Anda di halaman 1dari 21

149

PENGARUH TAKARAN MULSA JERAMI DARI BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP PENEKANAN GULMA PADA TANAMAN KEDELAI The dosage effects of various paddy cultivar straw mulches on the weeds and soybean growth and yield depression Elly Indra Swari Mahasiswa Program Studi Ilmu Tanaman, PPSUB Yogi Sugito dan Jody Moenandir Dosen Fakultas Pertanian Unibraw ABSTRAK Sebuah percobaan lapang untuk mempelajari pengaruh takaran dari beberapa varietas jerami padi sebagai mulsa pada petumbuhan gulma dan kedelai serta penurunan hasilnya telah dilakukan di Kebun Percobaan Kendalpayak, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Ubi-Ubian Malang dari bulan Juli sampai dengan November 2001 dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok diulang 3 kali. Faktor I ialah tiga taraf takaran mulsa (5; 7,5; dan 10 ton/ha) dan faktor II ialah tiga varietas jerami padi sebagai bahan mulsa tersebut (IR 64, Membramo, dan Digul). Dua perlakuan pembanding (penyiangan dua kali tanpa mulsa dan tanpa penyiangan tanpa mulsa) ditambahkan dalam percobaan ini. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pertumbuhan gulma, pertumbuhan tanaman dan hasil biji kedelai dipengaruhi oleh takaran mulsa. Gulma dominan pada awal pertumbuhan ialah Panicum repen dan Oryza sativa, sedangkan pada akhir pertumbuhan ialah Cynodon dactylon dan Echinochloa crus-galli. Takaran mulsa jerami padi 7,5-10 t/ha menurunkan bobot kering gulma sebesar 21-40% pada umur 42 hst, dan meningkatkan jumlah polong, jumlah biji, ukuran biji, dan hasil biji masing-masing sebesar 8, 11, 3, dan 17% dibanding dengan perlakuan 5 t/ha. Perlakuan mulsa jerami padi bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa penyiangan dan tanpa mulsa dapat menekan infestasi gulma sebesar 56-66% dan meningkatkan jumlah polong, jumlah biji, ukuran biji, dan hasil biji masing-masing sebesar 46, 49, 19, dan 77%. Tidak diperoleh perbedaan yang nyata antara perlakuan mulsa dengan perlakuan penyiangan dua kali tanpa mulsa (menghasilkan penekanan gulma yang rendah, jumlah polong 34,9 polong/tanaman, jumlah biji 75,5 biji/tanaman, ukuran biji 10,1 g/100 biji, dan hasil biji 1,91 t/ha). Kata kunci : pengendalian, gulma, kedelai, mulsa, jerami, varietas, padi, takaran ABSTRACT A field experiment to study the dosage effects of various paddy cultivar straw mulches on the weeds and soybean growth and yield depression has been carried out at ILETRI Kendalpayak Experimentation Station Farm Malang, from July up to November 2001. The factorially experiment was designed in a Completely Randomized Block, with three replicates. The first factor consisted of

150
three paddy straw mulch dosages (5, 7.5, and 10 t/ha), and the second factor consisted of three paddy straw mulch cultivars (IR-64, Membramo and Digul). An additional treatment, two control plot treatments were of weeding operation twice + no mulches applied and no weeding operating + no mulch, was also used. The results showed that weed and plant growth and soybean seeds were affected by dosages of paddy straw mulch only. The dominant weed on early growth phase were Panicum repen and Oryza sativa, and on latter growth phase were Cynodon dactylon and Echinochloa crus-galli. The paddy straw mulch at 7.5 up to 10 t/ha compared to 5 t/ha may reduce the weed dry weight by 21-40% at day 42, but increased pod numbers, seed numbers, seed size, and seed yield by 8, 11, 3, and 17%, respectively. The paddy rice straw mulch (compare to control treatments : noweeding+no-mulch) may intensely suppress the weed infestation by 56-66% and increased pod numbers, seed numbers, seed size, and seed yield by 46, 49, 19, and 77% respectively. There were no significant differences between the comparison of mulch treatments against twice weeding+no-mulch (a lower weed suppression, pod numbers 34.9 pod/plant, seed number 75.5 seed/plant, seed size 10.1 g/100 seed, and seed yield 1.91t/ha, any way). Keyword : control, weed, soybean, mulch, straw, variety, paddy, dosage PENDAHULUAN Kedelai ialah komoditas penting kedua setelah padi. Kedelai ialah sumber utama protein nabati yang juga mengandung lemak, vitamin dan mineral, dan sebagai bahan baku industri (Sudarsan dan Adiningsih, 1993). Produkti-vitasnya masih rendah (1,1 ton/ha), sedangkan negara USA, Brazil dan Argentina yang telah mencapai di atas 2 ton/ha (Adisarwanto dan Wudianto, 1999). Kebutuhan di dalam negeri tiap tahun terus meningkat, namun produksi belum mampu mengimbangi permintaan. Impor kedelai tahun 1989 hingga tahun 1993 mencapai 600 ribu ton per tahun (Rukmana dan Yuniarsih, 1996). Tanaman kedelai di Indonesia ditanamkan di lahan sawah setelah tanaman padi dengan pola tanam padipadikedelai atau padi kedelaikedelai (Adisarwanto dan Wudianto, 1999). Petani masih menggunakan teknologi konvensional sehingga gulma masih banyak bermunculan di pertanaman kedelai. Kerugian yang timbul akibat gulma relatif besar, ialah adanya penurunan hasil kedelai hingga sebesar 19-53% (Erida dan Hasanuddin, 1996) dan bahkan penurunan hasil dapat mencapai 80% (Moenandir, 1985). Hal ini terjadi sebagai akibat adanya kompetisi cahaya, air, unsur hara dan ruang tumbuh antara gulma dan kedelai, dan gulma dapat juga sebagai inang hama penyakit (Sastroutomo, 1990; Moenandir, 1993). Beberapa jenis gulma penting pada budidaya kedelai setelah padi ialah Eleusine indica, Amaranthus spinosus, Cynodon dactylon, dan Portulaca oleraceae. Pemulsaan ialah teknik pengendalian gulma yang sedang dicobakan. Pemulsaan yang sesuai dapat merubah iklim mikro sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma dan meningkatkan produksi tanaman. Jerami padi ialah bahan yang berpotensi sebagai mulsa karena tersedia dalam jumlah melimpah, sekitar 30 juta ton per tahun (Suhartina dan Adisarwanto, 1996). Jerami tersebut berdekomposisi relatif lambat dengan nilai C/N = 64% ( Prastowo et al., 1996).

151

Kemampuan mulsa dalam pengendalian gulma tergantung pada beberapa factor. Faktor-faktor tersebut ialah jumlah dan jenis mulsa yang digunakan. Penggunaan mulsa jerami padi 5 ton dikombinasikan dengan tanpa olah tanah (TOT) dapat berakibat terjadinya peningkatan hasil kedelai 100% dibandingkan tanpa mulsa. Penggunaan mulsa jerami padi dengan ketebalan maksimal 10 cm dapat menekan pertumbuhan gulma 5661% dari tanpa mulsa (Suhartina dan Adisarwanto, 1996). Namun, dalam kenyataan di lapangan terdapat keragaman varietas padi yang diusahakan. Varietas padi memiliki keragaan yang berbeda-beda baik tinggi tanaman dan jumlah anakan. Perbedaan tersebut diduga dapat memberi tanggap yang berbeda dalam fungsinya sebagai mulsa yang diharapkan dapat menekan pertumbuhan gulma dan meningkatkan hasil kedelai. Takaran mulsa jerami dari beberapa varietas padi yang efektif memberikan penekanan pada pertumbuhan gulma dan peningkatan produksi kedelai diharapkan dapat memperbaiki aplikasi komponen teknologi (penggunaan mulsa) untuk peningkatan produksi kedelai dan penekanan gulma tersebut METODE PENELITIAN Percobaan lapangan dilakukan di lahan sawah setelah padi beririgasi teknis di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Ubi-Ubian Desa Kendal Payak Malang pada bulan Juli sampai November 2001. Ketinggian tempat percobaan 400 m dpl, berjenis tanah vertisol, pH tanah 5,8 dan ber-tipe iklim C. Kedelai varietas Wilis, jerami padi varietas IR-64, Membramo, dan Digul, dan pupuk dasar (Urea, SP-36 dan KCl) digunakan dalam percobaan ini. Demikian pula timbangan analitik (Digital Meter PM 600 ), lux meter, Leaf Area Meter, thermometer, alat ukur tinggi tanaman, alat tulis, label percobaan, ring tanah dan oven. Percobaan Faktorial disusun dalam Rancangan Acak Kelompok yang diulang tiga kali. Faktor I ialah tiga takaran mulsa jerami padi (5; 7,5; dan 10 ton/ha) dan faktor II ialah tiga varietas mulsa jerami padi (IR-64, Membramo, dan Digul). Dua perlakuan kontrol sebagai pembanding ditambahkan, ialah perlakuan tanpa mulsa + penyiangan 2 kali pada hari ke 21 dan 35 (K1) , dan perlakuan tanpa mulsa + tanpa penyiangan (K2). Benih kedelai sebanyak 3 butir/lubang ditanamkan sedalam + 3 cm (tugal) pada petak berukuran 1 m x 4 m dan jarak tanam 40 cm x 10 cm. Pupuk diberikan dengan dosis 50 kg Urea/ha, 100 kg TSP/ha dan 100 kg KCl/ha pada saat tanam secara larikan. Pemberian mulsa dilakukan setelah pemupukan dengan cara disebar merata di permukaan tanah dan diatur agar tidak menutupi lubang tanam. Pengairan dilakukan sehari setelah tanam dan selanjutnya sesuai keperluan. Pengendalian hama penyakit dilakukan intensif dengan menggunakan dithane M-45 2g/l, Decis 0,5 ml/l, Marsal 10 g/kg benih. Pengamatan dilakukan pada umur tanaman 14, 28, 42, 56, 70 dan 84 hst dengan peubah pengamatan meliputi kadar lengas tanah, persentase cahaya di bawah mulsa dan di dalam kanopi, tinggi tanaman, bobot kering bagian atas tanaman, dan indeks luas daun. Pengamatan komponen produksi (jumlah polong per tanaman, jumlah cabang per tanaman, jumlah biji per tanaman, dan bobot 100 biji, serta hasil biji kering/ha) dilakukan saat panen.

