Anda di halaman 1dari 5

Biografi Soe Hok Gie

Sebelumnya, dia hanya dikenal oleh mahasiswa tahun 1990an, itupun hanya melalui buku hariannya yang telah usang dimakan waktu. Beberapa orang sempat mengenalnya sebentar, namun lebih banyak yang tidak. Apalagi di jaman sekarang, ketika makin banyak orang yang dibuai dengan kisah-kisah inspirasional orang-orang luar negeri. Ia seperti tenggelam dimakan zaman. Padahal kalau bukan karena sikapnya yang berani keluar jalur, penuh semangat dan selalu mementingkan kepentingan rakyat pada masanya, negara kita mungkin tidak akan menjadi seperti saat ini. Dia adalah Soe Hok Gie, aktivis angkatan 1966 yang terlupakan. Lahir tanggal 17 Desember 1942 dari seorang keluarga keturunan Tionghoa, Soe Hok Gie menjalani masa kecilnya dengan tidak mudah. Persepsi masyarakat yang rendah pada orang-orang keturunan Tionghoa ini membuat ia biasa hidup sendiri. Ayahnya adalah seorang wartawan terkenal, sehingga sejak ia mulai membaca pun ia sudah melahap buku-buku berat. Perlahan-lahan buku-buku ayahnya tentang dunia jurnalis ia habiskan dalam waktu singkat. Hasratnya yang tidak pernah habis untuk melihat dunia luar membuatnya sering keluar masuk warung buku. Tanyalah padanya tentang kekejaman Nazi di Jerman, atau sadisnya paham Fasis seorang Musolini di Itali. Dengan lancar ia akan meringkas buku setebal ratusan halaman menjadi sebuah narasi yang enak untuk didengar. Wawasannya yang luas membuatnya dikagumi banyak teman. Namun karena luasnya pengetahuan dan begitu banyaknya pertanyaan yang tersingkap di benaknya, susah baginya untuk menemukan seorang teman yang bisa diajak berdiskusi untuk menjawab semua pertanyaan itu. Soe yang tidak pernah puas memutuskan untuk menulis. Darah seorang jurnalis mengalir kuat di dalam dirinya. Ia tak pernah lupa untuk membuat satu tulisan, entah itu berapa halaman atau mungkin hanya secuplik kejadian yang ia ceritakan secara runtut. Suatu hari, di laci lemari ayahnya yang kusam, ia menemukan buku kecil yang ia jadikan sebuah jurnal pemikirannya setiap hari. Buku inilah yang selalu ia bawa kemana-mana, menjadi

