Anda di halaman 1dari 14

FAKTOR RISIKO KE1ADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

(ISPA) PADA BALITA


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada Sistem Kesehatan Nasional adalah
suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia guna
mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal yang mana dikatakan bahwa peningkatan derajat kesehatan masyarakat
dipengaruhi oleh beberapa Iaktor yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan, tindakan serta bawaan
(congenital). Hidup sehat merupakan hak yang dimilki oleh setiap manusia yang ada didunia ini,
akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya (Anonim, 2007).
Sebagai upaya untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, pemerintah telah menyusun
berbagai program pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain kegiatan pemberantasan
Penyakit Menular (P2M) baik yang bersiIat promotiI, preventiI, kuratiI dan rehabilitatiI di semua
aspek lingkungan kegiatan pelayanan kesehatan.
Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator, salah
satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang telah berhasil
diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44 per 1000 kelahiran
hidup pada tahun 2007 (Anonim, 2008).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens InIeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup
adalah 15-20 pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO 13 juta anak balita di
dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara
berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan
membunuh 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).
Di Indonesia, InIeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama
penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada
daItar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA
tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di
Indonesia dengan persentase 22,30 dari seluruh kematian balita (Anonim, 2008).
InIeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses inIeksi akut berlangsung selama 14 hari,
yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari
saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Anonim, 2007).
Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas cepat
dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum,
kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. Usia Balita adalah
kelompok yang paling rentan dengan inIeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka
morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di negara berkembang.
Penemuan penderita ISPA pada balita di Sulawesi Tenggara, sejak tahun 2006 hingga 2008,
berturutturut adalah 74.278 kasus (36,26 ), 62.126 kasus (31,45), 72.537 kasus (35,94)
(Anonim, 2008). Sedangkan penemuan penderita ISPA pada balita di Kabupaten Konawe dari
tahun 2006 hingga 2008, berturut-turut adalah 8.291 kasus (23,63), 7.671 kasus (28,09) dan
7.289 kasus (24,63). Data kesakitan yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe
tiga tahun terakhir (tahun 2006 sampai dengan tahun 2008), Puskesmas Sampara menduduki
urutan kedua tertinggi ISPA dari 24 Puskesmas di Wilayah Kabupaten Konawe. Atas dasar
tersebut maka penulis memilih Puskesmas Sampara sebagai lokasi penelitian (Anonim, 2008).
Di Wilayah Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Sampara, penemuan penderita ISPA
pada balita tahun 2006 sebanyak 1.471 kasus (20,29) dan sebanyak 415 (28,2) kasus
peneumonia. Tahun 2007 sebanyak 1.059 kasus (24,62) dengan 258 (24,4) kasus pneumonia.
Kasus ISPA pada balita di Puskesmas Sampara pada tahun 2008 ditemukan sebanyak 1.149
dengan 383 (33,3) kasus pneumonia (Anonim, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka
kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi, sehingga dalam penanganannya diperlukan
kesadaran yang tinggi baik dari masyarakat maupun petugas, terutama tentang beberapa Iaktor
yang mempengaruhi derajat kesehatan. Menurut Hendrik Blum dalam Notoatmodjo, 1996,
Iaktor-Iaktor yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain Iaktor lingkungan seperti asap
dapur, Iaktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, Iaktor pelayanan
kesehatan seperti status imunisasi, ASI EkslusiI dan BBLR dan Iaktor keturunan.
Asap dapur dan Iaktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah sangat
berpengaruh karena semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun
menghirup asap rokok (bagi perokok pasiI) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak,
sedangkan Iaktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, ASI EkslusiI dan BBLR
merupakan Iaktor yang dapat membantu mencegah terjadinya penyakit inIeksi seperti gangguan
pernapasan sehingga tidak mudah menjadi parah (Anonim, 2007).
Banyak Iaktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA, yang dapat meningkatkan angka
kesakitan dan angka kematian akibat pneumonia. Hal inilah yang mendasari penulis untuk
meneliti Iaktor-Iaktor resiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimanakah Iaktor resiko kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara
Kabupaten Konawe Tahun 2009 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Iaktor resiko kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sampara
Kabupaten Konawe.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan asap dapur dengan kejadian ISPA pada balita.
b. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada
balita.
c. Untuk mengetahui hubungan ASI EkslusiI dengan kejadian ISPA pada balita.
d. Untuk mengetahui hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita.
e. Untuk mengetahui hubungan BBLR dengan kejadian ISPA pada balita.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe
dan Puskesmas dalam penentuan arah kebijakan program penanggulangan penyakit menular
khususnya ISPA.
2. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan
di bidang kesehatan, disamping itu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi
penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga dalam mengaplikasikan ilmu
yang telah didapat dan menambah wawasan pengetahuan.
II. TIN1AUAN PUSTAKA
A. Landasan Teoritis
1. Tinjauan Umum tentang ISPA
Istilah ISPA merupakan singkatan dari InIeksi Saluran pernapasan Akut dengan pengertian
sebagai berikut: InIeksi adalah masuknya ikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari
hidung hingga Alveoli beserta organ Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
InIeksi akut adalah inIeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk
menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam
ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan Pneumonia adalah proses
inIeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (Alveoli). Terjadi pneumonia pada anak seringkali
bersamaan dengan proses inIeksi akut pada Bronkus disebut Broncho pneumonia (Justin, 2007).