152
Pengamatan gulma dilakukan dengan analisis vegetasi untuk penentuan nilai NJD atau SDR (Nisbah Jumlah Dominasi) dengan perhitungan analisis vegetasi menurut Tjitrosoedirdjo et al. (1984). Bobot kering gulma diamati bersamaan pengamatan pertumbuhan tanaman kedelai. Data dianalisis ragam dan pembandingan antar perlakuan mulsa dilakukan dengan uji jarak Duncan taraf 5%. Pembandingan perlakuan mulsa dengan kontrol (tanpa mulsa) dilakukan uji ortogonal kontras. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Komposisi Gulma Gulma yang tumbuh pada lahan sebelum dilakukan percobaan adalah sebelas jenis (Tabel 1). Gulma tersebut terdiri dari lima jenis ialah dari golongan berdaun lebar (tiga diantaranya ialah gulma air: Pistia stratiotes, Salvinia molesta dan Marsilea crenata), lima jenis gulma berdaun sempit, dan satu jenis gulma teki. Berdasarkan nilai NJD, spesies gulma tersebut terdiri dari satu spesies yang memiliki nilai NJD (Nisbah jumlah dominansi) di atas 20% (Pistia stratiotes), dua spesies ber-NJD di atas 10% (Echinochloa colona dan Portulaca oleraceae), lima spesies ber-NJD di atas 5% (Cynodon dactylon, Cyperus sp., Salvinia molesta, Echinochloa crus-galli, dan Oryza sativa), dan 3 spesies ber-NJD di bawah 5% (Marsilea crenata, Ageratum conyzoides dan Pasphalum distichum. Perubahan komposisi dan dominasi gulma terjadi dari sebelum dan selama percobaan. Perubahan komposisi gulma terjadi seiring dengan perubahan kondisi lahan, ialah semula dari sawah bekas tanaman padi (terdapat genangan air) berubah menjadi lahan kering beririgasi, sehingga gulma air tidak muncul. Hasil analisis vegetasi pada pengamatan 14 hst, untuk perlakuan tanpa mulsa, baik yang disiang 2X (K1) maupun yang tanpa disiang (K2), jenis gulma yang dominan ialah Panicum repesn (gulma daun sempit), sedangkan pada perlakuan pemberian mulsa secara umum, jenis gulma yang dominan berbeda yaitu Oryza sativa (gulma daun sempit) dan Portulaca oleraceae (gulma daun lebar). Pada pengamatan 28 hst, terdapat perbedaan jenis gulma dominan, antara perlakuan pemberian mulsa dengan perlakuan tanpa mulsa penyiangan 2X ( K1), tanpa mulsa tanpa penyiangan (K2), gulma yang dominan bergeser kepada gulma golongan berdaun lebar yaitu Cleome rutidosperma dan Amaranthus spinosus, sedangkan pada petakan yang telah diaplikasikan denga mulsa ternyata tetap didominasi oleh jenis gulma berdaun sempit, spesies Eleusine indica. Pada pengamatan 42 hst, gulma yang sering muncul sebagai gulma dominan adalah Cleome rutidosperma, Amaranthus spinosus (daun lebar) dan Echinochloa crus-galli (daun sempit). Pada pengamatan mulai umur 56 hst, 70 hst sampai 84 hst, pada semua perlakuan didominasi oleh gulma Echinochloa crus-galli dan sesekali Amaranthus spinosus dan Cynodon dactylon (Lampiran 1-6).

153

Tabel 1. Analisis vegetasi gulma sebelum percobaan No Spesies Gulma Golongan 1. Pistia stratiotes ( Kayu apu ) Daun lebar 2. Portulaca oleraceae ( Krokot ) Daun lebar 3. Salvinia molesta ( Jukut cai ) Daun lebar 4. Marsilea crenata ( Semanggi ) Daun lebar 5. Ageratum conyzoides ( Babadotan ) Daun lebar 6. Echinochloa colona ( Tuton ) Daun sempit 7. Cynodon dactylon ( Grinting ) Daun sempit 8. Echinochloa crus-galli ( Jajagoan ) Daun sempit 9. Oryza sativa ( singgang ) Daun sempit 10. Pasphalum distichum ( kakawatan ) Daun sempit 11. Cyperus rotundus (teki) Teki Jumlah

NJD (SDR) % 25.01 12.58 6.40 2.83 2.33 16.20 9.49 7.31 7.57 1.42 8.87 100.00

Bobot kering gulma Bobot kering gulma pada pertanaman kedelai hanya dipengaruhi oleh takaran mulsa yang diberikan, sedangkan varietas mulsa dari jerami padi dan interksi dari keduanya tidak mempengaruhinya pada setiap umur pengamatan (Tabel 2). Pada Tabel 2 terlihat bahwa aplikasi mulsa jerami padi sebanyak 10 ton/ha secara konsisten mampu menekan pertumbuhan gulma dibanding takaran 5 dan 7,5 ton/ha. Penekanan gulma terjadi mulai umur 28 hingga 84 hst dengan tingkat penekanan pada setiap umur pengamatan masing-masing sebesar 57, 38, 40, 32, dan 41% dari takaran 5 ton/ha. Namun bila dibanding dengan perlakuan penyiangan 2X tanpa mulsa, aplikasi mulsa masih lebih rendah kemampuan-nya dalam menekan petumbuhan gulma, terutama pada 2856 hari setelah tanam (Tabel 3). Penyiangan 2X tanpa mulsa justru mampu menekan pertumbuhan gulma pada 28-56 hst dibanding aplikasi mulsa dengan tingkat penekanan pada umur pengamatan masingmasing sebesar 64, 70, dan 52%. Namun bila dibanding dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa, aplikasi mulsa mampu menekan pertumbuhan gulma pada setiap umur pengamatan dengan tingkat penghambatan masing-masing sebesar 64, 56, 66, 68, 68, dan 59%. Demikian pula kalau dibandingkan antara penyiangan 2X tanpa mulsa dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa menunjukkan bahwa penyiangan 2X tanpa mulsa mampu menekan pertumbuhan gulma dengan tingkat penghambatan pada umur pengamatan 2884 hst masing-masing sebesar 84, 90, 85, 77, dan 70% (Tabel 3). Tabel 2. Rerata bobot kering gulma akibat takaran mulsa jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan Bobot kering gulma (g/0,16 m2) 14 hst 28 hst 42 hst 56 hst 70 hst 84 hst Dosis mulsa : - 5,0 ton/ha 0,46 2,70 a 6,17 a 8,08 a 8,78 a 12,71 a - 7,5 ton/ha 0,46 2,70 a 4,86 b 6,67 ab 7,77 a 9,61 b - 10 ton/ha 0,33 1,16 b 3,84 b 4,87 b 5,93 b 7,54 c Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada uji jarak Duncan 5%.

