sayuran dan buahbuahan terutama bagi anak balita. Selain itu, secara lebih selektif pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi dilanjutkan terutama untuk daerah yang masih rawan KVA. Demikian pula, diupayakan fortifikasi vitamin A pada bahan pangan tertentu dengan peran serta aktif masyarakat dan dunia usaha. Perhatian khusus akan diberikan untuk mempertahankan keberhasilan yang telah dicapai dalam menanggulangi masalah KVA di berbagai daerah selama PJP I agar situasi yang telah membaik dapat dipertahankan dan ditingkatkan. 3) Kurang Energi dan Protein (KEP)

Upaya penanggulangan KEP yang masih banyak diderita oleh wanita hamil, bayi, balita, dan anak-anak sekolah dasar terutama di desa-desa miskin ditingkatkan. Oleh karena masalah ini sangat tergantung pada tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan keluarga, kegiatan penanggulangan ditekankan pada pentingnya 189

keterpaduan kegiatan penyuluhan gizi, peningkatan pendapatan, peningkatan pelayanan kesehatan dasar dan KB dalam mewujudkan keluarga sejahtera, serta peningkatan peran serta masyarakat dalam gerakan UPGK dan posyandu. c. Pengelolaan Upaya Perbaikan Gizi Produktivitas dan efisiensi pengelolaan upaya perbaikan gizi ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan jumlah dan mutu tenaga gizi yang profesional untuk berbagai jenjang dan tingkatan; peningkatan kegiatan penelitian unggulan di bidang pangan dan gizi; pengembangan penerapan teknologi pangan pascapanen untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan yang beraneka ragam dan bergizi; dan pengefektifan koordinasi berbagai kegiatan upaya perbaikan gizi dalam sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, kesehatan, kependudukan dan keluarga sejahtera, pendidikan, agama dan lainnya. Selain itu, dalam pengelolaan upaya perbaikan gizi ditingkatkan kemitraan antara pemerintah dan swasta. III. PROGRAM PEMBANGUNAN Upaya perbaikan gizi dalam Repelita VI dilaksanakan melalui satu program pokok, yaitu program perbaikan gizi, yang ditunjang oleh (1) program pendidikan dan pelatihan gizi; (2) program pengawasan makanan dan minuman; (3) program penelitian dan pengembangan gizi; dan (4) program diversifikasi pangan, serta program pembangunan lainnya di sektor pendidikan, kependudukan dan keluarga sejahtera, agama, industri, dan perdagangan.

190

1. Program Pokok a. Program Perbaikan Gizi Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat melalui kegiatan (1) penyuluhan gizi masyarakat; (2) usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK); (3) usaha perbaikan gizi institusi (UPGI); (4) upaya fortifikasi bahan pangan, dan (5) peningkatan penerapan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). 1) Penyuluhan Gizi Masyarakat Tujuan kegiatan ini adalah untuk memasyarakatkan pengetahuan gizi secara luas, guna menanamkan sikap dan perilaku yang mendukung kebiasaan hidup sehat dengan makanan yang bermutu gizi seimbang bagi seluruh masyarakat. Kegiatannya berupa penyampaian pesan-pesan mengenai pengetahuan gizi dan manfaatnya untuk mencegah berbagai penyakit dan meningkatkan kesehatan. Sasaran penyuluhan ini tidak saja masyarakat di perkotaan, tetapi juga masyarakat di perdesaan. Pesan penyuluhan tidak saja mengenai pencegahan dan penanggulangan masalah gizi-kurang, tetapi juga menekankan pentingnya pola makanan seimbang untuk mencegah timbulnya penyakit akibat gizi-lebih, seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker dan sebagainya. Untuk itu, disusun pedoman umum gizi seimbang (PUGS) sebagai pedoman utama dalam melaksanakan penyuluhan gizi. Kegiatan penyuluhan ini dilaksanakan dengan memanfaatkan perkembangan teknik komunikasi dan informasi yang lebih efektif, termasuk penggunaan media modern dan media tradisional di daerah-daerah. Kegiatan penyuluhan gizi masyarakat dilaksanakan secara terpadu oleh berbagai sektor pembangunan dengan peran serta masyarakat, yaitu di sektor kesehatan, pertanian, pangan, kependudukan dan keluarga sejahtera, agama, pendidikan luar sekolah, dengan keikutsertaan lembaga swadaya kemasyarakatan 191

