Anda di halaman 1dari 10

Multikulturalisme dalam Masyarakat Majemuk

DI DALAM dunia ilmu-ilmu sosial telah muncul semacam kesadaran, bahwa penelitian sosial
tidak pernah boleh berhenti pada pengumpulan data-data semata. Penelitian sosial haruslah
menekankan dan mengajarkan nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan bersama. Hal yang sama
kiranya juga berlaku di dalam penelitian-penelitan mengenai multikulturalisme.
Seorang ilmuwan sosial asal Swedia, Gunnar Myrdal, mempunyai pendapat menarik tentang hal
ini.|2| Pertama, baginya ilmu-ilmu sosial haruslah melibatkan sesuatu yang lebih dari sekedar
penggambaran Iakta-Iakta. Dalam arti ini ilmu sosial haruslah menyentuh problem-problem
mendasar kehidupan manusia, seperti soal nilai dan makna. Kedua, setelah menggambarkan
Iakta ilmu-ilmu sosial haruslah menjelaskan keterkaitan antara Iakta-Iakta yang beragam tersebut
tersebut. Ilmu sosial haruslah mampu menunjukkan relasi yang memberikan kerangka berbagai
data yang ada. Ketiga, di dalam ilmu-ilmu sosial problem mengenai sudut pandang sangatlah
penting untuk diperhatikan. Suatu masalah bisa begitu signiIikan di lihat dari satu sudut pandang
tertentu, tetapi juga bisa menjadi sangat tidak signiIikan jika dilihat dari sudut pandang lain.
Seorang ilmuwan sosial haruslah memberikan argumen yang kuat, jika ia hendak memutuskan
bahwa satu sudut pandang dianggap lebih penting daripada sudut pandang lain. Myrdal
merumuskan pandangannya ini dalam konteks analisisnya problem multikulturalisme di
Amerika. Pertanyaan yang menjadi Iokusnya adalah struktur, institusi, dan kebijakan macam
apakah yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir yang sesuai dengan konstitusi dasar
Amerika?
Pertanyaan itu tentunya kurang relevan untuk kita. Akan tetapi problematika yang muncul akibat
Iakta adanya kehidupan bersama antara orang-orang yang berasal dari kultur maupun agama
yang berbeda jelas sangat relevan untuk Indonesia. Dalam hal ini tentunya kita bisa banyak
belajar dari pada peneliti dan ilmuwan yang sudah banyak melakukan analisis di bidang ini.
Pelajaran yang ditarik bisa di level deskripsi data, tetapi juga lebih dari itu, yakni suatu konsep
tentang masyarakat multikultural, seperti Indonesia, yang ideal. Pada bagian ini, saya akan
mencoba untuk menelusuri beberapa pendapat John Rex mengenai problematika
multikulturalisme di dalam masyarakat majemuk.
Multikulturalisme untuk Masyarakat Majemuk
Mari kita telusuri beberapa gagasan mengenai tata masyarakat di dalam konteks masyarakat
majemuk. Teori sosiologi klasik biasanya selalu berIokus pada konIlik-konIlik sosial yang
muncul di dalam masyarakat yang kurang lebih homogen. Pada 1939 Furnivall membuat
terobosan baru dengan mencoba memahami dinamika dan problematika masyarakat plural.|3|
Kebetulan juga ia mencoba mempelajari dinamika masyarakat Indonesia pada saat itu. Ia
menemukan Iakta menarik. Di Indonesia banyak orang yang berasal dari beragam latar belakang
suku dan agama hidup di dalam daerah yang sama. Akan tetapi interaksi sesungguhnya justru
dilakukan di dalam pasar, dan bukan di tempat tinggal mereka. Artinya walaupun setiap orang
hidup di dalam wilayah yang memiliki nilai moral dan agama yang berbeda-beda, tetapi mereka
bisa bertemu di pasar. Pasar dianggap sebagai tempat yang tidak memiliki kontrol moral ataupun
religius partikular. Di Eropa kapitalisme berkembang sangatlah lambat, dan melibatkan interaksi
yang luar biasa rumit dengan nilai-nilai moral di dalam budaya maupun agama. Hal ini tidaklah
terjadi di Indonesia. Perkembangan kapitalisme di Indonesia selalu melibatkan pasar, di mana
relasi yang terjadi adalah relasi dominasi antara kelompok yang satu atas kelompok yang lain.|4|
Suatu masyarakat disebut sebagai masyarakat majemuk, jika masyarakat tersebut memenuhi satu
dari dua deIinisi berikut ini. Pertama, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari
komunitas etnik yang berbeda-beda. Komunitas etnik tersebut hidup terpisah-pisah, dan masing-
masing memiliki moralitasnya sendiri. Yang kedua, masyarakat majemuk adalah masyarakat
yang hidup di dalam satu komunitas yang sama, namun dipisahkan satu sama lain oleh pasar.