154
Tabel 3. Rerata bobot kering gulma akibat penyiangan 2 kali tanpa mulsa (kontrol 1), tanpa penyiangan tanpa mulsa (kontrol 2), dan pemulsaan jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan Bobot kering gulma (g/ 0,16m2 ) 14 hst 28 hst 42 hst 56 hst 70 hst 84 hst Kontrol 1 1,28 a 0,78 b 1,50 b 3,13 b 5,46 a 7,22 a Mulsa 0,43 b 2,18 a 4,96 a 6,54 a 7,49 a 9.55 a Kontrol 2 1,21 a 4,91 a 14,71 a 20,38 a 23,23 a 24,34 a Mulsa 0,43 b 2,18 b 4,96 b 6,54 b 7,49 b 9,55 b Kontrol 1 1,28 b 0,78 b 1,50 b 3,13 b 5,46 b 7,22 b Kontrol 2 1,21 a 4,91 a 14,71 a 20,38 a 23,23 a 24,34 a Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada analisis kontras taraf 5%. Tinggi tanaman kedelai Tinggi tanaman kedelai hingga umur 70 hst dipengaruhi oleh takaran mulsa yang diberikan, sedangkan varietas mulsa jerami padi dan interaksi dari keduanya tidak mempengaruhinya pada berbagai umur tanaman (Tabel 4). Aplikasi mulsa jerami padi sebanyak 10 ton/ha mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman kedelai pada setiap umur pengamatan bila dibanding dengan perlakuan takaran mulsa lainnya. Bila dibanding dengan takaran 5 ton/ha, aplikasi mulsa sebanyak 10 ton/ha mampu meningkatkan tinggi tanaman pada 14-70 hst masing-masing sebesar 10, 6, 6, 6, dan 3% (Tabel 4). Aplikasi mulsa bila dibandingkan dengan perlakuan penyiangan 2X tanpa mulsa menunjukkan bahwa aplikasi mulsa jerami padi mampu meningkatkan tinggi tanaman pada setiap umur pengamatan masing-masing sebesar 22, 7, 8, 5, 4, dan 4% (Tabel 5). Demikian pula bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa, aplikasi mulsa jerami padi mampu meningkatkan tinggi tanaman pada setiap umur pengamatan masing-masing sebesar 17, 15, 10, 9, 8, dan 7%. Lain halnya bila perlakuan penyiangan 2X tanpa mulsa dibandingkan dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa terlihat bahwa penyiangan tersebut baru mampu meningkat-kan pertumbuhan pada umur 56 hst ke atas dengan tingkat peningkatan masing-masing sebesar 5, 4, dan 3% (Tabel 5). Tabel 4. Rerata tinggi tanaman kedelai akibat takaran mulsa jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai Perlakuan 14 hst Dosis mulsa : - 5,0 ton/ha - 7,5 ton/ha - 10 ton/ha 13,08 b 13,45 b 14,47 a Tinggi tanaman kedelai (cm) pada umur 28 hst 42 hst 56 hst 70 hst 23,61 b 24,01 b 25,12 a 84 hst

44,78 b 70,06 b 72,21 b 73,41 46,68 72,03 b 74,44 a 74,61 ab 74,26 a 74,75 a 74,95 47,69 a ns Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada uji jarak Duncan 5%.

155

Tabel 5.

Rerata tinggi tanaman kedelai akibat penyiangan 2 kali tanpa mulsa (Kontrol 1), tanpa penyiangan tanpa mulsa (Kontrol 2), dan pemulsaan jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan Tinggi tanaman (cm) pada umur 14 hst 28 hst 42 hst 56 hst 70 hst 84 hst Kontrol 1 10,81 b 22,52 b 42,56 b 68,72 b 70,68 b 71,24 b Mulsa 13,78 a 24,25 a 46,38 a 72,11 a 73,80 a 74,32 a Kontrol 2 11,42 b 20,53 b 41,88 b 65,06 b 67,91 b 68,92 b Mulsa 13,78 a 24,25 a 46,38 a 72,11 a 73,80 a 74,32 a Kontrol 1 10,81 a 22,52 a 42,56 a 68,72 a 70,68 a 71,24 a Kontrol 2 11,42 a 20,53 b 41,88 a 65,06 b 67,91 b 68,92 b

Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada analisis kontras taraf 5 %. Indek Luas Daun Kedelai Indek luas daun tanaman kedelai dipengaruhi oleh takaran mulsa jerami yang diberikan, sedangkan varietas mulsa jerami padi dan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh pada berbagai umur pengamatan (Tabel 6). Aplikasi mulsa jerami padi sebanyak 7,510 ton/ha meningkatkan indek luas daun dibanding dengan 5 ton/ha. Bila dibandingkan antara takaran mulsa 10 ton/ha dengan 5 ton/ha menunjukkan bahwa aplikasi mulsa sebanyak 10 ton/ha mampu meningkatkan indek luas daun pada 2884 hst masing-masing sebesar 10, 6, 3, 4, dan 36% (Tabel 6). Bila dibandingkan dengan penyiangan 2X tanpa mulsa, aplikasi mulsa hanya mampu meningkatkan indek luas daun pada 42 hst sebesar 3%, namun sebaliknya menurun sebesar 10% pada 70 hst (Tabel 7). Namun bila diperbandingkan dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa menunjukkan bahwa aplikasi mulsa mampu meningkatkan indek luas daun terutama pada 28-70 hst masing-masing sebesar 9, 7, 8, dan 8%. Demikian pula kalau diperbandingkan antara penyiangan 2X tanpa mulsa dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa terlihat bahwa penyiangan 2X tersebut mampu meningkatkan indek luas daun pada 28-84 hst masing-masing sebesar 8, 3, 9, 17, dan 27% (Tabel 7). Tabel 6. Rerata indek luas daun kedelai akibat takaran mulsa jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan 14 hst Dosis mulsa : - 5,0 ton/ha - 7,5 ton/ha - 10 ton/ha 28 hst Indek Luas Daun 42 hst 56 hst 70 hst 84 hst

0,056 0,60 b 1,71 b 2,49 b 1,79 b 0,72 b 0,058 0,63 ab 1,87 a 2,53 ab 1,87 a 0,80 ab 0,052 0,66 a 1,82 a 2,56 a 1,86 a 0,98 a ns Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada uji jarak Duncan 5%.

156
Tabel 7. Rerata indeks luas daun kedelai akibat penyiangan 2 kali tanpa mulsa (Kontrol 1), tanpa penyiangan tanpa mulsa (Kontrol 2), dan pemulsaan jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Indeks Luas Daun 14 hst 28 hst 42 hst 56 hst 70 hst 84 hst Kontrol 1 0,057 a 0,63 a 1,75 b 2,60 a 2,04 a 1,01 a Mulsa 0,055 a 0,63 a 1,80 a 2,52 a 1,84 b 0,84 a Kontrol 2 0,057 a 0,58 b 1,69 b 2,36 b 1,70 b 0,74 a Mulsa 0,055 a 0,63 a 1,80 a 2,52 a 1,84 a 0,84 a Kontrol 1 0,057 a 0,63 a 1,75 a 2,60 a 2,04 a 1,01 a Kontrol 2 0,057 a 0,58 b 1,69 b 2,36 b 1,70 b 0,74 b Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada analisis kontras taraf 5 %. Bobot kering tanaman Bobot kering tanaman dipengaruhi oleh takaran mulsa jerami padi yang diberikan (kecuali pada umur 56 hst), sedangkan varietas mulsa jerami padi dan interaksi dari keduanya tidak banyak mempengaruhinya (Tabel 8). Aplikasi mulsa jerami sebanyak 10 ton/ha mampu meningkatkan bobot kering tanaman pada 14-42 hst masing-masing sebesar 6, 12, dan 17% dibanding takaran 5 ton/ha, sedangkan setelah umur 70 hst ke atas aplikasi mulsa jerami padi sebanyak 7,510 ton/ha mampu meningkat-kan masing-masing sebesar 11 dan 9% dibanding mulsa 5 ton/ha (Tabel 8). Bila dibandingkan dengan penyiangan 2X tanpa mulsa terlihat bahwa aplikasi mulsa jerami padi hanya mampu meningkatkan bobot kering tanaman hingga umur 42 hst masing-masing sebesar 7, 13, dan 16%, sedangkan pada umur selanjutnya aplikasi mulsa menghasilkan bobot kering tanaman yang lebih rendah masing-masing sebesar 14, 14, dan 12% dibanding penyiangan tersebut (Tabel 9). Namun bila dibandingkan dengan tanpa penyiangan tanpa mulsa terlihat bahwa aplikasi mulsa jerami padi mampu meningkat-kan bobot kering tanaman pada setiap umur pengamatan, masing-masing sebesar 14, 37, 49, 14, 18, dan 17%. Adapun bila diperbandingkan antara penyiangan 2X kali tanpa mulsa dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa menunjukkan bahwa penyiangan 2X tanpa mulsa mampu meningkatkan bobot kering tanaman pada setiap umur pengamatan masing-masing sebesar 17, 22, 24, 27, dan 24% (Tabel 9). Tabel 8. Rerata bobot kering tanaman kedelai akibat takaran mulsa jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan Bobot kering tanaman (g/tanaman) 14 hst 28 hst 42 hst 56 hst 70 hst 84 hst Dosis mulsa : - 5.0 ton/ha 0,16 b 1,25 b 4,18 b 7,65 11,55 b 14,34 b - 7,5 ton/ha 0,16 b 1,26 b 4,31 b 7,84 14,14 a 15,85 a - 10 ton/ha 0,17 a 1,40 a 4,88 a 7,75 12,79 ab 15,64 a ns Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada uji jarak Duncan 5%. Perlakuan

