Anda di halaman 1dari 14

DEMUKRASI

Bemokiasi memungkinkan iakyat menentukan


pemimpinnya melalui pemilihan umum.
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya
berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan
(demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani oqokputiu (demokratia)
"kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata oo (dmos) "rakyat" dan kputo (Kratos)
"kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4
SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun
508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk
pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan
orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendeIinisikan
demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti
kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak,
kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui
demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat
umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem
demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan
otoriter lainnya dapat dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat,
namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat
mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan
penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu.
Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang
berwatak anti-Ieodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat
sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang
kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang
bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan. Masalah
keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri
jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan
untuk mencapai hal tersebut.
Sejarah Demokrasi
Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari
demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria


memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat
seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil
berdasarkan konsensus atau muIakat.
Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang
merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1,500 negara kota
(5oleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang
berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat
Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu
demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang
penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi
dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi
baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena.
Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang
mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari
sekitar 150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan
menyuarakan pendapat mereka.
Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM. Sistem
demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan
dari bangsawan di Senat dan perwakilan dari rakyat biasa di Majelis.
Bentuk-Bentuk Demokrasi
Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi
perwakilan.
Demokrasi langsung
Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat
memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan. Dalam sistem
ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga
mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi. Sistem
demokrasi langsung digunakan pada masa awal terbentuknya demokrasi di Athena
dimana ketika terdapat suatu permasalahan yang harus diselesaikan, seluruh rakyat
berkumpul untuk membahasnya. Di era modern sistem ini menjadi tidak praktis
karena umumnya populasi suatu negara cukup besar dan mengumpulkan seluruh
rakyat dalam satu Iorum merupakan hal yang sulit. Selain itu, sistem ini menuntut
partisipasi yang tinggi dari rakyat sedangkan rakyat modern cenderung tidak memiliki
waktu untuk mempelajari semua permasalahan politik negara.
Demokrasi perwakilan
Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan
umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.





Prinsip - Prinsip Demokrasi


Rakyat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dalam
kebijakan politik dan sosial.
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau
dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya,
prinsip-prinsip demokrasi adalah:
1. Kedaulatan rakyat;
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3. Kekuasaan mayoritas;
4. Hak-hak minoritas;
5. Jaminan hak asasi manusia;
6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
7. Persamaan di depan hukum;
8. Proses hukum yang wajar;
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
10.Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
11.Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan muIakat.
Asas Pokok Demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat
manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan
sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:
1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil
rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia
serta jujur dan adil; dan
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah
untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.









Ciri - Ciri Pemerintahan Demokratis

Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi
yang baik
Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh
hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai
berikut:
1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik
langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat
(warga negara).
3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat
penegakan hukum
5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan inIormasi dan
mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat.
8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih)
pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan
sebagainya).










PEMILU DI INDONESIA
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota
lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah
amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres),
yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga
pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan
pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai
bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk
kepada pemilu legislatiI dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap 5
tahun sekali.
Se|arab
Pemilihan umum diadakan pada saat tahun (1955, 1971, 1977-1997, 1999, 2004, 2009).
Asas
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari
"Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru.
Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh
diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah
memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya
tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh
pemilih bersiIat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reIormasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari
"Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan
sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat
memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk
menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap
peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta
atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun
peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Pemilihan umum anggota lembaga legislatif
Sepanjang sejarah Indonesia, telah diselenggarakan 10 kali pemilu anggota lembaga legislatiI
yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009.
Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-
anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan
dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali
Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan
telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.


Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
O Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik
dan individu,
O Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama,
Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pemilu 1971
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971.
Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1
organisasi masyarakat.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai
Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golkar, diadakanlah Iusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai
politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu
Golongan Karya.
Pemilu 1977-1997

Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1982, Pemilihan Umum Anggota DPR
dan DPRD Indonesia 1987, Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1992, dan
Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPRD Indonesia 1997
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu
ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun
1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya.
Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.
Pemilu 2004
Pada Pemilu 2004, selain memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, rakyat juga dapat memilih anggota DPD, suatu lembaga perwakilan baru
yang ditujukan untuk mewakili kepentingan daerah.
Pemilu 2009
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 (biasa disingkat Pemilu LegislatiI 2009 atau Pileg
2009) diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132


anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014.
Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada
tanggal 9 April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April, namun kemudian
diundur
|1|
).
38 partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam pemilu 2009. Partai Demokrat
memenangkan suara terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P).
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) pertama kali diadakan dalam Pemilu
2004. Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih langsung
presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang
Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon
yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50. Putaran kedua digunakan untuk memilih
presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya
dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-JusuI Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum
pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian
kekuasaan ini adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai
presiden.
Pemilu 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-
Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara
60,80, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad
JusuI Kalla-Wiranto.
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) menjadi bagian dari rezim
pemilu sejak 2007. Pilkada pertama di Indonesia adalah Pilkada Kabupaten Kutai
Kartanegara pada 1 Juni 2005.


PEMILU DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Pemilu di Amerika Serikat di akhir tahun 2008 merupakan pemilu yang spektakuler dan
menyedot perhatian dunia. Bahkan hasil Pemilu yang dimenangkan oleh 'Barack Hussein
Obama dianggap pemilu yang sangat demokratis dan mengesankan. Betapa tidak, seorang
kulit hitam keturunan 'Kenya dan masa kecilnya pernah tinggal di Menteng Jakarta selama
5 (lima) tahun
menjadi perhatian publik dunia. Negara Negara dibelahan dunia ikut merayakan
kemenangan 'Barack Hussein Obama seorang presiden kulit hitam pertama dalam
sepanjang sejarah di Amerika Serikat. Seolah menjadi inspirasi bagi Negara-negara dalam
memilih pemimpin, termasuk di Indonesia, seorang tokoh politik yang cerdas, muda, energik
dan seorang senator, telah menjadi pemimpin Negara super power. Pemilu di Amerika
Serikat yang telah berjalan ratusan tahun tersebut menjadikan rakyatnya sudah pandai
menjalankan Iungsi demokrasi dengan baik.
Demokrasi secara substansial sudah dijalankan oleh Negara dan Rakyat Amerika melalui
%

