pemimpinnya melalui pemilihan umum. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani oqokputiu (demokratia) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata oo (dmos) "rakyat" dan kputo (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendeIinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak. Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-Ieodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut. Sejarah Demokrasi Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria
memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau muIakat. Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1,500 negara kota (5oleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka. Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM. Sistem demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan di Senat dan perwakilan dari rakyat biasa di Majelis. Bentuk-Bentuk Demokrasi Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan. Dalam sistem ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi. Sistem demokrasi langsung digunakan pada masa awal terbentuknya demokrasi di Athena dimana ketika terdapat suatu permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh rakyat berkumpul untuk membahasnya. Di era modern sistem ini menjadi tidak praktis karena umumnya populasi suatu negara cukup besar dan mengumpulkan seluruh rakyat dalam satu Iorum merupakan hal yang sulit. Selain itu, sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari rakyat sedangkan rakyat modern cenderung tidak memiliki waktu untuk mempelajari semua permasalahan politik negara. Demokrasi perwakilan Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.
Prinsip - Prinsip Demokrasi
Rakyat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial. Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah: 1. Kedaulatan rakyat; 2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; 3. Kekuasaan mayoritas; 4. Hak-hak minoritas; 5. Jaminan hak asasi manusia; 6. Pemilihan yang bebas dan jujur; 7. Persamaan di depan hukum; 8. Proses hukum yang wajar; 9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional; 10.Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik; 11.Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan muIakat. Asas Pokok Demokrasi Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu: 1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan 2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Ciri - Ciri Pemerintahan Demokratis
Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut: 1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan). 2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara). 3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang. 4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum 5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara. 6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan inIormasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah. 7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. 8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat. 9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
PEMILU DI INDONESIA Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatiI dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Se|arab Pemilihan umum diadakan pada saat tahun (1955, 1971, 1977-1997, 1999, 2004, 2009). Asas Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersiIat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri. Kemudian di era reIormasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu. Pemilihan umum anggota lembaga legislatif Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota lembaga legislatiI yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. Pemilu 1955 Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota- anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: O Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu, O Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pemilu 1971 Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah Iusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya. Pemilu 1977-1997
Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1982, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1987, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1992, dan Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1997 Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya. Pemilu 2004 Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah. Pemilu 2009 Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 (biasa disingkat Pemilu LegislatiI 2009 atau Pileg 2009) diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April, namun kemudian diundur |1| ). 38 partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam pemilu 2009. Partai Demokrat memenangkan suara terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu 2004. Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-JusuI Kalla. Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden. Pemilu 2009 Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad JusuI Kalla-Wiranto. Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim pemilu sejak 2007. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2005.
PEMILU DAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Pemilu di Amerika Serikat di akhir tahun 2008 merupakan pemilu yang spektakuler dan menyedot perhatian dunia. Bahkan hasil Pemilu yang dimenangkan oleh 'Barack Hussein Obama dianggap pemilu yang sangat demokratis dan mengesankan. Betapa tidak, seorang kulit hitam keturunan 'Kenya dan masa kecilnya pernah tinggal di Menteng Jakarta selama 5 (lima) tahun menjadi perhatian publik dunia. Negara Negara dibelahan dunia ikut merayakan kemenangan 'Barack Hussein Obama seorang presiden kulit hitam pertama dalam sepanjang sejarah di Amerika Serikat. Seolah menjadi inspirasi bagi Negara-negara dalam memilih pemimpin, termasuk di Indonesia, seorang tokoh politik yang cerdas, muda, energik dan seorang senator, telah menjadi pemimpin Negara super power. Pemilu di Amerika Serikat yang telah berjalan ratusan tahun tersebut menjadikan rakyatnya sudah pandai menjalankan Iungsi demokrasi dengan baik. Demokrasi secara substansial sudah dijalankan oleh Negara dan Rakyat Amerika melalui %
pemilu ke pemilu berikutnya, sehingga pelaksanaan pemilu di Negara Paman Sam itu bukan hanya mewujudkan demokrasi politik saja, melainkan sudah berkembang kearah demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi. Demokrasi sudah membentuk sistem nilai yang mengatur perilaku warga negaranya bagaimana menjalankan hak-hak politik warga negaranya.|1| Semasa musim pemilu di Amerika, di sela-sela kampanye para kandidat presiden saling berdebat seru dan bahkan saling 'mengejek. Namun ketika hasil pemilu diumumkan, justru yang 'kalah mendatangi kandidat yang menang, untuk mengucapkan selamat. Fenomena ini menunjukkan bahwa 'etika dan moral politik tetap harus dipatuhi oleh semua pihak. Ilustrasi tentang pemilu di Amerika Serikat seperti diuraikan diatas, terdapat beberapa aspek penting dan menarik untuk menjadi perhatian kita yaitu; pertama; bahwa antara pemilu dan demokrasi mempunyai korelasi yang signiIikan, kedua; pembentukan sistem nilai demokrasi sangat menentukan kualitas pemilu yang dijalankan, ketiga; etika dan moral politik warga negara menjadi ukuran atau standar apakah pemilu itu bersih, jujur atau ada kecurangan, keempat; nilai sportiIitas para kandidat benar-benar dijunjung tinggi, kelima; oleh karena Iigure kandidat menarik simpati dan memberikan harapan terhadap perubahan, maka rakyat dengan antusias rela berjam-jam antri memberikan suara pada pesta demokrasi tersebut. Pembahasan beberapa aspek diatas secara mendalam akan diuraikan pada bab tersendiri. Adapun mengenai hubungan strategis antara pemilu dengan demokrasi dalam konteks pelaksanaan pemilu di Indonesia juga menjadi topik yang dibahas secara mendalam. Seperti kita ketahui bersama bahwa perjalanan dan pengalaman pelaksanaan Pemilu dan Demokrasi di Indonesia baru berlangsung 6 (enam) dasawarsa. Sesungguhnya komitmen para Iounding Iathers terhadap penyelenggaraan Negara, yang telah menggunakan sistem demokrasi, patut menjadi tonggak sejarah bahwa sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah memegang prinsip-prinsip demokrasi. Meskipun pelaksanaan Pemilu di Indonesia baru terlaksana tahun 1955, yakni 10 (sepuluh) tahun kemudian setelah proklamasi tahun 1945. Pertimbangan ketidakstabilan politik, yang terjadi pada waktu itu menjadi alasan pokok belum memungkinkan diselenggarakan pemilu lebih cepat. Pada tahun 1955 tersebut Indonesia melaksanakan pemilihan umum yang pertama dengan diikuti oleh lebih dari 10 (sepuluh) partai politik. Dalam catatan sejarah, pemilu tahun 1955 sebagai pemilu yang paling demokratis karena disamping tidak ada korban jiwa juga berjalan dengan jujur, adil dan aman. Jika dibandingkan pemilu di era Orde Baru yang berjalan mulai tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997, sepanjang pelaksanaan pemilu tersebut, banyak peristiwa politik berdarah dan cukup mencekam bagi masyarakat Indonesia. Sejarah Pemilu di Era Orde Baru yang dilaksanakan sebanyak 6 (enam) kali tersebut yang sangat Ienomenal dalam pemilu Era Orde Baru tersebut, terpilih