Anda di halaman 1dari 12

AmuIiu FiIdzuh Tumimi

140410100039



Tolak ukur era modern ini adalah sains dan teknologi. Sains dan teknologi mengalami
perkembangan yang begitu pesat bagi kehidupan manusia. Dalam setiap waktu para ahli dan
ilmuwan terus mengkaji dan meneliti sains dan teknologi sebagai penemuan yang paling canggih
dan modern. Keduanya sudah menjadi simbol kemajuan pada abad ini. Oleh karena itu, apabila
ada suatu bangsa atau negara yang tidak mengikuti perkembangan sains dan teknologi, maka
bangsa atau negara itu dapat dikatakan negara yang tidak maju dan terbelakang.
Islam tidak pernah mengekang umatnya untuk maju dan modern. Justru Islam sangat mendukung
umatnya untuk melakukan research dan bereksperimen dalam hal apapun, termasuk sains dan
teknologi. Bagi Islam sains dan teknologi adalah termasuk ayat-ayat Allah yang perlu digali dan
dicari keberadaannya. Ayat-ayat Allah yang tersebar di alam semesta ini, dianugerahkan kepada
manusia sebagai khaliIah di muka bumi untuk diolah dan dimanIaatkan dengan sebaik-baiknya.
Pandangan Islam tentang sains dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis
wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw.
'Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengafar
(manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengafar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. (QS. Al-Isra: 1-5)
Peradaban Islam pernah memiliki khazanah ilmu yang sangat luas dan menghasilkan para
ilmuwan yang begitu luar biasa. Ilmuwan-ilmuwan ini ternyata jika kita baca, mempunyai
keahlian dalam berbagai bidang. Sebut saja Ibnu Sina. Dalam umurnya yang sangat muda, dia
telah berhasil menguasai berbagai ilmu kedokteran. Mognum opusnya al-Qanun fi al-Thib
menjadi sumber rujukan utama di berbagai Universitas Barat.
Selain Ibnu Sina, al-Ghazali juga bisa dibilang ilmuwan yang representatiI untuk kita sebut di
sini. Dia teolog, IilosoI, dan suIi. Selain itu, dia juga terkenal sebagai orang yang menganjurkan
ijtihad kepada orang yang mampu melakukan itu. Dia juga ahli Iiqih. Al-MushtasIa adalah bukti
keahliannya dalam bidang ushul Iiqih. Tidak hanya itu, al-Ghazali juga ternyata mempunyai
paradigma yang begitu modern. Dia pernah mempunyai proyek untuk menggabungkan, tidak
mendikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Baginya, kedua jenis ilmu tersebut sama-sama wajib
dipelajari oleh umat Islam.
Adapun kondisi umat Islam sekarang yang mengalami kemunduran dalam bidang sains dan
teknologi adalah disebabkan oleh berbagai hal. Sains Islam mulai terlihat kemunduran yang
signiIikan adalah selepas tahun 1800 disebabkan Iaktor eksternal seperti pengaruh penjajahan
yang dengan sengaja menghancurkan sistem ekonomi lokal yang menyokong kegiatan sains dan
industri lokal. Contohnya seperti apa yang terjadi di Bengali, India, saat sistem kerajinan industri
dan kerajinan lokal dihancurkan demi mensukseskan 'revolusi industri di Inggris.
Sains dan teknologi adalah simbol kemodernan. Akan tetapi, tidak hanya karena modern,
kemudian kita mengabaikan agama sebagaimana yang terjadi di Barat dengan ideologi
sekularisme. Karena sains dan teknologi tidak akan pernah bertentangan dengan ajaran Islam
yang relevan di setiap zaman.
Di dunia Islam, ilmu pengetahuan modern mulai menjadi tantangan nyata sejak akhir abad ke-18,
terutama sejak Napoleon menduduki Mesir pada 1798 dan makin meningkat setelah sebagian
besar dunia Islam menjadi wilayah jajahan atau pengaruh Eropa. Serangkaian peristiwa
kekalahan berjalan hingga mencapai puncaknya dengan jatuhnya Dinasti Usmani di Turki.
Proses ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi militer Barat.
Ketika sains dan teknologi Muslim tertinggal dari Eropa dan berusaha mengejar ketertinggalan
itu maka timbulah dua sikap, yaitu merumuskan sikap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi peradaban Barat modern, serta sikap terhadap tradisi Islam. Kedua unsur ini masih
mewarnai pemikiran Muslim hingga kini.
