Negara Demokrasi adalah negara yang mengikut sertakan aspirasi serta partisipasi masyarakat di dalam ke-pemerintahan serta menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu hak dasar masyarakat adalah menyampaikan segala pemikiran dan aspirasinya,baik secara lisan Maupun Tertulis. Pers adalah sarana bagi masyarakat untuk menampung segala pemikiran masyarakat dan memiliki peranan penting guna membangun sebuah negara demokrasi. Dimana seluruh sumber yang ada betul-betul riil dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Maka inilah perjalanan singkat kehidupan Pers di Indonesia dari masa ke masa..: Pers pada Masa Penjajahan 1. Hindia Belanda Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Namun Penjajah Belanda, yang sangat mengetahui pengaruh surat kabar terhadap masyarakat indonesia, maka mereka memandang perlu membuat UU untuk membendung pengaruh pers Indonesia karena merupakan momok yang harus diperangi. Selain mengeluarkan KUHP Belanda juga mengeluarkan mengeluarkan aturan yang bernama Persbreidel Ordonantie, yang memberikan hak kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menghentikan penerbitan surat kabar atau majalah Indonesia yang dianggap berbahaya. Kemudian Belanda juga mengeluarkan Peraturan yang bernama aat:ai Artekelen, yautu berisi pasal-pasal yang mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian, serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda, serta terhadap sesutu atau sejumlah kelompok penduduk Hindia Belanda. Beberapa surat kabar yang terbit di zaman ini adalah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode. 2. Jepang Pada masa penjajahan Jepang, orang-orang surat kabar (pers) Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar, meskipun begitu ada lima media yang mendapat izin terbit, yaitu: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Walaupun pers tertekan dimasa Jepang namun ada beberapa keuntungan antara lain : Pengalaman yang diperoleh para karyawan pers indonesia bertambah. Terutama dalam penggunaan alat cetak yang canggih ketimbang Zaman belanda. Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin sering dan luas. Adanya pengajaran untuk rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikanoleh sumber- sumber resmi Jepang.
Pers pada Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) Pers di masa demokrasi liberal (1949-1959) landasan kemerdekaan pers adalah konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Isi pasal ini kemudian dicantumkan dalam UUD Sementara 1950. Awal pembatasan pers di masa demokrasi liberal adalah eIek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja tetapi terhadap pers nasional. Demokrasi liberal berakhir ketika Orde Lama dimulai. Era demokrasi liberal adalah sejak Pemilu 1955 hingga Dekrit Presiden 1959. Pada masa orde lama kebebasan pers cukup dijamin, karena masa itu adalah masa dimana pers merupakan sarana yang dipakai pemerintah maupun oposisi untuk menyiarkan kebijakannya dan pers itu sendiri menjadi lebih berkembang dengan hadirnya proyek televisi pemerintah yaitu TVRI. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih. Namun, karena TVRI adalah stasiun televisi milik negara, maka pemerintah jugalah yang menguasainya. Berikut ini merupakan ciri-ciri pers pada masa orde lama: Terbagi atas beberapa jenis, yaitu umum dan politik. Pers beraIiliasi ke partai politik amat banyak dan justru oplahnya tinggi. Contohnya: Suluh Marhaen ke PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Bintang Timur beraIiliasi ke PKI (Partai Komunis Indonesia) Penyerangan terhadap lawan politik amat lazim. Headline (kepala berita) dan karikatur yang sarkastis/kasar amat lazim digunakan. Bahkan tidak tabu menggambarkan lawan politik sebagai anjing misalnya, meski ia menjabat sebagai menteri sekalipun. Menjelang Orde Lama jatuh, muncul media massa yang anti Soekarno dan Orde Lama. Terbagi menjadi media kampus seperti Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) atau Gelora Mahasiswa UGM. Sementara media umum seperti Kompas. Radio swasta niaga nyaris tidak ada. Hanya ada RRI yang jangkauannya luas. Namun ada radio komunitas yg dibuat mahasiswa seperti Radio ARH (ArieI Rahman Hakim) dari UI dgn jangkauan terbatas. Contoh pers umum yaitu Indonesia Raya, Merdeka.
Pers pada Masa Orde Baru Pada awal kepemimpinan orde baru menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti dengan demokrasi Pancasila, hal ini mendapat sambutan positiI dari semua tokoh dan kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang pleno ke 25 Dewan Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan Iungsinya sebagai penyebar inIormasi yang benar dan objektiI, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktiI. Masa kebebasan ini berlangsung selama delapan tahun disebabkan terjadinya peristiwa malari (Lima Belas Januari 1974) sehingga pers kembali seperti zaman orde lama. Dengan peristiwa malari beserta beberapa peristiwa lainnya, beberapa surat kabar dilarang terbit/dibredel, yaitu Kompas, Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo yang merupakan contoh-contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Pers pasca peristiwa malari cenderung pers yang mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Kontrol terhadap pers ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara. Pemerintah orde baru menganggap bahwa pers adalah institusi politik yang harus diatur dan dikontrol sebagaimana organisasi masa dan partai politik. Pers pada Masa Reformasi- Sekarang Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi proIesi. Kalangan pers kembali bernaIas lega karena pemerintah mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi manusia dan UU no. 40 tahun 1999 tentang pers. Dalam UU Pers tersebut dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai Hak azasi warga negara (pasal 4) dan terhadap pers nasioal tidak lagi diadakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 2). Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak agar wartawan dapat melindungi sumber inIormasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber inIormasi, kecuali hak tolak gugur apabila demi kepentingan dan ketertiban umum, keselamatan negara yang dinyatakan oleh pengadilan. Hingga kini Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers. Namun kegiatan jurnalisme ini juga cukup banyak yang melanggar kode etik pers sehingga masih menimbulkan kontroversi di masyarakat. Perkembangan Pers di Indonesia Sejak pemerintahan penjajahan Belanda menguasai Indonesia, mereka mengetahui dengan baik pengaruh surat kabar terhadap masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, mereka memandang perlu membuat undang-undang khusus untuk membendung pengaruh pers Indonesia karena merupakan momok yang harus diperangi.