presiden yang sama yaitu; Jenderal Besar Mohammad Soeharto. Sedangkan di era reIormasi pemilu diselenggarakan tahun 1999 dan tahun 2004. Pada saat penggantian Rezim Orde Baru ke ReIormasi terjadi penggantian Presiden sebanyak 4 (empat) kali. Presiden B.J. Habibie sebagai presiden masa transisi tahun 1998 s/d 1999 dan Presiden Abdulrahman Wachid tahun 1999 s/d 2001 hasil pemilu tahun 1999. Oleh karena terjadinya peristiwa politik, timbulnya mosi tidak percaya dari rakyat, maka Presiden Abdulrahman Wachid diberhentikan dari jabatan presiden, melalui Sidang Istimewa MPR. Kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri tahun 2001 s/d 2004. Adapun pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama dalam sejarah politik di Indonesia yaitu memilih presiden secara langsung. Hasil pemilu tahun 2004 sebagai presiden terpilih secara demokratis adalah Susilo Bambang Yudhoyono dengan M. YusuI Kalla sebagai wakilnya. Mencermati perkembangan pemilu demi pemilu di Indonesia yang sudah dilaksanakan sebanyak 9 (sembilan) kali, seharusnya membuat masyarakat dan bangsa Indonesia semakin %
cerdas dalam menjalankan etika dan moral politik yang menjadi dasar dalam mengimplementasi Konsep Sistem Politik yang demokratis. Namun peristiwa politik berupa insiden kekerasan dan konIlik sosial masih mewarnai dalam pelaksanaan pemilu. Fenomena penting yang perlu dicermati perkembangan dalam pemilu terutama dalam pemilu gubernur dan bupati/walikota disamping sering timbul konIlik horizontal juga diwarnai money politik dan high cost. Padahal tujuan utama pemilu memberikan proses pendidikan politik warga negara dan pendemokrasian politik, sosial dan ekonomi. Namun ternyata hasilnya, menunjukan bahwa, partisipasi masyarakat terhadap pemilu masih rendah, berbagai daerah jumlah pemilih yang tidak melaksanakan hak pilihnya alias golput masih diatas 40 dan bahkan ada beberapa daerah mendekati angka 50. Pemimpin yang terpilih juga sebagian besar tidak mencerminkan aspirasi rakyat dengan indikasinya para kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) terpilih di samping tidak proIesional dan kompeten juga banyak yang terlibat dalam kasus hukum (korupsi). Barangkali pemilu yang terlalu sering dilaksanakan membuat masyarakat jenuh dan apatis. Apalagi hasil pemilu tidak kunjung memberikan peningkatan taraI hidup masyarakat dan bahkan kehidupan masyarakat semakin hari semakin mengalami kesulitan. Pemilu masih hanya sekedar menjalankan proses politik secara prosedural, hanya digunakan untuk pelegitimasian saja, belum secara substansial. Jadi pemilu masih menjadi permainan para elite politik saja, dan belum menyentuh kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Meskipun pemilu sudah berjalan selama 6 (enam) dasawarsa lebih selama usia Republik ini, kenyataannya belum bisa memberikan jaminan terselenggaranya stabilitas politik dan ekonomi, yang menopang terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sehingga menjadi pertanyaan besar apakah sistem pemilihannya yang salah atau para elite politik yang tidak istiqomah menjalankan kewajiban sebagai seorang negarawan, yang menduduki kursi sebagai pejabat publik. Dengan demikian bagaimana mendesain sistem pemilu yang bisa mendorong terwujudnya praktek demokrasi yang berkualitas. Demokrasi memang suatu konsep politik yang menjadi harapan semua pihak bahwa dengan terciptanya sistem demokrasi yang dipraktekkan suatu negara mampu memperbaiki keadaan ekonomi dan politik, seperti disebutkan diatas. Namun implementasi demokrasi di setiap negara hasilnya berbeda-beda. Seperti misalnya di India yang sudah ratusan tahun menerapkan demokrasi, tapi keadaan rakyatnya masih tetap miskin. Akan tetapi di Cina negara komunis yang sangat otoriter berhasil membangun ekonominya dengan spektakuler yaitu pertumbuhan ekonomi mencapai 9 di tengah krisis keuangan global yang melanda di hampir semua negara termasuk Indonesia yang terkena dampaknya. Sesungguhnya secara teoritis menurut JeII Haynes (1997) ada 3 (tiga) macam sebutan demokrasi yaitu : pertama; demokrasi Iormal (Iormal demoracy) dalam kehidupan demokrasi ini secara Iormal pemilu dijalankan dengan teratur, bebas dan adil. Tidak terjadi pemaksaan oleh negara terhadap masyarakatnya. Ada kebebasan yang cukup untuk menjamin dalam pemilihan umum. Namun demokrasi Iormal tersebut belum menghasilkan sebagaimana yang diinginkan masyarakat yaitu; kesejahteraan masyarakat yang didukung terwujudnya stabilitas ekonomi dan politik. Model demokrasi seperti ini kemungkinan bisa dianalogikan dengan situasi dan kondisi di era reIormasi saat ini yang tengah berlangsung. Kedua; demokrasi permukaan (Faade Democracy); yaitu demokrasi seperti yang tampak dari luarnya memang demokrasi, tetapi sesungguhnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Demokrasi model ini kemungkinan lebih tepat jika dianalogikan dengan situasi dan kondisi demokrasi pada masa Orde Baru. Ketiga; demokrasi substantiI (Substantive Democracy), demokrasi model ini memberikan ruang yang lebih luas bagi masyarakat, mungkin saja di luar mekanisme Iormal. Sehingga kebebasan yang dimiliki masyarakat mampu mendapatkan akses inIormasi yang akurat dalam pengambilan keputusan penting oleh negara atau pemerintah. Jadi demokrasi substantiI tersebut memberikan keleluasaan yang lebih dinamis