Saat ini sains teknologi telah dikuasai dunia Barat yang jelas-jelas ingin menghancurkan umat
Islam, seperti yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina. Karena teknologi yang tidak
dilandasi dengan akhlakul kharimah akan menjadi penghancur dan merusak bumi. Padahal Islam
sejak turunnya kitab suci Al Qur`an dan diutusnya Nabi Muhammad saw. sebagai Rasulullah.
Menunjukkan bahwa teknologi yang terkandung di dalam kitab suci Al-Qur`an akan membawa
rahmat bagi segenap umat di muka bumi ini.
Contoh lainnya, kemajuan dalam dunia Iarmasi. Banyak obat-obatan disalahgunakan seperti
narkoba, yang dilakukan oleh orang-orang tak bertanggung jawab untuk menghancurkan
generasi muda. Begitu juga melalui media-media dengan memasukan unsur-unsur pornograIi
dan pornoaksi yang mencoba menghancurkan akhlak dan menyebarkan kemaksiatan di muka
bumi.
Karena itu marilah kita umat Islam yang sedang giat-giatnya mengejar ketertinggalan teknologi
dari dunia Barat agar pandai memilah dan memilih teknologi yang pantas kita kembangkan atau
tidak. Semoga Allah melindungi umat Islam dari bahaya kemajuan teknologi Barat yang saat ini
tengah membumi.
Pandangan Al-Quran tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis
wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw .
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan
pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al-`Alaq |96|: 1-5).
Iqra` terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna
seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca
baik teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca,
karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik,
dalam arti bermanIaat untuk kemanusiaan. Iqra` berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah
ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis
maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra` mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkaunya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar menunjukkan bahwa
kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca
hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu untuk
mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah| akan menghasilkan
pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga. Demikian pesan yang
dikandung Iqra` wa rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).
Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan
pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain
sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah
mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan
tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah SWT
Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut peranannya untuk
memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan diri kepada subjek tanpa usaha sang subjek. Misalnya komet Halley yang
memasuki cakrawala hanya sejenak setiap 76 tahun. Pada kasus ini, walaupun para astronom
menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati dan mengenalnya,
sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham, intuisi, Iirasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya, atau apa yang
diduga sebagai 'kebetulan yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, semuanya tidak lain kecuali
bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah
pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan oleh wahyu pertama Al-Quran tersebut.
&
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan
dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Ilm dari segi bahasa berarti
kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Perhatikan misalnya kata alam (bendera), ulmat (bibir sumbing), a`lam (gunung-gunung),
alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun
demikian, kata ini berbeda dengan araIa (mengetahui)` a`riI (yang mengetahui), dan ma`riIah
(pengetahuan).
Allah SWT tidak dinamakan a`riI` tetapi alim, yang berkata kerja ya`lam (Dia mengetahui), dan
biasanya Al-Quran menggunakan kata itu untuk Allah dalam hal-hal yang diketahuinya,
walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan. Perhatikan objek-objek pengetahuan berikut
yang dinisbahkan kepada Allah: ya`lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang mereka
rahasiakan), ya`lamu ma Ii al-arham (Allah mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim), ma
tahmil kullu untsa (apa yang dikandung oleh setiap betina/perempuan), ma Ii anIusikum (yang di
dalam dirimu), ma Iissamawat wa ma Iil ardh (yang ada di langit dan di bumi), khainat al-`ayun
wa ma tukhIiy ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada). Demikian juga
ilm yang disandarkan kepada manusia, semuanya mengandung makna kejelasan.
Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul
terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan Iungsi kekhaliIahan. Ini tercermin dari kisah
kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Quran pada surat Al-Baqarah (2) 31 dan 32:
Dan dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama (benda-benda) semuanya. Kemudian
Dia mengemukakannya kepada para malaikat seraya berIirman, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama-
nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar (menurut dugaanmu).
Mereka (para malaikat) menjawab, 'Mahasuci Engkau tiada pengetahuan kecuali yang telah
engkau ajarkan. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. Al-
Baqarah (2) 31 dan 32)
Manusia, menurut Al-Quran, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya
dengan seizin Allah. Karena itu, bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh
berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula Al-Quran menunjukkan betapa
tinggi kedudukan orang-orang yang berpengetahuan.
