Anda di halaman 1dari 14

eminis Therapy

Penilaian Pengguna: Buruk


Ditulis Oleh Ifdil Friday, 05 August 2011

/1
Beri Nilai

Terbaik

Feminis Therapy Oleh, KHAIRUL BARIYYAH Sejarah Perkembangan

Teori dan praktik terapi feminis berawal dari gerakan feminisme pada tahun 1960-an, di mana para wanita membentuk sebuah forum untuk secara aktif mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sosial patriarkal yang memposisikan mereka sebagai anggota masyarakat kelas dua

Tahun 1970 merupakan awal terbentuknya konseling feminis sebagai salah satu pendekatan dalam psikoterapi. Konseling dan psikoterapi feminis tidak dikembangkan oleh tokoh tertentu, tidak memiliki posisi teoretis tertentu, serta tidak dilengkapi dengan teknik tertentu (Enns, 2004; Evans et al., 2005). Konseling dan psikoterapi feminis fase awal ini didasari oleh pandangan bahwa para perempuan sama-sama memiliki pengalaman ditekan dan menjadi korban. Karena itu, hanya pendekatan proaktiflah yang secara efektif dapat membantu mereka.

Teori feminis berkembang melalui tiga fase yang berbeda: radikal, liberal, dan moderat. Teori feminis awal mengambil bentuk konseling dan psikoterapi radikal, di mana teori ini menggunakan teknikteknik yang didesain untuk membantu para wanita agar dapat menyadari bahwa masyarakat yang patriarkal merupakan pusat dari kebanyakan masalah mereka, dan perubahan tidak akan terjadi kecuali jika mereka diberdayakan agar dapat merasa dan bertindak sejajar dengan para pria

Tahun 1980-an dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut pemikiran feminis (Dutton-Douglas & Walker, 1988). Gagasannya adalah menguji teori-teori konseling tradisional dalam perspektif feminisme, dan kemudian menghilangkan bagian-bagian pendekatan tradisional yang memandang pria dan wanita secara dikotomis (patriarkal) (Elliott, 1999). Beberapa praktisi konseling feminis awal mengajukan androgini, yaitu integrasi antara karakteristik maskulin dan feminin tradisional, sebagai kondisi kesehatan mental ideal yang menjadi tujuan konseling (Enns, 2004). Konselor dan terapis feminis didorong untuk memilih metode-metode, yang terdapat dalam pendekatan-pendekatan tradisional, yang tidak berpotensi bias gender (Enns, 1993).

Sejak akhir tahun 1980-an, terjadi pergerakan dalam teori feminis yang memperkenalkan potensi feminin, fokus pada kesetaraan, dan mengajukan asumsi bahwa sebagian besar masalah wanita diciptakan oleh masyarakat yang tidak menghargai atau membebaskan para wanita untuk melakukan kehendaknya Hakikat Manusia Wanita, dalam banyak kultur besar, ditekan dan dieksfloitasi secara sistematis.

Dalam hal ini Llewelyn dan Osborne (1983) berpendapat bahwa terapi keluarga dibangun di atas empat asumsi dasar tentang pengalaman sosial wanita : 1. Wanita secara konsisten berada dalam posisi berbeda dengan pria. Misalnya, wanita cenderung memiliki kekuasaan dan status yang lebih lemah dalam pekerjaan. J.B. Miller (1987) mengobservasi bahwa wanita yang berusaha menjadi berkuasa ketimbang pasif dipandang sebagai egois, desktruktif dan tidak feminin. 2. Wanita diharapkan untuk sensitif terhadap perasaan orang lain, dan memberikan pelayanan emosional, terutama terhadap pria. 3. Wanita diharapkan untuk terhubung dengan pria, dengan demikian maka mendapatkan otonomi adalah hal yang sulit. 4. Masalah seksualitas menjadi sangat sulit bagi wanita. Faktor ini bersumber dari konteks sosial di mana imaji tubuh wanita yang ideal digunakan untuk menjual komoditas, kepercayaan diri seksualitas wanita merupakan ancaman bagi banyak pria dan kekerasan seksual terhadap wanita menyebar dengan luas. Hakikat Konseling Sejumlah penulis feminis telah menulis beberapa prinsip inti yang menjadi dasar dari praktik konseling feminis. Prinsip-prinsip tersebut saling berhubungan dan bertumpangtindih satu sama lain. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah:

