Anda di halaman 1dari 40

KEWA1IBAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM OLEH ADVOKAT DALAM

KEDUDUKANNYA SEBAGAI OFFICIUM NOBILE


ABSTRAK
Dalam kedudukannya sebagai suatu proIesi yang mulia atau lebih dikenal dengan
istilah oIIicium nobile maka advokat, berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat, memiliki kewajiban dalam memberikan bantuan hukum untuk kaum miskin
dan buta huruI. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung
jawab sosial dari advokat. Oleh sebab itu maka advokat dituntut agar dapat mengalokasikan
waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk orang miskin yang membutuhkan
bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono. Pemberian bantuan hukum oleh advokat
bukan hanya dipandang sebagai suatu kewajiban an sich namun harus dipandang pula sebagai
bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social contribution and social liability
dalam kaitannya dengan peran dan Iungsi sosial dari proIesi advokat. Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mengatur secara tegas mngenai kewajiban advokat
untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai bagian dari kewajiban proIesi.
Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban proIesi maka dapat dikategorikan telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban proIesi sehingga dapat
diberlakukan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum
secara cumua-cuma oleh advokat maka dibutuhkan peran yang optimal dari organisasi
proIesi.

A. PENDAHULUAN.
Perihal bantuan hukum dan hak asasi manusia merupakan elemen yang sangat prinsipil
dalam suatu negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut maka Indonesia, harus memiliki beberapa karakteristik khusus untuk dapat disebut
sebagai negara hukum, yaitu sebagai berikut :
1. #ekognisi dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan
dalam bidang politik, hukum, sosial, kultural dan pendidikan.
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak (impartial serta tidak dipengaruhi oleh
kekuasaan lainnya.
#ekognisi dan perlindungan hak asasi manusia diberikan kepada setiap individu tanpa
harus melihat dan membedakan latar belakangnya. Konsekuensi dari adanya hal tersebut maka
setiap orang memiliki hak untuk dapat diperlakukan secara sama di hadapan hukum (equality
before the law. Hal ini sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 27 ayat (1 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Dalam Pasal 28 HuruI D ayat (1 dan Pasal 28 HuruI I ayat (1 UUD 1945 yang
telah diamandemen tersebut juga kembali menegaskan adanya jaminan dan perlindungan atas
hak asasi yang dimiliki oleh setiap warga negara.
Prinsip persamaan di hadapan hukum tersebut harus diartikan secara dinamis dan tidak
boleh diartikan secara statis. Hal ini diartikan bahwa persamaan di hadapan hukum bagi setiap
individu juga harus diimbangi dengan persamaan perlakuan (equal treatment. Adanya
persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis dipercayai akan memberikan
jaminan adanya akses memperoleh keadilan bagi semua orang. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh IilsuI Aristoteles bahwa keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan
hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa
kecuali.
Hak atas bantuan hukum merupakan salah satu dari hak asasi yang harus direkognisi dan
dilindungi. Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (1 UUD 1945 termasuk ketentuan Pasal 28
HuruI D ayat (1 dan Pasal 28 HuruI I ayat (1 UUD 1945 yang telah diamandemen tersebut
maka hak atas bantuan hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga yang wajib dimiliki dan
hanya ada di dalam sistem negara hukum. Adanya prinsip hukum yang berdaulat (supremacy
of law dan adanya jaminan terhadap setiap orang yang diduga bersalah untuk mendapatkan
proses peradilan yang adil (fair trial merupakan syarat yang harus dijamin secara absolut
dalam negara hukum.
Dalam perkembangannya maka adanya program bantuan hukum juga merupakan bagian
yang terpenting dari rekognisi dan perlindungan hak asasi manusia. Pemberian bantuan hukum
yang dimaksud disini adalah yang khusus diberikan kepada kaum miskin dan buta huruI.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari program bantuan hukum kepada kaum miskin dan buta
huruI adalah untuk terwujudnya akses keadilan (access to fustice yang merata. Salah satu
bentuk dari bantuan hukum tersebut adalah adanya pembelaan atau pendampingan dari
seorang advokat (access to legal counsel.