Menurut pandangan Al-Quran seperti diisyaratkan oleh wahyu pertama ilmu terdiri dari dua
macam.
Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, dinamai ilm ladunni, seperti diinIormasikan
antara lain oleh Al-Quran surat Al-KahIi (18): 65.
Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seorang hamba dan hamba-hamba Kami,
yang telah Kami anugerahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dan sisi Kami.
Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai ilm kasbi. Ayat-ayat ilm kasbi jauh
lebih banyak daripada yang berbicara tentang ilm laduni.
Pembagian ini disebabkan karena dalam pandangan Al-Quran terdapat hal-hal yang 'ada tetapi
tidak dapat diketahui melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak,
sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran, antara lain dalam Iirman-Nya:
Aku bersumpah dengan yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah |69|: 38-39).
Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan non-materi. Ienomena dan non-Ienomena,
bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.
Dia menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (QS Al-Nahl |16|: .
Dari sini jelas pula bahwa pengetahuan manusia amatlah terbatas, karena itu wajar sekali Allah
menegaskan.
Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS Al-lsra`|17|: 85).




& DAN CARA !RNYA

Berdasarkan pembagian ilmu yang disebutkan terdahulu, secara garis besar objek ilmu dapat
dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu alam materi dan alam non-materi. Sains mutakhir yang
mengarahkan pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia membatasi ilmunya pada
bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat
dibuktikan di alam materi. Karena itu. objek ilmu menurut mereka hanya mencakup sains
kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatiI dan penggandaan, variasi
terbatas, dan pengalihan antarbudaya.
Objek ilmu menurut ilmuwan Muslim mencakup alam materi dan non-materi. Karena itu,
sebagai ilmuwan Muslim khususnya kaum suIi melalui ayat-ayat Al-Quran memperkenalkan
ilmu yang mereka sebut al-hadharat Al-Ilahiyah al-khams (lima kehadiran Ilahi) untuk
menggambarkan hierarki keseluruhan realitas wujud.
Kelima hal tersebut adalah:
(l) alam nasut (alam materi),
(2) alam malakut (alam kejiwaan),
(3) alam jabarut (alam ruh),
(4) alam lahut (siIat-siIat Ilahiyah), dan
(5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi).
Tentu ada tata cara dan sarana yang harus digunakan untuk meraih pengetahuan tentang kelima
hal tersebut.
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. dan
Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya
sesuai petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl |16|: 78).
Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu, pendengaran, mata (penglihatan) dan
akal, serta hati.
Trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes kemungkinan (probability)
merupakan cara-cara yang digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan. Hal itu disinggung
juga oleh Al-Quran, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berpikir tentang
alam raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan dengan upaya
mengetahui alam materi.
Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi . (QS Yunus |10|: 101).
Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan,
bagaimana gunung ditancapkan dan bagaimana bumi dihamparkan? (QS Al-Ghasyiyah |88|: 17-
20).
Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapa banyak Kami tumbuhkan di bumi itu aneka
ragam tumbuhan yang baik? (QS Al-Syu`ara` |26|: 7) Apakah mereka tidak melakukan
perjalanan di bumi . (QS 12: 109; 22: 46; 35: 44; dan lain-lain).
Di samping mata, telinga, dan pikiran sebagai sarana meraih pengetahuan, Al-Quran pun
menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian hati.
Wahyu dianugerahkan atas kehendak Allah dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan
campur tangan manusia. Sementara Iirasat, intuisi, dan semacamnya, dapat diraih melalui
penyucian hati. Dari sini para ilmuwan Muslim menekankan pentingnya tazkiyah an-naIs
(penyucian jiwa) guna memperoleh hidayat (petunjuk/pengajaran Allah), karena mereka sadar
terhadap kebenaran Iirman Allah:
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi dari ayat-ayat Ku
. (QS Al-A`raI |7|: 146).
Berkali-kali pula Al-Quran menegaskan bahwa inna Allah la yahdi, sesungguhnya Allah tidak
akan memberi petunjuk kepada al-zhalimin (orang-orang yang berlaku aniaya), al-kaIirin (orang-
orang yang kaIir), al-Iasiqin (orang-orang yang Iasik), man yudhil (orang yang disesatkan), man
huwa kadzibun kaIIar (pembohong lagi amat inkar), musriIun kazzab (pemboros lagi
pembohong), dan lain-lain.
