Anda di halaman 1dari 8

Perkembangan PERS Indonesia, dari Masa ke Masa

3:59 PM Joe' Henry Farada




Negara Demokrasi adalah negara yang mengikut sertakan aspirasi serta partisipasi masyarakat di
dalam ke-pemerintahan serta menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat dalam hal kehidupan
berbangsa dan bernegara. Salah satu hak dasar masyarakat adalah menyampaikan segala
pemikiran dan aspirasinya,baik secara lisan Maupun Tertulis.
Pers adalah sarana bagi masyarakat untuk menampung segala pemikiran masyarakat dan
memiliki peranan penting guna membangun sebuah negara demokrasi. Dimana seluruh sumber
yang ada betul-betul riil dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Maka inilah perjalanan singkat kehidupan Pers di Indonesia dari masa ke masa..:
Pers pada Masa Penjajahan
1. Hindia Belanda
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang
kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Namun Penjajah
Belanda, yang sangat mengetahui pengaruh surat kabar terhadap masyarakat indonesia, maka
mereka memandang perlu membuat UU untuk membendung pengaruh pers Indonesia karena
merupakan momok yang harus diperangi. Selain mengeluarkan KUHP Belanda juga
mengeluarkan mengeluarkan aturan yang bernama Persbreidel Ordonantie, yang memberikan
hak kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar atau majalah
Indonesia yang dianggap berbahaya. Kemudian Belanda juga mengeluarkan Peraturan yang
bernama aat:ai Artekelen, yautu berisi pasal-pasal yang mengancam hukuman terhadap
siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap
pemerintah Nederland dan Hindia Belanda, serta terhadap sesutu atau sejumlah kelompok
penduduk Hindia Belanda. Beberapa surat kabar yang terbit di zaman ini adalah Bintang Timur,
Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode.
2. Jepang
Pada masa penjajahan Jepang, orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang
tidak dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan ,
pendidikan dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan.
Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar, meskipun begitu ada
lima media yang mendapat izin terbit, yaitu: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan
Suara Asia.
Walaupun pers tertekan dimasa Jepang namun ada beberapa keuntungan antara lain :
Pengalaman yang diperoleh para karyawan pers indonesia bertambah. Terutama dalam penggunaan
alat cetak yang canggih ketimbang Zaman belanda.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin sering dan luas.
Adanya pengajaran untuk rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikanoleh sumber-
sumber resmi Jepang.

Pers pada Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi
Terpimpin (Orde Lama)
Pers di masa demokrasi liberal (1949-1959) landasan kemerdekaan pers adalah konstitusi RIS
1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat. Isi pasal ini kemudian dicantumkan dalam UUD Sementara 1950. Awal
pembatasan pers di masa demokrasi liberal adalah eIek samping dari keluhan wartawan terhadap
pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja tetapi
terhadap pers nasional. Demokrasi liberal berakhir ketika Orde Lama dimulai. Era demokrasi
liberal adalah sejak Pemilu 1955 hingga Dekrit Presiden 1959.
Pada masa orde lama kebebasan pers cukup dijamin, karena masa itu adalah masa dimana pers
merupakan sarana yang dipakai pemerintah maupun oposisi untuk menyiarkan kebijakannya dan
pers itu sendiri menjadi lebih berkembang dengan hadirnya proyek televisi pemerintah yaitu
TVRI. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar
hitam putih. Namun, karena TVRI adalah stasiun televisi milik negara, maka pemerintah jugalah
yang menguasainya. Berikut ini merupakan ciri-ciri pers pada masa orde lama:
Terbagi atas beberapa jenis, yaitu umum dan politik.
Pers beraIiliasi ke partai politik amat banyak dan justru oplahnya tinggi. Contohnya: Suluh Marhaen ke
PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Bintang Timur beraIiliasi ke PKI (Partai Komunis
Indonesia)
Penyerangan terhadap lawan politik amat lazim. Headline (kepala berita) dan karikatur yang
sarkastis/kasar amat lazim digunakan. Bahkan tidak tabu menggambarkan lawan politik sebagai
anjing misalnya, meski ia menjabat sebagai menteri sekalipun.
Menjelang Orde Lama jatuh, muncul media massa yang anti Soekarno dan Orde Lama. Terbagi
menjadi media kampus seperti Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) atau Gelora
Mahasiswa UGM. Sementara media umum seperti Kompas.
Radio swasta niaga nyaris tidak ada. Hanya ada RRI yang jangkauannya luas. Namun ada radio
komunitas yg dibuat mahasiswa seperti Radio ARH (ArieI Rahman Hakim) dari UI dgn
jangkauan terbatas.
Contoh pers umum yaitu Indonesia Raya, Merdeka.