teman yang menghiburnya tatkala rasa ingin tahunya bergejolak dengan dahsyat. Seorang Soe yang pandai membaca dan menulis, begitu ia dikenal orang. Cara berpikirnya yang radikal, kuat dan tidak mau mengalah membuat ia menjadi keras kepala. Harus ada alasan yang benar dan kuat untuk membuat ia mengerti mengapa ia dikatakan salah. Hal ini membuat ia sering kena pemotongan nilai oleh gurunya, karena dianggap terlalu berani dan tidak menghormati guru. Baginya, guru bukan seorang dewa yang begitu saja memberi pernyataan tanpa ada dasar kebenaran yang kuat. Wawasannya yang terlalu luas pada usianya, dianggap lain oleh orang-orang disekitarnya. Suatu hari dalam pelajaran bahasa Indonesia, Soe yang pembangkang bersikukuh kalau salah satu puisi Chairil Anwar adlah jiplakan dari seorang penyair Inggris, Andre Gide. Guru bahasanya tidak mau terima, dan memberikan pemotongan pada nilai ulangannya. Soe tidak terima kalau ia hanya menjadi yang ketiga terpandai di kelas pada ulangan tersebut, padahal ia merasa dialah yang terpandai di kelas. Soe pun memutuskan membuntuti sang guru sampai pulang ke rumah. Namun, yang Soe lihat adalah sebuah perkampungan kumuh yang bau, tempat dimana sang guru tinggal. Niat Soe untuk membuat perhitungan pada guru tersebut hilang sudah. Pantaslah ia tidak tahu penyair sekelas Andre Gide, untuk hidup saja ia susah. Dari situ ia mulai melihat sebuah kenyataan yang pedih: masih banyak orang yang kekurangan disana. Aku besertamu, orang-orang malang ucap Soe dengan nada perih. Masuk SMA, gejolak kawula mudanya tidak ia salurkan seperti seorang yang mau beranjak dewasa. Ia tetap pada kesibukannya, terus mengisi keingintahuannya yang luar biasa dan terus menulis. Hari-hari di SMA ia sibukkan dengan terus mengembangkan pikiran dan analisisnya yang jernih. Bakat-bakat nasionalisme ia tumbuhkan, dan ia pun mulai belajar mencintai alam. Dari SMA, ia sudah dikenal hobbi jalan-jalan. Mencari panorama alam yang begitu langka di sekitarnya, itulah semangat yang ia tunjukkan ketika memutuskan membangun klub pecinta alam MAPALA UI atau Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia. Walaupun masalah keuangan sering menerpa organisasi ini, namun semua itu berjalan lancar dengan keahlian Soe melobi para mahasiswa berduit untuk sekedar membantu atau sekalian ikut dalam pendakian. Mimpi besarnya, adalah menaklukkan Gunung Semeru, gunung tertinggi di pulau Jawa. Mimpi yang mustahil bagi seorang keturunan Tionghoa berbadan kecil yang tidak bisa naik motor ini.

Ketika akhirnya gejolak politik Indonesia mulai mencaci maki rakyatnya yang penuh derita, naluri Soe akan kebenaran yang hakiki benar-benar terpanggil. Kampusnya mulai dijejali paham-paham Sukarnois, atau anti-Sukarnois. Soe pun ikut dipanggil untuk membuat gerakan bawah tanah yang terus mendukung kebenaran. Namun, ia kecewa ketika ternyata ujung dari organisasi yang diikuti ternyata tidak sesuai harapan, bukan kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan utamanya. Ia pun sering loncat-loncat organisasi. Kekecewaan demi kekecewaan akan organisasi pemuda yang tidak tulus membela rakyat yang semakin menderita, membuat ia memilih jalan sendiri untuk menyuarakan keadilan: menulis. Bakat murni dari ayahnya mulai ia pamerkan pada media massa. Tulisannya yang begitu istimewa diterima oleh media cetak yang juga ingin ikut menyuarakan keadilan bersamannya. Tulisantulisan Soe pun mulai mendapat tempat di masyarakat. Berkat dorongan teman-temannya, Soe mulai masuk senat kemahasiswaan kampus. Mewakili Fakultas Sastra, Soe menggiring teman-temannya untuk ikut ambil suara pada perjuangan membela rakyat. Persepsi menara gading sebuah kampus harus dibuktikan terbalik dengan mendukung perjuangan untuk membela rakyat. Walaupun banyak yang tidak setuju, dengan kerja keras dan semangat tinggi, Soe berhasil menggiring opini tentang melanjutkan perjuangan kemerdekaan dengan mengadakan demonstrasi untuk membela rakyat. Dan pada Januari 1966, muncul gerakan unjuk rasa yang menuntut pengembalian kebijakan pemerintah untuk mendukung kesejahteraan rakyat. Gelombang unjuk rasa ini didukung di beberapa daerah lain yang ikut setuju dengan usul Soe. Unjuk rasa ini berlangsung damai, dan ikut didukung oleh rakyat yang terharu melihat perjuangan anak muda generasi muda, bermandikan peluh untuk mengubah kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik. Perjuangan Soe dan teman-temannya memang membuahkan hasil. Rezim yang berkuasa akhirnya berganti, dan harapan-harapan pun muncul menghiasi benak rakyat. Mahasiswa-mahasiswa yang keras menyuarakan perubahan ikut digandeng menjadi anggota perwakilan rakyat. Tapi Soe lebih memilih mundur, kembali ke peraduannya dengan buku dan tulisannya yang jernih dan dilakukan hanya demi kesejahteraan rakyat. Ia memilih menghindar dari silaunya kursi empuk dan ruangan dingin menjadi perwakilan konstitusional, namun memilih kembali ke pangkuan bumi pertiwi yang indah ini. Ia kembali menjalankan MAPALA UI, merencanakan pendakian-pendakian yang membawanya kembali pada udara bersih pegunungan. Mimpinya untuk menjadi orang paling tinggi di Jawa dengan menaklukan

Gunung Semeru ia rintis dari awal. Ia memutuskan untuk merayakan ulang tahunnya yang ke27 di atas kawahnya, dan membuatnya semakin spesial. Tak ada yang menyangka, mimpi yang ia rintis ulang itu justru menyeretnya kembali ke pangkuanNya. Pendakian MAPALA UI ke Gunung Semeru menjadi pendakiannya yang terakhir. Tanggal 16 Desember 1969, dilingkupi kabut pegunungan, Soe akhirnya melepaskan jiwanya ke pangkuan yang maha esa, meninggalkan jasadnya yang tak bisa dievakuasi karena medan yang terlalu berat dan cuaca buruk di sekitar Gunung Semeru. Meninggalnya Soe yang begitu tiba-tiba mengagetkan semua orang yang mengenalnya, hingga semua pembaca yang selalu menunggu tulisan-tulisannya. Semangat Soe kini menjadi kenangan, pribadinya yang bersih dan jujur sudah tiada. Rasa kehilangan yang begitu besar mendorong harian Sinar Harapan untuk membuat rubrik khusus tentangnya selama seminggu penuh. Ia dikremasi seperti layaknya orang Tionghoa, dan abunya disebar di Lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango. Tahun 1983, buku kecil Soe diterbitkan menjadi buku berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran. Semangatnya kembali hidup dan ditebar oleh buku kecil ini. Walaupun sempat menghilang karena tidak diurus, namun seorang sineas fenomenal Indonesia justru membangkitkan kisahnya menjadi sebuah film, bertitel Gie. Film ini menceritakan sejarah hidup Soe yang diambil dari buku kecilnya, teman seperjuangannya. Buku itu pun diterbitkan lagi oleh instansi yang sama dengan cetakan buku pertama. Walaupun banyak baian-bagian hidup Soe yang hilang, namun tulisannya masih seperti ketika ia masih ada. Semoga semangatnya akan tetap ada pada generasi muda penerus bangsa selanjutnya. Hal-hal yang menarik dari Soe Hok Gie: 1. Soe Hok Gie merupakan seorang Tionghoa yang bahkan nasionalismenya melebihi seorang Indonesia. 2. Kemampuannya membaca, memahami buku dan menganalisis sebuah kejadian membuatnya sanggup untuk melihat sisi positif dari suatu kejadian yang paling buruk sekalipun. 3. Tulisannya yang jujur, bersih, dan selalu memihak pada kemanusiaan itulah yang membuatnya istimewa.

4. Kekecewaan demi kekecewaan akan organisasi pemuda yang tidak tulus membela rakyat yang semakin menderita, membuat ia memilih jalan sendiri untuk menyuarakan keadilan: menulis. 5. Ia memilih menghindar dari silaunya kursi empuk dan ruangan dingin menjadi perwakilan konstitusional, namun memilih kembali ke pangkuan bumi pertiwi yang indah ini. Ia kembali menjalankan MAPALA UI. Sikap yang bisa diteladani dari Soe Hok Gie: 1. Kerja keras dan kedisiplinan 2. Semangat pantang menyerah 3. Membela yang benar dan tidak langsung memihak kekuasaan
4. Tidak silau dengan harta kekayaan dan kursi kekuasaan

Anda mungkin juga menyukai