Dalam beberapa hal, maka masalah bantuan hukum dalam kaitannya dengan akses
terhadap keadilan merupakan hal yang tidak mudah untuk diuraikan.Hal ini disebabkan karena
masalah akses mendapatkan keadilan bukan hanya masalah hukum saja melainkan juga
merupakan masalah politik, bahkan lebih jauh lagi adalah masalah budaya. Permasalahan
tersebut semakin bertambah sulit dengan timbulnya dampak sosial dibidang ekonomi dan
berbagai bidang lainnya sebagai akibat dari adanya proses pembangunan, seperti semakin
luasnya tingkat kemiskinan, semakin tingginya tingkat buta huruI, dan keadaan kesehatan
masyarakat yang semakin buruk.
Secara historis, maka menurut Dr. Mauro Cappelletti, program bantuan hukum kepada
rakyat miskin telah dimulai sejak jaman #omawi. Pada setiap jaman, arti dan tujuan
pemberian bantuan hukum sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai moral, pandangan
politik dan IalsaIah hukum yang berlaku. Pada jaman #omawi, pemberian bantuan hukum
oleh Patronus diberikan dengan alasan menciptakan motivasi untuk mendapatkan pengaruh
dalam masyarakat. Pada jaman Abad Pertengahan masalah bantuan hukum ini mendapat
motivasi baru, yaitu keinginan orang untuk berlomba-lomba memberikan derma (charity
dalam bentuk membantu kaum miskin dan bersama-sama dengan hal tersebut maka akan
tumbuh pula nilai-nilai kemuliaan (nobility dan kesatriaan (chivalry yang sangat diagungkan
orang.
Sejak #evolusi Perancis dan #evolusi Amerika sampai di jaman modern sekarang ini,
motivasi pemberian bantuan hukum bukan hanya untuk kepentingan derma (charity atau rasa
kemanusiaan kepada orang yang tidak mampu, melainkan juga untuk menimbulkan kesadaran
hak-hak politik atau hak-hak warga negara yang berlandaskan kepada konstitusi modern. Pada
perkembangan selanjutnya maka konsep bantuan hukum pada saat ini telah dihubungkan
dengan cita-cita negara kesejahteraan (welfare state, sehingga hampir setiap pemerintah
dewasa ini membantu program bantuan hukum sebagai bagian dari Iasilitas kesejahteraan dan
keadilan sosial. Itikad baik pemerintah dalam mendukung program bantuan hukum dalam
rangka access to justice bukan hanya dalam bentuk melakukan pendanaan (funding an sich,
namun juga harus dalam bentuk menciptakan pengaturan atau regulasi tentang mekanisme
pemberian bantuan hukum tersebut.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam UUD 1945 termasuk amandemennya, bahwa
permasalahan bantuan hukum tidak dinyatakan secara tegas sebagai beban dan tanggung
jawab dari negara. Namun, adanya prinsip-prinsip persamaan di hadapan hukum dan
perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat, merupakan petunjuk bahwa Negara wajib
memperhatikan masalah bantuan hukum bagi seluruh warga negara khususnya untuk kaum
miskin dan buta huruI. Adanya ketidakseriusan dalam penyelenggaraan bantuan hukum oleh
negara merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang juga diartikan telah
bertentangan dengan hak konstitusional warga negaranya.
Negara bukan merupakan subjek tunggal yang memiliki keterkaitan dengan tanggung
jawab pelaksanaan bantuan hukum. Dalam kedudukannya sebagai sutau proIesi yang mulia
atau lebih dikenal dengan istilah oIIicium nobile maka advokat, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, juga memiliki kewajiban dalam implementasi
bantuan hukum untuk kaum miskin dan buta huruI. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa
bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial dari advokat. Oleh sebab itu maka advokat
dituntut agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk
orang miskin yang membutuhkan bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono. Pada
dasarnya, bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono yang diberikan oleh advokat
memang lebih mengarah kepada Iungsi sosial dari proIesi advokat.