157

Tabel 9. Rerata bobot kering tanaman kedelai akibat penyiangan 2 kali tanpa mulsa (Kontrol 1), tanpa penyiangan tanpa mulsa (Kontrol 2), dan pemulsaan jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan Kontrol 1 Mulsa Kontrol 2 Mulsa Kontrol 1 Kontrol 2 14 hst 0,15 b 0,16 a 0,14 b 0,16 a 0,15 a 0,14 a Bobot kering tanaman (g/tanaman) 28 hst 42 hst 56 hst 70 hst 1,15 b 3,86 b 8,96 a 14,94 a 1,30 a 4,46 a 7,75 b 12,82 b 0,95 b 1,30 a 1,15 a 0,95 b 3,02 b 4,46 a 3,86 a 3,02 b 6,82 b 7,75 a 8,96 a 6,82 b 10,90 b 12,82 a 14,94 a 10,90 b

84 hst 17,33 a 15,27 b 13,10 b 15,27 a 17,33 a 13,10 b

Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada analisis kontras taraf 5%. Komponen Produksi dan Produksi Komponen produksi tanaman kedelai dicerminkan oleh peubah-peubah yang berpengaruh pada produksi kedelaimisalnya ialah jumlah cabang pertanaman, jumlah polong per tanaman, jumlah biji per tanaman, dan bobot 100 biji, sedangkan produksi tanaman dicerminkan oleh bobot kering biji/ha. Pada umumnya komponen produksi tanaman kedelai dipengaruhi oleh takaran mulsa yang diberikan, sedangkan varietas mulsa jerami padi dan interaksi dari keduanya tidak mempe-ngaruhinya. Hal yang sama terjadi pada produksi kedelai yang dihasilkan (Tabel 10). Tabel 10. Rerata komponen produksi dan produksi kedelai akibat takaran mulsa jerami padi. Perlakuan Komponen produksi dan produksi Jumlah Jumlah Jumlah Bobot 100 Produksi cabang per polong per biji per biji (g) (ton/ha) tanaman tanaman tanaman Dosis mulsa : 3,21 33,67 b 70,99 b 9,51 b 1,69 b - 5,0 ton/ha 3,52 37,43 a 78,16 a 10,01 a 1,97 a - 7,5 ton/ha 3,28 36,39 ab 78,63 a 9,82 ab 1,93 a - 10 ton/ha ns Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada uji jarak Duncan 5%.

158
Tabel 11. Rerata komponen produksi dan hasil biji kedelai akibat penyiangan 2 kali tanpa mulsa (K1), tanpa penyiangan tanpa mulsa (K2), dan pemulsaan jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan Komponen produksi dan produksi Jumlah Jumlah Jumlah Bobot 100 Produksi cabang per polong per biji per biji (g) (ton/ha) tanaman tanaman tanaman Kontrol 1 3,09 a 34,89 a 75,54 a 10,11 a 1,91 a Mulsa 3,34 a 35,83 a 75,92 a 9,78 a 1,86 a Kontrol 2 2,41 b 24,60 b 50,83 b 8,25 b 1,05 b Mulsa 3,34 a 35,83 a 75,92 a 9,78 a 1,86 a Kontrol 1 Kontrol 2 3,09 a 2,41 b 34,89 a 24,60 b 75,54 a 50,83 b 10,11 a 8,25 b 1,91 a 1,05 b

Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada analisis kontras taraf 5%. Jumlah polong, jumlah biji, bobot 100 biji dan produksi kedelai yang tertinggi dihasilkan oleh aplikasi mulsa jerami padi dengan takaran 7,510 ton/ha. Bila dibandingkan dengan aplikasi mulsa 5 ton/ha, aplikasi mulsa 7,510 ton/ha mampu meningkatkan jumlah polong, jumlah biji, bobot 100 biji dan produksi kedelai masing-masing sebesar lebih dari 8, 11, 3, dan 17% (Tabel 10). Bila dibandingkan antara aplikasi mulsa jerami padi dengan penyiangan gulma 2X tanpa mulsa terlihat bahwa jumlah cabang, jumlah polong, jumlah biji, bobot 100 biji, dan produksi kedelai yang dihasilkan oleh aplikasi mulsa tidak berbeda dengan yang dihasilkan perlakuan penyiangan tersebut (Tabel 11). Namun bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa menunjukkan bahwa aplikasi mulsa jerami padi mampu meningkat-kan komponen-komponen produksi tersebut dan produksi kedelai masing-masing sebesar 39, 46, 49, 19, dan 77%. Bila disbandingkan antara penyiangan 2X tanpa mulsa dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa menunjukkan bahwa penyiangan mampu meningkatkan komponen produksi (kecuali jumlah cabang) dan produksi kedelai masing-masing sebesar 30, 33, 18, dan 45% (Tabel 11). Persentase cahaya di bawah mulsa Persentase cahaya yang diterima permukaan tanah di bawah mulsa pada pertanaman kedelai dipengaruhi oleh takaran mulsa hanya pada umur pengamatan 70-84 hst saja, sedangkan varietas mulsa jerami padi yang digunakan dan interaksi dari keduanya tidak mempengaruhinya (Tabel 12). Pada Tabel 12 terlihat bahwa pada 70-84 hst, aplikasi mulsa sebanyak 10 ton/ha menurunkan persentase cahaya yang diterima di bawah mulsa masing-masing sebesar 67 dan 70% dibanding mulsa sebanyak 5 ton/ha. Namun bila diperbandingkan dengan penyiangan 2X tanpa mulsa terlihat bahwa aplikasi mulsa menurunkan persentase cahaya yang diterima permukaan tanah pada setiap pengamatan sebesar 70, 98, 76, 91, 93, dan 84% (Tabel 13). Demikian pula bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa terjadi penurunan persentase cahaya masing-masing sebesar 95, 84, 94, 94, dan 88%. Adapun bila diperbandingkan antara penyiangan 2X tanpa mulsa dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa terlihat bahwa paket penyiangan 2X menghasilkan

159

persentase cahaya yang lebih tinggi 62% hanya pada 24 hst saja, sedangkan pada 5670 hst menghasilkan yang lebih rendah 64 dan 17%. Tabel 12. Rerata persentase cahaya yang diterima permukaan tanah di bawah mulsa akibat aplikasi takaran mulsa jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan Persentase cahaya di bawah mulsa (%) 28 hst Dosis mulsa : - 5,0 ton/ha - 7,5 ton/ha - 10 ton/ha 0,06 0,06 0,06 ns 42 hst 0,06 0,05 0,03 ns 56 hst 0,01 0,01 0,01 ns 70 hst 0,06 a 0,04 a 0,02 b 84 hst 0,37 a 0,37 a 0,11 b

Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada uji jarak Duncan 5%. Tabel 13. Rerata persentase cahaya di bawah mulsa akibat penyiangan 2X tanpa mulsa (Kontrol 1), tanpa penyiangan tanpa mulsa (Kontrol 2), dan pemulsaan jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan Persentase cahaya di bawah mulsa (%) 28 hst 42 hst 56 hst 70 hst 84 hst Kontrol 1 3,13 a 0,21 a 0,11 a 0,75 a 1,78 a Mulsa 0,06 b 0,05 b 0,01 b 0,05 b 0,28 b Kontrol 2 1,17 a 0,31 a 0,18 a 0,88 a 2,36 a Mulsa 0,06 b 0,05 b 0,01 b 0,05 b 0,28 b Kontrol 1 3,13 a 0,21 a 0,11 b 0,75 b 1,78 a Kontrol 2 1,17 b 0,31 a 0,18 a 0,88 a 2,36 a Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf yang sama dalam baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada analisis kontras taraf 5 %. Persentase cahaya dalam tajuk tanaman Persentase cahaya yang diterima dalam tajuk tanaman hanya dipengaruhi oleh takaran mulsa mulai 4270 hst, sedangkan varietas jerami padi dan interaksi dari keduanya tidak banyak mempengaruhinya (Tabel 14). Tabel 14 terlihat bahwa peningkatan takaran mulsa yang diaplikasikan menurunkan persentase cahaya yang diterima dalam tajuk tanaman pada 4270 hst. Bila dibandingkan antara aplikasi mulsa dengan perlakuan penyiangan dua kali tanpa mulsa terlihat bahwa aplikasi mulsa dapat meningkatkan persentase cahaya dalam tajuk tanaman hanya pada 7084 hst (Tabel 15). Namun bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa, aplikasi mulsa justru menurunkan persentase cahaya dalam tajuk hanya pada 84 hst. Adapun bila dibandingkan antara perlakuan penyiangan 2X dan perlakuan tanpa penyiangan terlihat bahwa perlakuan tanpa penyiangan mampu meningkatkan persentase cahaya dalam tajuk pada 70 84 hst (Tabel 15).