7

Berdasarkan pengertian di atas, maka ISPA adalah proses inIeksi akut berlangsung selama 14
hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari
saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Karna, 2006).
Untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan, maka penyakit ISPA dapat diketahui
menurut :
a. Lokasi Anatomik
Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya, yaitu : ISPA atas dan ISPA
bawah. Contoh ISPA atas adalah batuk pilek (common cold), Pharingitis, Tonsilitis, Otitis,
Ffluselesmas, radang tenggorok, Sinusitis dan lain-lain yang relatiI tidak berbahaya. ISPA bawah
diantaranya Bronchiolitis dan pneumonia yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
kematian (Anonim, 2000).
b. KlasiIikasi penyakit
Penyakit ISPA juga dibedakan berdasarkan golongan umur, yaitu :
1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas : pneumonia berat dan bukan pneumonia.
Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (Fast breathing), yaitu Irekuensi
pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya tarikan kuat pada dinding dada
bagian bawah ke dalam (Severe chest indrawing), sedangkan bukan pneumonia bila tidak
ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada naIas cepat (Anonim, 2002).
2) Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas : pnemonia berat, pnemonia
dan bukan pnemonia. Pneumonia berat, bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas. Pneumonia didasarkan pada
adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali
permenit atau lebih. Bukan pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah
dan tidak ada napas cepat (Anonim, 2002).
c. Tanda dan Gejala
Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2 ISPA) kriteria untuk
menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan adanya batuk dan
atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan Irekwensi napas (napas cepat) sesuai
golongan umur. Dalam penentuan klasiIikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok yaitu umur
kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun.
KlasiIikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran pernapasan
disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada
anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan
diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (fast breathing) dimana
Irekwensi napas 60 kali permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang kuat dinding dada
bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
Bukan pneumonia apabila ditandai dengan napas cepat tetapi tidak disertai tarikan dinding dada
ke dalam. Bukan pneumonia mencakup kelompok penderita dengan batuk pilek biasa yang tidak
ditemukan adanya gejala peningkatan Irekuwensi napas dan tidak ditemukan tarikan dinding
dada bagian bawah kedalam (Depkes, 2002)
Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan batuk yang dikelompokkan sebagai
tanda bahaya :
1) Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu tidak bisa minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor (ngorok), wheezing (bunyi napas), demam.
2) Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun yaitu tidak bisa
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor.
d. Penyebab Terjadinya ISPA
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma,
jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh Virus, sedangkan ISPA bagian
bawah dapat disebabkan oleh bakteri , virus dan mycoplasma. ISPA bagian bawah yang
disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai maniIestasi klinis yang berat sehingga
menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus, Stapilococcus, Pneumococcus,
Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan
iksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, ikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain
(Anonim, 2002).
e. Faktor Risiko ISPA
Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia dan berbagai publikasi
ilmiah, dilaporkan berbagai Iaktor baik untuk meningkatkan insiden (orbiditas) maupun
kematian (ortalitas) akibat pneumonia (Anonim, 2003).
Berbagai Iaktor risiko yang meningkatkan kematian akibat pneumonia adalah umur di bawah 2
bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan
ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, imunisasi yang tidak memadai,
menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan
yang salah (Anonim, 2003).
I. Penatalaksanaan Penderita ISPA
Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana penderita ISPA pada balita adalah balita dengan
gejala batuk dan atau kesukaran bernapas. Pola tata laksana penderita pneumonia terdiri dari 4
bagian yaitu :
1) Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentiIikasi gejala yang ada pada penderita.
2) Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran
menurun, Stridor, Whee:ing, demam Atau