Dalam beberapa hal maka advokat juga dibolehkan menolak untuk melaksanakan
kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono. Adanya penolakan
tersebut tentunya tidak akan diberlakukan sanksi yang tegas karena siIat dari pemberian
bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono tersebut hanya merupakan kewajiban moral
(moral obligation.Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan (PSHK dijelaskan bahwa 62.6 para advokat yang telah diwawancarai
mengatakan pengadilan bersama dengan organisasi para advokat bertanggungjawab
melaksanakan bantuan hukum di Indonesia dengan anggaran yang tentunya sudah
dialokasikan oleh negara. Sisanya menjawab pengadilan dengan anggaran yang disediakan
oleh negara. Ada juga yang menjawab advokat sendiri dengan cuma-cuma dengan distribusi
oleh organisasi advokat tanpa mengandalkan anggaran dari negara. Dari semua advokat yang
telah diwawancarai itu 82,8 diantaranya pernah menangani perkara bantuan hukum. Artinya
hal itu memang sudah inheren dengan tanggung jawab proIesinya.
Dalam kode etik proIesi advokat sebenarnya juga sudah diatur ketentuan yang
menjelaskan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum dan tidak membeda-bedakan
klien yang ditangani walaupun klien tersebut menerima jasa hukum dari advokat tersebut
secara cuma-cuma. Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat yang menyebutkan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Menindaklanjuti kewajiban pemberian bantuan hukum maka Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan bahwa ketentuan mengenai syarat dan tata cara
pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma itu akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Hal ini telah menimbulkan berbagai tanggapan dan perdebatan dari berbagai
pihak mulai dari perihal urgensi pengaturan dalam bentuk Undang-Undang khusus tentang
bantuan hukum sampai dengan perihal sinkronisasi peraturan pemerintah dengan Undang-
Undang tentang bantuan hukum.
Dalam kedudukannya sebagai suatu proIesi yang mulia (officium nobile maka
pemberian bantuan hukum tentunya merupakan kewajiban yang melekat secara hukum kepada
setiap advokat. Pemberian bantuan hukum oleh advokat bukan hanya dipandang sebagai suatu
kewajiban an sich namun harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung
jawab sosial (social contribution and social liability dalam kaitannya dengan peran dan
Iungsi sosial dari proIesi advokat. Oleh karena itu, dalam proposal ini penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dalam kerangka kajian koseptual mengenai Peran Dan Fungsi Sosial
ProIesi Advokat Terhadap Kewajiban Pemberian Bantuan Hukum Terkait Dengan
Kedudukannya Sebagai Officium Nobile Berdasarkan Kode Etik Advokat Indonesia juncto
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai pengaturan kewajiban pemberian
bantuan hukum oleh advokat, khususnya pengaturan yang terkait dengan sanksi dalam
hal adanya advokat yang tidak melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum
tersebut.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai bentuk pengawasan yang dilakukan oleh
organisasi proIesi advokat terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum
oleh advokat.
Sehubungan dengan adanya kajian konseptual mengenai peran dan Iungsi sosial proIesi
advokat yang memiliki kewajiban dalam pemberian bantuan hukum, maka muncul beberapa
permasalahan yang terkait dengan perihal pengaturan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kewajiban pemberian bantuan hukum tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini terdapat
beberapa rumusan pertanyaan, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan tentang kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat
termasuk pengaturan mengenai sanksi dalam hal adanya advokat yang tidak
melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum tersebut ?
2. Bagaimana bentuk pengawasan dari organisasi proIesi advokat terhadap pelaksanaan
kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat ?






B. KA1IAN TEORI.
Secara umum, untuk merumuskan deIinisi bantuan hukum bukan merupakan suatu hal
yang mudah. Hal ini dikarenakan pertimbangan bahwa dalam bantuan hukum tersebut terdapat
kompleksitas elemen dan permasalahan, yaitu bukan hanya membahas tentang hukum dan
perkembangan sosial masyarakat namun juga termasuk membahas tentang esensi yang
terdapat dalam rumusan atau konsep bantuan hukum itu sendiri.