Pers pada Masa Orde Baru
Pada awal kepemimpinan orde baru menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi
terpimpin diganti dengan demokrasi Pancasila, hal ini mendapat sambutan positiI dari semua
tokoh dan kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang pleno ke 25 Dewan
Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan
tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila
adalah pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan Iungsinya
sebagai penyebar inIormasi yang benar dan objektiI, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial
yang konstruktiI.
Masa kebebasan ini berlangsung selama delapan tahun disebabkan terjadinya peristiwa malari
(Lima Belas Januari 1974) sehingga pers kembali seperti zaman orde lama. Dengan peristiwa
malari beserta beberapa peristiwa lainnya, beberapa surat kabar dilarang terbit/dibredel, yaitu
Kompas, Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo yang merupakan contoh-contoh kentara
dalam sensor kekuasaan ini. Pers pasca peristiwa malari cenderung pers yang mewakili
kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Kontrol terhadap pers ini dipegang melalui
Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian
memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih,
Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara. Pemerintah orde baru menganggap
bahwa pers adalah institusi politik yang harus diatur dan dikontrol sebagaimana organisasi masa
dan partai politik.
Pers pada Masa Reformasi- Sekarang
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media
massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi proIesi.
Kalangan pers kembali bernaIas lega karena pemerintah mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999
tentang Hak Azasi manusia dan UU no. 40 tahun 1999 tentang pers. Dalam UU Pers tersebut
dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai Hak azasi warga negara (pasal 4) dan
terhadap pers nasioal tidak lagi diadakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran
(pasal 4 ayat 2). Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
memiliki hak tolak agar wartawan dapat melindungi sumber inIormasi, dengan cara menolak
menyebutkan identitas sumber inIormasi, kecuali hak tolak gugur apabila demi kepentingan dan
ketertiban umum, keselamatan negara yang dinyatakan oleh pengadilan. Hingga kini Kegiatan
jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan
Dewan Pers. Namun kegiatan jurnalisme ini juga cukup banyak yang melanggar kode etik pers
sehingga masih menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Perkembangan Pers di Indonesia
Sejak pemerintahan penjajahan Belanda menguasai Indonesia, mereka mengetahui dengan baik
pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, mereka memandang perlu
membuat undang-undang khusus untuk membendung pengaruh pers Indonesia karena
merupakan momok yang harus diperangi.

Pers di masa penjajahan 1epang
Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan bersiIat pro
Jepang. Beberapa harian yang muncul antara lain:
a. Asia Raya di Jakarta
b. Sinar Baru di Semarang
c. Suara Asia di Surabaya
d. Tjahaya di Bandung
e. Pers nasional masa pendudukan Jepang mengalami penderitaan dan pengekangan lebih
dari zaman Belanda. Namun ada beberapa keuntungan bagi wartawan atau insan pers
yang bekerja pada penerbitan Jepang, antara lain:
a. Pengalaman karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat yang digunakan jauh
lebih banyak daripada pada masa Belanda.
b.
Penggunaan bahasa Indonesia makin sering dan luas. Karena bahasa Belanda berusaha
dihapus oleh Jepang, hal ini yang nantinya membantu bahasa Indonesia digunakan
sebagai bahasa nasional.
c.
Adanya pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh
sumber resmi Jepang. Kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa Jepang
memudahkan pemimpin bangsa memberi semangat untuk melawan penjajah.
Pers di era demokrasi (199-1959)
Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah eIek samping dari keluhan para wartawan
terhadap pers Belanda dan Cina. Pemerintah mulai mencari cara membatasi penerbitan karena
negara tidak akan membiarkan ideologi 'asing merongrong Undang-Undang Dasar. Akhirnya
pemerintah melakukan pemberdelan pers dengan tindakan yang tidak terbatas pada pers asing
saja.
5 Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan
tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar
Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal
ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi
Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: 'Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektiI
seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan
memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara,
kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang
Maha Esa
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi
bahwa 'langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan
kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers
nasional. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan
terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan
mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya
mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber
wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.

Tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah dengan
meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan penekanan ini merosot ketika
ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan diambil alih
pemerintah dan wartawan wajib untuk berjanji mendukung politik pemerintah, sehingga sangat
sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers.
Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama
Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik
demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh
bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilab pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila.
Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers
Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai
pancasila dan UUD`45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan
bertanggung jawab dalam menjalankan Iungsinya sebagai penyebar inIormasi yang benar dan
objektiI, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktiI.
Masa 'bulan madu antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-
Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan
pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan
pers yang bersiIat kolektiI dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya
berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya 'Peristiwa Malari (Peristiwa
Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde
Lama).
ProI. Oeraar Seno Adji, SH, dalam bukunya Mas Media dan Hukum menggambarkan kebebasan
pers di alam demokrasi pancasila dengan karakteristik berikut:
a. Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan
pendapat dan bukan kemerdekaan untuk memperoleh alat dari expression, seperti dikatakan oleh
negara sosialis.
b. Tidak mengandung lembaga sensor preventiI.
c. Kebebasan bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak, dan bukan tidak bersyarat siIatnya.
d. la merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas tcrtentu, dan syarat-syarat limitatiI
dan demokratis, seperti diakui oleh hukum internasional dan ilmu hukum.
e. Kemerdekaan pers dibimbing oleh rasa tanggung jawab dan membawa kewajiban yang
untuk pers sendiri disalurkan melalui beroepsthiek mereka.
I. la merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah negatiI
karakternya, melainkan ia positiI siIatnya, bila ia menyampaikan wettigeinitiativen dari
pemerintah.
g. Aspek positiI di atas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu konklusi, bahwa
posisinya subordinated terhadap penguasa politik.
h. Adalah suatu kenyataan bahwa aspek positiI jarang ditemukan kaum liberatarian sebagai unsur
esensial dalam persoalan mass-communication.
i. Pernyataan bahwa pers tidak subordinated kepada penguasa politik berarti bahwa konsep
authoritarian tidak acceptable bagi pers Indonesia.
j. Konsentrasi perusahaan pers bentukan dari chains yang bisa merupakan ekspresi dari
kapitalisme yang ongebreideld, merupakan suatu hambatan yang deadwerkelijk dan ekonomis
terhadap pelaksanaan ide kemerdekaan pers. Pemulihan suatu bentuk perusahaan, entah dalam
bentuk co-partnership atau co-operative atau dalam bentuk lain yang tidak memungkinkan
timbulnya konsentrasi dari perusahaan pers dalam satu atau beberapa tangan saja, adalah perlu.
k. Kebebasan pers dalam lingkunganbatas limitative dan demokratis, dengan menolak tindakan
preventiI adalah lazim dalam negara demokrasi dan karena itu tidak bertentangan dengan ide
pers mereka.
l. Konsentrasi perusahaan yang membahayakan perIormance dari pers excessive, kebebasan pers
yang dirasakan berlebihan dan seolah memberi hak kepada pers untuk misalnya berbohong (the
right to lie), mengotorkan nama orang (the right to vility), the right to invade . privacy, the right
to distort, dan lainnya dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers sendiri. la memberi
ilustrasi pers yang bebas dan bertanggung jawab (a Iree and responsible press).

7 Kebebasan pers di Era Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reIormasi. Tuntutan reIormasi
bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama
dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena
senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reIormasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini
sejalan dengan alam reIormasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat
Indonesia. Akibatnya, awal reIormasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah,
atau tabloid baru. Di Era reIormasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal
ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding
dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang
Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi
warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin
terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan
penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak
tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber inIormasi, dengan cara menolak
menyebutkan identitas sumber inIormasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan
pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
Pada masa reIormasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan inIormasi.
b. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi
manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasar inIormasi yang tepat, akurat, dan benar.
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai