Anda di halaman 1dari 8

Pengertian Ranah Penilaian Kognitif, Ciri-ciri, dan Contoh Pengukuran Ranah Penilaian Kognitif 2.1.

1 Pengertian Ranah Penilaian Kognitif Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah:

bagian atau faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Jenjang analisis adalah setingkat lebih tinggi ketimbang jenjang aplikasi. Contoh: Peserta didik dapat merenung dan memikirkan dengan baik tentang wujud nyata dari kedisiplinan seorang siswa dirumah, disekolah, dan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, sebagai bagian dari ajaran Islam.

Sintesis (syntesis)

Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge)

Adalah kemampuan berfikir yang merupakan kebalikan dari proses berfikir analisis. Sisntesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang yang berstruktur atau bebrbentuk pola baru. Jenjang sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada jenjang analisis. Salah satu jasil belajar kognitif dari jenjang sintesis ini adalah: peserta didik dapat menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagiamana telah diajarkan oleh islam.

Adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, rumus-rumus, dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunkannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berfikir yang paling rendah. Salah satu contoh hasil belajar kognitif pada jenjang pengetahuan adalah dapat menghafal surat al-Ashar, menerjemahkan dan menuliskannya secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan oleh guru Pendidikan Agama Islam di sekolah.

Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation)

Adalah merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif dalam taksonomi Bloom. Penilian/evaluasi disini merupakan kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap suatu kondisi, nilai atau ide, misalkan jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan maka ia akan mampu memilih satu pilihan yang terbaik sesuai dengan patokan-patokan atau kriteria yang ada. Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang evaluasi adalah: peserta didik mampu menimbang-nimbang tentang manfaat yang dapat dipetik oleh seseorang yang berlaku disiplin dan dapat menunjukkan mudharat atau akibat-akibat negatif yang akan menimpa seseorang yang bersifat malas atau tidak disiplin, sehingga pada akhirnya sampai pada kesimpulan penilaian, bahwa kwdisiplinan merupakan perintah Allah SWT yang waji dilaksanakan dalam sehari-hari.

Pemahaman (comprehension)

Adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seseorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan berfikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan. Salah satu contoh hasil belajar ranah kognitif pada jenjang pemahaman ini misalnya: Peserta didik atas pertanyaan Guru Pendidikan Agama Islam dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang terkandung dalam surat al-Ashar secara lancar dan jelas.

Penerapan (application)

Adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang baru dan kongkret. Penerapan ini adalah merupakan proses berfikir setingkat lebih tinggi ketimbang pemahaman. Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang penerapan misalnya: Peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan Islam dalam kehidupan sehari-hari baik dilingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

Analisis (analysis)

Adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-

Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Hasil belajar ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku). Hasi belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektif dengan materi kedisiplinan menurut agama Islam sebagaimana telah dikemukakan pada pembiraan terdahulu, maka wujud nyata dari hasil psikomotor yang merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif afektif itu adalah; (1) peserta didik bertanya kepada guru pendidikan agama Islam tentang contoh-contoh kedisiplinan yang telah ditunjukkan oleh Rosulullah SAW, para sahabat, para ulama dan lain-lain; (2) peseta didik mencari dan membaca buku-buku, majalah-majalah atau brosur-brosur, surat kabar dan lain-lain yang membahas tentang kedisiplinan; (3) peserta didik dapat memberikan penejelasan kepada teman-teman sekelasnya di sekolah, atau kepada adik-adiknya di rumah atau kepada anggota masyarakat lainnya, tentang kedisiplinan diterapkan, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat; (4) peserta didik menganjurkan kepada teman-teman sekolah atau adik-adiknya, agar berlaku disiplin baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat; (5) peserta didik dapat memberikan contoh-contoh kedisiplinan di sekolah, seperti datang ke sekolah sebelum pelajaran di mulai, tertib dalam mengenakan

seragam sekolah, tertib dan tenag dalam mengikuti pelajaran, di siplin dalam mengikuti tata tertib yang telah ditentukan oleh sekolah, dan lain-lain; (6) peserta didik dapat memberikan contoh kedisiplinan di rumah, seperti disiplin dalam belajar, disiplin dalam mennjalannkan ibadah shalat, ibadah puasa, di siplin dalam menjaga kebersihan rumah, pekarangan, saluran air, dan lain-lain; (7) peserta didik dapat memberikan contoh kedisiplinan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, seperti menaati rambu-rambu lalu lintas, tidak kebut-kebutan, dengan suka rela mau antri waktu membeli karcis, dan lain-lain, dan (8) peserta didik mengamalkan dengan konsekuen kedisiplinan dalam belajar, kedisiplinan dalam beribadah, kedisiplinan dalam menaati peraturan lalu lintas, dan sebagainya.

tingkah laku. Teori pembelajaran mereka kebanyakannya dihasilkan dengan. Mereka menumpukan ujian kepada perhubungan antara rangsangan dan gerakbalas yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Ujian ini bisa bersifat sebagai suatu usaha yang dapat merubah tingkah laku orang agar bisa lebih baik. Maka perubahan inilah yang di sebut pembelajaran. Secara umumnya memang teori behavioris menyatakan bahwa pengajaran dan pembelajaran akan mempengaruhi segala perbuatan atau tingkah laku pelajar sama ada baik atau sebaliknya. Teori ini juga menjelaskan bahwa tingkah laku pelajar dapat diperhatikan dan diprediksi apakah mengarah ke hal positif atau negative. 2. Teori Kognitif Teori kognitif pula berpendapat bahwa pembelajaran ialah suatu proses pendalaman yang berlaku dalam akal pikiran, dan tidak dapat diperhatikan secara langsung dengan tingkah laku. Ahli-ahli psikologi kognitif seperti Bruner dan Piaget menjelaskan kajian kepada berbagai jenis pembelajaran dalam proses penyelesaian masalah dan akal berdasarkan berbagai peringkat umur dan kecerdasan pelajar. Teori-teori pembelajaran mereka adalah bertumpu kepada cara pembelajaran seperti pemikiran cerdik, urgensi penyelesaian masalah, penemuan dan pengkategorian. Menurut teori ini, manusia memiliki struktur kognitif, dan semasa proses pembelajaran, otak akan menyusun segala pernyataan di dalam ingatan. 3. Teori Sosial Teori sosial pula menyarankan teori pembelajaran dengan menggabungkan teori behavioris bersama dengan kognitif. Teori ini juga dikenal sebagai Teori Perlakuan Model. Albert Bandura, seorang tokoh teori sosial ini menyatakan bahwa proses pembelajaran akan dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan dengan menggunakan pendekatan permodelan. Beliau menjelaskan lagi, bahwa aspek pemerhatian pelajar terhadap apa yang disampaikan atau dilakukan oleh guru dan juga aspek peniruan oleh pelajar akan dapat memberikan kesan yang menarik kepada kepahaman pelajar. Sehingga dalam pembelajaran perlu ada obyek belajar sehingga seorang guru dapat mempraktekkan materinya untuk lebih dipahami siswa dengan obyek tadi. 4. Teori Humanisme Teori humanis juga berpendapat pembelajaran manusia bergantung kepada emosi dan perasaannya. Seorang ahli teori ini, Carl Rogers menyatakan bahwa setiap individu itu mempunyai cara belajar yang berbeda dengan individu yang lain. Oleh karena itu, strategi dan pendekatan dalam proses pengajaran dan pembelajaran hendaklah dirancang dan disusun mengikut kehendak dan perkembangan emosi pelajar itu. Beliau juga menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai potensi dan keinginan untuk mencapai aktualisasi diri. Maka, guru hendaknya menjaga psikologi pelajar dan memberi bimbingan supaya potensi mereka dapat diperkembangkan ke tahap maksimal. 5. Teori Piaget Menurut Piaget (Dahar 1996; Hasan 1996; Surya 2003), setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual dalam pembelajaran. Tahap- tahap tersebut berdasarkan umur seorang anak. Tahap-tahap tersebut sebagai berikut: 1. Tingkat Sensorimotor (0-2 tahun) Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memiliki pengetahuan object permanence yaitu walaupun objek pada suatu saat tak terlihat di depan matanya, tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya.

1. Teori Behavioris Teori behavioris yang diperkenalkan oleh Ivan Pavlov dan dikembangkan oleh Thorndikedan Skinner, berpendapat bahwa pembelajaran adalah berkaitan dengan perubahan

2. Tahap Preoporational (2-7 tahun) Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 tahun, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, di mana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walau bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya kata-kata. 3. Tahap Concrete (7-11 thn)

petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh ataupun hal-hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh sendiri. 6. Teori Ausubel David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel (Dahar 1996) bahan subyek yang dipelajari siswa haruslah bermakna (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah disiswai dan diingat siswa. Suparno (1997) mengatakan pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran.