160
Tabel 14. Rerata persentase cahaya yang diterima dalam tajuk tanaman akibat aplikasi takaran mulsa jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan Persentase cahaya di dalam tajuk tanaman (%) 28 hst 42 hst 56 hst 70 hst 84 hst Dosis mulsa : - 5,0 ton/ha 44,43 15,22 a 15,10 a 17,45 a 44,39 - 7,5 ton/ha 39,16 15,10 a 14,74 ab 15,26 b 35,14 - 10 ton/ha 37,30 14,23 b 14,23 b 14,97 b 34,69 ns ns Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada uji jarak Duncan 5%. Tabel 15. Rerata persentase cahaya yang diterima di dalam tajuk tanaman akibat penyiangan 2X tanpa mulsa (kontrol 1), tanpa penyiangan tanpa mulsa (Kontrol 2), dan pemulsaan jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan Persentase cahaya di dalam tajuk tanaman (%) 28 hst 42 hst 56 hst 70 hst 84 hst Kontrol 1 38,20 15,76 15,76 11,22 b 29,22 b Mulsa 40,30 14,85 14,69 15,89 a 38,07 a ns ns ns Kontrol 2 32,74 18,99 18,99 19,02 40,75 a Mulsa 40,30 14,85 14,69 15,89 38,07 b ns ns ns ns Kontrol 1 38,20 15,76 15,76 11,22 b 29,22 b Kontrol 2 32,74 18,99 18,99 19,02 a 40,75 a ns ns ns Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf sama dalam baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada analisis kontras taraf 5 %. Kadar air tanah Kadar air tanah pada berbagai umur pengamatan dalam pertanaman kedelai tidak dipengaruhi oleh beberapa takaran mulsa jerami padi, varietas mulsa jerami padi, maupun interaksi dari keduanya. Namun bila diperbandingkan antara aplikasi mulsa jerami padi dengan penyiangan dua kali tanpa mulsa memperlihat-kan aplikasi mulsa mampu meningkatkan kadar air tanah pada setiap umur pengamatan (Tabel 16). Demikian pula bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa memperlihatkan bahwa aplikasi mulsa mampu meningkatkan kadar air tanah pada setiap umur pengamatan (Tabel 16). Namun bila dibandingkan antara perlakuan penyiangan dua kali tanpa mulsa dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa memperlihatkan penyiangan 2X tanpa mulsa menyebabkan penurunan kadar air hanya pada 42 dan 56 hst saja, sedangkan pada umur pengamatan lainnya tidak menyebabkan penurunan kadar air.

161

Tabel 16. Rerata kadar air tanah akibat paket penyiangan 2X tanpa mulsa (Kontrol 1), tanpa penyiangan tanpa mulsa (Kontrol 2), dan pemulsaan jerami padi pada berbagai umur tanaman kedelai. Perlakuan Kadar air tanah (%) 14 hst 28 hst 42 hst 56 hst 70 hst 84 hst Kontrol 1 29,14 b 31,29 b 30,97 b 33,95 b 33,48 b 28,11 b Mulsa 33,34 a 35,70 a 35,57 a 38,73 a 36,51 a 31,78 a Kontrol 2 Mulsa 30,14 b 33,34 a 32,77 b 35,70 a 33,24 b 35,57 a 36,37 b 38,73 a 33,66 b 36,51 a 28,31 b 31,78 a

Kontrol 1 29,14 a 31,29 a 30,97 b 33,95 b 33,48 a 28,11 a Kontrol 2 30,14 a 32,77 a 33,24 a 36,37 a 33,66 a 28,31 a Keterangan: Bilangan yang didampingi huruf yang sama dalam baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada analisis kontras taraf 5 %. PEMBAHASAN Perubahan Komposisi Gulma Hasil analisis vegetasi gulma menunjukkan bahwa makin tinggi takaran mulsa makin rendah keragaman jenis gulma yang tumbuh. Pada semua waktu pengamatan, jumlah keragaman tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa mulsa tanpa disiang (K2), pada umur 14 hst terdapat enam spesies gulma yang tumbuh, sedangkan pada perlakuan mulsa 7,510 ton/ha jumlah spesies yang dapat tumbuh ada empat jenis. Pada pengamatan 42 hst pada petak perlakuan tanpa mulsa tanpa penyiangan (K2) terdapat 12 spesies gulma yang tumbuh sedangkan pada perlakuan mulsa 7,5-10 t/ha yang tumbuh ada enam spesies gulma (Lampiran 1-6). Bila dilihat dari jenis gulma dominan (ditunjukkan oleh nilai NJD yang tertinggi pada masing-masing perlakuan), pada pengamatan 14 hst ada tiga jenis gulma yang sering muncul sebagai gulma dominan yaitu Panicum repens, Oryza sativa dan Portulaca oleraceae. Gulma Oryza sativa dan Portulaca oleraceae pada petak percobaan yang diberi perlakuan mulsa. Pada pengamatan 42 hst jenis gulma dominan ialah Amaranthus spinosus diikuti oleh Cleome rutidosperma dan Echinochloa. Sedangkan pada pengamatan 56, 70 dan 84 hst jenis gulma yang sering muncul sebagai gulma dominan adalah Amaranthus spinosus, Cynodon dactylon, dan Echinochloa crus-galli (Lampiran 1-6). Diduga terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah spesies yang tumbuh dan juga perbedaan spesies gulma dominan yaitu pertama yang berasal dari biji gulma itu sendiri, meliputi (a) jumlah biji yang bertahan hidup (viabel) dari suatu jenis gulma yang terdapat di dalam tanah, (b) sifat dormansi yang dimiliki oleh bijibiji maupun organ vegetatif dari gulma yang ada, dan (c) letak kedalaman biji tersebut di dalam tanah (d) sifat periodesitas perkecambahan dari masing-masing jenis gulma (e) kemampuan produksi biji suatu jenis gulma dalam setiap musimnya. Faktor kedua adalah mulsa jeraminya, karena mulsa dapat mempengaruhi dari dua segi, yaitu (a) secara fisik pemberian mulsa menyulitkan gulma untuk tumbuh, dibutuhkan energi tersendiri untuk menembus ketebalan mulsa, dan (b) pemberian mulsa mempengaruhi unsur iklim mikro yaitu cahaya, kelembaban, dan suhu. Mulsa mampu menekan perkecambahan gulma karena mulsa berada sangat dekat dengan permukaan tanah tempat benih-benih gulma akan berkecambah. Tesdale dan Mohler (1992), menyatakan bahwa kemampuan mulsa untuk menekan

162
perkecambahan dan pertumbuhan gulma sebenarnya melalui perubahan-perubahan lingkungan (iklim mikro) tempat benih gulma itu berada. Di alam, cahaya, suhu dan kelembaban tanah saling berinteraksi secara total dalam mempengaruhi perkecambahan biji gulma. Disamping itu juga efek secara fisik dari keberadaan mulsa tersebut dapat menyulitkan kecambah dari gulma untuk tumbuh menembusnya. Fase kecambah ialah fase yang amat sensitif pada pengaruh lingkungan. Syarat mutlak suatu biji atau organ reproduktif lainnya dapat berkecambah ialah viabilitas (daya hidup perkecambahan). Jumlah biji dan viabilitas biji gulma dalam tanah dipengaruhi oleh kedalaman tanah, biji Amaranthus spinosus dan Portulaca oleraceae banyak terdapat pada kedalaman tanah 0-10 cm akan tetapi bila kondisi lahan dibiarkan kering, maka viabilitas biji-biji gulma yang berada pada kedalaman 10-30 cm lebih baik dibandingkan biji-biji gulma yang berada dekat permukaan tanah, ternyata banyak yang mati dan sebagian dorman. Hal ini diperoleh dalam penelitian Rai (1995). Perlakuan pemberian mulsa dapat menurunkan perbedaan kisaran suhu siang dan malam, karena intersep (cahaya yang datang) dan radiasi gelombang pendek yang mengenai mulsa dapat mengurangi jumlah cahaya yang sampai kepermukaan tanah, mengurangi panas yang terserap oleh tanah sepanjang hari dan mengurangi evaporasi sehingga kebutuhan terhadap kisaran suhu yang tinggi yang sering diperlukan untuk mematahkan dormansi tidak terpenuhi dengan kata lain mulsa dapat mencegah perkecambahan. Pada penelitian ini diperoleh bahwa gulma Amaranthus dominan pada perlakuan tanpa mulsa baik yang disiang 2X (K1) maupun yang tidak disiang (K2) (Lampiran 2-6), hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Teasdale dan Mohler (2000) bahwa, Amaranthus memiliki tingkat kemampuan yang paling rendah untuk berkecambah dibandingkan dengan Chenopodium dan Setaria akibat perlakuan pemberian mulsa. Penekanan pertumbuhan gulma juga diduga karena efek fisik dari keberadaan mulsa, andaikan biji-biji yang viabel dan yang patah dormansi dapat berkecambah, hambatan selanjutnya adalah keberadaan secara fisik dari adanya mulsa tersebut, dimana ini akan menyulitkan kecambah gulma menembus mulsa. Makin tinggi takaran mulsa maka berarti makin tebal hambatan yang harus ditempuh oleh calon individu baru dari gulma tersebut. Biji gulma dengan bobot 0,52 mg masih dapat muncul dari kedalaman kurang dari 5 cm, sedangkan untuk biji yang berukuran lebih besar dapat muncul dari kedalaman 811 cm. Suatu benih di tanam terlalu dalam (sekitar 7 cm), maka benih tersebut dalam hal ini dicontohkan benih jagung akan mati karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menembus ke permukaan tanah telah menghabiskan cadangan makanan dalam benih, sementara daun belum tumbuh optimum sehingga belum dapat berfotosintesis, seperti yang telah dijelaskan oleh Kamil (1979). Diduga jumlah spesies gulma yang makin sedikit yang dapat tumbuh karena makin meningkatnya takaran mulsa, pada hasil penelitian ini membuktikan hal tersebut (Lampiran 1-6). Pengaruh penghambatan pada fase perkecambahan dapat juga terjadi karena kegagalan mobilisasi cadangan makanan dalam biji ataupun organ vegetatif. Sedangkan biji-biji dari hampir semua jenis gulma berukuran sangat kecil sehingga persediaan makanan yang ada juga sedikit sekali. Kebutuhan akan cahaya dan persediaan makanan yang sedikit menyebab-kan biji-biji gulma harus dapat berkecambah dipermukaan tanah atau pada kedalaman yang sangat dangkal (beberapa mm saja) untuk dapat hidup. Biji-biji gulma sebagian besar tumbuhnya berhubungan secara negatif dengan kedalaman yang lebih dari 1 cm. Makin dalam biji tertanam di dalam tanah kemungkinan untuk