pemilu ke pemilu berikutnya, sehingga pelaksanaan pemilu di Negara Paman Sam itu bukan
hanya mewujudkan demokrasi politik saja, melainkan sudah berkembang kearah demokrasi
sosial dan demokrasi ekonomi. Demokrasi sudah membentuk sistem nilai yang mengatur
perilaku warga negaranya bagaimana menjalankan hak-hak politik warga
negaranya.|1|
Semasa musim pemilu di Amerika, di sela-sela kampanye para kandidat presiden saling
berdebat seru dan bahkan saling 'mengejek. Namun ketika hasil pemilu diumumkan, justru
yang 'kalah mendatangi kandidat yang menang, untuk mengucapkan selamat. Fenomena ini
menunjukkan bahwa 'etika dan moral politik tetap harus dipatuhi oleh semua pihak.
Ilustrasi tentang pemilu di Amerika Serikat seperti diuraikan diatas, terdapat beberapa aspek
penting dan menarik untuk menjadi perhatian kita yaitu; pertama; bahwa antara pemilu dan
demokrasi mempunyai korelasi yang signiIikan, kedua; pembentukan sistem nilai demokrasi
sangat menentukan kualitas pemilu yang dijalankan, ketiga; etika dan moral politik warga
negara menjadi ukuran atau standar apakah pemilu itu bersih, jujur atau ada kecurangan,
keempat; nilai sportiIitas para kandidat benar-benar dijunjung tinggi, kelima; oleh karena
Iigure kandidat menarik simpati dan memberikan harapan terhadap perubahan, maka rakyat
dengan antusias rela berjam-jam antri memberikan suara pada pesta demokrasi
tersebut.
Pembahasan beberapa aspek diatas secara mendalam akan diuraikan pada bab tersendiri.
Adapun mengenai hubungan strategis antara pemilu dengan demokrasi dalam konteks
pelaksanaan pemilu di Indonesia juga menjadi topik yang dibahas secara mendalam. Seperti
kita ketahui bersama bahwa perjalanan dan pengalaman pelaksanaan Pemilu dan Demokrasi
di Indonesia baru berlangsung 6 (enam) dasawarsa. Sesungguhnya komitmen para Iounding
Iathers terhadap penyelenggaraan Negara, yang telah menggunakan sistem demokrasi, patut
menjadi tonggak sejarah bahwa sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
telah memegang prinsip-prinsip demokrasi. Meskipun pelaksanaan Pemilu di Indonesia baru
terlaksana tahun 1955, yakni 10 (sepuluh) tahun kemudian setelah proklamasi tahun 1945.
Pertimbangan ketidakstabilan politik, yang terjadi pada waktu itu menjadi alasan pokok
belum memungkinkan diselenggarakan pemilu lebih cepat. Pada tahun 1955 tersebut
Indonesia melaksanakan pemilihan umum yang pertama dengan diikuti oleh lebih dari 10
(sepuluh) partai politik. Dalam catatan sejarah, pemilu tahun 1955 sebagai pemilu yang
paling demokratis karena disamping tidak ada korban jiwa juga berjalan dengan jujur, adil
dan aman. Jika dibandingkan pemilu di era Orde Baru yang berjalan mulai tahun 1971, 1977,
1982, 1987, 1992 dan 1997, sepanjang pelaksanaan pemilu tersebut, banyak peristiwa politik
berdarah dan cukup mencekam bagi masyarakat Indonesia.
Sejarah Pemilu di Era Orde Baru yang dilaksanakan sebanyak 6 (enam) kali tersebut yang
sangat Ienomenal dalam pemilu Era Orde Baru tersebut, terpilih presiden yang sama yaitu;
Jenderal Besar Mohammad Soeharto. Sedangkan di era reIormasi pemilu diselenggarakan
tahun 1999 dan tahun 2004. Pada saat penggantian Rezim Orde Baru ke ReIormasi terjadi
penggantian Presiden sebanyak 4 (empat) kali. Presiden B.J. Habibie sebagai presiden masa
transisi tahun 1998 s/d 1999 dan Presiden Abdulrahman Wachid tahun 1999 s/d 2001 hasil
pemilu tahun 1999. Oleh karena terjadinya peristiwa politik, timbulnya mosi tidak percaya
dari rakyat, maka Presiden Abdulrahman Wachid diberhentikan dari jabatan presiden, melalui
Sidang Istimewa MPR. Kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri tahun
2001 s/d 2004. Adapun pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama dalam sejarah politik
di Indonesia yaitu memilih presiden secara langsung. Hasil pemilu tahun 2004 sebagai
presiden terpilih secara demokratis adalah Susilo Bambang Yudhoyono dengan M. YusuI
Kalla sebagai wakilnya.
Mencermati perkembangan pemilu demi pemilu di Indonesia yang sudah dilaksanakan
sebanyak 9 (sembilan) kali, seharusnya membuat masyarakat dan bangsa Indonesia semakin
%