Pada titik ini ada baiknya kita bertanya, apakah masyarakat majemuk semacam itu akan
mendorong terciptanya semacam moralitas bersama untuk memampukan mereka hidup bersama
secara harmonis, atau mereka justru akan menciptakan relasi dominatiI antara kelompok yang
kuat terhadap kelompok yang lemah, di mana justru relasi dominatiI itu yang akan menjadi
pengikat kehidupan bersama?
Salah satu sosiolog yang mencoba menganalisis hal ini adalah M.G Smith.|5| Menurutnya suatu
masyarakat yang homogen selalu memiliki seperangkat aturan sistem sosial yang uniter. Artinya
masyarakat tersebut mempunyai seperangkat aturan yang mengatur kehidupan privat, religius,
hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Akan tetapi masyarakat majemuk tidaklah
memiliki hal semacam itu. Masyarakat majemuk ditandai dengan beragamnya perangkat aturan
nilai yang digunakan untuk menata kehidupan sosial manusia, dan masing-masing aturan nilai
tersebut bersiIat total hanya bagi orang-orang yang berada di dalam kultur ataupun agama
tertentu. Di dalam masyarakat semacam ini tidak ada sabuk pengikat kehidupan bersama.
Bahkan menurut Smith, masyarakat majemuk justru diikat oleh adanya dominasi kelompok yang
satu atas kelompok yang lain. Jadi elemen yang mengikat masyarakat majemuk untuk tetap eksis
sebagai masyarakat justru adalah dominasi. Dalam konteks ini Smith menawarkan suatu model
untuk menjelaskan terjadinya diskriminasi rasial di dalam masyarakat majemuk.
Tentu saja model ini bukanlah suatu model yang ideal bagi masyarakat multikultur. Untuk
mencoba merumuskan model ideal bagi suatu masyarakat multikultur, kita pertama-tama perlu
untuk membedakan wilayah privat dan wilayah publik dari kehidupan sosial. Rex menawarkan
tiga model dalam konteks ini. Pertama, kita dapat memikirkan sebuah masyarakat yang memiliki
ruang publik yang tunggal, namun justru mendorong terciptanya perbedaan di dalam ruang
privat. Kedua, kita dapat membayangkan sebuah model masyarakat, di mana masyarakat
sekaligus mendorong kesatuan di dalam ruang publik maupun di dalam ruang privat. Kesatuan
tersebut tentunya didasarkan pada seperangkat nilai-nilai moral yang disepakati bersama. Ketiga,
suatu masyarakat juga dapat mendorong perbedaan dan mengakui pluralitas nilai sekaligus di
ruang publik, dan di dalam ruang privat. Masyarakat multikultur yang ideal, menurut Rex, adalah
masyarakat yang memenuhi model pertama, di mana setiap orang dan setiap kelompok diberi
kebebasan untuk mengekspresikan nilai-nilai maupun cara hidup mereka, namun tetap mengacu
terus pada ruang publik bersama sebagai satu kesatuan. Model kedua adalah model yang dipakai
oleh praktek-praktek kolonialisme, seperti pada sistem Apartheid di AIrika Selatan.
Saya tertarik untuk membahas lebih jauh pandangan Rex mengenai ruang privat dan ruang
publik ini. Menurutnya reIleksi tentang ruang publik dan ruang privat masihlah jarang ditemukan
di dalam teori-teori sosiologi klasik. Para pemikir klasik cenderung untuk memandang
masyarakat sebagai kumpulan institusi yang saling terhubung, dan kemudian membentuk satu
sistem tunggal. Pandangan semacam ini dengan mudah dapat ditemukan di dalam pemikrian
Talcott Parsons,|6| serta para pemikir Strukturalis Perancis, seperti Althusser.|7| Mereka
cenderung untuk berpendapat bahwa ruang publik dibentuk oleh semacam moralitas bersama,
dan moralitas itu pula yang mengatur kehidupan ruang privat melalui institusi-institusi sosial,
seperti institusi agama.
Institusi-institusi sosial yang ada sekarang sangatlah didasarkan pada paradigma Iungsionalis
semacam ini. Sistem ekonomi dan sistem hukum telah dilepaskan dari tata nilai tradisional, dan
mengadopsi tata nilai yang sama sekali baru. Tentu saja nilai-nilai kultural dan nilai-nilai agama
tradisional tidak otomatis sama sekali lenyap. Akan tetapi praktek-praktek yang didasarkan atas
tata nilai tradisional tidak pernah boleh mencampuri kinerja sistem-sistem sosial yang ada, baik
sistem politik, ekonomi, maupun hukum.
Teori-teori sosiologi klasik cenderung untuk memIokuskan analisisnya pada sistem nilai yang
berlaku di dalam sebuah masyarakat. Sistem nilai itulah yang menjadi aturan moral yang menata
kehidupan masyarakat tersebut. Ferdinand T?nnies pernah menulis, bahwa suatu masyarakat
harus mendasarkan kerja sama dan interaksinya pada suatu dasar yang bersiIat historis.|8|
Durkheim juga pernah menulis tentang 'solidaritas organik (organic solidarity) yang didasarkan
pada pembagian kerja (division oI labour). Solidaritas organik ini dibedakannya dari solidaritas
mekanik pada masyarakat kecil yang didasarkan pada kekeluargaan (kinship).|9| Solidaritas
organik ini juga dibedakan dari logika yang menjalankan suatu masyarakat egoistik, di mana
nilai-nilai yang menata kehidupan bersama terletak pada beberapa individual yang dominan saja.