Dalam literatur bahasa inggris, istilah bantuan hukum dikenal dengan istilah legal aid
atau legal assistance. Istilah legal aid biasanya digunakan untuk menunjukkan pengertian
bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang
yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma atau probono, khususnya bagi mereka
yang tidak mampu atau miskin. Sedangkan istilah legal assistance dipergunakan untuk
menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang tidak mampu, ataupun
pemberian bantuan hukum oleh para advokat dan atau pengacara yang mempergunakan
honorarium.
Secara historis, rumusan deIinisi tentang bantuan hukum juga dipengaruhi oleh
persepsi yang terbentuk dalam masyarakat sesuai dengan waktu dan tempat dilaksanakannya
konsep bantuan hukum tersebut. Dalam sejarah awal bantuan hukum telah menunjukkan
bahwa pelaksanaan bantuan hukum dimulai dari adanya sikap kedermawanan (charity
sekelompok elit gereja terhadap para pengikutnya. Hubungan kedermawanan ini juga
terbentuk antara para pemuka adat dengan para penduduk yang tinggal disekitarnya. Oleh
karena itu dapat dilihat bahwa telah terbentuknya hubungan patron-client yang sangat jelas
dalam hal ini. Berdasarkan kondisi tersebut maka rumusan deIinisi bantuan hukum pada saat
itu sangat tidak jelas, sehingga telah menimbulkan persepsi bahwa bantuan hukum
diinterpretasikan sebagai bantuan dalam segala hal seperti ekonomi, sosial, agama dan adat.
#umusan deIinisi bantuan hukum disini sangat dipengaruhi kepentingan patron untuk
melindungi kliennya.
Dalam pengertian yang lebih luas maka deIinisi bantuan hukum diartikan sebagai upaya
untuk membantu golongan masyarakat yang tidak mampu dalam bidang hukum. Menurut D#.
Adnan Buyung Nasution, SH dijelaskan bahwa adapun upaya yang dimaksud dalam deIinisi
tersebut memiliki tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu sebagai berikut :
1. Aspek perumusan aturan-aturan hukum ;
2. Aspek pengawasan terhadap mekanisme untuk menjaga aturan-aturan tersebut untuk
ditaati dan dipatuhi ;
3. Aspek pendidikan masyarakat agar aturan-aturan tersebut dipahami.
Berkaitan dengan aspek pertama maka upaya yang dilakukan dalam kerangka bantuan
hukum adalah melakukan kajian ulang terhadap seperangkat aturan-aturan hukum baik dalam
bentuk perbaikan atau penambahan yang disesuaikan dengan nilai sosiologis. Hal ini bertujuan
agar aturan-aturan hukum tersebut mampu mengakomodir dan menyesuaikan dinamika dan
rasa keadilan masyarakat. Sedangkan aspek kedua masih kurang memperoleh perhatian dalam
kegiatan bantuan hukum. Hal ini didasarkan pada alasan adanya Iaktor kurangnya Iasilitas
yang dimiliki oleh organisasi bantuan hukum baik dalam bentuk dana dan tenaga ahli. Kondisi
semacam ini tentunya membawa konsekuensi dalam hal mana organisasi-organisasi bantuan
hukum tersebut harus melakukan kerjasama penelitian dengan lembaga-lembaga lain untuk
melakukan riset khususnya yang terkait dengan eIektivitas peraturan. Format penelitian
tersebut dapat juga dilakukan dengan cara studi komparatiI di negara-negara lain yang
memiliki permasalahan yang sama dengan negara Indonesia. Pada aspek yang terakhir maka
diharapkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya.
Selanjutnya, deIinisi bantuan hukum juga pernah dirumuskan dalam Simposium Badan
Kontak ProIesi Hukum di Lampung pada tahun 1976 yang memberikan deIinisi bantuan
hukum sebagai kegiatan pemberian bantuan kepada seorang pencari keadilan yang tidak
mampu yang sedang menghadapi kesulitan di bidang hukum baik diluar maupun didalam
pengadilantanpa adanya imbalan jasa. Selanjutnya dalam Lokakarya Bantuan Hukum Tingkat
nasional pada tahun 1978 yang menjelaskan bahwa bantuan hukum merupakan kegiatan
pelayanan hukum yang diberikan kepada golongan yang tidak mampu atau miskin baik secara
perorangan ataupun kepada kelompok-kelompok masyarakat tidak mampu secara kolektiI.