cerdas dalam menjalankan etika dan moral politik yang menjadi dasar dalam
mengimplementasi Konsep Sistem Politik yang demokratis. Namun peristiwa politik berupa
insiden kekerasan dan konIlik sosial masih mewarnai dalam pelaksanaan pemilu. Fenomena
penting yang perlu dicermati perkembangan dalam pemilu terutama dalam pemilu
gubernur dan bupati/walikota disamping sering timbul konIlik horizontal juga diwarnai
money politik dan high cost. Padahal tujuan utama pemilu memberikan proses pendidikan
politik warga negara dan pendemokrasian politik, sosial dan ekonomi. Namun ternyata
hasilnya, menunjukan bahwa, partisipasi masyarakat terhadap pemilu masih rendah, berbagai
daerah jumlah pemilih yang tidak melaksanakan hak pilihnya alias golput masih diatas 40
dan bahkan ada beberapa daerah mendekati angka 50. Pemimpin yang terpilih juga
sebagian besar tidak mencerminkan aspirasi rakyat dengan indikasinya para kepala daerah
(Gubernur, Bupati/Walikota) terpilih di samping tidak proIesional dan kompeten juga banyak
yang terlibat dalam kasus hukum (korupsi).
Barangkali pemilu yang terlalu sering dilaksanakan membuat masyarakat jenuh dan apatis.
Apalagi hasil pemilu tidak kunjung memberikan peningkatan taraI hidup masyarakat dan
bahkan kehidupan masyarakat semakin hari semakin mengalami kesulitan. Pemilu masih
hanya sekedar menjalankan proses politik secara prosedural, hanya digunakan untuk
pelegitimasian saja, belum secara substansial. Jadi pemilu masih menjadi permainan para
elite politik saja, dan belum menyentuh kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.
Meskipun pemilu sudah berjalan selama 6 (enam) dasawarsa lebih selama usia Republik ini,
kenyataannya belum bisa memberikan jaminan terselenggaranya stabilitas politik dan
ekonomi, yang menopang terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sehingga menjadi
pertanyaan besar apakah sistem pemilihannya yang salah atau para elite politik yang tidak
istiqomah menjalankan kewajiban sebagai seorang negarawan, yang menduduki kursi sebagai
pejabat publik.
Dengan demikian bagaimana mendesain sistem pemilu yang bisa mendorong terwujudnya
praktek demokrasi yang berkualitas. Demokrasi memang suatu konsep politik yang menjadi
harapan semua pihak bahwa dengan terciptanya sistem demokrasi yang dipraktekkan suatu
negara mampu memperbaiki keadaan ekonomi dan politik, seperti disebutkan diatas. Namun
implementasi demokrasi di setiap negara hasilnya berbeda-beda. Seperti misalnya di India
yang sudah ratusan tahun menerapkan demokrasi, tapi keadaan rakyatnya masih tetap miskin.
Akan tetapi di Cina negara komunis yang sangat otoriter berhasil membangun ekonominya
dengan spektakuler yaitu pertumbuhan ekonomi mencapai 9 di tengah krisis keuangan
global yang melanda di hampir semua negara termasuk Indonesia yang terkena dampaknya.
Sesungguhnya secara teoritis menurut JeII Haynes (1997) ada 3 (tiga) macam sebutan
demokrasi yaitu : pertama; demokrasi Iormal (Iormal demoracy) dalam kehidupan demokrasi
ini secara Iormal pemilu dijalankan dengan teratur, bebas dan adil. Tidak terjadi pemaksaan
oleh negara terhadap masyarakatnya. Ada kebebasan yang cukup untuk menjamin dalam
pemilihan umum. Namun demokrasi Iormal tersebut belum menghasilkan sebagaimana yang
diinginkan masyarakat yaitu; kesejahteraan masyarakat yang didukung terwujudnya stabilitas
ekonomi dan politik. Model demokrasi seperti ini kemungkinan bisa dianalogikan dengan
situasi dan kondisi di era reIormasi saat ini yang tengah berlangsung. Kedua; demokrasi
permukaan (Faade Democracy); yaitu demokrasi seperti yang tampak dari luarnya memang
demokrasi, tetapi sesungguhnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Demokrasi
model ini kemungkinan lebih tepat jika dianalogikan dengan situasi dan kondisi demokrasi
pada masa Orde Baru. Ketiga; demokrasi substantiI (Substantive Democracy), demokrasi
model ini memberikan ruang yang lebih luas bagi masyarakat, mungkin saja di luar
mekanisme Iormal. Sehingga kebebasan yang dimiliki masyarakat mampu mendapatkan
akses inIormasi yang akurat dalam pengambilan keputusan penting oleh negara atau
pemerintah. Jadi demokrasi substantiI tersebut memberikan keleluasaan yang lebih dinamis