termasuk organisasi profesi dan organisasi wanita terutama PKK di tingkat perdesaan. 2) Usaha Perbaikan Gizi Keluarga Upaya perbaikan gizi keluarga (UPGK) adalah gerakan sadar gizi dengan tujuan memacu upaya masyarakat terutama di perdesaan agar mampu mencukupi kebutuhan gizinya melalui pemanfaatan aneka ragam pangan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga dan keadaan lingkungan setempat. Kemampuan tersebut terutama sebagai perwujudan dari makin meningkatnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi bagi kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Dengan UPGK masyarakat juga makin aktif berperan dan berprakarsa dalam menanggulangi masalah kekurangan gizi di lingkungan masing-masing. Kegiatan UPGK dalam Repelita VI ditekankan pada upaya penanggulangan masalah gizi-kurang, yaitu GAKI, AGB, KVA, dan KEP, terutama pada wanita pranikah, ibu hamil, ibu menyusui, bayi, dan balita. Karena masalah tersebut erat kaitannya dengan masalah kemiskinan, beberapa kegiatan UPGK dipadukan dengan upaya penanggulangan kemiskinan. Kegiatan pokok UPGK adalah (a) penyuluhan gizi masyarakat perdesaan; (b) pelayanan gizi di posyandu; (c) peningkatan pemanfaatan lahan pekarangan. (a) Penyuluhan Gizi Masyarakat Perdesaan Kegiatan ini secara khusus memperhatikan masalah gizi yang terdapat di perdesaan. Sasarannya adalah seluruh anggota keluarga perdesaan. Cara penyuluhan disesuaikan dengan budaya setempat dan menggunakan pendekatan kelompok dan massa perdesaan dengan mengikutsertakan para pemuka masyarakat dan tokoh informal serta kelompok kesenian tradisional setempat. Melalui kegiatan penyuluhan gizi ini, peran serta aktif masyarakat dalam kegiatan UPGK lainnya, yaitu pelayanan gizi di posyandu dan peningkatan pemanfaatan lahan pekarangan diharapkan makin 192

meningkat dan meluas sehingga UPGK menjadi suatu gerakan masyarakat yang nyata di perdesaan. (b) Pelayanan Gizi di Posyandu Pelayanan ini diupayakan dan dikelola oleh lembaga kemasyarakatan setempat dan berakar pada masyarakat di perdesaan, terutama oleh organisasi wanita termasuk PKK. Sasaran pelayanan ini adalah untuk kelompok masyarakat perdesaan yang rawan gizi, yaitu wanita pranikah, ibu hamil, ibu menyusui, bayi, dan balita. Dengan makin meluasnya posyandu di hampir semua desa di Indonesia, pelayanan gizi di perdesaan makin dekat dan makin terjangkau oleh keluarga. Dengan keterpaduannya dengan pelayanan kesehatan dasar dan KB bagi ibu dan anak, posyandu merupakan ujung tombak penanggulangan masalah gizi-kurang seperti disebutkan di muka, yaitu GAKI, AGB, KVA, dan KEP. Kegiatan pelayanan gizi di posyandu meliputi (1) pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak, antara lain dengan penimbangan berat badan secara teratur; (2) pemberian paket pertolongan gizi berupa tablet besi (Fe) untuk ibu hamil, dan pemberian kapsul iodium untuk ibu hamil di daerah rawan GAKI, serta pemberian kapsul vitamin A kepada anak balita dan ibu menyusui; (3) pemberian makanan tambahan sumber energi dan protein bagi balita yang menderita KEP tingkat berat, jenisnya disesuaikan dengan keadaan setempat dan sejauh mungkin menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat sekitarnya; dan (4) pemantauan dini terhadap perkembangan kehamilan dan persiapan persalinan terutama mengenai pemanfaatan air susu ibu (ASI) untuk kebutuhan gizi bayi. (c) Peningkatan Pemanfaatan Lahan Pekarangan Kegiatan ini merupakan bagian dari program diversifikasi pangan dan gizi, dengan sasaran utama keluarga petani miskin yang berada di perdesaan tertinggal. 193

