Anda di halaman 1dari 19

BAB II PEMBANGUNAN HUKUM

A. Permasalahan yang Dihadapi Permasalahan yang masih dihadapi dalam pembangunan hukum sampai dengan tahun 2001 meliputi permasalahan yang terkait dengan materi peraturan perundang-undangan, struktur dan penegakan hukum, serta budaya hukum. Di bidang materi peraturan perundang-undangan masih terdapat peraturan perundang-undangan, baik peninggalan kolonial maupun hukum nasional, yang belum mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat serta perkembangan ekonomi global. Kondisi tersebut mengakibatkan hukum belum dapat memainkan peran yang optimal dalam mendukung proses pemulihan ekonomi, pelaksanaan desentralisasi, peningkatan kehidupan sosial politik dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) serta pemberantasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Lembaga peradilan juga belum secara optimal menjalankan tugas dan fungsinya secara tegas dan konsisten. Hal tersebut II - 1

disebabkan antara lain karena masih adanya intervensi dan pengaruh dari pihak-pihak lain, sehingga hakim masih belum dapat memutuskan perkara secara mandiri sesuai dengan hati nuraninya. Selain itu, masih kurangnya profesionalitas, kualitas dan integritas moral hakim dan aparat penegak hukum menyebabkan masih banyak terjadi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh hakim dan aparat penegak hukum. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum juga disebabkan antara lain karena masih banyaknya kasus KKN dan pelanggaran HAM yang belum dapat terselesaikan secara hukum termasuk pengembalian kekayaan negara yang telah dikorupsi. Dalam penanganan berbagai kasus KKN, kondisi tersebut disebabkan antara lain karena masih adanya perbedaan pemahaman diantara aparat penegak hukum terhadap penerapan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanganan korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu lemahnya fungsi intelijen di kalangan penyidik dan penuntut menyebabkan sulitnya pengumpulan bukti-bukti yang terkait dengan berbagai kasus KKN, sehingga mengakibatkan penyelesaian perkara KKN menjadi lamban dan tidak tuntas. Dalam rangka penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM meskipun peraturan perundang-undangan yang diperlukan telah ditetapkan, yaitu adanya Pengadilan HAM namun sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Hal tersebut disebabkan antara lain karena masih belum adanya persamaan persepsi antara aparat penegak hukum terhadap penerapan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sehingga banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan secara hukum. Lemahnya penerapan nilai-nilai budaya dan kesadaran hukum masyarakat mengakibatkan kurangnya kepatuhan terhadap hukum tidak saja di tingkat kehidupan masyarakat tetapi di lingkungan aparat penyelenggara negara. Kondisi tersebut pada akhirnya menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik horizontal II - 2

dan vertikal di dalam masyarakat sebagaimana masih sering terjadi sampai saat ini. Di samping itu, kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan baik sebelum maupun sesudah ditetapkan baik kepada masyarakat maupun aparat penyelenggara negara, seringkali menimbulkan kesalahpahaman antara masyarakat dan aparatur penyelenggara negara, termasuk aparatur hukum. Akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum menjadi hilang dan akhirnya menimbulkan tindakan berupa penghakiman oleh masyarakat terhadap pelaku tindak kejahatan, pembakaran dan penjarahan aset publik.

B.

Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang Dicapai

Walaupun banyak permasalahan yang masih dihadapi, namun berbagai upaya dan langkah-langkah terus dilakukan sesuai dengan arah kebijakan sebagaimana digariskan dalam GBHN 19992004 dan pelaksanaan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004 serta Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) Tahun 2001. Kesemuanya tersebut ditujukan untuk menegakkan kembali supremasi hukum melalui penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen. Langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan dan hasil pelaksanaan Repeta Tahun 2001 sebagai bagian dari pencapaian PROPENAS adalah sebagai berikut:

1.

