akhir yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan jawabannya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi Source: http://islam-download.net/contoh-contoh/contoh-gurindam.html#ixzz1L78uqUtT Berikut adalah beberapa gurindam yang membentuk suatu kesatuan Sajak Dinamaku Namaku adalah pilu Katanya sejajar daun benalu Sedang mereka sebagai mawarnya Padahal kamilah yang mewangikannya Diri mereka nobatkan sebagai puncak langit Terkekeh memanggil hujan bebatu Pada masa lalu engakaulah melati Yang membelai kami saat bermimpi Dan masa lalu wangi mahkotamu memaku Kini tinggal dinding-dinding batu memisahkanku Dan masa lalu wangi mahkotamu memaku Kini tinggal dinding-dinding batu memisahkan Datang kumbang dari jauh merayu Jarimu adalah jariku karena kau jatuh cinta Tatapmu kini kaku dan beku Laut yang dahulu tidak setetespun memercikku Di kepalaku seharusnya kau bicara dengan istimewa Lihatlah kami meranggas di musim semi Kepada tanah hendam tulang demi tulang dan engkau pandai menunggu tulang menjadi zandi Namaku adalah sejuta Luka-luka jiwa yang kadaluarsa
Source: http://islam-download.net/contoh-contoh/contoh-gurindam.html#ixzz1L79Nzsks
Cinta 2
Benang itu telah kita urai, kasihku kini terangkai dalam rajutan cinta senyumlah dan genggam tanganku langkahkan kaki menuju matahari Jkt, Agustus 98
Tlah kita susuri jejak cinta di pasir pantai Buih dan debur ombak bergulung Awan dan angin menyisir rambutmu Mari kita gapai bahagia bersamaku Jangan pula ada kecewa jika tak seperti anganmu Jkt, 08-98
Cinta 3
Kecewa I
Ini kali kukecup bibirmu, perawan lidahku kelu, lugu sambutmu, tidak kuragu hijau lembaranmu, kasih, tapi jika tak seindah kenanganmu dulu, jangan kecewa, sebab terlalu kasep aku mengenal cinta. Jakarta, September 1998
Kecewa II
Rumah ini milikmu, milik kita walau cuma beratap cinta dan asa. Taman ini begitu indah, meski hanya tertanam bunga cinta. Ranjang ini pun milik kita walau cuma berlapis cinta. Jangan kecewa jika hanya cinta yang bisa kuberikan. Jakarta, September 1998
Kecewa III
Jangan Jangan Jangan Jangan
buih laut memanjakanmu. wangi melati merasuki mimpimu. kilau permata hinggap di anganmu. jika yang kita punya cuma cinta.
Pengakuan
Tataplah mataku, kasih, tanpa gemetar . Riak gelombang terpantul bersama luka menganga. Sudah sekian lama mendera sukma Sentuhlah jantungku, kasih, rasakan gejolak denyut kegundahan; sudah lama mengoyak jiwa Sia-sia kau katupkan bibirmu sebab telah kubaca lembar-lembar pengakuanmu, jujur kau tuliskan: "nafsu tak terkendali...." Jangan takut, kasih, tatap mataku dengan berani. Sambut tanganku, mari kita lambaikan untuk waktu yang telah berlalu, walau luka itu tak mungkin mengatup. Kubuka pengampunanku, ikhlas kuterima air matamu karena, ternyata kau masih perawan di malam pertama. Jakarta, Sep '98
Kenangan
Jalan panjang terbentang itu bukan lamunan, sayang. Telah kita rintis sejak dalam buaian. Percuma kau kenang kekasihmu dulu. Kini kau cuma milikku. Pendam kecewamu, jangan harap lagi masa lalu membalik diri. Hujan kala itu di Kaliurang, jadi kenanganmu. Jangan lagi kauharap kembali, sebab ia tak mungkin datang lagi. Tatap mataku, sayang. Jangan lagi palingkan muka. Jangan lagi menoleh ke belakang. Di rumah ini hanya ada kita berdua. Jkt, September 98
Pertarungan