Beragam pandangan ini semakin dilengkapi oleh Weber, ketika ia menulis bahwa etika Protestan
dan Calvin mendorong terciptanya rasionalisasi di bidang agama. Dalam konteks ini, kehidupan
bersama semakin didasarkan pada otoritas legal-rasional, dan bukan lagi pada otoritas religius-
metaIisis.|10|
Dalam arti ini proses perubahan sosial, pembentukan sistem negara modern, dan pembentukan
sistem ekonomi kapitalis didorong oleh rasionalitas moral dan hukum di dalam masyarakat.
Dengan inilah, menurut Parsons, problematika mengenai bagaimana terbentuknya tatanan
masyarakat untuk mencegah perang semua melawan semua` dapat diselesaikan. Akan tetapi
proses rasionalisasi bidang-bidang kehidupan ini tampaknya tidak berjalan secara universal.
Seperti yang pernah dirumuskan oleh Furnivall, proses terbentuknya sistem negara modern dan
sistem ekonomi kapitalis berdasarkan kehendak bersama tidaklah terjadi di Indonesia. Di
Indonesia proses rasionalisasi identik dengan proses kolonialisasi dan dominasi dunia kehidupan
bangsa Indonesia oleh kekuatan-kekuatan asing dari Eropa. Tidak seperti di Indonesia, proses
pembentukan sistem di Eropa berjalan paralel dengan proses perubahan kulturalnya, sehingga
terjadi kesinambungan yang harmonis di antara keduanya.|11| Inilah yang disebut Rex sebagai
kultur publik (public culture).
Kultur publik ini terlihat dengan jelas di dalam moralitas publik, hukum, dan agama yang
didasarkan pada rasionalitas. Munculnya kultur publik ini juga menandakan berakhirnya kultur
rakyat (Iolk culture) yang terwujud di dalam moralitas, hukum, dan agama rakyat. Hukum,
politik, dan moralitas yang didasarkan pada rasionalitas ini kemudian memiliki Iungsi sosial
yang baru. Di satu sisi, elemen-elemen publik ini mengikat orang-orang yang berbeda untuk bisa
hidup di dalam satu komunitas tertentu. Tidak hanya mengikat, elemen-elemen publik ini juga
memberikan orang-orang tersebut identitas sosial yang solid. Di sisi lain, elemen publik ini juga
memberikan apa yang Parsons sebut sebagai 'pemeliharaan pola dan pengaturan tegangan
(pattern maintenance and tension management). Parsons juga lebih jauh berpendapat, bahwa
kehidupan di dalam dunia yang rumit dan plural ini hanya mungkin, jika orang memiliki
semacam ruang tenang` yang memungkinkan mereka untuk merasa nyaman. Ruang tenang
inilah yang disebutnya sebagai ruang intim.
Tentu saja, pengandaian-pengandaian yang ada di dalam masyarakat multikultur itu hanya
mungkin, jika masyarakat telah mengalami perubahan menjadi masyarakat bermentalitas
modern. Di dalam masyarakat yang masih sederhana, seluruh kehidupan masyarakat diatur oleh
seperangkat aturan nilai tertentu. Hal yang sama kiranya berlaku di dalam masyarakat
multikultur, walaupun dengan pola yang berbeda. Seperangkat nilai yang didasarkan pada
moralitas bersama haruslah diterapkan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat dalam skala
yang masiI. Sementara, perangkat nilai yang sama haruslah juga memungkinkan individu-
individu yang ada di masyarakat tersebut untuk memperoleh kenyamanan dan stabilitas
eksistensial. Masyarakat multikultur haruslah memiliki perangkat nilai semacam itu. Dengan
kata lain adalah suatu keharusan, bahwa perangkat nilai yang didasarkan pada moralitas bersama
dapat mengatur kehidupan masyarakat, baik di dalam ruang publik maupun di dalam ruang
privat. Tanpa perangkat nilai semacam itu, kehidupan bermasyarakat di dalam masyarakat
multikultur tidak akan mungkin dapat terjadi.
Institusionalisasi Ruang Publik
Di dalam masyarakat multikultur, menurut Rex, ruang publik dan ruang privat seringkali
bersinggungan. Ketika bersinggungan, tegangan dan konIlik kepentingan pun tidak dapat
dihindarkan. Bidang-bidang yang kiranya menandai persinggungan itu adalah bidang pendidikan
dan bidang politik. Pendidikan dan pengaruh ideologi politik terasa dari ruang publik sampai ke
dalam ruang privat. Ketika sudah terhubung di dalam ruang publik, pendidikan dan ideologi
politik pun kini juga berurusan dengan hukum dan ekonomi.