Program Pembentukan Peraturan Perundangundangan

Dalam kurun waktu tahun 2000/2001, telah dihasilkan 12 (dua belas) Naskah Akademis. Naskah Akademis yang mendukung penyusunan peraturan perundang-undangan bidang ekonomi di antaranya adalah Naskah Akademis RUU tentang Pengurusan Piutang Negara; Naskah Akademis RUU tentang Penggabungan, II - 3

Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham yang dilarang menurut Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Pasal 28 ayat (3), Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999); Naskah Akademis Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Informasi Industri; dan Naskah Akademis RPP tentang Penyelenggaran Jasa Konstruksi. Sedangkan Naskah Akademis yang mendukung penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang sosial dan politik di antaranya adalah Naskah Akademis RUU tentang Pemeriksaan terhadap Anggota MPR dan DPR; Naskah Akademis RUU tentang Perlindungan Saksi Korban Kejahatan; dan Naskah Akademis RPP tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (Pasal 17 ayat (4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999). Selanjutnya, dengan persetujuan DPR, dalam periode tahun 2000/2001 telah ditetapkan sebanyak 54 Undang-undang (Tabel II.1). Di bidang politik telah ditetapkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Pemilihan Umum, dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam bidang ekonomi antara lain telah dihasilkan Undangundang Perpajakan yang merupakan perubahan dari peraturan perundang-undangan yang lama, yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Selain itu, telah ditetapkan pula Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Ketenagakerjaan. Dalam rangka menciptakan kepastian dunia usaha, telah ditetapkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Di samping itu, saat ini sedang pula dilakukan pembahasan RUU tentang Pencucian Uang (Money Laundering) dan RUU tentang Bank Indonesia.

II - 4

Untuk menjalankan amanat Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, telah ditetapkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Undangundang Nomor 25 Tahun 2000 ini memuat arah kebijakan penyelenggaraan negara untuk menjadi pedoman bagi penyelenggara negara dan seluruh rakyat Indonesia dalam melaksanakan penyelenggaraan negara dan melakukan langkahlangkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan pembangunan dalam kurun waktu 2000-2004. Di bidang Hak Kekayaan Intelektual, telah ditetapkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Di samping itu, telah pula ditetapkan Undangundang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten dan Undangundang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sedangkan RUU tentang Hak Cipta masih dalam proses pembahasan di DPR. Dalam rangka pemekaran wilayah, sebagai bagian dari gerak laju era desentralisasi telah ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, Undang-undang Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Undangundang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Banten, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan Undangundang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Gorontalo. Selain itu, telah pula ditetapkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta Undang-undang tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. II - 5

Untuk mendukung pelaksanaan perlindungan terhadap HAM dan memberikan kepastian, keadilan, dan perasaan aman baik kepada perorangan maupun masyarakat, telah ditetapkan Undangundang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undangundang ini memberikan landasan hukum bagi penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di samping itu, sebagai bagian dari anggota Perserikatan Bangsa-bangsa, Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional. Saat ini telah pula dilakukan pengkajian terhadap berbagai konvensi internasional baik yang telah ditandatangani maupun belum ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia, antara lain Konvensi Transnational Organized Crimes (TOC), dan Konvensi mengenai Larangan Perdagangan Perempuan dan Anak. Selanjutnya hasil pengkajian ini akan dipergunakan untuk menyusun peraturan lebih lanjut sebagai implementasi konvensi tersebut.

2.

Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum lainnya

Pembenahan dan pemberdayaan kelembagaan tidak hanya dilakukan dalam lingkungan peradilan, tetapi juga dilakukan terhadap lembaga kepolisian. Dengan Ketetapan MPR-RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, maka kedudukan Polri tidak lagi berada di bawah wewenang TNI, tetapi bertanggungjawab langsung di bawah Presiden. Sementara perubahan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997 yang mengatur tentang Kepolisian masih dalam proses pembahasan di DPR, maka dengan Keppres Nomor 89 Tahun 2000 telah ditetapkan Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dengan kedudukan Polri yang independen, maka Polri akan dapat melaksanakan tugasnya secara profesional dan mandiri sebagai aparat penegak hukum yang dapat memberikan pelayanan, perlindungan, dan rasa aman kepada masyarakat dengan lebih baik. II - 6