163

berkecambah dan tumbuh menjadi makin kecil, walaupun begitu beberapa jenis biji gulma ternyata dapat tumbuh meskipun terbenam pada kedalaman yang melebihi kedalaman ideal (1 cm) sebab lain juga karena pengolahan tanah sehingga biji gulma dari kedalaman 10-30 terangkat kepermukaan, seperti diutarakan oleh Sastroutomo (1990). Pada hampir semua biji maupun organ vegetatif yang viabel baru akan dapat berkecambah bila kondisi air, oksigen dan suhu serta cahaya terpenuhi sesuai kebutuhan. Pada hasil pengamatan 28 hst menunjukkan persentase cahaya yang diterima dipermukaan tanah dibawah mulsa hanya sebesar 0,06% sedangkan pada perlakuan tanpa mulsa tanpa penyiangan sebesar 1,17% dan pada perlakuan tanpa mulsa penyiangan 2X cahaya yang diterima mencapai sebesar 3,13% (Tabel 13). Untuk memacu proses perkecambahan benih gulma, pada umumnya diperlukan sekitar 1% cahaya yang menembus permukaan tanah untuk dapat mengaktifkan phytochrome biji gulma, seperti telah diuraikan oleh Kronenberg dan Kendrick (1986). Cahaya hanya dapat menembus permukaan tanah sedalam 4 sampai 5 mm (seperti perolehan Frankland, 1981), dan pada kedalaman inilah kebanyakan biji gulma berada. Hal ini berarti bahwa biji-bijian gulma pada kedalaman tersebut akan mendapat cahaya yang cukup untuk memacu perkecambahan. Namun, setiap penurunan jumlah cahaya sebagai akibat adanya mulsa dipermukaan tanah akan menghambat perkecambahan biji gulma tersebut. Meskipun biji-biji gulma di permukaan tanah bisa berkecambah karena mendapat cahaya cukup, mulsa akan dapat mengurangi jumlah perkecambahan biji-biji gulma yang berada agak lebih dalam dari permukaan tanah, hal ini seperti perolehan Teasdale dan Mohler ( 1992) dan didukung oleh pendapat Moenandir (1993). Penggunaan mulsa dapat mengendalikan pertumbuhan gulma karena mulsa tersebut dapat menghalangi intensitas cahaya matahari yang sampai kepermukaan tanah, sehingga kondisi ini kurang menguntungkan terhadap pertumbuhan gulma. Gulma-gulma yang terlambat muncul kurang dapat bersaing dengan tanaman, akibat tajuk tanaman sudah berkembang dengan baik sehingga gulma-gulma yang tumbuh kurang mendapat cahaya yang cukup untuk pertumbuhannya. Penggunaan mulsa Trifolium subterraneum, T.alexandrium dan Loliumrigidum berkemampuan dapat meneruskan cahaya kurang dari 1% pada biomassa sekitar 800 g m-2, seperti perolehan Jaya (1997). Pada bobot mulsa tersebut, selain menutupi seluruh permukaan tanah, ketiga mulsa ini juga mempunyai ketebalan yang cukup besar. Pada beberapa petak percobaan dengan intensitas cahaya yang diteruskan oleh mulsa lebih dari 1%, biji-biji gulma berpeluang untuk dapat berkecambah. Namun, gulma muda yang baru berkecambah memerlukan intensitas cahaya tinggi untuk melakukan proses fotosintesis. Dalam hal ini kecambah gulma mungkin dapat mati karena kekurangan cahaya untuk melakukan proses fotosintesis tersebut, atau mungkin juga kecambah gulma akan mati karena tidak bisa menembus mulsa itu sendiri. Selain faktor yang disebutkan di atas, ada hal lain yang berpengaruh pada perkecambahan gulma misalnya periodisitas, ialah pola perkecambahan yang berbeda-beda dalam setiap musim yang dimiliki oleh masing-masing gulma, seperti telah dikemukakan oleh Sastroutomo (1990). Setelah mampu melewati masa perkecam-bahan maka untuk pertumbuhan gulma selanjutnya sangat ditentukan oleh kemampuan gulma bersaing dalam memperebutkan cahaya, air dan unsur hara, kemampuan ini sangat dipengaruhi sifat fisik penampakan gulma tersebut. Echinochloa crus-galli memiliki keunggulan

164
dibanding jenis gulma lainnya, keistimewaan tersebut antara lain bahwa gulma tersebut memiliki kemampuan untuk menghasilkan biji yang sangat besar dalam satu musimnya, yaitu sekitar 40.000 biji, Portulaca 2400-50.000 biji, Amaranthus 3272 biji. Batang Echinochloa yang tegak juga sangat mendukung untuk menang dalam persaingan mendapatkan cahaya, Echinochloa crus-galli, mempunyai sistem perakaran yang dalam. Echinochloa crus-galli amat berkurang perkecambahannya bila tergenang air, dan akan sangat baik perkecambahannya ketika tanah hanya basah dan tidak tergenang, dapat berkecambah pada aerob dan anaerob. Gulma ini juga dapat menimbun Ca. Cleome rutidosperma menimbun K. Amaranthus spinosus tumbuh tegak dengan perakaran yang dalam dan meluas mampu menembus tanah yang keras, memiliki banyak cabang dengan tinggi tanaman dapat mencapai 100 cm (Sastroutomo, 1990). Mekanisme perkembangbiakan gulma sangat efisien dan jauh lebih efisien daripada tanaman budidaya. Effisiensi itu didapat dari seleksi alam dan penyesuaian ekologis yang amat hebat sehingga gulma akan selalu ada meskipun sudah dilakukan pengendalian. Pertumbuhan gulma, kedelai dan perubah-an lingkungan Dalam tahap awal pertumbuhan, biji gulma maupun kedelai akan mengalami perkecambahan, dimana dalam proses tersebut faktor ketersediaan air, fluktuasi suhu tanah, dan kualitas cahaya sangat berpengaruh (Frankland, 1981). Benih akan cepat berkecambah bila mendapat air yang cukup, fluktuasi suhu maksimum minimum dan mendapat cahaya dengan spektrum cahaya merah. Perlakuan aplikasi mulsa sebenarnya mampu menekan evaporasi sehingga kelembaban tanah dapat terjaga dengan baik, dan fluktuasi suhu tanah yang lebih rendah bila dibanding dengan perlakuan tanpa mulsa. Di sisi lain, spketrum cahaya yang mampu menembus mulsa hanyalah cahaya merah, sedangkan perlakuan tanpa mulsa menerima spektrum PAR. Oleh karena itu, perkecambahan biji gulma dan kedelai pada aplikasi mulsa berjalan lebih cepat dibanding dengan tanpa mulsa, seperti juga yang telah diutarakan oleh Kronenberg dan Kendrick (1986). Mengingat proses perkecambahan benih gulma dan kedelai berjalan beberapa hari setelah tanam dimana kondisi kelembaban tanah masih dalam batas kapasitas lapang dan fluktuasi suhu tanah yang relatif kecil, maka laju perkecambahan benih gulma dan kedelai hanya dipengaruhi oleh kualitas cahaya yang diterima. Spektrum cahaya merah berpengaruh terhadap laju pembelahan dan pembesaran sel. Karena sel-sel kecambah ialah sel meristematis, maka dalam perkecam-bahan terjadi laju pembelahan dan pembesaran sel yang cepat sehingga diperlukan cahaya merah. Karenanya, aplikasi mulsa dapat mempercepat perkecambahan benih gulma dan kedelai. Biji yang terkena cahaya merah akan menghasilkan laju perkecambahan yang lebih cepat dibanding dengan yang tidak terkena cahaya merah, hal ini sesuai dengan pendapat Eagly (1986) dan Sugito (1999). Setelah fase perkecambahan selesai, fase selanjutnya adalah proses pertumbuhan kecambah menjadi tanaman mudah utuh. Pada proses tersebut tanaman akan membentuk akar, batang, dan daun ini berarti proses fotosintesis belum berjalan, energi yang diperlukan berasal dari cadangan makanan yang terdapat dalam biji yang telah dirombak pada proses di atas seperti yang telah dikemukakan oleh Gardner et al. (1991). Karenanya beberapa faktor yang berpengaruh ialah kemampuan kecambah menembus tekanan fisik mulsa, cahaya yang diterima, dan kelembaban tanah. Besar tekanan mulsa yang diaplikasikan berpengaruh pada

165

pertumbuhan bagian atas gulma dan kedelai. Penelitian ini mempunyai variasi besar tekanan mulsa yang dipergunakan ialah tergantung pada takaran mulsa dari beberapa varietas padi dan hanya dikhususkan untuk kecambah gulma sebagai akibat pengaturan aplikasi mulsa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa takaran mulsa dari beberapa varietas jerami padi mampu menekan pertumbuhan kecambah menjadi gulma mudah utuh umur 14 hst pada tingkat yang sama (Tabel 2). Tingkat penekanan pertumbuhan gulma muda terlihat jelas bila dibandingkan antara aplikasi mulsa dengan tanpa mulsa (penyiangan dua kali dan perlakuan tanpa penyiangan) yang menunjukkan bahwa aplikasi mulsa mampu menekan pertumbuhan gulma muda umur 14 hst sebesar 64-68% (Tabel 3). Sedangkan pertumbuhan kecambah ke bawah adalah pembentukan akar yang berfungsi menyerap air dan nutrisi dalam tanah. Pertumbuhan akar tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan kelembaban tanah. Dalam penelitian lapang, pengukuran pertumbuhan akar sulit memperoleh data yang akurat, demikian pula dalam penelitian ini. Karenanya, data petumbuhan akar tidak disampaikan dalam tulisan ini. Setelah gulma dapat menembus tekanan mulsa dan akar dapat menembus tanah, maka proses selanjutnya adalah pertumbuhan gulma hingga dewasa. Selama proses ini diperlukan energi yang sangat banyak sehingga cahaya memainkan peranan yang sangat penting. Disamping cahaya, kelembaban tanah dan unsur hara dalam tanah, serta kompetisi antara gulma dan kedelai juga berpengaruh besar terhadap pertumbuhan gulma dan tanaman kedelai. Cahaya yang diterima selama pertumbuhan tanaman dipergunakan untuk proses fotosintesis. Pengaruh intensitas cahaya yang diterima oleh suatu tanaman pada laju fotosintesis akan membentuk kurva eksponensial asimtotik, seperti perolehan Penning deVries et al. (1989). Sampai dengan intensitas cahaya tertentu, peningkatan intensitas cahaya diikuti oleh peningkatan laju fotosintesis, selanjutnya laju fotosintesis tetap meskipun intensitas cahaya dinaikkan. Besarnya laju fotosintesis menyebabkan tingginya laju akumulasi bahan kering tanaman sehingga bobot kering suatu tanaman meningkat sejalan dengan peningkatan intensitas cahaya yang diterima sampai batas tertentu tersebut. Dalam penelitian ini intensitas cahaya yang diterima tanaman dicerminkan oleh persentase cahaya dalam tajuk tanaman. Makin besar persentase cahaya dalam tajuk berarti makin banyak cahaya yang lolos dari tanaman sehingga makin sedikit yang diserap tanaman. Besarnya persentase cahaya dalam tajuk tanaman dipengaruhi secara negatif oleh takaran mulsa yang diaplikasikan, terutama pada 42 70 hst (Tabel 14). Namun bila dibandingkan antara aplikasi mulsa dengan tanpa mulsa (perlakuan penyiangan dua kali dan perlakuan tanpa penyiangan) terlihat bahwa persentase cahaya dalam tajuk tanaman dipengaruhi oleh perlakuan tersebut hanya pada umur pengamatan 70 84 hst saja (Tabel 15). Laju fotosintesis tidak hanya dipengaruhi oleh cahaya, juga dipengaruhi oleh kondisi stomata. Selama proses stomata membuka dan menutup, kondisi kelembaban tanah sangat berperan. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa takaran mulsa, varietas mulsa, dan interaksi dari keduanya tidak mempengaruhi kelembaban tanah. Namun bila diperbandingkan antara aplikasi mulsa dengan tanpa mulsa (perlakuan penyiangan dua kali dan perlakuan tanpa penyiangan) terlihat bahwa aplikasi mulsa mampu menjaga kelembaban tanah yang lebih baik (Tabel 16). Dengan kelembaban tanah yang lebih baik, maka suplai air ke daun menjadi lancar dan stomata tidak menutup, sehingga laju fotosintesis meningkat dan akumulasi bahan kering lebih tinggi.

166
Laju fotosintesis juga dipengaruhi oleh kecepatan phloem loading dan phloem unloading fotosintat. Makin cepat kedua proses tersebut makin sedikit fotosintat dalam khloroplas sehingga makin kecil hambatan cahaya masuk khloroplas dan laju fotosintesis makin tinggi. Kecepatan phloem loading dipengaruhi oleh kecepatan phloem unloading, dimana bila kecepatan phloem unloading rendah maka kecepatan phloem loading juga rendah. Faktor yang berpengaruh pada kecepatan phloem unloading ialah ketersediaan unsur hara dalam tanaman. Fungsi unsur hara tersebut adalah untuk bahan penyusun protein seperti hara N, dan sebagai pentransfer energi untuk sintesis senyawa asam organik seperti hara P dan sebagainya. Makin tersedia hara tersebut makin cepat karbohidrat yang dihasilkan dalam fotosintesis disintesis menjadi senyawa-senyawa asam organik sehingga phloem unloading berjalan semakin cepat. Ketersediaan unsur hara dalam tanaman sangat tergantung pada ketersediaan hara dalam tanah. Dalam penelitian ini diasumsikan ketersediaan hara dalam tanah pada semua perlakuan adalah sama karena dosis pupuk yang diberikan sama. Dengan demikian ketersediaan hara dalam tanaman kedelai maupun gulma ditentukan oleh persaingan dari kedua jenis tanaman tersebut. Oleh karena itu, interaksi antara cahaya, air, dan kompetisi antar dua jenis tanaman akan mempengaruhi laju fotosintesis tanaman sehingga akumulasi karbohidrat yang digunakan untuk pertumbuhan dan produksi juga dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut. Pada perlakuan aplikasi mulsa, takaran mulsa sebanyak 10 ton/ha menghasilkan persentase cahaya dalam tajuk yang paling rendah (Tabel 14) memberi petunjuk bahwa takaran tersebut selain menghasilkan indek luas daun yang terbesar (Tabel 6) dan juga menyerap intensitas cahaya yang diterima lebih besar sehingga laju fotosintesisnya juga tinggi dan akumulasi fotosintat meningkat. Sebagai hasil akhirnya adalah petumbuhan tanaman yang dicerminkan oleh tinggi tanaman (Tabel 4) dan bobot kering tanaman (Tabel 8) meningkat. Kalau dibandingkan antara aplikasi mulsa dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa diperoleh hasil bahwa pesentase cahaya dalam tajuk tanaman tidak berbeda, kecuali pada 70 84 hst (Tabel 15), namun kelembaban tanah yang diperoleh aplikasi mulsa lebih baik dibanding tanpa mulsa (Tabel 16). Hasil tersebut memberi informasi bahwa laju fotosintesis dipengaruhi oleh kelembaban tanah. Perlakuan yang menghasilkan kelembaban tanah yang tinggi akan menghasilkan laju fotosintesis yang lebih tinggi sehingga pertumbuhan tanaman yang dicerminkan oleh tinggi tanaman (Tabel 5), indek luas daun (Tabel 7), dan bobot kering tanaman (Tabel 9) lebih tinggi pula. Berbeda dengan pembandingan di atas, pembandingan antara aplikasi mulsa dengan perlakuan penyiangan dua kali tanpa mulsa melibatkan kompetisi antara gulma dan tanaman kedelai. Pada pembandingan terdahulu, kompetisi antara gulma dengan tanaman kedelai terjadi secara konsisten setiap umur pengamatan. Sebagai contoh, pembandingan antara aplikasi mulsa dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa. Pada aplikasi mulsa menghasilkan bobot kering gulma yang secara konsisten lebih rendah (Tabel 3) dibanding dengan tanpa penyiangan pada setiap umur pengamatan, demikian pula bobot kering tanaman yang dihasilkan lebih tinggi dibanding dengan tanpa penyiangan pada setiap umur pengamatan (Tabel 9). Sebagaimana hasil penelitian terdahulu bahwa terdapat korelasi yang negatif antara bobot kering gulma dengan bobot kering tanaman. Namun pada perlakuan penyiangan dua kali tanpa mulsa, bobot kering gulma akan turun drastis setelah perlakuan penyiangan. Penyiangan dilakukan pada umur 21 dan 35 hst sehingga bobot kering gulma yang dihasilkan pada umur 28 hingga 56 hst lebih rendah