Hukum menentukan bagaimana orang, baik secara individual dan komunal, dapat hidup bersama
dan terintegrasi secara positiI ke dalam masyarakat. Inilah yang kiranya menandai ciri dari
masyarakat modern, bahwa orang-orang yang berasal latar belakang berbeda dapat terintegrasi
secara positiI ke dalam masyarakat. 'Di dalam masyarakat multikultur yang ideal, demikian
tulis John Rex, 'bagaimanapun juga, kita mengandaikan bahwa semua individu secara setara
terintegrasi dan dan bahwa mereka memiliki kesetaraan di hadapan hukum.|12| Ideal semacam
ini tidak akan pernah tercapai ke dalam realitas, jika banyak orang masih mengalami
diskriminasi di hadapan hukum, atau hak-haknya sebagai warga negara tidak lagi diakui
sepenuhnya.
Dalam konteks politik misalnya, kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat
multikultur seringkali juga memiliki kekuatan politis yang berbeda-beda pula. Ini tentu saja
bukanlah suatu kondisi yang ideal. Di dalam masyarakat multikultur yang ideal, kelompok-
kelompok sosial yang berbeda haruslah memiliki kekuatan politik yang setara. Kesetaraan ini
dapat dirasakan dalam bentuk partisipasi yang setara di dalam kehidupan-kehidupan publik,
maupun di dalam proses-proses pembuatan keputusan yang terkait dengan kehidupan bersama.
Salah satu bidang yang memiliki dampak besar bagi kehidupan bersama adalah bidang ekonomi.
Artinya, bidang ekonomi haruslah memiliki seperangkat aturan moral yang memungkinkan
bidang tersebut bisa ditata demi kepentingan publik. Bidang ekonomi haruslah mengalami proses
institusionalisasi. Proses ini melibatkan proses tukar menukar dan kompetisi antara penjual
dengan penjual, ataupun pembeli dengan pembeli. Proses tukar menukar dan kompetisi ini
haruslah dibebaskan dari penggunaan kekerasan ataupun pemaksaan. Moralitas yang berlaku di
dalam bidang ekonomi adalah moralitas pertukaran yang damai (peaceIul bargaining). Upaya
untuk mempertahankan proses pertukaran yang adil dan harmonis sangatlah menentukan tingkat
keberadaban suatu masyarakat multikultur.|13|
Akan tetapi, walaupun masyarakat multikultur telah memiliki seperangkat tata nilai yang
dianggap sebagai moralitas bersama, hal ini sama sekali tidak menjamin bahwa masyarakat
tersebut akan selalu hidup dalam keadaan damai. Seringkali, upaya-upaya untuk mewujudkan
tujuan-tujuan politis menghasilkan konIlik politik yang lebih besar intensitasnya. Upaya-upaya
politis tersebut tidak pernah boleh menyangkal hak-hak individual seorang pun, terutama atas
dasar alasan-alasan perbedaan etnis.
Dengan demikian, proses pembentukan hukum, politik, dan ekonomi merupakan suatu proses
institusionalisasi ruang publik. Proses institusionalisasi tersebut haruslah didasarkan pada nilai-
nilai moral yang telah disepakati bersama. Nilai-nilai moral yang sama jugalah yang dapat
digunakan untuk menata kehidupan privat yang berkaitan dengan moralitas dan agama. Akan
tetapi, terutama pada praktek politik welIare state, ruangp publik, dengan menggunakan
kekuasaan birokratis politiknya, bisa memaksakan otoritasnya juga pada persoalan-persoalan
agama maupun moralitas.
Dalam batas tertentu, ekspansi kekuasaan birokrasi negara ini memiliki dampak negatiI. Negara,
misalnya, memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi ke dalam ekonomi melalui mekanisme
kontrol kepemilikan, dan campur tangan melalui subsidi maupun peraturan hukum. Lebih dari
itu, negara juga memiliki otoritas untuk ikut campur tangan dalam soal-soal moralitas privat
maupun keluarga. Mekanisme intervensi ini tentu saja juga mempunyai dampak positiI, yakni
memungkinkan terjadinya pembagian kekayaan yang merata. Negara juga memiliki otoritas
untuk menjamin berIungsinya serikat buruh, sekaligus memastikan bahwa setiap orang, apapun
sukunya, memiliki pekerjaan yang layak.|14| Dengan otoritas politiknya, negara juga bisa
menjamin bahwa setiap orang yang tidak memiliki pekerjaan memperoleh pendapatan
secukupnya. Negara juga bisa membentuk suatu instansi pemerintahan yang memperhatikan
problem-problem di dalam keluarga maupun problem individual. Semua ini tentunya
membutuhkan pelampauan batas antara ruang publik maupun ruang privat. Dalam arti ini, negara
wajib untuk melampaui batas ruang publik dan ruang privat, dan menjamin bahwa kepentingan
yang lebih besar dan lebih universal dapat tercapai.