Selanjutnya, untuk mendukung operasionalisasi tugas Polri telah ditetapkan Keppres Nomor 54 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia dan terakhir telah diubah dengan Keppres Nomor 77 Tahun 2001. Untuk meningkatkan kinerja dan kemandirian lembaga Kejaksaan Agung, telah diterbitkan Keppres Nomor 89 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI. Di samping itu juga sedang dilakukan pengkajian dan penyempurnaan terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI. Dengan demikian diharapkan penyempurnaan dari Undangundang Nomor 5 Tahun 1991 tersebut dapat menghilangkan ambiguitas peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan penyidik terhadap perkara pidana khusus dan perlunya ketegasan mengenai fungsi jaksa di bidang gugatan perdata demi kepentingan negara. Beberapa daerah yang dilanda kerusuhan, seperti Aceh, Maluku dan Irian Jaya mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan. Hal tersebut disebabkan karena faktor keamanan yang tidak kondusif, sehingga banyak hakim yang meninggalkan atau tidak berada di tempat tugasnya. Sebagai akibatnya beberapa pengadilan di Aceh, Maluku dan Irian Jaya mengalami kekurangan jumlah hakim. Upaya dan langkah yang ditempuh agar pelaksanaan persidangan tetap berjalan adalah dengan melakukan sidang dengan sistem Hakim Tunggal yang telah mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung. Untuk memenuhi jumlah tenaga Hakim di 3 daerah tersebut, telah dilakukan penerimaan Calon Hakim Crash Program dari pegawai di lingkungan Pengadilan Tinggi Banda Aceh sebanyak 25 orang, Pengadilan Tinggi Ambon sebanyak 14 orang, dan Pengadilan Tinggi Jayapura sebanyak 11 orang. Kekurangan jumlah aparatur juga dialami di lingkungan kejaksaan di daerah Aceh. Adapun upaya yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menempatkan Jaksa yang berasal dari daerah Aceh untuk bertugas di daerahnya sendiri, II - 7

di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Aceh. Upaya ini diharapkan akan dapat mengatasi keluarnya para Jaksa tersebut dari wilayah Aceh. Adapun proses penanganan perkara yang telah dilakukan oleh lembaga peradilan dari bulan April tahun 1999 sampai dengan bulan Desember tahun 2000 adalah sebagai berikut. Di tingkat Pengadilan Negeri telah diselesaikan sebanyak 1.220.452 perkara dari 1.238.066 perkara yang ada. Selanjutnya, dari bulan Januari sampai dengan bulan September tahun 2001 telah diselesaikan sebanyak 695.439 perkara dari 719.844 perkara yang ada. Sedangkan di tingkat Pengadilan Tinggi, pada tahun 2000 telah diselesaikan sebanyak 7.334 perkara dari 9.443 perkara yang ada, dan pada tahun 2001 telah diselesaikan sebanyak 4.876 perkara dari 7.464 perkara. Pada tahun 2000 Pengadilan Tata Usaha Negara telah menyelesaikan perkara sebanyak 919 perkara dari 1.260 perkara yang ada, dan pada tahun 2001 telah diselesaikan sebanyak 564 perkara dari 872 perkara. Adapun penyelesaian perkara pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada tahun 2000 adalah sebanyak 600 perkara dari 954 perkara, dan pada tahun 2001 telah diselesaikan sebanyak 404 perkara dari 681 perkara (Tabel II.2). Untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan aparat penegak hukum, telah dilakukan secara terus menerus kegiatan lokakarya maupun pelatihan-pelatihan yang diikuti baik oleh hakim, panitera maupun jaksa. Dalam kurun waktu 2000/2001 telah dilaksanakan pelatihan Calon Hakim yang diikuti oleh 303 orang, pelatihan Calon Hakim Khusus sebanyak 50 orang, dan pelatihan Hakim Ad-Hoc sebanyak 30 orang. Di samping itu, telah pula diselenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi 440 orang jaksa, dan dalam tahun 2001 direncanakan akan dilaksanakan pendidikan dan latihan bagi 1.010 orang jaksa. Selain itu, telah pula diupayakan peningkatan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum yang lebih baik melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya yang diharapkan akan semakin meningkatkan integritas dan moral hakim dan aparat II - 8