dingin. Tanda bahaya pada umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun adalah tidak bisa minum,
kejang, kesadaran menurun, Stridor dan gizi buruk (Anonim, 2002).
3) Tindakan dan Pengobatan
Pada penderita umur kurang dari 2 bulan yang terdiagnosa pneumonia berat, harus segera dibawa
ke sarana rujukan dan diberi antibiotik 1 dosis.
Pada penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat
dilakukan perawatan di rumah, pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam 2 hari
atau lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam dan yang ada (Anonim,
2002).
Penderita di rumah untuk penderita pneumonia umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun,
meliputi :
a) Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya setelah sembuh.
b) Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan pemberian ASI.
c) Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan yang aman dan sederhana (Anonim, 2002).
Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia berat harus
segera dikirim ke sarana rujukan, diberi antibiotik 1 dosis serta analgetik sebagai penurun
demam dan whee:ing yang ada (Anonim, 2002).
Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali dilakukan dalam 2 hari. Jika
keadaan penderita membaik, pemberian antibiotik dapat diteruskan. Jika keadaan penderita tidak
berubah, antibiotik harus diganti atau penderita dikirim ke sarana rujukan. Jika keadaan penderita
memburuk, harus segera dikirim ke sarana rujukan (Anonim, 2002).
Obat yang digunakan untuk penderita pneumonia adalah tablet kotrimoksasol 480 mg, tablet
kotrimoksasol 120 mg, tablet parasetamol 500 mg dan tablet parasetamol 100 mg (Anonim,
2002).
2. Tinjauan Umum Tentang Balita
Balita yaitu anak yang berusia di bawah 5 tahun merupakan generasi yang perlu mendapat
perhatian, karena balita merupakan generasi penerus dan modal dasar untuk kelangsungan hidup
bangsa, balita amat peka terhadap penyakit, tingkat kematian balita masih tinggi (Anonim,2002)
.
Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat jasmani, sosial dan bukan hanya
bebas dari penyakit dan kelemahan. Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional,
menginggat angka kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka
kesakitan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan
dengan Iaktor lingkungan antara lain; asap dapur, penyakit inIeksi dan pelayanan kesehatan.
Salah satu Iaktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang
balita yaitu ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Untuk itu kegiatan yang
dilakukan terhadap balita antara pemeriksaan perkembangan dan pertumbuhan Iisiknya,
pemeriksaan perkembangan kecerdasan, pemeriksaan penyakit inIeksi, imunisasi, perbaikan gizi
dan pendidikan kesehatan pada orang tua (Lamusa, 2006).
3. Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian
a. Asap Dapur
Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain disebabkan oleh inIeksi kuman
juga disebabkan adanya pencemaran udara yang terdapat dalam rumah, kebanyakan karena asap
dapur. Pencemaran udara dalam rumah yang berasal dari aktivitas penghuninya antara lain :
pengguna bahan bakar biomassa untuk memasak maupun memanaskan ruangan, asap rokok,
pengguna insektisida semprot maupun bakar dan penggunaan bahan bangunan sintesis seperti cat
dan asbes (Sukar,1996)
Menurut Anwar (1992), bahan pencemar yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar
biomassa yang menimbulkan asap (asap dapur) yang berbahaya bagi kesehatan adalah :
1) Partikel
Partikel dalam asap pembakaran bahan bakar biomassa mengandung unsur-unsur kimia, seperti
timbal (Pb), besi (Fe), mangan (n),arsen (As), cadmium (Cd). Partikel yang terhisap dapat
menempel pada saluran pernapasan bagian atas masuk langsung ke paru-paru hal ini tergantung
pada kandungan kimia dan ukurannya. Paparan partikel dengan kadar tinggi akan menimbulkan
edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus. Beberapa logam seperti Pb dan Cd, bersiIat
akumulatiI, paparan yang berulang dan berlangsung dalam waktu lama akan menyebabkan
terakumulasinya logam-logam tersebut dalam alat pernapasan. Hal ini akan menimbulkan
pengaruh yang bersiIat kronis, yaitu terjadinya iritasi pada saluran napas sampai dengan
timbulnya kanker paru.
2) Senyawa-senyawa hidrokarbaon aromatik polysiklik.
Salah satu senyawa yang berbahaya terhadap kesehatan karena diketahui bersiIat karsinogenik
adalah ben:o-a-pyrene.
3) Formaldehid (HCHO)
Paparan Formaldehid dapat mengakibatkan iritasi pada mata, hidung dan alat pernapasan bagian
atas. Hal ini terjadi karena adanya reaksi ketika bahan pencemaran bercampur dengan air mata
atau lendir dalam saluran pernapasan.
4) Carbonmonoksida (CO)
Pengaruh akut inhalasi CO adalah berkurangnya persediaan oksigen dalam tubuh, yang
disebabkan oleh bergabungnya CO dalam darah dengan molekul hemoglobin membentuk CO-
Hb.

5) Nitrogendioksida (NO2)
Nitrogendioksida merupakan bahan pencemar udara yang paling banyak mempengaruhi
kesehatan paru bagian dalam. Paparan NO2 yang berlangsung lama dapat menambah kerentanan
terhadap inIeksi alat pernapasan oleh bakteri (pneumonia) atau virus (influen:a).
6) Sulfurdioksida (SO2)
Sulfurdioksida mempunyai siIat yang lebih mudah larut dalam air membentuk asam sulfat
aerosol, yang dapat masuk ke dalam paru dan mangganggu Iungsi paru.
Anak-anak/balita biasanya berada di dekat api atau berada di pangkuan ibunya ketika sedang
memasak dan saat menyiapkan makanan bagi keluarga sehingga kontak dengan polusi dari bahan
bakar biomassa dalam dapur, yang berlangsung secara terus menerus menyebabkan iritasi pada
mukosa saluran pernapasan, sehingga memudahkan terjadinya inIeksi.
b. Kebiasaan Merokok Dalam Rumah
Kesehatan yang kian mengkuatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya jumlah perokok
yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup
asap rokok (bagi perokok pasiI) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini tidak
bisa dianggap sepele karena beberapa penelitian memperlihatkan bahwa justru perokok pasiIlah
yang mengalami risiko lebih besar daripada perokok sesungguhnya (Dachroni, 2003).
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream sedangkan asap dari ujung rokok
yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream
dan asap mainstream yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau
lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasiI atau perokok
terpaksa (Adningsih, 2003).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga
menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit
angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada
balita. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan
seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap
rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat
dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di jaringan paru
mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan
pecahnya kantong udara (Dachroni, 2002).

.. Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta mempunyai nilai gizi
yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan yang dibuat manusia ataupun susu hewan
seperti susu sapi (Soeharjo, 1992).
Air Susu Ibu (ASI) EkslusiI berarti hanya memberikan ASI saja, tanpa tambahan makanan atau
minuman apapun termasuk air (obat-obatan dan vitamin yang tidak dilarutkan dalam air mungkin
dapat diberikan kalau dibutuhkan secara medis). Anak sampai usia enam bulan pertama hanya
membutuhkan ASI EkslusiI menyediakan segala-galanya yang dibutuhkan anak usia ini , isapan
anak menentukan kebutuhannya, oleh karenanya diberikan kesempatan sepenuhnya ia untuk
dapat menghisap sepuasnya (BKKBN, 2001).Sedangkan menurut Rusli (2004) ASI EkslusiI
adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan makanan/cairan
lain. Bayi yang mendapat ASI EkslusiI lebih tahan terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA),
karena dalam air susu ibu terdapat zat anti terhadap kuman penyebab ISPA (Anonim, 2004).
d. Status Imunisasi
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan
sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau
berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten.
Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada
penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya
(Anonim, 2008).
Imunisasi biasanya lebih Iokus diberikan kepada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh
mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit
berbahaya. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali, tetapi harus dilakukan secara
bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit yang sangat membahayakan kesehatan dan
hidup anak.
Tujuan dari diberikannya suatu imunitas dari imunisasi adalah untuk mengurangi angka
penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan
kematian pada penderitanya. Beberapa penyakit yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu
seperti hepatitis B, campak, polio, diIteri, tetanus, batuk rejan, gondongan, cacar air, TBC, dan
lain sebagainya.
InIeksi SPA adalah salah satu jenis penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit
yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri, batuk rejan dan
campak.
e. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Menurut Survei DemograIi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003, angka kematian neonatal
sebesar 20 per 1.000 kelahiran hidup. Dalam 1 tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1 bulan
meninggal, artinya setiap 5 menit ada 1 neonatus meninggal. Penyebab utama kematian neonatal
adalah bayi berat lahir rendah (BBLR) (29 ) yang kedua adalah asfiksia (27 ).
Berat Badal Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir dengan berat lahir 2500 gram. BBLR
terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang
bulan/prematur khususnya yang masa kehamilannya 35 minggu, biasanya mengalami penyulit
seperti gangguan napas, ikterus, inIeksi dan lain-lain. Sementara BBLR yang cukup / lebih bulan
umumnya organ tubuhnya sudah matur sehingga tidak terlalu bermasalah dalam perawatannya.
Mereka hanya membutuhkan kehangatan, pemberian nutrisi dan mencegah inIeksi (Anonim,
2007).
BBLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi pernapasan waktu lahir hingga dapat terjadi
asfiksia, selain itu BBLR juga berisiko mengalami gangguan napas yakni bayi baru lahir yang
bernaIas cepat ~ 60 kali/menit, lambat 30 kali/menit dapat disertai sianosis pada mulut, bibir,
mata dengan/tanpa retraksi dinding dada/epigastrik serta merintih, dengan demikian BBLR
sangat beresiko untuk terkena ISPA dibandingkan bayi bukan BBLR (Anonim, 2007).
B. Kerangka Konsep
Angka kesakitan dan angka kematian balita masih sangat tinggi, salah satu penyebab tingginya
angka kematian dan angka kesakitan pada balita tersebut adalah ISPA, dimana ISPA menduduki
urutan pertama tertinggi dari 24 Puskesmas di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Konawe.
ISPA merupakan penyakit inIeksi yang di sebabkan oleh bakteri maupun virus, lebih sering
terjadi pada anak berusia dibawah lima tahun (balita). Anak balita yang menderita ISPA apabila
tidak mendapat pengobatan dapat mengalami kematian. ISPA di pengaruhi oleh berbagai Iaktor
antara lain adalah:
1. Asap dapur sebagai sisa hasil pembakaran rumah tangga, bila terhirup secara terus menerus
dapat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah terutama kelompok balita, sehingga dapat
berisiko terjadinya sakit.
2. Asi banyak mengandung protein, kalori dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
membentuk sistem kekebalan tubuh sehingga terhindar dari penyakit dan inIeksi. Pemberian
makanan pendamping menyebabkan bayi kenyang sehingga tidak mau menetek.
3. Pemberian imunisasi yang tidak lengkap dapat menyebabkan kekebalan tubuh anak berkurang.
Dengan pemberian imunisasi campak dan DPT diharapkan anak balita akan terhindar dari
penyakit diIteri, pertusis dan campak yang menyebabkan komplikasi pneumonia.
4. Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat mencemari ruangan sehingga asap rokok dapat
terisap oleh anak balita.
5. Bayi dengan BBLR mudah menderita penyakit inIeksi terutama pneumonia dan saluran
pernaIasan lainnya karena perkembangan zat kekebalan tubuh kurang sempurna.
Mengingat kemampuan dan keterbatasan peneliti, maka tidak semua variabel Iaktor risiko
penelitian ini diteliti. Penelitian ini dibatasi pada Iaktor risiko seperti yang di gambarkan pada
kerangka konsep dibawah ini.
Berdasarkan pola pemikiran di atas maka dibuatlah kerangka konsep variabel yang diteliti
sebagai berikut :