Memang, mereka yang durhaka dapat saja memperoleh secercah ilmu Tuhan yang bersiIat kasbi,
tetapi yang mereka peroleh itu terbatas pada sebagian Ienomena alam, bukan hakikat (nomena).
Bukan pula yang berkaitan dengan realitas di luar alam materi. Dalam konteks ini Al-Quran
menegaskan:
. Tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja)
dari kehidupan dunia sedangkan tentang akhirat mereka lalai (QS Al-Rum |30|: 6-7).
Para ilmuwan Muslim juga menggarisbawahi pentingnya mengamalkan ilmu. Dalam konteks ini,
ditemukan ungkapan yang dinilai oleh sementara pakar sebagai hadis Nabi saw: 'Barangsiapa
mengamalkan yang diketahuinya maka Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum
diketahuinya.
Sebagian ulama merujuk kepada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 untuk memperkuat
kandungan hadis tersebut.
Bertakwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajar kamu. Dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. (QS. Al-Baqarah ayat 282)
Atas dasar itu semua, Al-Quran memandang bahwa seseorang yang memiliki ilmu harus
memiliki siIat dan ciri tertentu pula, antara lain yang paling menonjol adalah siIat khasyat (takut
dan kagum kepada Allah) sebagaimana ditegaskan dalam Iirman-Nya, .
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama (QS Fathir
|35|: 28).
Dalam konteks ayat ini, ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang Ienomena
alam.
Rasulullah saw menegaskan bahwa 'Ilmu itu ada dua macam, ilmu di dalam dada, itulah yang
bermanIaat, dan ilmu sekadar di ujung lidah, maka itu akan menjadi saksi yang memberatkan
manusia.
ANFAAT &
Dari wahyu pertama, juga ditemukan petunjuk tentang pemanIaatan ilmu. Melalui Iqra` bismi
Rabbika, digariskan bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga tujuan
akhirnya, haruslah karena Allah.
Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar, memahami Bacalah demi
Allah dengan arti untuk kemaslahatan makhluknya. Bukankah Allah tidak membutuhkan
sesuatu, dan justru makhluk yang membutuhkan Allah SWT.
Semboyan 'ilmu untuk ilmu tidak dikenal dan tidak dibenarkan oleh Islam. Apa pun ilmunya,
materi pembahasannya harus bismi Rabbik, atau dengan kata lain harus bernilai Rabbani.
Sehingga ilmu yang dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti pendapat scbagian ahli 'bebas
nilai, harus diberi nilai Rabbani oleh ilmuwan Muslim.
Kaum Muslim harus menghindari cara berpikir tentang bidang-bidang yang tidak menghasilkan
manIaat, apalagi tidak memberikan hasil kecuali menghabiskan energi. Rasulullah saw sering
berdoa, 'Wahai Tuhan, Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanIaat.
Atas dasar ini pula berpikir atau menggunakan akal untuk mengungkap rahasia alam metaIisika,
tidak boleh dilakukan. Artinya, hati mesti dipergunakan untuk menjelajahi alam metaIisika.
Menarik untuk dikemukakan bahwa ayat-ayat Al-Quran vang berbicara tentang alam raya,
menggunakan redaksi yang berlainan ketika menunjukkan manIaat yang diperoleh dan alam
raya, walaupun objek atau bagian alam yang diuraikan sama.
Perhatikan misalnya ketika Al-Quran menguraikan as-samawat wal-ardh. Dalam Al-Quran surat
Al-Baqarah ayat 164, penjelasan ditutup dengan menyatakan, la ayatin liqaum(in) ya`qilun
(sungguh terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal). Sedangkan dalam Al-Quran surat Ali-
`Imran ayat 90, ketika menguraikan persoalan yang sama diakhiri dengan la ayatin li-ulil albab
(pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi Ulil Albab (orang-orang yang memiliki
saripati segala sesuatu).