Di dalam bukunya, T. Marshall pernah berpendapat bahwa di dalam masyarakat multikultur,
negara tidak hanya memenuhi hak-hak politik maupun hak-hak legal rakyatnya, tetapi juga hak-
hak sosial maupun kultural warganya. Harapannya adalah, dengan diperhatikan hak-hak sosial
maupun kulturalnya, warga bisa memahami bahwa kepentingan bersama lebih penting dari
sekedar kepentingan kelas sosial semata. Dengan kata lain, rakyat jadi memiliki loyalitas yang
otentik pada negaranya, dan bukan hanya pada kelas sosialnya semata. Rex menulis begini,
'banyak dari perasaan identiIikasi yang dimiliki individu dulunya hanya pada ruang privat, kini
ditransIer ke level negara.|15| Setiap orang menghargai dan menghormati kepentingan
partikular kelas sosialnya, tetapi lebih dari itu, setiap orang lebih menghargai dan menghormati
kepentingan negaranya yang melingkupi kelas sosial yang lebih luas.
Memang, yang terjadi disini adalah seolah peran keluarga kini telah digantikan oleh negara.
Akan tetapi, tidak ada yang salah dengan hal ini, terutama ketika justru negara dapat
menjalankan Iungsi sosialisasi dan penanaman nilai-nilai secara lebih eIektiI daripada keluarga.
Pada titik inilah ruang publik dan ruang privat menyatu. Namun, ketika negara dengan otoritas
politiknya mulai mencampuri urusan pendidikan, ada beberapa masalah baru muncul.
Pendidikan, Ruang Publik, dan Ruang Privat
Di dalam masyarakat modern, pendidikan setidaknya memiliki tiga Iungsi. Pertama, pendidikan
berIungsi untuk memilih individu-individu sesuai dengan kriteria keahlian mereka, untuk
kemudian mempersiapkan mereka menempati peran-peran tertentu di dalam masyarakat. Peran-
peran sosial tersebut tentunya sesuai dengan apa yang menjadi keahlian mereka. Kedua,
pendidikan juga mengajarkan kemampuan-kemampuan praktis yang dibutuhkan oleh setiap
orang untuk mempertahankan hidupnya, seperti untuk bekerja di bidang industri, ekonomi,
ataupun bidang-bidang lainnya. Dan ketiga, pendidikan berIungsi untuk mengajarkan nilai-nilai
moral. Fungsi terakhir inilah yang seringkali mengalami konIlik dengan kepentingan privat.
Memang adalah wajar, jika pemerintah ikut campur dalam soal pendidikan. Yang terpenting
adalah, proses pendidikan ini tidak bersiIat eksklusiI. Sejauh pengajaran nilai-nilai moral
tersebut terkait dengan moralitas kehidupan bernegara, maka sebenarnya campur tangan
pemerintah di dalam pendidikan dapatlah dibenarkan. Akan tetapi, setiap kultur di dalam
masyarakat memiliki nilai-nilai partikularnya sendiri yang dijunjung tinggi. Masalah muncul,
ketika nilai-nilai partikular tersebut bertentangan dengan moralitas kehidupan bernegara yang
diajarkan secara umum oleh pemerintah.
KonIlik semacam ini banyak terjadi di Inggris. Orang-orang Asia yang tinggal di Inggris
seringkali sudah merencanakan pernikahan anak-anak mereka, ketika anak-anak mereka masih
dalam usia muda. Dalam beberapa kesempatan, sekolah seirng mengadakan kegiatan berenang
bersama, dan kegiatan ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Asia yang tidak
memperbolehkan wanita yang sudah menikah memakai pakaian renang di hadapan orang yang
bukan suaminya. Para pemikir dan aktivis Ieminisme juga memberikan tanggapan kritis
mengenai praktek ini. Mereka berpendapat bahwa pernikahan haruslah muncul dari keinginan
individual, dan bukan karena kehendak orang tua. Praktek semacam ini dianggap sebagai praktek
yang menindas.
Tentu saja, pandangan itu tidaklah disetujui oleh keluarga yang masih meyakini nilai-nilai
ketimuran tertentu. Perjodohan, menurut mereka, adalah tanda kepedulian orang tua pada anak
perempuannya, yakni bahwa anak perempuannya sudah ada yang menjaga dan mengusahakan
kebahagiaannya. Kemungkinan untuk memperoleh calon suami yang baik juga jauh lebih besar
di dalam proses perjodohan, daripada jika hanya mengandalkan pencarian yang acak dan
romantis, seperti yang kiranya menjadi cita-cita banyak gadis Eropa. Benturan budaya juga
terjadi, ketika kultur Eropa yang sangat terbuka pada seksualitas berhadapan dengan kultur
ketimuran tertentu yang masih menempatkan seks sebagai persoalan privat semata. Para Ieminis,
dalam hal ini, menuntut diperbesarnya kebebasan kaum perempuan untuk mengekspresikan
seksualitas mereka. Akan tetapi, hal ini secara langsung bertentangan dengan nilai-nilai
ketimuran.