A. Hipotesis Penelitian.
1. Ho : Asap dapur, kebiasaan merokok, BBLR, Imuisasi, letak dapur, bukan Iaktor risiko
kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe.
2. Ha : Asap dapur, kebiasaan merokok, BBLR, Imuisasi, letak dapur, merupakan Iaktor risiko
kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe.
III. METODE PENELITIAN
A. 1enis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan case control yaitu
membandingkan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol berdasarkan status
terpaparnya (Murty, 1997) dengan menggunakan pendekatan retrospektif dimana eIek
diidentiIikasi pada saat ini kemudian Iaktor risiko diidentiIikasi terjadinya pada waktu yang lalu
(Notoatmodjo, 2002).
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini rencana dilaksanakan pada bulan Maret 2009 sampai dengan April 2009 di
Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang pernah menderita ISPA yang ada di
Wilayah Kerja Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe 2008. Jumlah populasi 1.149 kasus
ISPA dan 383 kasus pneumonia.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah :
a. Sampel kasus dalam penelitian ini adalah semua balita yang pernah ISPA dan terpilih sebagai
sampel yang pernah berkunjung ke Puskesmas Sampara 2008. Sedangkan respondennya ibu
balita, pengambilan sampel dilakukan secara Porporsive Sampling. Besar sampel dalam
penelitian ini diperoleh berdasarkan rumus sebagai berikut :



a. Kontrol adalah keluarga yang memiliki balita sehat sebanyak 62 keluarga. Kelompok kontrol
diambil dari tetangga kelompok kasus yang memiliki ukuran yang sama seperti umur dan jenis
kelamin, hal ini untuk memudahkan peneliti dalam pengumpulan data dan jika mengambil
banyak Iaktor yang harus disamakan dengan kasus dapat menyebabkan kesulitan untuk
mendapat kontrol (Sastroasmoro dan Ismael,1995)
Jumlah total sampel adalah jumlah sampel kasus ditambah dengan jumlah sampel kontrol,
sehingga jumlah keseluruhan sampel adalah 124.
A. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner (daItar pertanyaan) dan
Komputer dengan program Statistical Product and Service Solution (SPSS), sebagai alat bantu
dalam mengumpul data serta mengolah data hasil penelitian.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu :
a. Asap dapur
b. Kebiasaan merokok
c. ASI EkslusiI
d. Status imunisasi
e. Berat badan lahir rendah (BBLR)
2. Variabel terikat
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu kejadian ISPA