tidak hanya demokrasi politik saja seperti selama ini dirasakan, tapi juga demokrasi sosial
dan demokrasi ekonomi.
Model demokrasi substantiI ini merupakan konsep yang menjamin terwujudnya perbaikan
kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Jika demokrasi substantiI bisa diwujudkan,
barangkali dapat disebut sebagai demokrasi yang berkualitas. Karena implementasi
demokrasi model ini mampu menyentuh kebutuhan masyarakat yang sangat mendasar yaitu
nilai kebebasan yang memberikan akses di bidang ekonomi dan sosial, sehingga peningkatan
taraI hidup masyarakat mampu bisa diwujudkan.
Adapun sudut pandang kegunaan dan keuntungan dengan menjalankan prinsip demokrasi
menjamin kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas. Seperti yang disampaikan oleh
Robert A. Dahl (1999) bahwa; pertama; dengan demokrasi, pemerintahan dapat mencegah
timbulnya otokrat yang kejam dan licik; kedua; menjamin tegaknya hak asasi bagi setiap
warga negara; ketiga; memberikan jaminan terhadap kebebasan pribadi yang lebih luas;
keempat; dengan demokrasi dapat membantu rakyat untuk melindungi kebutuhan dasarnya,
kelima; Demokrasi juga memberikan jaminan kebebasan terhadap setiap individu warga
negara untuk menentukan nasibnya sendiri; keenam; Demokrasi memberikan kesempatan
menjalankan tanggung jawab moral; ketujuh; Demokrasi juga memberikan jaminan untuk
membantu setiap individu warga negara untuk berkembang sesuai dengan potensi yang
dimiliki secara luas; kedelapan; Demokrasi juga menjunjung tinggi persamaan politik bagi
setiap warga negara; kesembilan; Demokrasi juga mampu mencegah perang antara negara
yang satu dengan yang lain; kesepuluh; Demokrasi juga mampu memberikan jaminan
kemakmuran bagi masyarakatnya.
Potret demokrasi seperti yang disebutkan diatas memerlukan perjuangan dan energi yang
besar. Di samping itu perubahan paradigma yang juga diikuti oleh perubahan perilaku
masyarakat dalam berdemokrasi merupakan suatu keniscayaan, jika bangsa ini ingin terbebas
dari belenggu ketergantungan dari pihak manapun. Perubahan paradigma dan perilaku
tersebut harus selalu sinergi dengan prinsip etika dan moral politik, budaya politik serta
keteladanan para elite politik. Dengan demikian model demokrasi yang berkualitas seperti
disebutkan diatas, akan terwujud jika sistem dengan menggunakan sistim distrik, atau sistim
proporsional dengan menggunakan sistim daItar calon berdasarkan penentuan suara
terbanyak. Sebab dengan sistem tersebut pertama; masyarakat akan lebih cenderung memilih
Iigure dan tidak memilih simbol partai politik, kedua; sistem ini menjamin terpilihnya wakil
yang berkualitas, ketiga; hubungan wakil dan rakyatnya lebih dekat, keempat; wakil rakyat
lebih independent dan berorientasi pada konstituennya. Kapan sistem tersebut bisa diterapkan
pada pelaksanaan pemilu di Indonesia ?



Gelapnya Demokrasi dalam Pemilu

Indonesia merupakan negara demokrasi, pasca Iase reIormasi tahun 1998 merupakan pintu
gerbang untuk melakukan sebuah demokrasisasi di seluruh sector yang ada, dan terbentukan
undang - undang yang mencerminkan demokrasi yaitu pemilihan langsung yang transparan,
terbuka, jujur dan tanpa intervensi. Pendekatan untuk memulai Negara yang berdemokrasi
dengan adanya pemilihan langsung presiden hingga gubernur dan Walikota/Bupati merupkan
cerminan dimana tidak lagi memilih kucing di dalam karung.
Dalam beberapa perjalanan sampai hari ini, terlihat eIek samping yang sangat negative
terdapat ketidak tertibnya pelaksanaan pemilu dari pusat hingga daerah, banyak konIlik
perpecahan golongan masyarakt baik juga permasalhan rasis dan ras ini, contoh saja beberapa


daerah yang mengalami permasalahan pilkada yaitu, propinsi Sulawesi selatan, propinsi
Sulawesi tenggara, Kabupaten Toli - toil, Kota Surabaya, dan masih banyak lagi yang tidak
tersebut, karena memang keterbatasn memory kita untuk mengingat permasalahn pemilihan
langsung yang tidak teratur.

Aspek Sosial Kultur

Sejak lama saya memandang bahwa Negara yang berdaulat dan beraneka ragam merupakan
ciri kas Indonesia dengan Negara kepulauan, dan juga beraneka ragam kultur, suku dan
budaya serta agama, merupakan pondasi persatuan Indonesia yang dibangun oleh Iounding
Iather kita dulu. Terjadinya moment pemilhan umum ini merupakan hal yang mencerminkan
pecah belahnya masyarakat di daerah. Bahkan terjadi perubahan pesat kultur yang ada di
masyarakat. Seperti mementingkan libido primodialismenya ketimbang nasionalisme untuk
bangsa kita.