tidak hanya demokrasi politik saja seperti selama ini dirasakan, tapi juga demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi. Model demokrasi substantiI ini merupakan konsep yang menjamin terwujudnya perbaikan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Jika demokrasi substantiI bisa diwujudkan, barangkali dapat disebut sebagai demokrasi yang berkualitas. Karena implementasi demokrasi model ini mampu menyentuh kebutuhan masyarakat yang sangat mendasar yaitu nilai kebebasan yang memberikan akses di bidang ekonomi dan sosial, sehingga peningkatan taraI hidup masyarakat mampu bisa diwujudkan. Adapun sudut pandang kegunaan dan keuntungan dengan menjalankan prinsip demokrasi menjamin kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas. Seperti yang disampaikan oleh Robert A. Dahl (1999) bahwa; pertama; dengan demokrasi, pemerintahan dapat mencegah timbulnya otokrat yang kejam dan licik; kedua; menjamin tegaknya hak asasi bagi setiap warga negara; ketiga; memberikan jaminan terhadap kebebasan pribadi yang lebih luas; keempat; dengan demokrasi dapat membantu rakyat untuk melindungi kebutuhan dasarnya, kelima; Demokrasi juga memberikan jaminan kebebasan terhadap setiap individu warga negara untuk menentukan nasibnya sendiri; keenam; Demokrasi memberikan kesempatan menjalankan tanggung jawab moral; ketujuh; Demokrasi juga memberikan jaminan untuk membantu setiap individu warga negara untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki secara luas; kedelapan; Demokrasi juga menjunjung tinggi persamaan politik bagi setiap warga negara; kesembilan; Demokrasi juga mampu mencegah perang antara negara yang satu dengan yang lain; kesepuluh; Demokrasi juga mampu memberikan jaminan kemakmuran bagi masyarakatnya. Potret demokrasi seperti yang disebutkan diatas memerlukan perjuangan dan energi yang besar. Di samping itu perubahan paradigma yang juga diikuti oleh perubahan perilaku masyarakat dalam berdemokrasi merupakan suatu keniscayaan, jika bangsa ini ingin terbebas dari belenggu ketergantungan dari pihak manapun. Perubahan paradigma dan perilaku tersebut harus selalu sinergi dengan prinsip etika dan moral politik, budaya politik serta keteladanan para elite politik. Dengan demikian model demokrasi yang berkualitas seperti disebutkan diatas, akan terwujud jika sistem dengan menggunakan sistim distrik, atau sistim proporsional dengan menggunakan sistim daItar calon berdasarkan penentuan suara terbanyak. Sebab dengan sistem tersebut pertama; masyarakat akan lebih cenderung memilih Iigure dan tidak memilih simbol partai politik, kedua; sistem ini menjamin terpilihnya wakil yang berkualitas, ketiga; hubungan wakil dan rakyatnya lebih dekat, keempat; wakil rakyat lebih independent dan berorientasi pada konstituennya. Kapan sistem tersebut bisa diterapkan pada pelaksanaan pemilu di Indonesia ?
Gelapnya Demokrasi dalam Pemilu
Indonesia merupakan negara demokrasi, pasca Iase reIormasi tahun 1998 merupakan pintu gerbang untuk melakukan sebuah demokrasisasi di seluruh sector yang ada, dan terbentukan undang - undang yang mencerminkan demokrasi yaitu pemilihan langsung yang transparan, terbuka, jujur dan tanpa intervensi. Pendekatan untuk memulai Negara yang berdemokrasi dengan adanya pemilihan langsung presiden hingga gubernur dan Walikota/Bupati merupkan cerminan dimana tidak lagi memilih kucing di dalam karung. Dalam beberapa perjalanan sampai hari ini, terlihat eIek samping yang sangat negative terdapat ketidak tertibnya pelaksanaan pemilu dari pusat hingga daerah, banyak konIlik perpecahan golongan masyarakt baik juga permasalhan rasis dan ras ini, contoh saja beberapa
daerah yang mengalami permasalahan pilkada yaitu, propinsi Sulawesi selatan, propinsi Sulawesi tenggara, Kabupaten Toli - toil, Kota Surabaya, dan masih banyak lagi yang tidak tersebut, karena memang keterbatasn memory kita untuk mengingat permasalahn pemilihan langsung yang tidak teratur.