Data tentang terjadinya benturan-benturan nilai semacam itu bisa diperpanjang lagi. Yang
penting untuk diketahui adalah bahwa benturan itu terjadi, dan Irekuensinya semakin sering
sekarang ini. Sebuah masyarakat yang ingin memberi tempat bagi keberagaman kultural
sekaligus tetap hendak menjamin kesetaraan kesempatan bagi semua pihak, haruslah berhadapan
dengan benturan-benturan nilai semacam ini. Juga diperlukan kesadaran, bahwa pemerintah tetap
dapat menjamin kesetaraan partisipasi sosial semua pihak sekaligus tetap memberikan ruang bagi
pluralitas kultural anggota masyarakatnya.
Seperti sudah dilihat sebelumnya, pendidikan merupakan bidang yang kental dengan benturan
nilai semacam ini. Banyak kultur yang merasa, bahwa sistem pendidikan yang dilangsungkan
oleh pemerintah tidaklah menampung nilai-nilai kultural mereka. Oleh sebab itu, mereka
kemudian menuntut untuk diberikannya kesempatan mendirikan sekolah yang mengajarkan
secara langsung nilai-nilai kultural mereka. Hal ini banyak terjadi, baik di Eropa, Amerika,
maupun Indonesia, dan belum ada kebijakan yang jelas tentang hal ini. Banyak orang-orang yang
berasal dari kultur minoritas lalu memutuskan untuk menanamkan nilai-nilai kultural mereka di
luar jam sekolah. Hal yang sebenarnya ingin saya tekankan disini adalah, bahwa walaupun kultur
minoritas haruslah belajar dari kultur mayoritas, tetapi kultur mayoritas tetap juga harus belajar
dari kultur minoritas. Proses ini tentunya akan mendorong terciptanya penghormatan terhadap
kesetaraan kultur di dalam masyarakat majemuk.
Persoalan tentang bahasa juga menimbulkan banyak dilema. Bagi kelompok minoritas kultural,
pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan bahasa kultur mereka sudah sejak dahulu
dianggap sebagai sesuatu yang penting. Hal ini tentunya haruslah mendapatkan akomodasi lebih
jauh. Menurut John Rex, adopsi penggunaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong
terjadinya asimilasi yang positiI di dalam masyarakat majemuk. Pengakuan terhadap keberadaan
bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong terciptanya kesetaraan sosial di dalam
masyarakat multikultur.
Apa yang ingin ditekankan disini adalah, bahwa tegangan internal di dalam sistem pendidikan
haruslah diakui keberadaanya terlebih dahulu, termasuk tegangan antara kepentingan privat dan
kepentingan publik di dalam sistem pendidikan. Sekolah, sebagai agen pendidikan, haruslah
mengajarkan ketrampilan dan moralitas publik kepada warga negara. Dan lebih dari itu,
komunitas sebagai keseluruhan haruslah berpartisipasi di dalam proses pendidikan, termasuk di
dalamnya adalah pendidikan bahasa, agama, dan moral-moral privat. Hanya dengan begitulah
masyarakat multikultur yang harmonis dapat terwujud.
Memang, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur selalu berkisar di dalam
perdebatan ini, apakah pendidikan harus mengacu pada kepentingan untuk mempertahankan
kultur minoritas tertentu, atau untuk mengabdi pada kepentingan publik luas secara keseluruhan?
Jika pendidikan terlalu mengabdi pada kepentingan publik yang lebih luas, maka identitas
kultural akan terancam musnah. Dan sebaliknya, jika pendidikan terlalu berIokus pada nilai-nilai
kultural yang bersiIat partikular, maka nilai-nilai publik yang lebih luas juga dapat terancam.
Persoalan diperumit dengan problematika kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial
seluruh warga negara. Banyak ahli berpendapat, bahwa kebijakan yang terkait dengan
kesejahteraan sosial warga negara haruslah sensitiI terhadap perbedaan kultur dan kepercayaan.
Jadi diperlukan adanya kesadaran multikulturalisme di dalam kebijakan-kebijakan politik yang
terkait dengan kesejahteraan sosial. Penerapan kesadaran semacam ini memang sangatlah sulit.
Yang seringkali terjadi bukanlah para pemegang kebijakan publik memiliki kesadaran akan
pentingnya penghargaan terhadap kultur minoritas, melainkan orang-orang yang berasal dari
kultur minoritas dipaksa menyesuaikan diri dengan keinginan dan kultur para pemegang
kebijakan publik. Dilihat secara khusus ataupun secara umum, persoalan pendidikan di dalam
masyarakat multikultur masihlah merupakan problematika yang terbuka, dan menuntut reIleksi
lebih jauh.