Masalahindividu bersumber dari konteks politis. Prinsip ini didasari oleh asumsi bahwa masalahmasalah yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling bersumber dari konteks politik dan sosial. Khusus untuk perempuan, masalah tersebut seringkali berasal dari konteks marginalisasi, opresi, subordinasi, dan stereotipisasi. Pandangan tentang dampak konteks politik dan sosial terhadap kehidupan individu ini merupakan prinsip paling fundamental yang mendasari konseling feminis.

Komitmen pada perubahan sosial. Konseling feminis tidak hanya berusaha melakukan perubahan secara individual, namun juga perubahan sosial. Suara, pemahaman, dan pengalaman wanita diberi tempat yang sejajar dengan pria. Hubungan konseling berlangsung secara egaliter. Salah satu perhatian utama konseling feminis adalah mengenai power dan hubungan konseling yang egaliter. Para konselor feminis mengatakan bahwa telah terjadi ketimpangan power dalam hubungan konseling, sehingga mereka teguh mengusahakan egaliterianisme hubungan konseling serta menanamkan dalam-dalam prinsip bahwa konseli adalah ahli untuk dirinya sendiri.

Fokus pada kekuatan dan reformulasi definisi masalah psikologis. Beberapa konselor feminis menolak untuk memberikan label diagnostik penyakit mental pada konseli. Menurut mereka, faktor intrapsikis hanyalah penyebab parsial dari masalah yang dibawa oleh konseli ke dalam konseling.

Mengenali semua bentuk tekanan. Kondisi Pengubahan

Tujuan Menurut Enns (2004), tujuan konseling feminis berkisar pada pemberdayaan, menghargai dan menyatakan perbedaan, berusaha melakukan perubahan daripada hanya sekedar penyesuaian, kesetaraan, menyeimbangkan independesi dan interdependensi, perubahan sosial, dan self-

nurturance (menjaga diri). Enns juga menambahkan bahwa tujuan kunci konseling ini adalah untuk membantu individu agar dapat memandang dirinya sebagai agen kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain. Yang pasti, tujuan akhir dari konseling ini adalah untuk menghilangkan seksisme serta segala bentuk diskriminasi dan penindasan lainnya di masyarakat (Worell & Remer, 2003).

Konselor Konseling feminis bersandar pada seperangkat asumsi filosofis yang yang dapat diterapkan pada berbagai orientasi teoretis. Teori konseling apapun dapat dievaluasi dengan kriteria genderfair,flexible-multicultural, interaksionis, dan orientasi sepanjang rentang kehidupan. Peran dan fungsi konselor akan berbeda satu sama lain bergantung pada teori apa yang dikombinasikan dengan prinsip dan konsep feminis.

Konseli Konseli merupakan partisipan aktif dalam proses konseling. Konselor feminis akan memastikan bahwa konseling tidak akan menjadi arena di mana konseli (terutama konseli wanita) tetap pasif dan menjadi dependen. Sangatlah penting agar konseli bercerita dan memberikan pendapat mengenai pengalamannya.

Situasi Hubungan Hubungan konseling didasari oleh upaya pemberdayaan dan egaliterianisme. Struktur hubungan konselor-konseli memperagakan bagaimana mengidentifikasi dan menggunakan kekuatan secara bertanggungjawab. Konselor feminis menyatakan secara jelas nilai-nilai yang dianutnya untuk mengurangi kesempatan pemaksaan nilai. Hal ini akan memberikan kesempatan pada konseli untuk memilih apakah ia akan meneruskan konseling bersama konselor atau tidak. Ini juga merupakan langkah untuk men-demistifikasi proses konseling Mekanisme Pengubahan