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
Dalam penelitian ini, variabel yang diteliti dideIinisikan sebagai berikut :
1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
ISPA adalah penyakit inIeksi saluran pernapasan yang bersiIat akut dengan adanya batuk, pilek,
serak, demam, baik disertai maupun tidak disertai napas cepat atau sesak napas, yang
berlangsung sampai 14 hari.
Kriteria ObjektiI :
Menderita (1) : Bila hasil diagnosa dokter atau paramedis terlatih pada catatan medis
menunjukkan balita menderita ISPA.
Tidak menderita (2) : Bila hasil diagnosa dokter atau paramedis terlatih pada catatan medis
menunjukkan balita tidak menderita ISPA. (Depkes R.I., (2002)
2. Umur
Umur 1 tahun dan 1 5 tahun merupakan matching dimana umur balita yang menjadi sampel
kasus harus sama dengan umur balita yang menjadi kontrol.
3. 1enis kelamin
Jenis kelamin laki-laki dan perempuan merupakan matching dimana jenis kelamin yang menjadi
sampel kasus harus sama dengan jenis kelamin sampel kontrol.
. Asap Dapur
Asap dapur adalah asap/polusi yang ditimbulkan oleh bahan bakar yang berasal dari kayu/arang
yang digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak.
Kriteria ObjektiI :
Terpapar (1) : Bila asap dapur masuk dalam rumah dan terhirup oleh penghuni rumah. (Depkes
R.I., (2002)
Tidak terpapar (2 : Bila asap dapur tidak masuk dalam rumah
5. Kebiasaan Merokok Dalam Rumah
Kebiasaan merokok dalam rumah yaitu terdapatnya seorang anggota keluarga atau lebih yang
mengisap rokok dalam rumah.
Kriteria ObjektiI :
Ada (1) : Bila terdapat seorang atau lebih dalam rumah
Tidak ada (2) : Bila tidak terdapat perokok dalam rumah
(Depkes R.I., (2002)
6. ASI Ekslusif
ASI EkslusiI adalah memberikan ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan, tanpa makanan dan
minuman lainnya.
Kriteria ObjektiI :
ASI EkslusiI (1) : Bila sesuai dengan deIinisi tersebut di atas
Bukan ASI EkslusiI (2) : Bila tidak sesuai dengan deIinisi tersebut di atas. (Depkes R.I., (2002)
7. Status Imunisasi
Status imunisasi adalah pemberian imunisasi secara lengkap kepada bayi yaitu BCG 1 kali, DPT
3 kali, Polio 4 kali , hepatitis 3 kali serta campak 1 kali.
Kriteria ObjektiI :
Lengkap (1) : Bila pemberian imunisasinya lengkap
Tidak lengkap (2) : Bila pemberian imunisasinya tidak lengkap
(Depkes R.I., (2002)
. BBLR
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan 2500 gram.
Kriteria ObjektiI :
BBLR (1) : Bila berat badan bayi baru lahir 2500 gram
Bukan BBLR (2) : Bila berat badan bayi baru lahir 2500 gram
(Depkes R.I., (2002)
D. Prosedur Penelitian / Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer dikumpulkan dengan cara melakukan wawancara langsung dengan responden
berdasarkan daItar pertanyaan yang telah tersedia, baik itu data asap dapur, kebiasaan merokok
dalam rumah, ASI esklusiI, status imunisasi dan berat badan lahir rendah (BBLR).

2. Data Sekunder
Datas sekunder diperoleh dari hasil pencatatan dan pelaporan di Puskesmas Sampara, Dinkes
Kabupaten Konawe, Dinkes Prop. Sultra dan instansi terkait lainnya.
E. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer melalui program
Statistical Product and Service Solution (SPSS) for Windows versi 12.0.
F. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan secara deskriptiI dari masing-masing variabel dengan tabel
distribusi Irekuensi disertai penjelasan.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel dependent dan independent.
Karena rancangan penelitian ini adalah case control, hubungan antara variabel independent
dengan variabel dependen digunakan uji statistik Odds Ratio (OR) tabel kontigensi 2x2 dengan
tingkat kepercayaan 95 (a 0,05). Berdasarkan hasil uji tersebut di atas ditarik kesimpulan
dengan kriteria sebagai berikut :
a. Jika nilai p a maka Ho ditolak, berarti ada hubungan antara variabel dependent dengan
independent.
b. Jika nilai p a maka Ho diterima, berarti tidak ada hubungan antara variabel dependent
dengan independent.
. Penyajian Data
Penyajian data dilakukan setelah data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi
Irekuensi serta tabel analisis pengaruh antara variabel disertai narasi.

DAFTAR PUSTAKA





Adningsih, 2003. Tidak erokok Adalah Investasi, Interaksi Media Promosi Kesehatan
Indonesia No XIV, Jakarta.

Agustina, 1999. Pencahayaan dan Perhawaan Terhadap Perumahan Penderita TB Paru, Cermin
Dunia Kedokteran, No.84.

AlIrida, 2003. Perumahan Sehat, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes R.I. Jakarta.

Anonim, 1996. Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan Pnemonia pada
Balita Dalam Pelita JI, Jakarta.