penegak hukum untuk tidak melakukan melakukan penyalahgunaan wewenangnya. Upaya yang dilakukan adalah dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2001 dan Keppres Nomor 65 Tahun 2001 yang menyesuaikan gaji pokok Hakim Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama. Untuk Hakim dengan Golongan Ruang III/a dan masa kerja 0 tahun, gaji pokoknya disesuaikan dari Rp 750.000,00 menjadi Rp 1.350.000,00. Sedangkan untuk Hakim dengan Golongan Ruang IV/e dengan masa kerja 32 tahun, gaji pokoknya disesuaikan dari Rp 2.257.900,00 menjadi Rp 3.400.000,00. Di samping pemberdayaan lembaga dan peningkatan kualitas serta tingkat kesejahteraan aparat penegak hukum, telah dilakukan pula penertiban dan penindakan terhadap aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran disiplin dan penyalahgunaan wewenang. Selama kurun waktu bulan Februari sampai April Tahun 2001 telah dilakukan tindakan terhadap 12 orang hakim, 7 orang panitera, dan 5 orang petugas imigrasi, berupa pencopotan jabatan, penurunan pangkat dan mutasi ke lain daerah. Di lingkungan Kejaksaan telah pula dilakukan penindakan berupa hukuman disiplin ringan sebanyak 5 orang, hukuman disiplin sedang sebanyak 6 orang, dan hukuman disiplin berat sebanyak 7 orang. Dalam kurun waktu tahun 2000/2001 telah diupayakan pula peningkatan sarana dan prasarana yang merupakan pendukung bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kegiatan yang telah dilakukan antara lain, rehabilitasi atau renovasi Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara yang rusak karena kerusuhan, seperti di Cipinang dan Padang. Dalam rangka penanggulangan kejahatan narkoba telah pula disiapkan prasarana berupa pembentukan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Khusus Narkoba sebanyak 12 buah, yaitu di LP Cirebon, Lubuk Linggau, Maros, Bangli, Medan, Besi (Nusakambangan), Madiun, Bandung, Jakarta, Kendal, Yogyakarta, dan Martapura.

II - 9

3.

Program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Dalam rangka memantapkan penanganan kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang akan mengatur mengenai asas pembuktian terbalik, dalam arti seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana korupsi harus dapat membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak melakukan tindakan korupsi dan apabila tidak dapat membuktikan hal tersebut maka akan dianggap bersalah. Sejalan dengan revisi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, saat ini sedang dibahas pula RUU tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Komisi Antikorupsi). Komisi ini mempunyai tugas untuk melakukan koordinasi penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya seperti di bidang perbankan, pasar modal, perpajakan dan di bidang moneter keuangan yang bersifat lintas sektoral dengan menggunakan teknologi canggih. Selama jangka waktu bulan April tahun 2000 sampai dengan bulan Mei tahun 2001, pada tahap penyelidikan telah diselesaikan 66 kasus korupsi. Pada tahap penyidikan telah diselesaikan 76 kasus, kerugian keuangan yang dialami negara karena perkara tindak pidana korupsi adalah sebanyak Rp 21.372.626.000.000,00, dan yang dapat diselamatkan adalah sebesar Rp 715.204.000.000,00. Sedangkan pada tahap penuntutan, telah diselesaikan 151 kasus, kerugian keuangan adalah sebanyak Rp 6.218.455.000.000,00, dan yang dapat diselamatkan hanya sebesar Rp 4.390.000.000,00 (Tabel II.3). Adapun kasus korupsi yang sampai sekarang masih dalam proses penyelesaian antara lain persidangan kasus Bank Bali, yang saat ini dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung, kasus Bantuan

II - 10

Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus tukar guling tanah dan gedung Bulog antara Bulog dengan PT Goro Batara Sakti. Pada dasarnya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi diperlukan pula peran aktif masyarakat. Sehubungan dengan peningkatan peran masyarakat, telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2001 yang mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian diharapkan masyarakat juga mempunyai rasa tanggung jawab dan kontrol sosial dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari tindak pidana korupsi. Bersamaan dengan langkah-langkah represif dilaksanakan pula langkah preventif dan edukatif yang bertujuan untuk menumbuhkan budaya malu dan anti korupsi, yang antara lain dilakukan melalui pembukaan Kotak Pos 777 oleh Kejaksaan. Kotak Pos ini menerima pengaduan dari masyarakat mengenai adanya tindak pidana korupsi untuk ditindaklanjuti oleh Kejaksaan. Perlindungan terhadap HAM telah diatur dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Untuk melaksanakan amanat dalam Ketetapan MPR tersebut telah ditetapkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota dari Perserikatan Bangsa-bangsa dalam menjunjung tinggi HAM dan melaksanakan Deklarasi Universal HAM. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 antara lain memberi wewenang kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menjalankan fungsi mediasi dalam penyelesaian perkara pelanggaran HAM dan menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti.

II - 11

Undang-undang tersebut juga memerintahkan pembentukan Pengadilan HAM untuk mengadili kasus pelanggaran HAM yang berat. Untuk itu, telah diterbitkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan extra ordinary crimes, sehingga berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif, yaitu perkara yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini dapat diperiksa dengan menggunakan undang-undang tersebut. Adapun yang berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu adalah Pengadilan HAM Ad-Hoc. Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 telah diterbitkan Keppres Nomor 31 Tahun 2001 yang menetapkan pembentukan Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Surabaya, Medan dan Makassar. Sementara itu telah ditunjuk 30 orang Hakim untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan HAM. Setelah mengikuti pendidikan ini para Hakim tersebut akan ditempatkan pada Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Negeri Makassar. Khusus untuk mengadili perkara pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat dan di Tanjung Priok pada tahun 1984, dengan Keppres Nomor 53 Tahun 2001 dibentuk Pengadilan HAM Ad-Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun demikian, karena Keppres ini tidak membatasi locus dan tempos delicti tertentu sebagaimana dimaksud oleh penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, maka Keppres Nomor 53 Tahun 2001 telah diubah dengan Keppres Nomor 96 Tahun 2001. Keppres ini menetapkan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada bulan April 1999 dan September 1999 di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dili dan Soae, serta kasus Tanjung Priok pada bulan September 1984.

II - 12

Untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur telah dilakukan penyidikan dari bulan April sampai dengan Oktober tahun 2000. Dari hasil penyidikan tersebut telah ditetapkan 23 orang tersangka, dan telah dilakukan pemeriksaan terhadap 18 orang yang diberkas menjadi 12 berkas perkara. Sedangkan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok, telah dilakukan penyidikan tahap pertama dari bulan Nopember tahun 2000 sampai dengan tanggal 23 April tahun 2001, dan diperpanjang sampai dengan tanggal 22 Juli 2001 oleh Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untuk itu telah diperiksa sebanyak 103 orang saksi, namun dari pemeriksaan tersebut belum dapat ditentukan jumlah berkas perkara maupun jumlah tersangkanya. Dalam penyelesaian kasus KKN dan pelanggaran HAM masih ditemui banyak kendala, diantaranya adalah karena sulitnya pengumpulan barang bukti. Dalam upaya pengumpulan bukti tersebut, Kejaksaan terus menerus melakukan operasi intelijen dan operasi yustisial. Selain itu, faktor keamanan juga turut mempengaruhi pelaksanaan persidangan kasus pelanggaran HAM, terutama di daerah-daerah konflik seperti di Aceh, Maluku, Kalimantan Barat, Irian Jaya, dan Nusa Tenggara Timur. Mengingat kondisi keamanannya yang rawan, maka dilakukan upaya sistem alih kompetensi peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 85 KUHAP. Pasal 85 ini menyatakan bahwa dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau ketua kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung (MA) mengusulkan kepada Menteri Kehakiman dan HAM untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan lain untuk mengadili perkara tertentu. Di samping penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara hukum, saat ini sedang disusun RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini merupakan upaya alternatif II - 13

penyelesaian pelanggaran HAM dengan jalan perdamaian dan saling memaafkan antara para pihak sehingga penyelesaiannya tidak perlu dilakukan melalui proses peradilan. Pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut baik individu, pemerintah maupun kesatuan tertentu di samping mengakui kesalahannya serta meminta maaf, mereka juga harus mengganti kerugian bagi para korban. Sedangkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai HAM dan memajukan perlindungan terhadap HAM, telah dilakukan kegiatan lokakarya mengenai Hak-hak Minoritas, Hakhak Pengungsi, dan sosialisasi Hak-hak Perempuan. Selain itu, dilakukan pula pengkajian mengenai Model-model Penyelesaian Konflik Horizontal, dan pengkajian mengenai Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi. Selain itu, untuk membantu penyelesaian masalah HAM, telah dibentuk Pusat Penanggulangan Krisis (Crisis Centre) Pelanggaran Berat HAM, dan dilakukan pula pembinaan Posko HAM di Aceh, Irian Jaya, dan Maluku.

4.

Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum

Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan meningkatkan kepatuhan, baik masyarakat maupun aparatur penyelenggara negara akan nilai-nilai budaya hukum, maka telah dilakukan upaya penyadaran hukum dan pengembangan budaya hukum. Dengan meningkatnya kembali kepercayaan dan kepatuhan masyarakat dan aparatur penyelenggara negara terhadap hukum dan lembaga peradilan beserta aparat penegak hukumnya, diharapkan tidak ada lagi konflik atau kekerasan baik vertikal maupun horizontal di dalam masyarakat, dan juga penyalahgunaan II - 14

wewenang atau kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara. Selain itu, juga dapat dikurangi tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam kurun waktu bulan April tahun 2000 sampai dengan bulan September tahun 2001 telah dilaksanakan penyadaran hukum baik secara langsung maupun tidak langsung melalui media cetak dan elektronik, serta kegiatan Temu Sadar Hukum (Tabel II.4). Adapun materi yang telah disosialisasikan diantaranya adalah mengenai Konvensi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi ILO, dan Anti Penyiksaan. Untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan penyadaran hukum, telah dilakukan penyempurnaan konsep dan metode penyadaran hukum yang lebih aspiratif dan akomodatif dengan melibatkan secara terpadu unsur dari Pemerintah, baik departemen maupun LPND, perguruan tinggi, dan organisasi kemasyarakatan. Sejalan dengan perkembangan masyarakat, diharapkan pola penyadaran hukum ini dapat menumbuhkan swakarsa dan swadaya masyarakat sehingga masyarakat dapat mengaktualisasikan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

C.

Tindak Lanjut yang Diperlukan

Berbagai upaya dan langkah telah dilakukan oleh pemerintah di bidang pembangunan hukum, yaitu melalui (a) memperbaharui dan menetapkan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan perkembangan dalam masyarakat; (b) pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya; (c) penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM; (d) serta peningkatan kesadaran dan pengembangan budaya hukum. Menyadari bahwa hasil-hasil pembangunan hukum yang telah dicapai masih belum mencapai dari apa yang digariskan dalam II - 15

GBHN dan PROPENAS, maka tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan hukum adalah sebagai berikut:

1.

Program Pembentukan Peraturan Perundangundangan

Tersedianya peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat merupakan landasan dan pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Diharapkan produk perundang-undangan yang akan dihasilkan tersebut benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat, mampu memberi dukungan dalam rangka mendukung proses pemulihan ekonomi, sosial, politik, dan keamanan, perlindungan terhadap hak perempuan dan anak, pelaksanaan desentralisasi serta penyelesaian kasus KKN dan HAM. Diharapkan pula adanya peningkatan peran Prolegnas dalam rangka menciptakan koordinasi yang baik antara Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam rangka pembentukan undang-undang. Selain itu, perlu dirumuskan mekanisme pembentukan undang-undang antara DPR dan Pemerintah sehingga dapat disusun penentuan kriteria yang jelas dalam menetapkan prioritas RUU yang akan dibahas bersama antara DPR dan pemerintah. Di samping itu, perlu dipercepat pembahasan RUU yang saat ini sudah ada di DPR sehingga tidak terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan.

2.