Teknik-teknik konseling Para konselor feminis telah mengembangkan beberapa teknik secara mandiri serta mengadaptasi beberapa teknik dari pendekatan lain. Teknik yang sangat penting adalahConsciouness Raising Technique yang akan membantu para perempuan membedakan antara hal yang diterima dan diharapkan secara sosial dengan hal yang benar-benar sehat untuk mereka. Teknik yang lain adalah:

Pemberdayaan (empowerment) Membuka diri (self-disclosure) Analisis peran gender (gender-role analysis) Intervensi peran gender (gender-role intervention) Analisis kekuatan/daya (power analysis) Biblioterapi

Assertiveness training Reframing dan relabeling Aksi sosial (social action) Kerja kelompok (group work) Rujukan Capuzzi, D. & Gross, D.R. 2007. Counseling & Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice-Hall Corey,Gerald. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont,CA:Brooks/Cole Seligman, L. 2006. Theories of Counseling and Psycotherapy. Colombus, Ohio: Pearson Merrill Prentice Hall. Sharf, Richard S. 2004. Theories of Psychotherapy and Counseling. Columbus, Ohio: Pearson Merril Prentice Hall. Khairul Bariyyah*) Penulis saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Universitas Malang

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Istri


Kategori Individual Oleh : Pudji Susilowati, S.Psi Jakarta, 20 Februari 2008

Apakah anda korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ataukah anda termasuk ke dalam anggota masyarakat yang masih awam dengan KDRT? Apapun jawabannya dan siapapun anda, sebaiknya anda tetap perlu mengetahui informasi penting ini. Akhir-akhir ini, KDRT makin marak di masyarakat, terutama KDRT yang terjadi pada istri. Salah satu contoh kasus yang sempat marak dibicarakan adalah kasus KDRT yang dialami oleh Lisa, seorang ibu rumah tangga yang wajahnya menjadi rusak akibat disiram air keras oleh suamnya. Yang cukup mengundang pertanyaan disini adalah: "Apakah memang KDRT hanya terjadi pada istri tidak bekerja / Ibu Rumah Tangga, ataukah juga terjadi pada istri yang bekerja?" Untuk mengetahui jawabannya, simaklah pembahasan berikut. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suami pada istrinya, sebenarnya tidak hanya terjadi pada istri yang tidak bekerja tetapi juga pada istri yang bekerja. Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, sekitar 24 juta perempuan di Indonesia mengalami kekerasan dalam rumah tangga, tetapi jumlah yang pasti belum diperoleh. Di Indonesia, pada tahun 1998 jumlah kekerasan yang terjadi pada istri yang tidak bekerja adalah 39,7 % dan 35,7 % pada istri yang bekerja. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Amalia dkk. pada tahun 2000 ditemukan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami pada istri dikarenakan adanya stereotype bahwa laki-laki itu maskulin dan perempuan feminim, selain itu, suami juga merasa frustrasi dengan penghasilan istri yang lebih tinggi. Di Indonesia sendiri,

kasus kekerasan terhadap istri lebih banyak yang tidak terungkap karena adanya anggapan bahwa hal tersebut adalah masalah keluarga dan tabu apabila terungkap. Sehingga hal ini secara tidak disadari turut melanggengkan budaya kekerasan terhadap perempuan. Sungguh sangat mengenaskan bukan.
Padahal Julius Nyaree pernah mengatakan: "Kalau seorang perempuan itu berdaya, maka ia akan berdaya, dan kalau perempuan itu berdaya maka ia akan menyejahterakan keluarga dan masyarakatnya"