Inilah antara lain Iashilat penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang alam raya, yang darinya
dapat ditarik kesan adanya beragam tingkat dan manIaat yang seharusnya dapat diraih oleh
mereka yang mempelajari Ienomena alam: yataIakkarun (yang berpikir) (QS 10: 24) ya`lamun
(yang mengetahui) (QS 10: 5), yatazakkarun (yang mengambil pelajaran) (QS 16: 13), ya`qilun
(yang memahami) (QS 16: 12), yasma`un (yang mendengarkan) (QS 30: 23), yuqinun (yang
meyakini) (QS 45: 4), al-mu`minin (orang-orang yang beriman) (QS 45: 3), al-`alimin (orang-
orang yang mengetahui) (QS 30: 22).
TN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi diartikan sebagai 'kemampuan teknik yang
berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta dan berdasarkan proses teknis. Teknologi adalah ilmu
tentang cara menerapkan sains untuk memanIaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan
manusia.
Menelusuri pandangan Al-Quran tentang teknologi, mengundang kita menengok sekian banyak
ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 750
ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan Ienomenanya, dan yang memerintahkan
manusia untuk mengetahui dan memanIaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang Al-
Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan Allah untuk manusia.
Dan dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya
(sebagai anugerah) dari-Nya (QS Al-Jatsiyah |45|: 13).
Penundukan tersebut secara potensial terlaksana melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan
Allah dan kemampuan yang dianugerahkan-Nya kepada manusia. Al-Quran menjelaskan
sebagian dari ciri tersebut, antara lain:
(a) Segala sesuatu di alam raya ini memiliki ciri dan hukum-hukumnya.
Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran (QS Al-Ra`d |13|:
Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar, hingga rumput yang hijau subur atau
layu dan kering, semuanya telah ditetapkan oleh Allah sesuai ukuran dan hukum-hukumnya.
Demikian antara lain dijelaskan oleh Al-Quran surat Ya Sin ayat 38 dan Sabihisma ayat 2-3 .
(b) Semua yang berada di alam raya ini tunduk kepada-Nya:
Hanya kepada Allah-lah tunduk segala yang di langit dan di bumi secara sukarela atau terpaksa
(QS Al-Ra`d |13|: 15).
(c) Benda-benda alam apalagi yang tidak bernyawa tidak diberi kemampuan memilih, tetapi
sepenuhnya tunduk kepada Allah melalui hukum-hukum-Nya.
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit yang ketika itu masih merupakan
asap, lalu Dia (Allah) berkata kepada-Nya, 'Datanglah (Tunduklah) kamu berdua (langit dan
bumi) menurut perintah-Ku suka atau tidak suka! Mereka berdua berkata, 'Kami datang dengan
suka hati (QS Fushshilat (41) : ayat 11).
Di sisi lain, manusia diberi kemampuan untuk mengetahui ciri dan hukum-hukum yang berkaitan
dengan alam raya, sebagaimana diinIormasikan oleh Iirman-Nya dalam Al-Quran surat Al-
Baqarah ayat 31,
Allah mengajarkan Adam nama-nama semuanya. (QS. Al-Baqarah ayat 31)
Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah siIat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti
manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.
Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam
raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat
memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan
manusia berpotensi untuk memanIaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan. Keberhasilan
memanIatkan alam itu merupakan buah teknologi.
Al-Quran memuji sekelompok manusia yang dinamainya ulil albab. Ciri mereka antara lain
disebutkan dalam surat Ali-`Imran (3) 190-191:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu mereka yang berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau
duduk atau berbaring, dan mereka yang berpikir tentang kejadian langit dan bumi. (QS. Ali-
`Imran (3) 190-191)
Dalam ayat-ayat di atas tergambar dua ciri pokok ulil albab, yaitu taIakkur dan dzikir. Kemudian
keduanya menghasilkan natijah yang diuraikan pada ayat 195:
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka dengan berIirman, 'Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan
..
Natijah bukanlah sekadar ide-ide yang tersusun dalam benak, melainkan melampauinya sampai
kepada pengamalan dan pemanIaatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Muhammad Quthb dalam bukunya Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyah mengomentari ayat Ali
Imran tadi sebagai berikut:
Maksudnya adalah bahwa ayat-ayat tersebut merupakan metode yang sempurna bagi penalaran
dan pengamatan Islam terhadap alam. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada Iungsi
pertama di antara sekian banyak Iungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang tersaji di
alam raya ini. Ayat-ayat tersebut bermula dengan taIakur dan berakhir dengan amal.
Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa 'Khalq As-samawat wal Ardh di samping berarti
membuka tabir sejarah penciptaan langit dan bumi, juga bermakna 'memikirkan tentang sistem
tata kerja alam semesta. Karena kata khalq selain berarti 'penciptaan, juga berarti 'pengaturan
dan pengukuran yang cermat. Pengetahuan tentang hal terakhir ini mengantarkan ilmuwan
kepada rahasia-rahasia alam, dan pada gilirannya mengantarkan kepada penciptaan teknologi
yang menghasilkan kemudahan dan manIaat bagi umat manusia.
Jadi, dapatkah dikatakan bahwa teknologi merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh Al-Quran.
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada dua catatan yang perlu diperhatikan.
Pertama, ketika Al-Quran berbicara tentang alam raya dan Ienomenanya, terlihat secara jelas
bahwa pembicaraannya selalu dikaitkan dengan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Perhatikan misalnya uraian Al-Quran tentang kejadian alam:
Dan Apakah orang-orang ingkar tidak mengetahui bahwa sesungguhnya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah satu yang padu, kemudian Kami (Allah) pisahkan keduanya. Dan dari
air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka apakah mereka tidak beriman? (QS Al-
Anbiya` |21|: 30). .
Ayat ini dipahami oleh banyak ulama kontemporer sebagai isyarat tentang teori Big Bang
(Ledakan Besar), yang mengawali terciptanya langit dan bumi. Para pakar boleh saja berbeda
pendapat tentang makna ayat tersebut, atau mengenai proses terjadinya pemisahan langit dan
bumi. Yang pasti, ketika Al-Quran berbicara tentang hal itu, dikaitkannya dengan kekuasaan dan
kebesaran Allah; serta keharusan beriman pada-Nya.
Pada saat mengisyaratkan pergeseran gunung-gunung dari posisinya, sebagaimana kemudian
dibuktikan para ilmuwan inIormasi itu dikaitkan dengan Kemahahebatan Allah SWT:
Kamu lihat gunung-gunung, yang kamu sangka tetap di tempatnya, padahal berjalan
sebagaimana halnya awan. Begitulah perbuatan Allah, yang membuat dengan kokoh tiap-tiap
sesuatu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Naml |27|: 88).
Ini berarti bahwa sains dan hasil-hasilnya harus selalu mengingatkan manusia terhadap
Kehadiran dan Kemahakuasaan Allah SWT, selain juga harus memberi manIaat bagi
kemanusiaan, sesuai dengan prinsip bismi Rabbik.
Kedua, Al-Quran sejak dini memperkenalkan istilah sakhkhara yang maknanya bermuara kepada
'kemampuan meraih dengan mudah dan sebanyak yang dibutuhkan segala sesuatu yang dapat
dimanIaatkan dari alam raya melalui keahlian di bidang teknik.
Ketika Al-Quran memilih kata sakhhara yang arti harIiahnya menundukkan atau merendahkan,
maksudnya adalah agar alam raya dengan segala manIaat yang dapat diraih darinya harus tunduk
dan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawah manusia. Bukankah manusia
diciptakcan oleh Allah sebagai khaliIah? Tidaklah wajar seorang khaliIah tunduk dan
merendahkan diri kepada sesuatu yang telah ditundukkan Allah kepadanya. Jika khaliIah tunduk
atau ditundukkan oleh alam. maka ketundukan itu tidak sejalan dengan maksud Allah SWT.
Di atas telah dikemukakan bahwa penundukan Allah terhadap alam raya bersama potensi yang
dimiliki manusia bila digunakan secara baik akan membuahkan teknologi.
Dari kedua catatan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa teknologi dan hasil-
hasilnya di samping harus mengingatkan manusia kepada Allah, juga harus mengingatkan bahwa
manusia adalah khaliIah yang kepadanya tunduk segala yang berada di alam raya ini.
Kalaulah alat atau mesin dijadikan sebagai gambaran konkret teknologi, dapat dikatakan bahwa
pada mulanya teknologi merupakan perpanjangan organ manusia. Ketika manusia menciptakan
pisau sebagai alat pemotong, alat ini menjadi perpanjangan tangannya. Alat tersebut disesuaikan
dengan kebutuhan dan organ manusia. Alat itu sepenuhnya tunduk kepada si Pemakai, melebihi
tunduknya budak belian. Kemudian teknologi berkembang, dengan memadukan sekian banyak
alat sehingga menjadi mesin. Kereta, mesin giling, dan sebagainya, semuanya berkembang,
khususnya ketika mesin tidak lagi menggunakan sumber energi manusia atau binatang,
melainkan air, uap, api, angin, dan sebagainya. Pesawat udara, misalnya, adalah mesin. Kini,
pesawat udara tidak lagi menjadi Perpanjangan organ manusia, tetapi perluasan atau penciptaan
organ dan manusia. Bukankah manusia tidak memiliki sayap yang memungkinkannya mampu
terbang? Tetapi dengan pesawat, ia bagaikan memiliki sayap. Alat atau mesin tidak lagi menjadi
budak, tetapi telah menjadi kawan manusia.