Dalam bantuan hukum tersebut meliputi kegiatan sebegai berikut :
1. Pembelaan ;
2. Perwakilan baik diluar maupun di dalam pengadilan ;
3. Pendidikan ;
4. Penelitian ;
5. Penyebaran gagasan atau ide.
Berbeda halnya dengan H.M.A. KuIIal, SH yang memberikan deIinisi bantuan hukum
sebagai kegiatan pelayanan hukum (legal service yang diberikan oleh Penasehat Hukum
dalam upaya memberikan perlindungan hukum dan pembelaan terhadap hak asasi tersangka
atau terdakwa sejak proses penangkapan/penahanan sampai dengan diperolehnya putusan
pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan ProI. D#. B. ArieI Sidharta,
SH memberikan deIinisi bantuan hukum adalah hal pemberian pelayanan jasa-jasa tertentu
secara berkeahlian dan terorganisasikan oleh para ahli dalam situasi-situasi problematis
dan/atau situasi-situasi konIlik, yang dapat ditangani dengan penerapan aturan-aturan hukum
dengan atau tanpa memanIaatkan prosedur-prosedur yuridis. Bantuan hukum yang dimaksud
dalam pengertian tersebut termasuk meliputi bantuan hukum pada penyelesaian konIlik secara
Iormal di pengadilan (proses peradilan, dan bantuan hukum diluar proses peradilan.
Adapun yang dimaksud dengan bantuan hukum di luar proses peradilan tersebut adalah
mencakup upaya pencegahan konIlik dalam bentuk pemberian pendapat hukum atau opini
hukum, penyelesaian konIlik secara inIormal dalam bentuk negosiasi atau mediasi dan
penerapan hukum di luar konIlik. Pemberian bantuan hukum tersebut tentunya diberikan oleh
orang yang memiliki kemampuan dan keahlian tertentu. Selama ini, pemberian bantuan
hukum tersebut diberikan oleh advokat dan orang-orang yang bukan advokat namun memiliki
keahlian yang sama dengan advokat. Perbedaannya hanya terbatas pada masalah ada atau
tidak adanya legitimasi yang diberikan oleh badan-badan tertentu yang berwenang untuk
memberikan ijin praktek.
Pada awalnya, perihal bantuan hukum telah diatur dalam beberapa pasal dalam Herziene
Indische #eglement (HI#. Pengaturan bantuan hukum tersebut merupakan bagian dari
kegiatan pelayanan hukum. Secara khusus, pengaturan tentang pelayanan hukum bagi
golongan masyarakat yang tidak mampu, dalam arti tidak mampu untuk membayar ongkos
perkara dan honorarium bagi advokat diatur dalam Pasal 237 HI# sampai dengan Pasal 242
HI# dan Pasal 250 HI#.
Pasal 237 HI# sampai dengan Pasal 242 HI# mengatur tentang permohonan untuk
berperkara di Pengadilan tanpa membayar ongkos perkara. Sedangkan Pasal 250 HI# secara
khusus mengatur ketentuan tentang hak untuk memperoleh pelayanan hukum secara cuma-
cuma bagi mereka yang miskin yang terlibat dalam perkara pidana.
Dalam perkembangannya, maka pengaturan bantuan hukum juga telah diatur dalam
berbagai bentuk peraturan mulai dari Undang-Undang sampai dengan Surat Keputusan.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berikut dengan
perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 menegaskan bahwa setiap orang
yang terlibat dalam perkara berhak untuk memperoleh bantuan hukum baik dalam perkara
pidana ataupun perdata.
Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman berikut dengan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor
35 Tahun 1999, maka perihal bantuan hukum juga diatur dalam berbagai ketentuan lainnya,
yaitu sebagai berikut :
1. Pernyataan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Meneteri Kehakiman, Jaksa Agung,
Wakil Panglima AB#I, Pangkopkamtib, Kas Kopkamtib dan Kapolri ;
2. Instruksi Pangkopkamtib tanggal 27 Nopember 1978 Nomor INS.03.Kopkam/XI/1978
;
3. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02.UM.0908 Tahun 1980 ;
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ;
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ;
7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP ternyata
mengatur secara tegas soal pemberian bantuan hukum tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam ketentuan Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 56 KUHAP menerangkan bahwa pemberian
bantuan hukum tersebut dimulai dari tingkatan pemeriksaan pendahuluan di tingkat
penyidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan. Namun demikian, KUHAP juga
memiliki keterbatasan dalam pemberian bantuan hukum yang akan dilakukan oleh advokat.
Keterbatasan tersebut dalam bentuk tidak diberikannya kesempatan untuk melakukan
pembelaan yang bersiIat aktiI dalam proses pendampingan di tingkat penyidikan. Selain itu,
dengan diberlakukannya KUHAP maka ketentuan HI# yang mengatur mengenai hukum acara
pidana dinyatakan sudah tidak berlaku lagi.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah diatur
beberapa pasal yang memiliki keterkaitan dengan konsep bantuan hukum. Adapun pasal-pasal
tersebut adalah sebagai berikut :


Pasal 5 :
Ayat (1 : Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan
memperolehperlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya
di depan hukum.
Ayat (2 : Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan
yang obyektiI dan tidak berpihak.
Ayat (3 : Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pasal 6 :
Ayat (1 : Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan
Pemerintah.
Pasal 18 :
Ayat (1 : Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan
sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara
sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan
untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4 : Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat
penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat juga
diatur secara parsial tentang adanya konsep pemberian bantuan hukum. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal 22 ayat (1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dinyatakan
bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu.
Untuk kepentingan pembangunan di bidang hukum khususnya dalam rangka
meningkatkan kesadaran hukum mayarakat, menjamin penegakan hukum dan kepastian
hukum serta pelayanan hukum maka dilakukan upaya yang dinamakan dengan gerakan
bantuan hukum. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka tujuan dari adanya kegiatan
bantuan hukum adalah untuk mengadakan perubahan sikap walaupun itu bukan merupakan
tujuan yang terakhir yang ingin dicapai oleh adanya bantuan hukum.
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan kebutuhan terhadap rasa
keadilan, maka telah mempengaruhi perkembangan kegiatan bantuan hukum untuk kaum
miskin khususnya di Indonesia. Terdapat berbagai Iaktor yang menyebabkan adanya
perkembangan kegiatan bantuan hukum tersebut, yaitu sebagai berikut :
1. Semakin berkembangnya paham kosntitusionalisme, yaitu suatu paham yang
menghendaki pemurnian kehidupan negara hukum sebagaimanan yang dianut oleh
konstitusi ;
2. Semakin meningkatnya konIlik pendapat antara golongan elit strategis dengan
golongan elit non strategis mengenai permasalahan pembangunan sistem hukum ;
3. Adanya klaim dari golongan elit non strategis yang menganggap diri mereka sebagai
golongan yang konsisten memperjuangkan paham konstitusionalisme.
Selain itu, perkembangan juga terjadi dalam pembentukkan konsep-konsep bantuan hukum
yang ada sampai dengan sekarang. Konsep pemberian bantuan hukum klasik pertama kali
ternyata telah dikenal sejak jaman Kerajaan #omawi. Walaupun telah terjadi perubahan dan
perkembangan atas konsep-konsep bantuan hukum, namun ada hal yang harus digarisbawahi,
yaitu bahwa kegiatan bantuan hukum sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai moral dan
IilosoIis.