Oleh karena itu, kasus kekerasan terhadap istri merupakan suatu kasus tersendiri yang patut menjadi perhatian masyarakat karena mengakibatkan dampak yang merugikan bagi keluarga, termasuk anak-anak. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Istri Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan KDRT terhadap istri? KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Setelah membaca definisi di atas, tentu pembaca sadar bahwa kekerasan pada istri bukan hanya terwujud dalam penyiksaan fisik, namun juga penyiksaan verbal yang sering dianggap remeh namun akan berakibat lebih fatal dimasa yang akan datang. Gejala-gejala Kekerasan Terhadap Istri Mungkin yang akan mengundang pertanyaan adalah: "Bagaimana gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan?" Perlu diketahui bahwa gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan adalah merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Jika anda membaca gejala-gejala di atas, tentu anda akan menyadari bahwa akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Istri Jika anda sudah mengetahui gejala-gejalanya, maka selanjutnya yang harus anda ketahui adalah bentuk-bentuk kekerasan tersebut. Dengan mengetahui bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi, anda dapat menjadi lebih peka dalam menghadapi kasus KDRT, dan anda dapat membantu orang lain (baik yang anda kenal maupun tidak) yang mungkin mengalaminya. Jangan sampai terjadi, anda hanya sebagai penonton yang tidak berempati ketika mengetahui terjadinya KDRT di sekitar anda. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri tersebut, antara lain:

1. Kekerasan Fisik Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lainlain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. 2. Kekerasan Psikis Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri. 3. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri. 4. Kekerasan Ekonomi Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya. Penyebab Kekerasan Terhadap Istri KDRT pada istri tidak akan terjadi jika tidak ada penyebabnya. Di negara kita, Indonesia, kekerasan pada perempuan merupakan salah satu budaya negatif yang tanpa disadari sebenarnya telah diturunkan secara turun temurun. Apa saja penyebab kekerasan pada istri? Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain: 1) Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran. 2) Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. 3) Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.

4) Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. 5) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi. 6) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil. 7) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak. 8) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior. 9) Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya. Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi, bahkan diyakini sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan. Menanggapi hal ini, maka selanjutnya menjadi pertanyaan penting untuk semua dari kita, sebagai warga Negara Indonesia adalah: "Apakah kita berperan dalam budaya ini? Dan apakah kita akan terus membiarkan hal ini?" Siklus Kekerasan Terhadap Istri Mungkin Anda sering melihat bahwa seorang istri yang telah mengalami kekerasan dari suaminya, akhirnya akan kembali mengalami kekerasan. Bagaimana siklus kekerasan terhadap istri? Siklus kekerasan terhadap istri adalah suami melakukan kekerasan pada istri kemudian suami menyesali perbuatannya dan meminta maaf pada istri, tahap selanjutnya suami bersikap mesra pada istri, apabila terjadi konflik maka suami kembali melakukan kekerasan pada istri. Namun, Istri berusaha menganggap bahwa kekerasan timbul karena kekhilafan sesaat dan berharap suaminya akan berubah menjadi baik sehingga ketika suami meminta maaf dan bersikap mesra, maka harapan tersebut terpenuhi untuk sementara. Biasanya kekerasan terjadi berulang-ulang sehingga menimbulkan rasa tidak aman bagi istri dan adanya rasa takut ditinggalkan dan sakit hati atas perilaku suami. Ternyata, siklus kekerasan pada istri tanpa disadari menjadi seperti lingkaran setan.

Dampak Kekerasan Terhadap Istri Kekerasan terhadap istri menimbulkan berbagai dampak yang merugikan. Apa saja dampak kekerasan terhadap istri? Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan. Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya. Setelah Anda mengetahui dampak dari kekerasan pada istri maka Anda tentu harus turut berempati dengan berupaya memberdayakan dan menolong korban KDRT. Karena tanpa adanya perubahan pola pikir anda dalam memandang kasus-kasus kekerasan seperti ini maka kekerasan pada perempuan masih akan terus terjadi. Dan siapa pun dapat menjadi korban kekerasan termasuk Anda dan keluarga Anda. Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan Terhadap Istri Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan; menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah; mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan; mempromosikan kesetaraan jender; mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media. Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi. Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan.

Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masing-masing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan me-manage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu harus diawali dari orangtua. Sebagai penutup dari artikel ini, saya berharap semoga uraian di atas berguna bagi para pembaca sehingga pembaca turut berpartisipasi untuk menghentikan budaya kekerasan yang terjadi masyarakat kita. Daftar Pustaka

GENDER DAN PEREMPUAN KORBAN KDRT


KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA OLEH BAMBANG RUSTANTO

RUMAH TANGGAKU (RUKUN DAN TENTRAM) KELUARGAKU SURGAKU (BAHAGIA DAN SEJAHTERA) KELUARGA BAHAGIA SAKINAH = AYAH-IBU DAN ANAK MAWADAH = TENTRAM DAN RUKUN WA ROHMAH = BANYAK REZEKI DAN SEJAHTERA KELUARGAKU ADALAH MARTABATKU KEKUATAN BANGSA DAN NEGARA TERLETAK PADA KETAHANAN KELUARGA SETIAP ORANG TUA HARUS DAPAT MEMBANGUN KELUARGA YANG SEJAHTERA PERUBAHAN SOSIAL DAN KELUARGA Isu global yang memiliki efek pada berbagai sendi kehidupan baik dalam lingkungan keluarga maupun masyakat. Beberapa kasus di indonesia semakin meningkat korban kekerasan: 2004,15.929 untuk anak,59.666

untuk dewasa, 2.914 untuk lanjut usia,sehingga jumlah keseluruhannya mencapai 106.748 orang Laporan komnas perempuan indonesia memperlihatkan peningkatan KTK dilingkungan rumah tangga tahun 2002 sejumlah 3.160 orang, meningkat menjadi 14.020 tahun 2005. Pemerintah dan masyarakat perlu mendapat perhatian yang cukup serius dalam mencegah dan mengatasi tidak kekerasan sesuai dengan UU No.23 2004.

KETIDAKHARMONISAN KELUARGA ADA 65% SERING KONFLIK ADA 35% MENGALAMI PERCERAIAN ADA 2,5% MENGALAMI KDRT (Kepala BKKBN Pada Hari Keluarga Nasional Juli 2009) KERETAKAN KELUARGA TIDAK SEPAKAT ATAS NILAI DAN KEPENTINGAN BERSAMA TIDAK MENGHARGAI SUMBANGAN DARI ANGGOTA KELUARGA TIDAK MENJALANKAN AKTIVITAS KELUARGA SECARA BERSAMA TIDAK ADA KOMUNIKASI YANG EFEKTIF DAN MENDENGARKAN KELUHAN TIDAK SALING MEMBERI DUKUNGAN SATU SAMA LAINNYA (Trivette,1998) KEKUASAAN DALAM KELUARGA OWNER PROPERTI: SUAMI PENCARI NAFKAH DAN SANGAT DOMINAN HEAD COMPLEMENT ISTRI IKUT MENCARI NAFKAH DAN ISTRI TETAP DIBAWAH KENDALI SUAMI EQUAL PARTNER POSISI SUAMI DAN ISTRI SEJAJAR NAMUN KEKUASAAN TETAP DITANGAN SUAMI (TO Ihromi, 1998

Undang-undang No.23 tahun 2004 Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga KDRT= setiap terhadap seseorang terutama perempuan dan anak-anak yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga BENTUK KEKERASAN

Tindak Kekerasan Fisik : Kekerasan yang menimbulkan rasa sakit secara fisik Tindak Kekerasan Psikologis: Kekerasan yang menimbulkan gangguan mental psikologis Tindak Kekerasan Seksual: Kekerasan dalam hubungan seksual yang disertai paksaan Tindak Kekerasan Ekonomi Pembatasan aktivitas dan tidak memberi nafkah bagi istri KORBAN KDRT Istri atau Perempuan Anak-anak Anggota keluarga Lain Pembantu Rumah Tangga Kadang-kadang Suami CIRI PELAKU Suka Marah Sulit diajak berkomunikasi Berprilaku Anti Sosial Ringan Tangan Kondisi Stress Banyak Masalah LATAR BELAKANG Pembawaan personal (sosialisasi anak) Dari keluarga yang mengalami kekerasan Prilaku Otoriter (micro system) Kekuasan suami dalam keluarga Budaya Patriarki (macro system)

Laki-laki yang diutama oleh masyarakat Pengaruh Pergaulan (eco system) Prilaku dari lingkungan atau teman PENANGANAN Melaporkan ke Pengurus RT/RW/Desa Melaporkan ke Kantor Polisi (Polsek) Mencari Perlindungan Pada Pemerintah Setempat Mendapatkan Pelayanan Dari Puskesmas dan Rumah Sakit Mendapatkan Penangan Khusus Mendapatkan Pendampingan Mendapatkan Bimbingan Mental Psikologis