Struktur dasar Ruang Privat
Di dalam masyarakat multikultur, anggota masyarakat yang mayoritas memandang keluarga dan
komunitas mereka sebagai bagian integral dari keseluruhan masyarakat. Anggota masyarakat ini
berIungsi secara maksimal di dalam dinamika sistem sosial yang ada. Sementara itu, anggota
masyarakat yang berasal dari kultur minoritas mengalami nasib yang sama sekali berbeda. Bagi
mereka, keluarga dan komunitas mereka merupakan bagian dari sistem sosial yang lain; yang
berbeda. Mereka seolah berasal dari kebudayaan yang sama sekali berbeda dari kebudayaan yang
dominan di dalam masyarakat.
Juga di dalam masyarakat multikultur, orang-orang yang berasal dari kultur dominan hidup
harmonis sebagai bagian dari sistem sosial secara keseluruhan. Proses pendidikan di dalam
keluarga pun relatiI tidak bermasalah, karena nilai-nilai pendidikan di dalam keluarga searah
dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Akan tetapi, hal yang sama kiranya tidak
berlaku bagi orang-orang yang berasal dari kultur minoritas. Mereka harus menyeimbangkan
antara pendidikan nilai-nilai kultural mereka yang khas di satu sisi, dan pendidikan berkaitan
dengan nilai-nilai publik yang lebih luas di sisi lain. Dan bagi orang-orang yang berasal dari
kultur minoritas, pernikahan tidak pernah bisa menjadi melulu soal individu. Pernikahan, bagi
mereka, adalah soal pertukaran nilai antara satu kultur dengan kultur lainnya. Pernikahan adalah
suatu proses asimilasi budaya yang tentunya menuntut banyak pertimbangan dari berbagai
dimensi.
Pernikahan adalah salah satu cara yang paling eIektiI untuk melakukan proses asimilasi budaya.
Proses ini membuat orang tidak lagi bersandar melulu pada nilai kultural mereka yang spesiIik,
tetapi juga mampu melihat realitas dari sudut pandang kultur yang berbeda. Rex berpendapat,
bahwa proses asimilasi setidaknya memiliki empat akibat.|16| Pertama, proses asimilasi dapat
menolong suatu kultur untuk mampu melepaskan diri dari isolasi sosial yang mungkin saja
mereka alami. Kedua, proses asimilasi juga memungkinkan diselesaikannya berbagai dilema
moral ataupun sosial, yang muncul akibat dari benturan budaya di dalam masyarakat multikultur.
Ketiga, proses asimilasi juga memungkinkan kultur yang bersangkutan untuk menyampaikan
kepentingan-kepentingan mereka dengan menggunakan bahasa-bahasa` yang bisa dimengerti
secara publik, tepat karena interaksi di antara kultur yang berbeda tersebut telah terjadi
sebelumnya. Dan keempat, proses asimilasi juga memungkinkan terciptanya nilai-nilai dan
identitas baru, yang didasarkan pada interseksi berbagai nilai kultural yang beragam di dalam
masyarakat multikultur.
Nilai dan aturan moral, yang merupakan hasil dari proses interseksi berbagai kultur yang
beragam tersebut, nantinya akan menjadi sistem nilai yang bersiIat otonom yang mampu
menjelaskan pola ideal hubungan antar manusia, maupun hubungan dasar antara manusia dengan
alam. Tentu saja, nilai hasil proses interseksi berbagai kultur tersebut tidaklah dapat
menggantikan seluruhnya peran yang tadinya dimiliki oleh identitas kultural. Sebut saja bahwa,
nilai-nilai masyarakat modern tidak akan pernah sepenuhnya dapat menggantikan nilai-nilai
tradisional yang telah diyakini sebelumnya. Akan tetapi, nilai-nilai modern hasil interseksi
beragam kultur tersebut tetap mampu berperan di dalam menciptakan solidaritas bagi masyarakat
sebagai keseluruhan, maupun kenyamanan eksistensial bagi individu yang terkait. Dua hal yang
kiranya menjadi kebutuhan utama dari sebuah masyarakat multikultur.
Nilai-nilai modern itulah yang, menurut Parsons, akan menjadi alat untuk mempertahankan pola-
pola berlaku di masyarakat, dan mengatur tegangan-tegangan sosial yang muncul akibat benturan
antar kultur.|17| Nilai-nilai tersebut memberikan identitas bagi individu-individu di dalam
masyarakat multikultur, sekaligus membantu mereka untuk mengatasi berbagai problematika
yang muncul, baik dalam konteks moral maupun material. Jika semua anggota masyarakat sudah
menjalankan nilai-nilai tersebut ke dalam praktek sosial, maka nilai-nilai modern akan menjadi
bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan.