Pada jaman #omawi, pemberian bantuan hukum didasarkan pada motivasi untuk
mendapatkan pengerauh dalam masyarakat. Berbeda halnya dengan bantuan hukum yang
dilaksanakan pada jaman Abad Pertengahan.. Bantuan hukum pada jaman ini bertujuan untuk
memperoleh motivasi baru sebagai akibat dari pengaruh agama Kristen, yaitu berlomba-lomba
untuk memberikan derma (charity dalam bentuk membantu golongan miskin dan bersamaan
dengan itu pula tumbuh nilai-nilai kemuliaan (nobility dan ksatriaan (chivalry yang sangat
diagungkan orang.
Sejak jaman revolusi Perancis dan #evolusi Amerika sampai dengan di jaman modern
sekarang ini, motivasi pemberian bantuan hukum tersebut telah bergeser tidak hanya
berorientasi pada semangat derma (charity melainkan untuk melindungi hak-hak politik atau
hak-hak dasar yang dimiliki oleh warga negara yang berlandaskan pada konstitusi. Konsep
bantuan hukum tradisional yang bersiIat individualistik tersebut, pada dasarnya merupakan
konsep bantuan hukum klasik yang sejalan dengan sistem hukum dan kondisi sosiologis pada
saat itu.
Tuntutan perkembangan dan keberpihakan kepada kaum miskin dalam kaitannya dengan
pelaksanaan bantuan hukum tersebut, pada akhirnya, mengarah kepada suatu keadaan bahwa
bantuan hukum yang klasik dan tradisional tersebut sudah tidak cukup untuk mengakomodir
kebutuhan saat ini. Perkembangan selanjutnya telah muncul konsep bantuan hukum
konstitusional yang telah menggantikan konsep sebelumnya. Konsep bantuan hukum
konstitusional merupakan bantuan hukum untuk rakyat miskin yang dilakukan dalam kerangka
usaha dan tujuan yang lebih luas seperti hal-hal sebagai berikut :
1. Menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum ;
2. Penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama bagi
tegaknya negara hukum.
SiIat dari konsep bantuan hukum konstitusional ini lebih aktiI dalam hal mana bantuan
hukum tidak hanya diberikan secara individual saja namun juga diberikan pula kepada
kelompok-kelompok masyarakat secara kolektiI. Metode pendekatan yang dilakukan selain
menggunakan metode Iormal legal juga melalui mekanisme politik dan negosiasi. Bentuk dari
adanya kegiatan dan aktiIitas seperti kampanye pengahpusan ketentuan hukum yang
membatasi ruang gerak bagi partisipasi aktiI rakyat miskin, pengawasan terhadap birokrasi
pemerintah dan adanya pendidikan hukum bagi masyarakat merupakan bagian yang esensial
dalam konsep bantuan hukum konstitusional.
Di lain pihak, muncul pula konsep bantuan hukum struktural yang di introdusir oleh
Lembaga Bantuan Hukum. Munculnya konsep bantuan hukum struktural tersebut
dilatarbelakangi oleh adanya realitas sosial bahwa pemahaman terhadap kondisi dan situasi
yang ada dan berkembang sekarang ini, baik yang terdapat dalam masyarakat maupun dunia
hukum, telah mengakibatkan konsep bantuan hukum tradisional tidak mampu digunakan
sebagai dasar bekerja.
Secara konseptual, bantuan hukum struktural merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
menciptakan kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang
timpang menuju ke arah struktur yang lebih adil dan yang menjamin persamaan kedudukan
baik di bidang ekonomi maupun di bidang politik. Berdasarkan hal tersebut, tentunya dapat
dilihat karakteristik dari konsep bantuan hukum struktural yaitu sebagai berikut :
1. Mengubah orientasi bantuan hukum dari perkotaan menjadi pedesaan ;
2. Membuat siIat bantuan hukum berubah menjadi aktiI ;
3. Mendayagunakan metode pendekatan di luar hukum ;
4. Mengadakan kerja sama lebih banyak dengan lembaga-lembaga sosial lainnya ;
5. Menjadikan bantuan hukum sebagai gerakan yang melibatkan partisipasi rakyat
banyak ;
6. Mengutamakan kasus-kasus yang siIatnya struktural ; dan
7. Mempercepat terciptanya hukum-hukum yang responsiI yang mampu menunjang
perubahan struktural.