Tujuan kegiatan ini adalah untuk memberikan insentif kepada keluarga petani agar lebih giat dan lebih produktif memanfaatkan lahan pekarangannya guna memperbaiki konsumsi pangan dan menambah pendapatan keluarga. Kegiatan ini dilaksanakan melalui penyuluhan gizi yang diberikan oleh para penyuluh pertanian lapangan (PPL) bersama dengan kader penyuluh UPGK dan posyandu, dan para penyuluh serta kader di lapangan lainnya. Dalam penyuluhan diberikan bantuan paket sarana produksi, seperti bibit dan pupuk. Hasil lahan pekarangan sebagian dimanfaatkan untuk keperluan kegiatan pelayanan gizi di posyandu. 3) Usaha Perbaikan Gizi Institusi Usaha perbaikan gizi institusi (UPGI) adalah upaya peningkatan keadaan gizi kelompok masyarakat tertentu yang berada di suatu lembaga atau institusi, seperti sekolah, pusat pelatihan olahraga, rumah sakit, pabrik, perusahaan, lembaga pemasyarakatan, dan panti perawatan. Dengan ditingkatkannya keadaan gizi kelompok masyarakat ini, diharapkan dapat memacu peningkatan produktivitas kerja buruh, prestasi belajar dan olahraga, mempercepat proses penyembuhan, serta meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan kelompok masyarakat tersebut. Kegiatannya terdiri atas pelatihan tenaga penyelenggara makanan, bimbingan dan pengawasan terhadap institusi yang menyelenggarakan pelayanan makanan bagi orang banyak. Kegiatan ini dilaksanakan secara terpadu oleh tenaga-tenaga gizi, kesehatan, ketenagakerjaan, pendidikan, dan pengurus serta penyelenggara institusi yang bersangkutan. Bagi UPGI di sekolah, prioritas ditujukan untuk meningkatkan keadaan gizi anak-anak SD dari keluarga miskin terutama di perdesaan tertinggal. Anak-anak SD ini umumnya menderita kurang energi dan protein serta menderita anemia gizi besi. Kegiatannya berupa pemberian bantuan pemerintah untuk memberikan 194