Aspek Kepemimpinan Nasional

aspek kepemimpinan sangatlah penting untuk di olah demi terciptanya kepemimpinan
nasional yang baik, tidak memunaIikan masalah ruang kepemimpinan nasional,
kepemimpinan daerah sumber dari kepemimpinan yang tidak tau permasalahan yang
menasional, dampaknya orang - orang yang berada di daerah susah untuk berkerjasama
dengan pusat begitu juga sebaliknya. contohnya saja, banyak tokoh nasional yang sudah lama
berkarier di pusat dan mengikuti moment Pilkada didaerahnya sendiri menjadikan ketidak
populisan di daerah karena tidak ada maniIestaso selama mereka di pusat, dan banyaknya
tokoh daerah yang baru berpindah menjadi elit politk di pusat tetapi tidak tau aturan elegan
dalam system perpolitikan nasional, juga image hari ini ketika menjadi Gubernur ataupun
Walikota/Bupati layaknya seorang raja yang mempunyai daerah sendiri, ini dampak dari
tidak teraturnya otonomi daerah. Sehingga saya pikir Indonesia akan mengalami degradasi
kepemimpinan nasional.
Aspek Keuangan Negara

Menurut data yang ada bahwa Pilkada yang berlangsung di berbagai daerah 2010 akan
menelan biaya sekitar Rp 4,2 triliun dari anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah
(pemda) untuk penyelenggaraan dan dana kampanye, yang ditanggung para kandidat kepala
daerah. 'Belanja untuk pemilu kada 2010 perkiraan mencapai Rp4,2 triliun dari total 244
pemilu kada yang akan berlangsung tahun ini. (Bank Indonesia). Pertumbuhan ekonomi
daerah selain didukung meningkatnya konsumsi rumah tangga dan pelaksanaan pemilu kada,
juga didukung konsumsi pemda. Seharusnya aspek keuangan Negara merupakan prioritas
utama dalam pembangunan bangsa, biarpun pilkada harga mahal untuk mencari
kepemimpinan, tetapi esensinya kedepan tidak lain untuk memberikan yang terbaik untuk
bangsa kita, bukan untuk melakukan pemborosan dan penghabisaan anggaran apalagi terjadi
korupsi.
Aspek Partai Politik

Partai politik merupakan alat pintu utama dalam menyangga demokratisasi Indonesia, tetapi
pada kenyataannya partai politk tidak melaksanakan Iungsi seutuhnya yaitu ketidak jelasanya


system rekrutmen kepemimpin nasional atau proses pengkaderan, tidak memberikan
pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Seharusnya partai politk memberikan
sumbangsi yang jelas, tidak hanya memberikan tontonan dalam ruang kepentingan sendiri
dan golongan. Investasi keberadaan partai politik di Indonesia dasar untuk memegang
kekuasan negara dengan cara mengikuti agenda pemilihan umum mengusng kandidat
kepemimpinan dari partai, yang sudah di atur dalam undang - undang, selayaknya partai
politik bisa meberikan kontribusi yang signiIikan terhadap proses pembangunan bangsa
Indonesia.

Indikator Demokrasi dalam Pemilu

Sejarah politik Indonesia menunjukkan, praktik demokrasi dalam arti yang
sesungguhnya belum berumur panjang. Bahkan, pemilu pertama 1955 yang diklaim paling
demokratis, karena ketidakdewasaan politisi sipil harus berakhir dengan Dekrit Juli 1959. Di
bawah demokrasi terpimpin, prinsip-prinsip dasar demokrasi juga tidak berjalan hingga
kekuasaan Soekarno berakhir tahun 1966. Ketika orba mulai berkuasa, demokrasi bersiIat
artiIisial, karena dengan jargon ''pembangunan'' mensyaratkan stabilitas, sampai lengsernya
Soeharto tahun 1998, dan kini Indonesia kembali memasuki demokrasi liberal.
Dari aspek pergantian presiden (sebagian besar) menunjukkan sistem politik
demokrasi, di mana pemilu menjadi sarana pergantian pimpinan nasional tidak berjalan
normal. Tanpa bermaksud memaaIkan buruknya perIormance demokrasi yang tengah
berlangsung, dalam perspektiI sejarah, masih perlu waktu untuk memperbaiki sistem politik
dan mendewasakan kultur demokrasi. Ibaratnya, pemilu memberikan kesempatan demokrasi
''bernapas'' agar dapat bertahan hidup lebih lama.
Keberhasilan pemilu menjadi penting terutama untuk meyakinkan sistem demokrasi lebih
baik dibandingkan sistem politik lain, di tengah pesimisme masyarakat akan eIektivitas
demokrasi saat ini.
Bercermin dari hasil Pemilu 1999 yang belum banyak memenuhi harapan masyarakat, maka
tiada pilihan lain, kecuali meningkatkan mutu persiapan dan pelaksanaan Pemilu 2004.
Tujuan pemilu bukan sarana legitimasi belaka, lebih dari itu menghasilkan pemerintahan
yang mampu mengatasi tuntutan objektiI masyarakat. Sebab itu, pemilu yang demokratis
diharapkan menciptakan pemerintahan yang berwibawa, dan wakil rakyat yang responsiI atas
tuntutan masyarakat. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa indikator demokrasi dalam
pemilu.
Indikator-indikator
Pertama, sejauh mana pengangkatan wakil rakyat dan pemerintah ditentukan oleh pemilu
dengan kompetisi terbuka? Kompetisi antarpartai tentu saja bukan sekadar mengarahkan
massa ke gelanggang politik, tetapi juga mendekatkan pimpinan politik dengan rakyat.
Penentuan calon legislatiI (caleg) dalam sistem proporsional daItar terbuka seperti saat ini,
memang masih ditentukan mekanisme internal partai dengan sistem perekrutan yang
beragam. Lain cerita kalau menggunakan sistem distrik. Perekrutan internal parpol


diharapkan makin mendekatkan caleg dengan rakyat yang diwakilinya. Makin terbuka proses
perekrutan dalam tubuh partai, maka makin demokratis hasil pemilu, demikian pula
sebaliknya. Artinya, rakyat mengetahui dengan kualiIikasi seperti apa caleg tersebut
ditentukan.
Sementara dalam pemilihan paket calon presiden (capres) dan calon wakil presiden
(cawapres), makin terbuka program-program yang disampaikan kepada masyarakat makin
demokratis pemilu tersebut. Secara etis, pemerintah berkuasa akan mengatasnamakan rakyat
maka sudah sepatutnya program yang dikampanyekan oleh capres dan cawapres diketahui
dengan baik oleh masyarakat. Belajar dari Pemilu 1999, populasi pemilih pemilu nanti
diperkirakan lebih rasional, sehingga capres dan cawapres dituntut menyusun program
kampanye yang menyentuh kepentingan orang banyak sekaligus realistis. Sebab, bila capres
terpilih tidak berhasil merealisasikan programnya, rakyat tidak akan memilihnya kembali
pada pemilu mendatang. Sayangnya, pemilu nanti tidak memberikan peluang bagi munculnya
capres dan cawapres alternatiI, seolah-olah capres dan cawapres yang disodorkan partai
sudah mencerminkan keinginan rakyat. Kedua, bagaimana independensi pemerintah,
birokrasi dan partai politik dalam keseluruhan rangkaian pemilu, serta seberapa bebas dari
intimidasi dan penyuapan dalam proses pemilihan tersebut? Dibanding Pemilu 1999,
independensi KPU Pemilu 2004 merupakan satu pertanda baik, walau di beberapa daerah
masih terdapat kendala proIesionalisme. Pengawasan dari panitia pengawas pemilu
(panwaslu) dan masyarakat diperlukan dalam menemukan penyalahgunaan Iasilitas jabatan
oleh pejabat publik, termasuk dukungan birokrasi dari pusat hingga daerah.
Di samping itu, pengawasan diperlukan untuk melihat sejauh mana tingkat intimidasi dan
praktik penyuapan, baik antarparpol maupun kepada para pemilih, selama rangkaian pemilu.
Masalah intimidasi indentik dengan kekerasan. Sebab itu, selain pengaturan jadwal kampanye
berusaha memperkecil benturan antarpendukung parpol, partai juga dituntut bertanggung
jawab mengendalikan massanya agar kampanye berlangsung tertib. Kemampuan
melaksanakan kampanye dengan tertib juga berdampak positiI bagi partai karena menjadi
ukuran meningkatnya kedewasaan berdemokrasi.
Ketiga, seberapa eIektiI inIormasi yang disediakan oleh panitia pemilihan dan sistem
kepartaian kepada para pemilih? Makin intensiI inIormasi yang diperoleh para pemilih dari
KPU terkait dengan masalah pemilihan maka pemilu makin demokratis. Demikian pula
derajat sosialisasi dari partai politik kepada para pemilih berkenaan dengan caleg dan
program serta paket capres dan wapres. InIormasi tentang caleg diperlukan agar para pemilih
mengetahui apa, siapa dan dari partai mana yang akan memperjuangkan kepentingan mereka.
Sebaliknya caleg dan parpol dapat menyerap aspirasi masyarakat yang akan diwakilinya
kelak. Demikian pula sosialiasi program oleh capres penting diketahui secara baik oleh
pemilih karena, kebijakan-kebijakan pemerintah tidak lagi berdasarkan Garis-Garis Besar
Haluan Nengara (GBHN), justru program yang dikampayekan capres dalam pemilu itulah
menjadi program pemerintah jika paket calon presiden dan wapres berhasil memenangkan
pemilihan presiden. Kendalanya, penduduk di daerah-daerah terpencil minim memperoleh
inIormasi baik tentang caleg maupun program capres karena terbatasnya jangkauan media,
dibandingkan penduduk daerah perkotaan. Padahal menurut Huntington (1968), kekuatan
politik yang mampu meraih dukungan luas dari kaum pedesaan akan memperoleh kestabilan
politik secara nasional.


Keempat, apakah terdapat akses yang sama bagi semua partai dan kandidat kepada media
massa atau saluran komunikasi lainnya, dan sejauhmana perimbangan berita oleh media
kepada partai dan kandidat yang berbeda-beda itu? Ketimpangan akses partai politik dan
kandidat terhadap media massa akan menyulitkan partai untuk mensosialisasikan atribut,
gagasan serta aktivitas politik mereka. Hal ini menuntut kemampuan partai untuk
berhubungan dengan media massa. Di sisi lain, media massa juga dituntut berimbang dalam
pemberitaan terhadap partai dan kandidat yang berbeda-beda. Makin berimbang pemberitaan
media terhadap semua kontestan maka pemilu makin demokratis, demikian sebaliknya.
Masalahnya, masing-masing media mempunyai perspektiI bahkan aIiliasi politik tertentu,
maka media massa pun dituntut bersikap proporsional. Bila tidak ada pengaturan mengenai
hal ini, maka media massa kemungkinan besar akan didominasi partai dan kandidat yang
berkantong tebal dalam bentuk intensitas pemasangan iklan dan ini membuat kompetisi
berlangsung tidak seimbang.
Kelima, seberapa besar proporsi dari pemilih yang berhak memilih benar-benar
menggunakan hak pilihnya?
Tinggi rendahnya proporsi pemilih menggunakan hak pilihnya dari seluruh jumlah pemilih,
mencerminkan tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilu. Makin besar jumlah
pemilih menggunakan hak pilihnya, menunjukkkan meningkatnya kepercayaan masyarakat
terhadap sistem politik dan sekaligus menjadi indikasi meningkatnya demokrasi. Sebaliknya,
makin tinggi jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput akan
menurunkan tingkat demokrasi, meski demikian pemilu tetap saja sah. Dalam konteks ini,
disbanding pemilu-pemilu sebelumnya gerakan golput disamping melanggar undang-undang
menjadi kurang eIektiI. Lebih realistis melakukan pendidikan politik agar masyarakat tidak
memilih politisi "bermasalah".
Aspek terakhir yang perlu diperhatikan, sejauhmana penegakan hukum terhadap para
pelanggar ketentuan pemilu. Penegakan hukum merupakan pendukung (complement) dalam
membangun sistem demokrasi, termasuk dalam rangkaian pemilu. Catatan panwaslu tahun
1999 menunjukkan kasus pelanggaran mencapai 4.290 kasus dan tak satupun diproses
pengadilan. Penemuan beberapa kasus oleh panwaslu beberapa waktu yang lalu di berbagai
daerah dan diantaranya ada yang telah diproses pengadilan patut disambut positiI, tinggal
bagaimana keputusan peradilan. Tapi jika pemilu gagal, tanpa disuruh militer pasti sudah
siap.

Anda mungkin juga menyukai