PERAN MASYARAKAT Saling Silahturahmi Antar Tetangga Mengadakan kumpulan Mengadakan pengajian majelis taklim Mencegah terjadinya KDRT Memberikan perlindungan kepada korban Memberi pertolongan darurat atau sementara Membawa Korban Ke Rumah Perlindungan atau Rumah Aman

PERAN PEMDA Penyediakan Rumah Perlindungan atau Rumah Aman Penyediakan Pelayanan Khusus di Kantor Polisi dan Rumah Sakit Penyediakan Tenaga Terlatih Dalam Penanganan KDRT Koordinasi Pelayanan dan Menyediaan Akses Bagi Korban Memberikan Perlindungan dan Pendampingan Bagi Korban PERAN TENAGA KESEHATAN Secepatnya memberikan pertolongan medis Membawa ke rumah sakit milik pemerintah terdekat Mengadakan pertolongan profesional sesuai dengan kaidah medis

PERAN PEKERJA SOSIAL

Secepatnya memberi pertolongan kepada korban Memberikan konseling untuk memberi rasa aman Mengantar korban ke rumah perlindungan atau rumah aman Koordinasi dengan Polisi dan Tenaga Kesehatan Memberikan pelayanan di Lembaga Pelayanan yang disediakan pemerintah PERAN ADVOKAT Memberi Bantuan Hukum Mendampingi Korban dalam proses penyidikan Melakukan koordinasi dengan para pihak untuk membantu korban PENCEGAHAN KDRT Hubungan Suami Istri Yang Sehat Hubungan Di Ruang Tamu Hubungan Di Ruang Makan Hubungan Di Tempat Tidur Saudara sa kasur Saudara sa sumur Saudara sa lembur Berjiwa terbuka terhadap orang lain Mampu beradaptasi dengan perubahan sosial Kesulitan hidup dibicarakan dengan pasangan Keputusan untuk rumah tangga diambil bersama-sama Kegagalan Usaha menjadi tanggung jawab bersama PERHATIAN Tanda-tanda kekerasan fisik seperti memar, luka,lebam pada bagian mata Keluahan sakit pada bagian fisik yang cukup sering Kecemasan, rasa takut, depresi Sulit tidur dan sering mengalami mimpi buruk Perilaku merusak diri sendiri, bahkan sampai keinginan bunuh diri. PENANGANAN KDRT Menjamin korban dan anggota yang lain berada dalam keadaan aman dan terlindungi. Membantu korban memahami sifat dan siklus kekerasan, serta korban memiliki pilihan untuk berada pada situasi aman.

Membantu korban untuk mengambil keputusan, merumuskan rencana dan memperoleh pelayanan yang dibutuhkan demi keamanannya dimasa yang akan datang Mengatasi akibat psikologis dan mengembangkan batas-batas pribadinya. Penanganan masalah keuarga, psikososial dan masalah ekonomi. Tinjauan feminis : Masalah korban harus dipandang dalam kerangka sosiopolitik Peranan jenis kelamin yang fatologis Fokus intervensi pada pemberdayaan korban Rasa harga diri korban harus ditingkatkan 5. Mengembangkan identitas korban. 6. Mengembangkan sistem dukungan sosial 7. Keseimbangan yang efektif antara pekerjaan dan hubungan personal 8. Hubungan kesetaraan antara korban dengan petugas/pekerja sosial 9. Belajar untuk menekspresikan ketegasan (assertif) diri mereka sendir SARAN Sholat Lima Waktu Sholat Tahajud: 8 rakaat Sholat Hajat : 2 rakaat Sholat Dhuha : 6 rakaat Berdoa diantara dua rukku Bersedekah dan beramal saleh Menghormati Orang Tua dan Mertua ( Diintisarikan Buku Mencari Tuhan dari Ustad Yusuf)

Anda mungkin juga menyukai