167

dibanding perlakuan aplikasi mulsa dan pada umur pengamatan selanjutnya tidak ada perbedaan (Tabel 3). Pada selang waktu kedua penyiangan tersebut menyebabkan kemampuan gulma untuk bersaing dengan tanaman kedelai sangat rendah, disamping karena gulma yang ada masih kecil/muda karena baru tumbuh juga karena tanaman kedelainya sudah pada kondisi pertumbuhan vegetatif sempurna dimana tajuk sudah saling menutup sehingga meskipun kadar air yang dihasilkan lebih rendah (Tabel 16) dan persentase cahaya dalam tajuk yang tidak berbeda (Tabel 15), namun laju fotosintesis yang dihasilkan lebih tinggi sehingga bobot kering tanaman dan indek luas daun tanaman kedelai pada perlakuan penyiangan 2 kali tanpa mulsa lebih tinggi pada 56 84 hst dibandingkan dengtan tanaman kedelai yang diberi mulsa (Tabel 7 dan 9). Secara umum, hasil penelitian mencatat bahwa suatu jenis tanaman berbiji yang tumbuh baik akan menghasilkan komponen produksi yang baik pula. Dengan komponen produksi yang baik, maka produksi biji yang dihasilkan akan baik pula, sepereti juga diutarakan oleh Sitompul dan Guritno (1995). Tanaman kedelai yang diperlakukan dengan aplikasi mulsa sebanyak 7,5 10 ton/ha menghasilkan bobot kering tanaman dan indek luas daun yang terbaik (Tabel 8 dan 6), juga menghasilkan jumlah polong, jumlah biji, bobot 100 biji, dan produksi biji (Tabel 10) yang terbaik pula. Demikian pula pada tanaman kedelai yang diaplikasi mulsa menghasilkan bobot kering tanaman dan indek luas daun yang lebih baik (Tabel 9 dan 7) juga menghasilkan jumlah polong, jumlah biji, bobot 100 biji, dan produksi biji (Tabel 10) yang lebih baik dibanding dengan perlakuan tanpa penyiangan tanpa mulsa. Khusus untuk perlakuan penyiangan dua kali tanpa mulsa, meskipun bobot kering tanaman yang dihasilkan lebih baik dibanding aplikasi mulsa (Tabel 9), namun indek luas daun tidak banyak berbeda terutama pada saat pembentukan polong dan pengisian biji (Tabel 7). Indek luas daun yang tidak berbeda pada saat pembentukan polong dan pengisian biji (4284 hst) akan menghasilkan laju fotosintesis yang tidak berbeda pula sehingga fotosintat yang dipergunakan untuk pembentukan polong dan pengisian biji tidak berbeda pula. Karenanya, jumlah polong, jumlah biji, bobot 100 biji dan produksi biji yang dihasilkan perlakuan penyiangan dua kali tanpa mulsa tidak berbeda dengan aplikasi mulsa (Tabel 11). KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan : 1. Perubahan komposisi dan dominasi gulma terjadi sebelum dan selama percobaan. Perubahan komposisi gulma terjadi seiring dengan perubahan kondisi lahan yang semula sawah yang tergenang air berubah menjadi lahan kering beririgasi sehingga gulma air (Pistia stratiotes, Marcelia crenata, Salvinia molesta) tidak muncul lagi. Pada perlakuan tanpa mulsa, baik yang disiang 2X maupun yang tanpa disiang, gulma yang dominan pada 14 hst ialah Panicum repens (gulma daun sempit), sedangkan pada perlakuan pemberian mulsa secara umum ialah Oryza sativa (gulma daun sempit) dan Portulaca oleraceae (gulma daun lebar). Pada 28 hst, terdapat perbedaan jenis gulma dominan, yakni pada perlakuan tanpa mulsa jenis gulma yang dominan bergeser kepada gulma berdaun lebar (Cleome rutidosperma dan Amaranthus spinosus) sedangkan perlakuan aplikasi mulsa tetap didominasi oleh jenis gulma berdaun sempit (Eleusine indica). Pada 42 hst, gulma yang dominan adalah Cleome rutidosperma (daun lebar) dan Echinochloa (daun sempit). Pada pengamatan 56,

168
70, dan 84 hst, hampir pada semua perlakuan didominasi oleh gulma Echinochloa dan Cynodon dactylon. 2. Aplikasi mulsa jerami 10 t/ha mampu menekan bobot kering gulma selama umur pengamatan sebesar 38 - 57% dibanding takaran mulsa 5 t/ha. Dan diikuti kenaikan hasil 17% biji kedelai. Rata-rata aplikasi mulsa gerami dibandingkan dengan tanpa mulsa tanpa penyiangan dapat menekan bobot kering gulma lebih tinggi lagi yaitu 56 - 66%, diikuti kenaikan hasil biji kedelai sebasar 77%. Sedangkan bila dibadingkan dengan tanpa mulsa penyiangan 2 kali aplikasi mulsa tidak menunjukan perbedaan hasil. 3. Aplikasi mulsa jerami dari varetas padi yang berbeda menunjukan kemampuan yang sama dalam menekan gulma pada kedelai. DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto. T. dan R. Wudianto, 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah Kering Pasang Surut. Penebar Swadaya. pp. 86. Egley, G. H. 1986. Stimulation of Weed Seed Germination in the Soil. Rev. Weed Sci. 2: 67 89. Erida, G. dan Hasanuddin. 1996. Penentuan Periode Kritis Tanaman Kedelai (Glycine max ) Terhadap Kompetisi Gulma. Pros. Konf. 13 HIGI : 14 18. Frankland B. 1981. Germination in Shade, in Plant in the Daylight Spectrum. Ed. H.Smith. Acad. Press. Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya Terjemahan Herawati Susilo. Penerbit Univ. Indonesia. Jakata. pp. 428. Jaya, I.K.D. 1997. Perubahan Iklim Mikro Permukaan Tanah Akibat Mulsa dan Kemungkinan Pengembangannya sebagai Teknik Pengendalian Gulma. Agroteknos Univ. Mataram. 6(4) : 251 257. Kamil, J. 1979. Teknologi benih 1. Angkasa Raya. pp. 227. Kronenberg G.H..M. and R.E. Kendrick. 1986. Phytochrome. The physiology of Action, in Photomorphogenesis in Plant. Ed. R. E. Kendrick dan G.H.M. Kronenberg. Martinus Nijhoff Publ. p. 99 114. Moenandir, J. 1985. Weed Crop Interaction in the Sugar Cane Peanut Intercropping System. UniBraw. Malang. Dissertation. pp. 236. Moenandir, J. 1993. Pengantar Ilmu dan Pengendalian Gulma. Rajawali. Jakarta. pp. 122. Penning de Vries, TWT., DM. Jansen, HFM. ten Berge and A. Bakema. 1989. Simulation of ecophysiological processes of growth in several annual crops. Simulatin Monographs 29, Pudoc, Wageningen. pp. 271. Prastowo. K., Subowo, E. Santoso, Amir H dan T. Prihartini. 1996. Dekomposisi Jerami Padi dengan Menggunakan EM4. Pros 12. Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. B.P.P.P. Dep. Tan: 77-86 Rai C. 1995. Penetapan GR50 Herbisida Oksifluorfen (Goal 2E) pada Biji dari Seed Bank dengan Kedalaman Tanah Berbeda di Pertanaman Kedelai (Glycine max). Tesis Program Pascasarjana Unibraw. Malang. pp. 114 (unpublished). Rukmana. R dan Y. Yuniarsih. 1996. Kedelai Budidaya dan Pascapanen. Penerbit Kanisius. pp. 92.

169

Sastroutomo, S. S. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta. pp. 217. Sitompul, SM. Dan B. Guritno. 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Gajah Mada Univ. Press. Yogyakarta. pp. 412. Sudarsan. K dan J. S. Adiningsih. 1993. Potensi Lahan untuk Arahan Pengembangan Tanaman Kedelai di Prop. Bali. Risalah Sem. Komp. Tek. Budidaya Tan. Pangan di Prop. Bali. B. P. T. P.: 143 151. Sugito, Y. 1999. Ekologi tanaman. Fak. Pertanian Unibraw. Malang. pp. 127. Suhartina dan T. Adisarwanto. 1996. Manfaat Jerami Padi Pada Budidaya Kedelai di Lahan Sawah. Habitat 8 (97) : 41 44 Teasdale J.R. and C.M. Mohler. 1992. Weed Suppression by Residue from Vetch and Rye Cover Crops. Proc. 1st Intl. Weed Control Congress. p. 516 518 Teasdale J.R. and C.L. Mohler. 2000. The Physical Properties of Mulhes Contributing to Weed Suppression. Third International Weed Science Congress. Foz do Iguassu: 95-96. Tjitrosoedirdjo, S., Is Hidayat Utomo, dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta. pp 209

Anda mungkin juga menyukai