Dari hari ke hari tercipta mesin-mesin semakin canggih. Mesin-mesin tersebut melalui daya akal
manusia digabung-gabungkan dengan yang lainnya, sehingga semakin kompleks, serta tidak
bisa lagi dikendalikan oleh seorang. Tetapi akhirnya mesin dapat mengerjakan tugas yang dulu
mesti dilakukan oleh banyak orang. Pada tahap ini, mesin telah menjadi semacam 'seteru
manusia, atau lawan yang harus disiasati agar mau mengikuti kehendak manusia.
Dewasa ini telah lahir teknologi khususnya di bidang rekayasa genetika yang dikhawatirkan
dapat menjadikan alat sebagai majikan. Bahkan mampu menciptakan bakal-bakal 'majikan
yang akan diperbudak dan ditundukkan oleh alat. Jika begitu, ini jelas bertentangan dengan
kedua catatan yang disebutkan di terdahulu.
Berdasarkan petunjuk kitab sucinya, seorang Muslim dapat menerima hasil-hasil teknologi yang
sumbernya netral, dan tidak menyebabkan maksiat, serta bermanIaat bagi manusia, baik
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan unsur 'debu tanah manusia maupun unsur 'ruh Ilahi
manusia.
Seandainya penggunaan satu hasil teknologi telah melalaikan seseorang dari zikir dan taIakur,
serta mengantarkannya kepada keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan, maka ketika itu bukan hasil
teknologinya yang mesti ditolak, melainkan kita harus memperingatkan dan mengarahkan
manusia yang menggunakan teknologi itu. Jika hasil teknologi sejak semula diduga dapat
mengalihkan manusia darl jati diri dari tujuan penciptaan, sejak dini pula kehadirannya ditolak
oleh Islam. Karena itu, menjadi suatu persoalan besar bagi martabat manusia mengenai cara
memadukan kemampuan mekanik demi penciptaan teknologi, dengan pemeliharaan nilai-nilai
Iitrahnya. Bagaimana mengarahkan teknologi yang dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai
Rabbani, atau dengan kata lain bagaimana memadukan pikir dan zikir, ilmu dan iman?.
Al-Quran memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya.
Jangankan manusia biasa, Rasul Allah Muhammad saw pun diperintahkan agar berusaha dan
berdoa agar selalu ditambah pengetahuannya Qul Rabbi zidni ilma (Berdoalah |hai
Muhammad|, 'Wahai Tuhanku, tambahlah untukmu ilmu) (QS Thaha |20|: 114), karena Iauqa
kullu zi ilm (in) alim (Di atas setiap pemilik pengethuan, ada yang amat mengetahui (QS YusuI
|12|: 72).
Manusia memiliki naluri selalu haus akan pengetahuan. Rasulullah saw bersabda: 'Dua
keinginan yang tidak pernah puas, keinginan menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta.
Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan teknologi dengan
memanIaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Karena itu, laju teknologi memang
tidak dapat dibendung. Hanya saja manusia dapat berusaha mengarahkan diri agar tidak
memperturutkan naIsunya untuk mengumpulkan harta dan ilmu/teknologi yang dapat
membahayakan dinnya. Agar ia tidak menjadi seperti kepompong yang membahayakan dirinya
sendiri karena kepandaiannya.
Al-Quran menegaskan:
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti (hujan) yang Kami turunkan
dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya
ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya dan penghuni-penghuninya telah menduga
bahwa mereka mampu menguasainya (melakukan segala sesuatu), tiba-tiba datanglah kepadanya
azab kami di waktu malam atau siang, maka kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana
tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah
kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir (QS Yunus
|10|: 24). .

fquronbohoqio

Anda mungkin juga menyukai