Hitam lembar itu telah kusibak, dengan kelancangan. Catatan luka menganga memiriskan hati. Bukan aku suci jika darahku menggumpal dan tanganku mengepal. Dan, pertarungan itu tak pernah berakhir. Lukamu, lukaku, jadikan satu. Jkt, Sep 98
Yogya, 1988 (Pernah dimuat di Majalah Idola, No. 45, Tahun II, 16-31 Desember 1988
Jarak
Tlah kita sepakat buat jarak Yogya-Semarang tlah kita buat tekad memperdekat jarak dalam hati kita agar rentang tali makin kuat meski hari-hari kian sepi. Yogya, 1988 (Pernah dimuat di Majalah Idola, No. 45, Tahun II, 16-31 Desember 1988)
Keputusan
rentang tali kian rapuh dijelajah waktu tak kenal ampun jarak Yogya-Semarang kian jauh dan tlah kau putuskan: perpisahan itu mesti terjadi hari-hari kian sepi. Yogya, 1988 (Pernah dimuat di Majalah Idola, No. 45, Tahun II, 16-31 Desember 1988)
Puisi Kontemporer
Jenis puisi ini masih termasuk puisi prismatis. Bedanya, bila puisi prismatis masih mementingkan kata sebagai penyampai maksud atau ide penyairnya, maka puisi
kontemporer bukanlah arti yang ingin disampaikan penyair, melainkan kesan yang ditimbulkan oleh puisi tersebut. Puisi kontemporer ingin menciptakan komunikasi estetik bukan pemahaman Kata-kata dalam puisi kontemporer tidak lagi dibebani oleh arti atau makna, melainkan dibiarkan merdeka menciptakan kesan sesuai pembaca puisi kontemporer. Puisi jenis ini memiliki kekhasan dalam segi bentuk dan penggunaan diksinya. Puisi kontemporer sering disebut dengan puisi yang lari dari konvensional. Dalam hal ini, segi bentuk puisi ini pun cenderung aneh. Penggunaan kata-katanya seringkali memakai kata ejekan, makian, atau sindiran. Perhatikan puisi berikut.
Di Di Betul kau pasti sedang menghitung berapa nasib lagi tinggal sebelum fajar terakhir kau tutup tanpa seorang pun tahu siapa kau dan di kau maka kini lengkaplah sudah perhitungan di luar akal dan angan-angan di dalam hati kita tentang sesuatu yang tak bisa siapa pun menerangkatakan pada saat itu kau mungkin sedang di betul kan ?(Noorca Marendra)
SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri sepikul dosa sepukau sepi sepisau duka seriasau diri sepisau sepi sepisau nyanyi sepisau sepisaupi sepisaupanya sepikausepi sepisaupa sepisaupi sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya ke dalam nyanyi (Sutardji Calzoum Bachri) Kesan apa yang Anda dapat setelah membaca puisi tersebut? Pada puisi 1, bentuk atau tipografi puisi sangat ditonjolkan. Puisi tersebut sangat mementingkan gambaran visual. Namun, bentuk dan diksinya memiliki makna yang mendalam. Pada puisi 2, penggunaan katanya yang sangat menonjol. Perhatikan kata-katanya. Pengarang seakan melakukan penolakan terhadap gramatika bahasa. Secara keseluruhan, kedua puisi tersebut menimbulkan imaji visual dan bunyi
Duka itu saya saya ini engkau kau itu duka Duka bunga duka danau duka duri duka hari Dukaku duka siapa dukamu duka siapa duka bila duka Apa duka yang mana duka dunia ? DUKA DUKI Dukaku Dukamu. Duka diri dua hari dari sepi.
(Ibrahim Sattah
Puisi modern
D IKA KIMU Aku mengembara Badan lemah berdaya tiada Tinggi gunung yang kudaki Lepas mega menghadap wala Berapa kali aku terhenti Meebah diri melepas lelah Sekali aku meninjau ke bawah Takjub melihat permai permata Mana rumahku mana hamlaman Mata mencari kelihatan tiada Sekalian menyatu indah semata Terpaku diri memandang taman Tuhanku, hati hasratkan Engkau! Pimpin umat-Mu naik memuncak Tempat mega tiada menutup