Aspek Sosial Kultur
Sejak lama saya memandang bahwa Negara yang berdaulat dan beraneka ragam merupakan ciri kas Indonesia dengan Negara kepulauan, dan juga beraneka ragam kultur, suku dan budaya serta agama, merupakan pondasi persatuan Indonesia yang dibangun oleh Iounding Iather kita dulu. Terjadinya moment pemilhan umum ini merupakan hal yang mencerminkan pecah belahnya masyarakat di daerah. Bahkan terjadi perubahan pesat kultur yang ada di masyarakat. Seperti mementingkan libido primodialismenya ketimbang nasionalisme untuk bangsa kita.
Aspek Kepemimpinan Nasional
aspek kepemimpinan sangatlah penting untuk di olah demi terciptanya kepemimpinan nasional yang baik, tidak memunaIikan masalah ruang kepemimpinan nasional, kepemimpinan daerah sumber dari kepemimpinan yang tidak tau permasalahan yang menasional, dampaknya orang - orang yang berada di daerah susah untuk berkerjasama dengan pusat begitu juga sebaliknya. contohnya saja, banyak tokoh nasional yang sudah lama berkarier di pusat dan mengikuti moment Pilkada didaerahnya sendiri menjadikan ketidak populisan di daerah karena tidak ada maniIestaso selama mereka di pusat, dan banyaknya tokoh daerah yang baru berpindah menjadi elit politk di pusat tetapi tidak tau aturan elegan dalam system perpolitikan nasional, juga image hari ini ketika menjadi Gubernur ataupun Walikota/Bupati layaknya seorang raja yang mempunyai daerah sendiri, ini dampak dari tidak teraturnya otonomi daerah. Sehingga saya pikir Indonesia akan mengalami degradasi kepemimpinan nasional. Aspek Keuangan Negara
Menurut data yang ada bahwa Pilkada yang berlangsung di berbagai daerah 2010 akan menelan biaya sekitar Rp 4,2 triliun dari anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah (pemda) untuk penyelenggaraan dan dana kampanye, yang ditanggung para kandidat kepala daerah. 'Belanja untuk pemilu kada 2010 perkiraan mencapai Rp4,2 triliun dari total 244 pemilu kada yang akan berlangsung tahun ini. (Bank Indonesia). Pertumbuhan ekonomi daerah selain didukung meningkatnya konsumsi rumah tangga dan pelaksanaan pemilu kada, juga didukung konsumsi pemda. Seharusnya aspek keuangan Negara merupakan prioritas utama dalam pembangunan bangsa, biarpun pilkada harga mahal untuk mencari kepemimpinan, tetapi esensinya kedepan tidak lain untuk memberikan yang terbaik untuk bangsa kita, bukan untuk melakukan pemborosan dan penghabisaan anggaran apalagi terjadi korupsi. Aspek Partai Politik
Partai politik merupakan alat pintu utama dalam menyangga demokratisasi Indonesia, tetapi pada kenyataannya partai politk tidak melaksanakan Iungsi seutuhnya yaitu ketidak jelasanya
system rekrutmen kepemimpin nasional atau proses pengkaderan, tidak memberikan pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Seharusnya partai politk memberikan sumbangsi yang jelas, tidak hanya memberikan tontonan dalam ruang kepentingan sendiri dan golongan. Investasi keberadaan partai politik di Indonesia dasar untuk memegang kekuasan negara dengan cara mengikuti agenda pemilihan umum mengusng kandidat kepemimpinan dari partai, yang sudah di atur dalam undang - undang, selayaknya partai politik bisa meberikan kontribusi yang signiIikan terhadap proses pembangunan bangsa Indonesia.