makanan tambahan bermutu gizi di sekolah. Penyelenggaraannya dilaksanakan dengan peran serta orang tua, guru, dan masyarakat setempat. Dengan pemberian makanan tambahan ini, diharapkan anak-anak akan makin baik daya tangkapnya terhadap pelajaran dan mengurangi ketidakhadirannya di sekolah. Untuk sekolah lainnya di luar sasaran di atas, kegiatan UPGI merupakan bagian dari usaha kesehatan sekolah yang memberikan bimbingan dan pengawasan warung sekolah. Tujuannya agar warung sekolah menjajakan makanan yang bermutu gizi dan bersih serta aman dari bahaya pencemaran penyakit. Untuk UPGI olahraga, kegiatan pertama adalah memberikan pengetahuan tentang gizi kepada para olahragawan melalui pusat pelatihan, atau pada acara lainnya. Dengan pengetahuan gizi yang cukup, diharapkan para olahragawan memiliki disiplin untuk mematuhi pengaturan gizi makanannya sehari-hari sebagai bagian upaya pencapaian prestasi. Kegiatan kedua adalah, menetapkan standar persyaratan gizi penyelenggaraan makanan di pusat pelatihan dan asrama olahragawan; memberikan pelatihan kepada tenaga penyelenggara makanan olahragawan; serta memberikan bimbingan dan pengawasan. Kegiatan UPGI di rumah sakit (RS) merupakan bagian penting dari upaya pengobatan dan penyembuhan penderita yang dirawat di RS. Kegiatan penyelenggaraan makanan di RS didasarkan atas norma gizi dietetik yang selain memperhatikan kebutuhan diet menurut penyakit, juga memperhatikan syarat pembiayaan yang layak sesuai dengan kemampuan masyarakat dan serasi dengan budaya masyarakat setempat. Kegiatan UPGI di pabrik dan perusahaan memberikan perhatian pada pentingnya pemberian makanan kepada buruh dan karyawan di tempat kerja, sebagai bagian dari upaya meningkatkan produktivitas kerja. Kegiatannya berupa pemberian pelatihan tenaga, bimbingan, dan pengawasan.

195

Kegiatan UPGI di institusi lainnya, seperti di lembaga pemasyarakatan, panti perawatan anak dan lanjut usia terlantar dan sebagainya, menekankan pentingnya dipenuhinya kebutuhan gizi demi. kesehatan dan kesejahteraan penghuni. Kegiatannya juga berupa pelatihan tenaga, bimbingan, dan pengawasan. 4) Upaya Fortifikasi Bahan Pangan

Upaya fortifikasi bahan pangan adalah untuk memperkaya mutu gizi bahan makanan tertentu dengan menambahkan zat gizi tertentu yang dibutuhkan masyarakat yang menderita masalah gizi. Zat gizi tersebut untuk Indonesia adalah zat iodium, zat besi, dan vitamin A. Beberapa upaya perbaikan gizi yang memerlukan dukungan fortifikasi adalah penanggulangan GAKI melalui fortifikasi garam dengan iodium (iodisasi garam); penanggulangan KVA dengan fortifikasi vitamin A; dan untuk penanggulangan AGB melalui fortifikasi zat besi. Fortifikasi dilaksanakan bekerja sama dengan dunia usaha terutama di sektor industri yang didukung oleh sektor lainnya yang berkaitan. 5) Peningkatan Penerapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) adalah suatu kegiatan pemantauan perkembangan keadaan gizi masyarakat, yang bertujuan untuk (a) memberikan isyarat dini tentang kemungkinan timbulnya kekurangan pangan yang terjadi di suatu wilayah atau daerah tertentu; (b) menyediakan informasi tentang perkembangan penyediaan dan konsumsi pangan serta keadaan gizi masyarakat yang berguna bagi perencanaan, pengelolaan dan evaluasi program pangan dan gizi di tingkat daerah; (c) meningkatkan kemampuan daerah dalam memecahkan masalah pangan dan gizi berdasarkan keadaan setempat. Kegiatan SKPG meliputi (1) pemantauan keadaan pangan dan gizi di wilayah tertentu di tingkat kabupaten; (2) pemantauan 196

keadaan gizi balita di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa; (3) mengembangkan jaringan informasi pangan dan gizi di tingkat propinsi dan nasional. 2. Program Penunjang a. Program Pendidikan dan Pelatihan Gizi

Program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga gizi yang bermutu melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga profesional gizi pada jenjang D-1; jenjang D-3 dari akademi gizi; dan pendidikan sarjana dan pascasarjana melalui lembaga universitas di dalam dan di luar negeri. b. Program Pengawasan Makanan dan Minuman

