Anda di halaman 1dari 4

UNDANGAN

Undangan dari kampung itu datang lewat pos. Undangan dari Mbak Wati, saudara sepupu
istriku. Dia akan kawin dan mengundang kami sekeluarga untuk ikut serta memberikan 'doa
restu pada mempelai berdua. Istriku menyambut datangnya undangan itu dengan penuh
semangat.
'Mbak Wati adalah satu-satunya anak Pak De yang paling akrab denganku, kata Istriku tetap
dengan nada tinggi. Kita mesti datang. Kita harus datang, mas. Kalau tidak, mau kutaruh di
mana muka ini nanti. Aku menanggapinya dengan kalem.
Tidak harus
Kok?
Undangan itu kan hanya sekedar basa-basi. Pemberitahuan. Artinya dia masih ingat pada kita,
lalu ngasih tahu bahwa dia mau kawin. Kalau tidak, tahu-tahu sudah bunting tanpa pernah dengar
kapan kawinnya kan tidak lucu?
Tidak!
Tidak bagaimana maksudmu?
Kita mesti datang. Harus :
Tidak perlu. Dengar! Tidak perlu. Soalnya begini, kalau mbak Wati betul mengharap kita datang,
dia atau malah Pak De sendiri, pasti akan kirim kabar yakni surat dan bukan undangan kayak
gini, sedari dulu jauh-jauh hari. Ke kampung kan tidak sama dengan mau belanja ke Mester.
Tapi kita kan tetap bisa datang? Apa coba alasannya kok sampeyan keberatan Mas?
Aku tidak keberatan. Aku senang saja kita bisa kumpul-kumpul Iamili begini. Tapi lihatlah
manIaat dan kerugiannya.
Rugi?
Coba kalau kita datang ke sana berdua, berempat sama anak-anak, keretanya saja sudah berapa?
Belum untuk lain-lain, belum kadonya!
O, jadi sampeyan sayang keluar duit untuk saudara, ya? Karena yang mau kawin saudaraku,
gitu? Coba kalau saudara Mas sendiri. Pasti akan ngotot untuk berangkat.
Aku sedikit tersinggung. Soalnya alasan keberatanku bukannya semata soal duit. Biaya itu ada
meskipun tidak berlebihan. Tapi kerepotannya? Coba, aku memang bisa setiap saat
meninggalkan pekerjaan karena kerjaku selama ini memang lebih kelihatan seperti main-main.
Bagaimana dengan dia sendiri? Dia pagi-pagi mesti datang ke kantor. Sorenya sekolah, dan
malamnya seminggu dua kali mengikuti kursus. Apakah itu bisa seenaknya saja dia tinggalkan?
Sayang sekali kan? Lagi pula ijin dari boosnya belum tentu dapat.
Bagaimana dengan ijin dari kantormu? Aku sih tak ada persoalan.
Aku kan bisa ambil cuti?
Sekolahmu? Kursusmu?
Aku kan tinggal her dua? Kursus sih bisa saja ditinggal barang semingguan. Yang penting kan
sudah bayar!
Baik kalau begitu. Soalnya aku sebenarnya tak begitu keberatan dengan rencanamu itu, gimana
dengan kucing, burung, ayam lalu itu harta bendamu itu? Tanaman hias itu, siapa yang mau
mengurusnya selama seminggu? Akan dibiarkan saja mati?
Aku akan minta Bi Minah sebelah tidur sini!
Bi Minah? Kau minta tidur sini? Kau percaya sama orang macam dia itu? Jangan!
Lalu siapa?
Ya sebaiknya kita tidak usah pergi. Begini. Kalau kita jadi pergi, minimal akan keluar duit
duapuluh ribu bahkan saya yakin pasti akan lebih malah bisa saja sampai duakali lipat.
Bagaimana kalau jumlah itu kita belikan kado saja lalu kita kirim via bis malam hingga bisa tepat
datang pada saat penganten?
Mbak Wati tidak ingin kado Mas! Dia tidak akan ambil pusing meski kau belikan kado seharga
limapuluh atau sampai seratus ribu sekalipun. Yang penting baginya adalah kita bisa datang.
Tidak bawa kado juga tak apa-apa.