Indikator Demokrasi dalam Pemilu
Sejarah politik Indonesia menunjukkan, praktik demokrasi dalam arti yang sesungguhnya belum berumur panjang. Bahkan, pemilu pertama 1955 yang diklaim paling demokratis, karena ketidakdewasaan politisi sipil harus berakhir dengan Dekrit Juli 1959. Di bawah demokrasi terpimpin, prinsip-prinsip dasar demokrasi juga tidak berjalan hingga kekuasaan Soekarno berakhir tahun 1966. Ketika orba mulai berkuasa, demokrasi bersiIat artiIisial, karena dengan jargon ''pembangunan'' mensyaratkan stabilitas, sampai lengsernya Soeharto tahun 1998, dan kini Indonesia kembali memasuki demokrasi liberal. Dari aspek pergantian presiden (sebagian besar) menunjukkan sistem politik demokrasi, di mana pemilu menjadi sarana pergantian pimpinan nasional tidak berjalan normal. Tanpa bermaksud memaaIkan buruknya perIormance demokrasi yang tengah berlangsung, dalam perspektiI sejarah, masih perlu waktu untuk memperbaiki sistem politik dan mendewasakan kultur demokrasi. Ibaratnya, pemilu memberikan kesempatan demokrasi ''bernapas'' agar dapat bertahan hidup lebih lama. Keberhasilan pemilu menjadi penting terutama untuk meyakinkan sistem demokrasi lebih baik dibandingkan sistem politik lain, di tengah pesimisme masyarakat akan eIektivitas demokrasi saat ini. Bercermin dari hasil Pemilu 1999 yang belum banyak memenuhi harapan masyarakat, maka tiada pilihan lain, kecuali meningkatkan mutu persiapan dan pelaksanaan Pemilu 2004. Tujuan pemilu bukan sarana legitimasi belaka, lebih dari itu menghasilkan pemerintahan yang mampu mengatasi tuntutan objektiI masyarakat. Sebab itu, pemilu yang demokratis diharapkan menciptakan pemerintahan yang berwibawa, dan wakil rakyat yang responsiI atas tuntutan masyarakat. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa indikator demokrasi dalam pemilu. Indikator-indikator Pertama, sejauh mana pengangkatan wakil rakyat dan pemerintah ditentukan oleh pemilu dengan kompetisi terbuka? Kompetisi antarpartai tentu saja bukan sekadar mengarahkan massa ke gelanggang politik, tetapi juga mendekatkan pimpinan politik dengan rakyat. Penentuan calon legislatiI (caleg) dalam sistem proporsional daItar terbuka seperti saat ini, memang masih ditentukan mekanisme internal partai dengan sistem perekrutan yang beragam. Lain cerita kalau menggunakan sistem distrik. Perekrutan internal parpol
diharapkan makin mendekatkan caleg dengan rakyat yang diwakilinya. Makin terbuka proses perekrutan dalam tubuh partai, maka makin demokratis hasil pemilu, demikian pula sebaliknya. Artinya, rakyat mengetahui dengan kualiIikasi seperti apa caleg tersebut ditentukan. Sementara dalam pemilihan paket calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), makin terbuka program-program yang disampaikan kepada masyarakat makin demokratis pemilu tersebut. Secara etis, pemerintah berkuasa akan mengatasnamakan rakyat maka sudah sepatutnya program yang dikampanyekan oleh capres dan cawapres diketahui dengan baik oleh masyarakat. Belajar dari Pemilu 1999, populasi pemilih pemilu nanti diperkirakan lebih rasional, sehingga capres dan cawapres dituntut menyusun program kampanye yang menyentuh kepentingan orang banyak sekaligus realistis. Sebab, bila capres terpilih tidak berhasil merealisasikan programnya, rakyat tidak akan memilihnya kembali pada pemilu mendatang. Sayangnya, pemilu nanti tidak memberikan peluang bagi munculnya capres dan cawapres alternatiI, seolah-olah capres dan cawapres yang disodorkan partai sudah mencerminkan keinginan rakyat. Kedua, bagaimana independensi pemerintah, birokrasi dan partai politik dalam keseluruhan rangkaian pemilu, serta seberapa bebas dari intimidasi dan penyuapan dalam proses pemilihan tersebut? Dibanding Pemilu 1999, independensi KPU Pemilu 2004 merupakan satu pertanda baik, walau di beberapa daerah masih terdapat kendala proIesionalisme. Pengawasan dari panitia pengawas pemilu (panwaslu) dan masyarakat diperlukan dalam menemukan penyalahgunaan Iasilitas jabatan oleh pejabat publik, termasuk dukungan birokrasi dari pusat hingga daerah. Di samping itu, pengawasan diperlukan untuk melihat sejauh mana tingkat intimidasi dan praktik penyuapan, baik antarparpol maupun kepada para pemilih, selama