, 1999. enanggulangi ISPA pada anak-anak, Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
, Jakarta.

, 2000. Batuk Pilek, Gefala Awal Pnemonia, Isakuiki.com.

, 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA untuk penanggulangan Pnemonia pada
Balita, Jakarta.

, 2003. Waspdai ISPA.Indosiar.com.

, 2004. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta.

, 2007. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.

, 2007. Profil Puskesmas Sampara Kabupaten Konawe. Provinsi Sultra, Kendari.

, 2008. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes R.I , Jakarta.

Anwar A, 1992, Pengaruh Pencemran Udara` Indoor` Pembakaran Biomassa Terhadap
Kesehatan : Majalah Kesehatan Masyarakat,Jakarta.

Arikunto, 2003 Prosedur Penelitian Dan Waktu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta. Jakarta.

Asnih, 2006. Hubungan Pola akan Tinggi Natrium, Kebiasaan erokok dan Konsumsi
inuman Beralkohol Terhadap Kefadian Hipertensi Pada Penderita Hipertensi Esensial Rawat
Jalan Di RSUD Provinsi Sultra, Kendari.

Budiyanto, 2002. Dasar-dasar ilmu gi:i Universitas Muhammadiyah Malang Edisi Revisi.

Dahlan.S.2005. Besar Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Arkans. Jakarta.

Dachroni, 2002. Jangan Biarkan Hidup Dikendalikan Rokok. Interaksi Media Promosi
Kesehatan Indonesia No XII , Jakarta.

, 2003. Promosi Kesehatan Penanggulangan asalah Rokok. Interaksi Media Promosi
Kesehatan No XIV, Jakarta.

Dinkes Prov. Sultra, 2007. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari.

, 2007 anafemen BBLR Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara.

Dinkes Kab. Konawe, 2007. Laporan Tahunan Penyakit ISPA Dinas Kesehatan
Konawe,Konawe.

, 2006. ProIil Puskesmas Sampara, Konawe.

, 2007 Laporan Bulanan Penyakit Puskesmas Sampara, Konawe.

Depkes R.I., (2002) Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk
Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen PPM-PLP. Jakarta.

Dewi, N.H.,(1995) Faktor-faktor Risiko yang dapat empengaruhi Terfadinya Pneumonia Pada
Anak Balita di Kabupaten Klaten. Tesis , UGM. Yogyakarta

Justin, 2006. Hubungan Sanitasi Rumah Tinggal Dengan Kefadian Penyakit Pneumonia,
Unhalu, Kendari.

Kristina, H., (2000) 'Analisis Faktor Risiko Terfadinya Penumonia Pada Anak Balita di
Kabupaten Dati II Boyolali` .Tesis UGM. Yogyakarta.

Lajamudi, 2006, Hubungan Faktor Lingkungan dan Prilaku Dengan Kejadian ISPA.Unhalu
Kendari.

Lubis, P., (1989) Perumahan Sehat. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI. Jakarta

Murti B, 1997 Prinsip Dan etode Riset Epidemiologi, UGM, Yogyakarta.

Notoatmodjo S, 1996. etode Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

, 2003. Ilmu Kesehatan asyarakat, RINEKA Cipta, Jakarta.

Salam, A.,(2006) Faktor Risiko Kefadian Pneumonia Pada Balita di Kabupaten agelang. Tesis
, UGM. Yogyakarta

Sastromoro S dan Ismael, 1995 Dasar- Dasar etodologi Penelitian Klinis, Inapura Aksara,
Jakarta.

Soeharjo, 1992. Perencanaan Pangan Dan Gi:i, Bumi Aksara, Jakarta.

Sukar, 1996. Pengaruh Kualitas Lingkungan Dalam Ruang ( Indoor ) Terhadap ISPA Pnemonia,
Buletin Penelitian Kesehatan, Bandung.

Sunita A, 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gi:i, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Victoria, C.G., Sandra, C.F., Flores, J.A.C., Fonseca, W., Kirkwood, B., (1994) Risk Factors for
Pneumonia Among Children in a Bra:illian etropolitan Area. J Pediatr, 93: 977-985.

Anda mungkin juga menyukai