Menurut Ausubel, pemecahan masalah yang sesuai adalah lebih bermanfaat bagi siswa dan merupakan strategi yang efisien dalam pembelajaran. Kekuatan dan makna proses pemecahan masalah dalam pembelajaran sejarah terletak pada kemampuan siswa dalam mengambil peranan Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep pada kumpulannya. Untuk melancarkan proses tersebut maka diperlukan bimbingan secara konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun masa, langsung daripada guru, sama ada secara lisan maupun dengan tingkah laku, manakala siswa diberi jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan kebebasan untuk membangun pengetahuannya sendiri. mengevaluasi sehingga mereka tidak se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka Selanjutnya Ausubel mengatakan bahwa ada dua jenis belajar, yaitu belajar bermakna (meaningful juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran learning) dan belajar menghafal (rote learning). Bahan pelajaran yang dipelajari haruslah yang melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan penjelasan guru bermakna. Belajar bermakna adalah suatu proses di mana informasi baru dihubungkan dengan dalam bentuk verbal (kata-kata). struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar akan bermakna bila siswa mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur 4. Tahap Formal Operations (11 tahun ke atas) kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep konsep dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang Lebih lanjut Ausubel (dalam Kartadinata, 2001) mengemukakan, seseorang belajar dengan mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal mengasosiasikan fenomena, pengalaman dan fakta-fakta baru ke dalam skemata yang telah operational mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang dipelajari. Hal ini menjadikan pembelajaran akuntansi tidak hanya sebagai konsep-konsep yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis. perlu dihapal dan diingat hanya pada saat siswa mendapat materi itu saja tetapi juga bagaimana siswa mampu menghubungkan pengetahuan yang baru didapat kemudian dengan konsep yang Sehingga pada yang terakhir inilah merupakan kesempurnaan dari penerimaan pembelajaran yang sudah dimilikinya sehingga terbentuklah kebermaknaan logis. baik dan mengembangkan potensi diri yang sempurna. 5. Teori Vygotsky Vygotsky adalah salah seorang tokoh konstrutivisme. Hal terpenting dari teorinya adalah pentingnya interaksi antara aspek internal dan eksternal pembelajaran dengan menekankan aspek ling-kungan sosial pembelajaran. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Sumbangan teori Vigotsky adalah penekanan pada bakat sosio budaya dalam pembelajaran. Menurutnya, pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja dalam zona perkembangan proksima (zone of proximal development). Zona perkembangan proksima adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang pada ketika pembelajaran berlaku. Astuty (2000) secara terperinci, mengemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan zona perkembangan proksima adalah jarak antara tingkat per-kembangan sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan sesungguhnya adalah kemampuan pemecahan masalah secara mandiri sedangkan tingkat per-kembangan potensial adalah kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa melalui kerja sama dengan rakan sebaya yang lebih mampu. Oleh yang demkian, maka tingkat perkembangan potensial dapat disalurkan melalui model pembelajaran koperatif. Ide penting lain juga diturunkan Vygotsky ialah konsep pemenaraan (scaffolding) (Nur 2000), yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada siswa pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab sekadar yang mereka mampu. Bantuan tersebut berupa 7. Teori Konstruktivisme Teori konstruktivisme lahir dari idea Piaget dan Vygotsky. Konstruktivisme adalah satu faham bahwa siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berasaskan pengetahuan dan pengalaman sedia ada. Dalam Proses ini, siswa akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan sedia ada untuk membina pengetahuan baru. Mengikut Briner (1999), pembelajaran secara konstruktivisme berlaku di mana siswa membina pengetahuan dengan menguji ide dan pendekatan berasaskan pengetahuan dan pengalaman sedia ada, mengimplikasikannya pada satu situasi baru dan mengintegerasikan pengetahuan baru yang diperoleh dengan binaan intelektual yang sedia wujud. Manakala mengikut Mc Brien dan Brandt (1997), konstruktivisme adalah satu pendekatan pembelajaran berasaskan kepada penelitian tentang bagaimana manusia belajar. Kebanyakan peneliti berpendapat setiap individu membina pengetahuan dan bukannya hanya menerima pengetahuan daripada orang lain. Brooks dan Books (1993) pula menyatakan konstruktivisme berlaku apabila siswa membina makna tentang dunia dengan mensintesis pengalaman baru pada apa yang mereka telah faham sebelum ini. Mereka akan membentuk peraturan melalui cerminan tentang tindak balas mereka dengan objek dan idea. Apabila mereka bertemu dengan objek, ide atau perkaitan yang tak bermakna pada mereka, maka mereka akan sama ada menginterpretasikan apa yang mereka lihat supaya sesuai dengan peraturan yang telah dibentuk atau disesuaikan dengan peraturan agar dapat menerangkan informasi baru. Dalam teori konstruktivisme, penekanan diberikan pada siswa lebih daripada guru. Ini karena siswalah yang bertindak balas dengan bahan dan peristiwa dan memperoleh

kepahaman tentang bahan dan peristiwa tersebut. Justru, siswa membina sendiri konsep dan membuat penyelesaian kepada masalah (Sushkin 1999). Pada teori menekankan pada siswa untuk mencari cara sendiri untuk setiap penyelesaian masalah. Sehingga dapat ditemukan cara yang sesuai dengan dirinya.

Anda mungkin juga menyukai