rangkaian pemilu. Masalah intimidasi indentik dengan kekerasan. Sebab itu, selain pengaturan jadwal kampanye berusaha memperkecil benturan antarpendukung parpol, partai juga dituntut bertanggung jawab mengendalikan massanya agar kampanye berlangsung tertib. Kemampuan melaksanakan kampanye dengan tertib juga berdampak positiI bagi partai karena menjadi ukuran meningkatnya kedewasaan berdemokrasi. Ketiga, seberapa eIektiI inIormasi yang disediakan oleh panitia pemilihan dan sistem kepartaian kepada para pemilih? Makin intensiI inIormasi yang diperoleh para pemilih dari KPU terkait dengan masalah pemilihan maka pemilu makin demokratis. Demikian pula derajat sosialisasi dari partai politik kepada para pemilih berkenaan dengan caleg dan program serta paket capres dan wapres. InIormasi tentang caleg diperlukan agar para pemilih mengetahui apa, siapa dan dari partai mana yang akan memperjuangkan kepentingan mereka. Sebaliknya caleg dan parpol dapat menyerap aspirasi masyarakat yang akan diwakilinya kelak. Demikian pula sosialiasi program oleh capres penting diketahui secara baik oleh pemilih karena, kebijakan-kebijakan pemerintah tidak lagi berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Nengara (GBHN), justru program yang dikampayekan capres dalam pemilu itulah menjadi program pemerintah jika paket calon presiden dan wapres berhasil memenangkan pemilihan presiden. Kendalanya, penduduk di daerah-daerah terpencil minim memperoleh inIormasi baik tentang caleg maupun program capres karena terbatasnya jangkauan media, dibandingkan penduduk daerah perkotaan. Padahal menurut Huntington (1968), kekuatan politik yang mampu meraih dukungan luas dari kaum pedesaan akan memperoleh kestabilan politik secara nasional.
Keempat, apakah terdapat akses yang sama bagi semua partai dan kandidat kepada media massa atau saluran komunikasi lainnya, dan sejauhmana perimbangan berita oleh media kepada partai dan kandidat yang berbeda-beda itu? Ketimpangan akses partai politik dan kandidat terhadap media massa akan menyulitkan partai untuk mensosialisasikan atribut, gagasan serta aktivitas politik mereka. Hal ini menuntut kemampuan partai untuk berhubungan dengan media massa. Di sisi lain, media massa juga dituntut berimbang dalam pemberitaan terhadap partai dan kandidat yang berbeda-beda. Makin berimbang pemberitaan media terhadap semua kontestan maka pemilu makin demokratis, demikian sebaliknya. Masalahnya, masing-masing media mempunyai perspektiI bahkan aIiliasi politik tertentu, maka media massa pun dituntut bersikap proporsional. Bila tidak ada pengaturan mengenai hal ini, maka media massa kemungkinan besar akan didominasi partai dan kandidat yang berkantong tebal dalam bentuk intensitas pemasangan iklan dan ini membuat kompetisi berlangsung tidak seimbang. Kelima, seberapa besar proporsi dari pemilih yang berhak memilih benar-benar menggunakan hak pilihnya? Tinggi rendahnya proporsi pemilih menggunakan hak pilihnya dari seluruh jumlah pemilih, mencerminkan tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilu. Makin besar jumlah pemilih menggunakan hak pilihnya, menunjukkkan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan sekaligus menjadi indikasi meningkatnya demokrasi. Sebaliknya, makin tinggi jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput akan menurunkan tingkat demokrasi, meski demikian pemilu tetap saja sah. Dalam konteks ini, disbanding pemilu-pemilu sebelumnya gerakan golput disamping melanggar undang-undang menjadi kurang eIektiI. Lebih realistis melakukan pendidikan politik agar masyarakat tidak memilih politisi "bermasalah". Aspek terakhir yang perlu diperhatikan, sejauhmana penegakan hukum terhadap para pelanggar ketentuan pemilu. Penegakan hukum merupakan pendukung (complement) dalam membangun sistem demokrasi, termasuk dalam rangkaian pemilu. Catatan panwaslu tahun 1999 menunjukkan kasus pelanggaran mencapai 4.290 kasus dan tak satupun diproses pengadilan. Penemuan beberapa kasus oleh panwaslu beberapa waktu yang lalu di berbagai daerah dan diantaranya ada yang telah diproses pengadilan patut disambut positiI, tinggal bagaimana keputusan peradilan. Tapi jika pemilu gagal, tanpa disuruh militer pasti sudah siap.