Jadi tetaplah harus disadari, keberadaan kultur minoritas tidak pernah dapat dipandang sebagai
ancaman bagi kesatuan sebuah masyarakat. Keberadaan kultur minoritas, menurut Rex, juga
tidak pernah dapat dianggap sebagai suatu celah bagi terjadinya ketidaksetaraan kultural.|18|
Masyarakat multikultur haruslah menerima perbedaan kultural yang ada di dalamnya, sekaligus
menjamin terciptanya kesempatan yang sama bagi setiap warganya. Jika yang pertama terlalu
ditekankan, maka yang terjadi adalah ketidaksetaraan kultural yang akan bermuara pada
kesenjangan ekonomi, sosial, maupun politik. Sementara, penekanan berlebihan pada aspek
kedua justru akan menciptakan suatu bentuk pemerintahan totaliter baru yang tertutup pada
semua bentuk perbedaan. Keduanya tidaklah boleh terjadi di dalam masyarakat multikultur.
Beberapa Butir Kesimpulan
Haruslah diakui, bahwa kultur minoritas memiliki cara hidup dan cara memandang dunia yang
berbeda, jika dibandingkan dengan kultur dominan. Bagi beberapa orang, ide-ide yang muncul
dari kultur minoritas terdengar revolusioner. Sementara, bagi beberapa orang lainnya, cara hidup
kultur minoritas seolah terlihat sangat asing. Apakah ini berarti bahwa kultur minoritas itu
berbahaya, dan harus ditekan?
Saya, dan begitu juga John Rex, berpendapat bahwa keberadaan kultur minoritas tidak bisa dicap
sebagai suatu bahaya ataupun ancaman tertentu.|19| Hal ini berangkat dari suatu Iakta sederhana,
bahwa tidak ada satupun kultur di muka bumi ini yang sepenuhnya homogen. Kultur, dalam arti
Marxian, selalu bisa ditaIsirkan sebagai suatu bentuk perjuangan kelas (class struggle). Kelas
pekerja telah membentuk semacam organisasi bersama yang berbasiskan pada solidaritas sosial
untuk kemudian menantang tatanan sosial yang sudah mapan, sekaligus mempertanyakan
otoritas kultur dominan yang sudah lama memerintah sebelumnya. Tentu saja, konIlik tidak
terelakkan. Akan tetapi, konIlik disini adalah suatu proses yang harus ditempuh untuk
merumuskan suatu bentuk identitas kultural yang baru. Tatanan sosial multikultural yang ada
sekarang sebenarnya juga bisa dilihat dengan menggunakan kerangka teoritis ini.
Semua bentuk kultur bisa hidup bersama di dalam masyarakat multikultur. Hanya kultur yang
menolak kesetaraan kesempatan dari individu ataupun kelompoklah yang tidak bisa menjadi
bagian dari masyarakat multikultur. Masyarakat multikultur sekaligus juga adalah, dalam bahasa
Rex, masyarakat yang menolak semua bentuk rasisme dan diskriminasi di dalam segala
bentuknya.
Penutup
Saya akan menyimpulkan beberapa pendapat Rex pada bagian ini. Pertama, di dalam masyarakat
multikultur, kita harus membedakan secara jelas antara ruang publik dan ruang privat. Ruang
publik adalah ruang, di mana setiap individu diikat oleh satu set norma-norma yang menjamin
kesetaraan kesempatan di dalam segala bidang. Sementara, ruang privat adalah ruang, di mana
setiap keragaman kultur diberi tempat, dan diberi pengakuan sepenuhnya. Kedua, ruang publik
mencakup dunia hukum, politik, dan ekonomi. Ruang publik mencakup pula pendidikan, sejauh
pendidikan terkait dengan pembentukan moralitas publik yang harus dimiliki oleh semua warga
negara.
Ketiga, pendidikan moral, terutama yang terkait dengan sosialisasi dan penanaman ajaran-ajaran
religius, haruslah tetap berada di dalam ruang privat. Keempat, keberadaan nilai-nilai kultur
minoritas tetaplah harus dipertahankan, karena nilai-nilai tersebutlah yang memberikan makna
dan identitas bagi setiap orang yang hidup di dalam kelompok tersebut. Nilai-nilai tersebut
mencakup mulai dari tata organisasi sosial yang ada di masyarakat, sampai keyakinan religius
yang menjadi ciri unik dari kelompok kultur minoritas yang ada. Dan kelima, konIlik dan
benturan budaya antara kultur minoritas dan kultur dominan tidaklah terelakkan. Di dalam
masyarakat multikultur, benturan tersebut haruslah dimaknai sebagai bagian dari dialog, dan
dialog adalah satu-satunya cara yang mungkin, supaya masyarakat yang terdiri dari beragam
kultur bisa hidup secara harmonis bersama.
Apakah Indonesia sudah siap mewujudkan masyarakat semacam itu? Saya rasa tidak. Kehidupan
di Indonesia sekarang ini hampir sama sekali tidak memberikan peluang bagi kelompok
minoritas untuk berkembang. Bahkan bisa dikatakan, bahwa masyarakat kita masihlah jatuh pada
apa yang disebut Rex sebagai masyarakat totaliter yang menolak hampir semua bentuk
perbedaan cara hidup, cara pandang, dan cara beragama. Cita-cita tentang kehidupan masyarakat
multikultur yang harmonis masih jauh dari jangkauan tangan kita.

Anda mungkin juga menyukai