Program ini bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap produksi dan peredaran makanan yang tidak memenuhi syarat terutama dari segi mutu, kesehatan, gizi, keselamatan, dan kejelasan dalam menentukan pilihan makanan sesuai dengan keyakinan agama. Kegiatannya terutama berupa pembinaan dan pengawasan mengenai (1) penggunaan bahan tertentu untuk ditambahkan ke dalam makanan olahan; (2) pemberian label pada produk pangan yang dipasarkan terutama mengenai komposisi gizinya, dan keterangan kandungan bahan dan cara pengolahan yang dapat memberi kejelasan sesuai dengan agama, kepercayaan dan keyakinan yang dianut oleh konsumen; (3) melaksanakan sistem pengawasan makanan nasional, dan (4) menyusun berbagai peraturan perundang-undangan mengenai makanan serta pemasyarakatannya. Program ini terutama dilaksanakan oleh sektor kesehatan, pangan dan pertanian, industri, dan hukum. c. Program Penelitian dan Pengembangan Gizi

Program ini bertujuan untuk meningkatkan penelitian gizi unggulan dengan melaksanakan setidak-tidaknya 10, riset unggulan 197

terpadu di bidang gizi, antara lain mengenai (a) perubahan pola pangan dan dampaknya pada perubahan pola penyakit dan keadaan gizi penduduk; (b) dampak lingkungan, toksin alami, dan timbulnya zat anti gizi dalam pangan terhadap kesehatan; dan (c) keamanan penggunaan bahan tambahan untuk makanan dan kemasan produknya di industri pangan, jasa boga, dan makanan jajanan. d. Program Diversifikasi Pangan Program ini bertujuan untuk meningkatkan penyediaan berbagai komoditas pangan melalui peningkatan produksi berbagai bahan pangan sehingga tercapai penganekaragaman konsumsi pangan oleh konsumen. Peningkatan produksi pangan tersebut meliputi pangan sumber karbohidrat, dan sumber protein, baik nabati maupun hewani, serta sayuran dan buah-buahan. Program ini dilaksanakan oleh sektor pertanian yang didukung oleh sektor kesehatan terutama dalam kegiatan UPGK. D. RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN DALAM REPELITA VI Program-program pembangunan tersebut di atas dilaksanakan baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam programprogram tersebut, yang merupakan program dalam bidang pangan dan perbaikan gizi, yang akan dibiayai dengan anggaran pembangunan selama Repelita VI (1994/95 - 1998/99) adalah sebesar Rp282.171,0 juta. Rencana anggaran pembangunan pangan dan perbaikan gizi untuk tahun pertama dan selama Repelita VI menurut sektor, sub sektor dan program dalam sistem APBN dapat dilihat dalam Tabel 11-4.

198

Tabel 114 RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI Tabun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 1998/99) ( dalam juta rupiah) No. Kode 02 02.1 02.1.03 13 132 13.2.05 Sektor/Sub Sektor/Program SEKTOR PERTANIAN DAN KEHUTANAN Sub Sektor Pertanian Program Diversifikasi Pangan dan Gizi SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL. KESEHATAN, PERANAN WANITA, ANAK DAN REMAJA Sub Sektor Kesehatan Program Perbaikan Gizi 13.450,0 89.670,0 27.920,0 192.500,0 1994/95 1994/95 1998/99

Anda mungkin juga menyukai

  • KKBRI
    KKBRI
    Dokumen13 halaman
    KKBRI
    Melda_edaa_San_5938
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Obgyn
    Penyakit Obgyn
    Dokumen11 halaman
    Penyakit Obgyn
    sonda.finka
    Belum ada peringkat
  • Kata Bijak
    Kata Bijak
    Dokumen1 halaman
    Kata Bijak
    Melda_edaa_San_5938
    Belum ada peringkat
  • JOMBANG
    JOMBANG
    Dokumen1 halaman
    JOMBANG
    Melda_edaa_San_5938
    Belum ada peringkat
  • KTI
    KTI
    Dokumen91 halaman
    KTI
    nyez_adjah
    Belum ada peringkat