Program Pemberdayaan Lembaga Peradilan dan Lembaga Penegak Hukum Lainnya

Penegakan supremasi hukum tidak akan tercapai tanpa didukung oleh kemandirian lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya. Oleh karena itu, diperlukan serangkaian langkah untuk meningkatkan independensi lembaga peradilan dan lembaga II - 16

penegak hukum lainnya. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyempurnakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-undang yang terkait dengan empat lingkungan peradilan, yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian. Kemandirian lembaga peradilan ini, perlu pula diantisipasi dengan upaya check and balances terhadap lembaga peradilan, dengan membentuk Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim yang melakukan fungsi pengawasan, baik pengawasan terhadap lembaga peradilan maupun perilaku para hakimnya. Keanggotaan dari Dewan ini dipilih dari orang-orang yang integritasnya telah benar-benar teruji. Upaya lain yang harus segera dilakukan adalah mempercepat pembahasan penyempurnaan undang-undang yang mengatur Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam rangka memperkuat kapasitas kelembagaan di lingkungan peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya, perlu dibangun sistem informasi yang transparan dan akuntabel serta mudah diakses masyarakat pencari keadilan. Dengan adanya sistem manajemen perkara, maka hasil keputusan pengadilan diharapkan dapat dipertanggungjawabkan secara transparan di hadapan masyarakat. Peningkatan kapasitas ini harus didukung pula oleh profesionalitas, kualitas, dan integritas moral dari hakim dan aparat penegak hukum. Oleh karena itu, perlu terus menerus dilakukan pendidikan dan pelatihan yang ditujukan tidak hanya untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan teknis yudisialnya saja II - 17

tetapi juga meningkatkan kualitas akhlaknya. Di samping itu, perlu juga disusun sistem mutasi dan promosi dengan menerapkan prinsip penghargaan dan penghukuman (reward and punishment). Pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terus dilakukan dan tidak hanya berlaku bagi Calon Hakim Agung, tetapi sebaiknya juga digunakan untuk rekrutmen Calon Hakim dan Calon Jaksa.

3.

Program Penuntasan Kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Tindak lanjut yang diperlukan dalam penyelesaian kasus korupsi adalah dengan mempercepat pembahasan perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mencantumkan asas pembuktian terbalik. Diharapkan dengan penetapan undang-undang yang baru akan dapat menjerat dan membawa lebih banyak pelaku tindak pidana korupsi ke pengadilan dan diharapkan kerugian keuangan negara dapat pula diselamatkan. Sejalan dengan itu, perlu dipercepat pula pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Komisi Antikorupsi), sehingga dapat dilakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya seperti di bidang perbankan, pasar modal, perpajakan dan di bidang moneter keuangan yang bersifat lintas sektoral dengan menggunakan teknologi canggih. Dalam rangka penyelesaian kasus pelanggaran HAM, maka perlu dilakukan inventarisasi kasus-kasus yang mempunyai indikasi pelanggaran terhadap HAM, serta terus menerus dilakukan penegakan hukum yang tegas dan konsisten dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim Penyidik Pelanggaran HAM perlu dibentuk untuk mengusut pelanggaran II - 18

HAM yang terjadi di Tanjung Priok, Aceh, Irian Jaya, Maluku, Kalimantan, dan juga Semanggi. Di sini diharapkan pula peran aktif masyarakat untuk membantu aparat dalam mengungkapkan dan menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Selanjutnya, untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat pada masa lalu, dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000.

4.

Program Peningkatan Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya Hukum

Penerapan nilai-nilai budaya hukum dan pengembangan kepatuhan masyarakat dan aparatur penyelenggara negara juga merupakan upaya penegakan kembali supremasi hukum yang harus dilakukan secara berkesinambungan. Sejalan dengan tuntutan demokrasi yang transparan dan terbuka, maka perlu diberdayakan peran serta aktif masyarakat dalam kegiatan pembangunan hukum. Karena pelaksanaan kegiatan penyadaran hukum yang cenderung monolog, berdasarkan pendekatan atas bawah, maka perlu dikaji ulang dan dilakukan penyempurnaan metode kegiatan penyadaran hukum yang bersifat dialogis, aspiratif dan akomodatif. Selain itu, materi peraturan perundang-undangan yang disampaikan kepada masyarakat perlu disesuaikan dengan dinamika masyarakat, dan kegiatan penyadaran hukum harus dapat menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas, baik laki-laki maupun perempuan.

II - 19

Anda mungkin juga menyukai