Pers di masa penjajahan 1epang Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan bersiIat pro Jepang. Beberapa harian yang muncul antara lain: a. Asia Raya di Jakarta b. Sinar Baru di Semarang c. Suara Asia di Surabaya d. Tjahaya di Bandung e. Pers nasional masa pendudukan Jepang mengalami penderitaan dan pengekangan lebih dari zaman Belanda. Namun ada beberapa keuntungan bagi wartawan atau insan pers yang bekerja pada penerbitan Jepang, antara lain: a. Pengalaman karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat yang digunakan jauh lebih banyak daripada pada masa Belanda. b. Penggunaan bahasa Indonesia makin sering dan luas. Karena bahasa Belanda berusaha dihapus oleh Jepang, hal ini yang nantinya membantu bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa nasional. c. Adanya pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber resmi Jepang. Kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa Jepang memudahkan pemimpin bangsa memberi semangat untuk melawan penjajah. Pers di era demokrasi (199-1959) Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah eIek samping dari keluhan para wartawan terhadap pers Belanda dan Cina. Pemerintah mulai mencari cara membatasi penerbitan karena negara tidak akan membiarkan ideologi 'asing merongrong Undang-Undang Dasar. Akhirnya pemerintah melakukan pemberdelan pers dengan tindakan yang tidak terbatas pada pers asing saja. 5 Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: 'Hak kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektiI seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa 'langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama bertambah dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan penekanan ini merosot ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun. Lebih-lebih setelah percetakan diambil alih pemerintah dan wartawan wajib untuk berjanji mendukung politik pemerintah, sehingga sangat sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers. Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilab pers Pancasila. Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD`45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan Iungsinya sebagai penyebar inIormasi yang benar dan objektiI, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktiI. Masa 'bulan madu antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang- Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersiIat kolektiI dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya 'Peristiwa Malari (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama). ProI. Oeraar Seno Adji, SH, dalam bukunya Mas Media dan Hukum menggambarkan kebebasan pers di alam demokrasi pancasila dengan karakteristik berikut: a. Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan kemerdekaan untuk memperoleh alat dari expression, seperti dikatakan oleh negara sosialis. b. Tidak mengandung lembaga sensor preventiI. c. Kebebasan bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak, dan bukan tidak bersyarat siIatnya. d. la merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas tcrtentu, dan syarat-syarat limitatiI dan demokratis, seperti diakui oleh hukum internasional dan ilmu hukum. e. Kemerdekaan pers dibimbing oleh rasa tanggung jawab dan membawa kewajiban yang untuk pers sendiri disalurkan melalui beroepsthiek mereka. I. la merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah negatiI karakternya, melainkan ia positiI siIatnya, bila ia menyampaikan wettigeinitiativen dari pemerintah. g. Aspek positiI di atas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu konklusi, bahwa posisinya subordinated terhadap penguasa politik. h. Adalah suatu kenyataan bahwa aspek positiI jarang ditemukan kaum liberatarian sebagai unsur esensial dalam persoalan mass-communication. i. Pernyataan bahwa pers tidak subordinated kepada penguasa politik berarti bahwa konsep authoritarian tidak acceptable bagi pers Indonesia. j. Konsentrasi perusahaan pers bentukan dari chains yang bisa merupakan ekspresi dari kapitalisme yang ongebreideld, merupakan suatu hambatan yang deadwerkelijk dan ekonomis terhadap pelaksanaan ide kemerdekaan pers. Pemulihan suatu bentuk perusahaan, entah dalam bentuk co-partnership atau co-operative atau dalam bentuk lain yang tidak memungkinkan timbulnya konsentrasi dari perusahaan pers dalam satu atau beberapa tangan saja, adalah perlu. k. Kebebasan pers dalam lingkunganbatas limitative dan demokratis, dengan menolak tindakan preventiI adalah lazim dalam negara demokrasi dan karena itu tidak bertentangan dengan ide pers mereka. l. Konsentrasi perusahaan yang membahayakan perIormance dari pers excessive, kebebasan pers yang dirasakan berlebihan dan seolah memberi hak kepada pers untuk misalnya berbohong (the right to lie), mengotorkan nama orang (the right to vility), the right to invade . privacy, the right to distort, dan lainnya dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers sendiri. la memberi ilustrasi pers yang bebas dan bertanggung jawab (a Iree and responsible press).
7 Kebebasan pers di Era Reformasi Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reIormasi. Tuntutan reIormasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit. Sejak masa reIormasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reIormasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reIormasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reIormasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP). Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber inIormasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber inIormasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan. Pada masa reIormasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan inIormasi. b. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan. c. Mengembangkan pendapat umum berdasar inIormasi yang tepat, akurat, dan benar. d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.