Lalu bagaimana? Siapa yang bisa kita mintai bantuan tunggu rumah?
Anu deh Mas! Coba besuk aku bilang sama Susy. Dia senang pasti kita minta tidur di sini
seminggu. Susy teman istriku yang belum menikah.
Oke, kalau begitu direncanakan. Kapan kita berangkat, kapan kita kembali, kita perlu uang
berapa, jadi nanti tinggal pergi begitu saja tak usaha ribut.
Kalau bisa kita ya hadir di hari kawinnya jangan hanya di resepsinya saja.
Pas nikahnya maksudmu?
Ya.
Kalau begitu kita mesti berangkat Kamis. Jadi sampai di sana Jum`at pagi. Nikahnya Sabtu kan?
Jangan Mas! Jum`at pagi aku masih harus ketemu rektor soal ujian bulan depan ini.
Lalu?
Ya Jum`at saja. Jadi sampai sana Sabtu pas nikahnya. Resepsinya kan Minggu pagi.
Kalau terlambat?
Mana ada sekarang kereta terlambat? PJKA kan sudah rapi?
Oke, kalau begitu kita berangkat Jum`at.
Rencananya siang itu aku mau antre karcis. Istriku mau ke sekolah untuk ketemu rektor. Susy
katanya juga sudah siap dengan tasnya berisi pakaian dan macam-macam. Dia geli karena mau
mengungsi selama seminggu. Semua kelihatannya berjalan lancar sesuai dengan rencana, tahu-
tahu pagi itu anakku yang kecil mencret-mencret dan panas. Aku usul agar anak itu dibawa ke
Puskesmas, Istriku menolak.
'Kasih saja pil Ciba, katanya. Aku mengalah. Tapi sorenya keadaan tambah gawat. Terpaksa
anak itu dibawa ke dokter. Aku sedikit lega ketika dokter itu bilang tidak apa-apa. Bukan
muntaber. Hanya karea salah makan dan kondisi badan kurang baik saja. Dokter itu lalu
menyuntik, menulis resep dan menagih rekening. Istriku nampak bersungut-sungut. Soalnya
kalau anak itu tidak sakit, kami pasti sudah sampai di stasiun.
Aku mengira istriku akan jadi kendor. Masakan anak sakit begitu akan dipaksa naik kereta
semalaman dan nanti di kampung kan pasti tak akan bisa istirahat? Ibu yang baik dan bijaksana
pasti akan sejalan dengan pikiranku itu. Tapi ternyata istriku tetap saja masih ngotot. Sekarang
gagal tak apa. Besuk kan masih bisa berangkat. Resepsinya kan masih hari minggu. Susy yang
malam itu sudah terlanjur datang dan tidur di rumah kami juga ikut memberi nasehat pada
istriku. Tapi nampaknya tekad istriku sudah sulit untuk dibendung. Untung paginya anakku yang
kecil itu keadaannya sudah mulai membaik. Dia sudah mau makan dan sudah kembali berlarian
main-main dengan kakaknya. Jam sepuluh aku antri karcis di stasiun.
Sore itu rencananya Susy mau ikut serta menganar kami sampai ke stasiun. Tentu saja kularang.
'Jangan. Tugasmu kan tunggu rumah. Nanti kalau kau pergi kan rumah kosong. Karena
berangkatnya kereta jam delapan lewat, maka menurut pendapatku, kami harus sudah siap di
stasiun paling lambat jam delapan. Perjalanan dari rumah ke stasiun kalau pakai taksi ya sekitar
seperempat jam. Itu kalau jalanan lancar, kalau macet ya bisa sampai setengah jam bahkan tak
jarang bisa sampai satu jam lebih. Itulah sebabnya aku ingin jam tujuh kurang kami berangkat.
Jadi jam enam aku mulai berkemas. Melihat aku pakai baju dan mengenakan sepatu, istriku
melotot.
'Kan baru jam enam? Memangnya kita mau bengong di stasiun? Lagi pula anak-anak pasti pada
ribut kalau sudah melihat bapaknya pakai sepatu begitu! Aku diam saja dan terus pakai sepatu
lalu mengemasi tas. Istriku masih sibuk dengan entah apa, mungkin dengan pekerjaannya di
sekolah.
Jam setengah delapan kami baru bisa berangkat. Susy masih saja ngotot mau ikut mengantar.
Aku tetap saja melarangnya. Tapi istriku membolehkannya?
'Biar saja? Kan sedikit banyak bisa membantu menuntun anak-anak. Paling juga cuma dua jam.
Emangnya sore-sore begini takut kalau ada maling? Susy lalu jadi ikut mengantar. Kami
menunggu taksi tapi tak kunjung datang. Takut karena terlambat istriku usul naik bajaj. Aku
bilang tak muat. Karena orang dewasanya 3, anaknya ada 2. Istiku bilang muat.
'Anak-anak kan bisa berdiri, begitu dalihnya. Bajaj dihentikan. Istriku menawar mulai dai
tigaratus. Supir bajaj mintanya enamratus. Itu memang sudah harga wajar. Istriku menaikkan
tawarannya jadi tigaratus limapuluh. Karena jengkel aku terus langsung naik. Istriku ngomel-
ngomel tak karuan. Sopir bajaj nampak seperti mau tersenyum. Baru berjalan sekitar sepuluh
menit, bajaj berhenti. Entah apanya yang rusak. Supir bajaj menyeret kendaraannya ke pinggir,
lalu mengutak-atik mesinnya. Sebentar kemudian bajaj berjalan lagi, tapi tak lama kemudian
berhenti lagi. Setelah tiga kali terulang, bajaj itu bilang agar kami naik bajaj yang lain dan minta
dibayar berapa saja. Istriku ngamuk. Dia mencaci maki supir bajaj habis-habisan. Bajaj rusak
begini dipakai narik, dan sebagainya. Dia protes tak mau membayar. Aku buru-buru merogoh
duit tigaratus dan kuserahkan supir bajaj. Maunya aku nunggu taksi saja, karena sekarang sudah
sampai di jalan besar, hingga taksi pasti banyak. Belum sampai terlaksana niatku, istriku sudah
kasih komando. Kami semua mesti naik bis kota. Aku menuntun anakku yang besar sambil
menenteng tas dan menurut saja diajak naik. Istriku, anakku yang kecil serta Susy sudah lebih
dulu masuk bis. Bis pun berjalan, karena sudah tak dapat tempat duduk, kami semua terpaksa
terus berdiri. Tiap sampai di halte bis berhenti untukmenurunkan penumpang dan menaikkan
penumpang baru. Prakteknya yang turun tidak ada tapi yang naik makin berjubel. Karena
didesak ke sana kemari, termos minuman anakku jatuh dan pecah. Dan aku serta istriku ribut
minta maaI pada para penumpang yang bersungut-sungut. Bis berjalan terus dan kami ribut
dengan termos yang pecah dan anak-anak yang pada nangis.
Karena tak sempat memperhatikan keluar, tahu-tahu bis berbelok. Bis itu memang akan ke
Banteng juga tapi jalannya muter jauh sekali dan tidak lewat stasiun. Aku jentik tangan istriku.
'Kita salah naik bis, istriku kaget. Spontan dia berteriak minta agar bis berhenti. Aku tak bisa
mencegahnya. Kernet kasih komando pada supir. Supir menginjak rem dan bis pun terhuyung-
huyung lalu berhenti. Belum sempat kami turun, petugas LLD mendekat lalu memaki. Soalnya
bis tidak berhenti pas di halte. Kernet dan supir ganti memaki istriku. Aku mendorong anak-anak
agar lekas turun. Setelah semua turun dan bis itu melaju lagi, kami menepi lalu menunggu taksi.
Karena kembali kami sampai di jalan yang tak begitu ramai, taksi itu lama sekali tak kunjung
datang. Istriku berkali-kali melirik pada jamnya. Aku diam saja. Taksi itu akhirnya datang dan
kami melaju ke stasiun. Persis pada saat kami turun dari taksi kereta api berangkat. Istriku
nampak merah padam. Dia bilang :
'Kita masih bisa naik yang ekonomi. Kita naik ekonomi saja! Dan pegawai stasiun yang
mendengar pembicaraan kami menjawab :
'Ya ini tadi kereta ekonomi, kereta api yang terakhir malam ini! ***
Sumber . Mafalah Kartini 191

Anda mungkin juga menyukai