Pada dasarnya, konsep bantuan hukum struktural sangat sesuai dengan situasi dan kondisi
negara Indonesia pada era pemerintahan orde baru dalam hal mana bantuan hukum yang
diutamakan pada saat itu adalah bantuan hukum di bidang sosial politik. Setelah runtuhnya
orde baru dan dimulainya orde reIormasi sampai dengan saat ini maka perlu diajukannya
konsep bantuan hukum baru yang mampu menjaga demokrasi dan melindungi hak asasi
manusia. #umusan konsep bantuan hukum baru tersebut pernah diajukan oleh D#. Frans
Hendra Winarta, SH, MH yang dinamakan dengan konsep bantuan hukum responsiI.
Menurutnya, konsep bantuan hukum responsiI merupakan bantuan hukum yang diberikan
kepada Iakir miskin secara cuma-cuma dan komprehensiI yang meliputi seluruh bidang
hukum dan hak asasi manusia demi tercapainya keadilan dalam rangka mewujudkan
persamaan dihadapan hukum bagi semua orang.
Konsep bantuan hukum responsiI mengacu kepada semua bidang hukum dan jenis hak
asasi manusia tanpa memberikan prioritas kepada pada bidang hukum atau jenis hak asasi
manusia tertentu, serta tanpa membedakan pembelaan baik perkara individual maupun perkara
kolektiI. Dengan demikian, maka konsep bantuan hukum responsiI diharapkan dapat terdiri
dari berbagai model bantuan hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat yang pluralistik, antara
lain :
1. Bantuan hukum model yuridis-individual, yaitu bantuan hukum merupakan hak yang
diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi kepentingan-kepentingan
individual ;
2. Bantuan hukum model kesejahteraan, yaitu bantuan hukum merupakan suatu hak akan
kesejahteraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial yang diberikan
oleh negara kesejahteraan (welIare state ;
3. Bantuan hukum preventiI, merupakan bantuan hukum yang dilaksanakan dalam bentuk
pemberian keterangan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehingga mereka
mengerti akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara ;
4. Bantuan hukum diagnostik, merupakan bantuan hukum yang dilaksanakan dengan cara
pemberian nasihat-nasihat hukum atau dikenal dengan konsultasi hukum ;
5. Bantuan hukum pengendalian konIlik, yaitu bantuan hukum yang bertujuan untuk
mengatasi secara aktiI permasalahan-permasalahan hukum konkret yang terjadi dalam
masyarakat ;
6. Bantuan hukum pembentukkan hukum, yaitu bantuan hukum yang bertujuan untuk
menstimulus terbentuknya yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas dan benar ;
7. Bantuan hukum pembaruan hukum, yaitu bantuan hukum yang lebih ditujukan kepada
usaha mengadakan pembaruan hukum, baik melalui hakim atau melalui pembentuk
undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 telah dijelaskan deIinisi advokat. Adapun
yang dimaksud dengan advokat adalah orang yang berproIesi memberi jasa hukum, baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Sebelum berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003 tersebut
maka advokat diberikan deIinisi sebagai pejabat negara dengan alasan bahwa advokat
diangkat oleh negara. Namun sejak berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003 tersebut advokat
bukan laggi diberikan deIinisi sebagai pejabat negara karena pengangkatannya dilakukan oleh
organisasi proIesi.
Lain halnya dengan Luhut M.P. Pangaribuan, SH, LLM yang menjelaskan bahwa deIinisi
advokat adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan berdasarkan keahlian (knowledge
untuk melayani masyakarat secara independen dengan limitasi kode etik yang ditentukan oleh
komunitas proIesi. Dalam Black`s Law Dictionary dijelaskan bahwa deIinisi advokat adalah
seseorang yang membantu, membela atau pengajukan tuntutan kepada pihak lainnya.
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, peran dan Iungsi Advokat sebagai proIesi yang bebas, mandiri dan
bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi
penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan,
Advokat menjalankan tugas proIesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk
kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat
dalam menyadari hak-hak Iundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu
unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan
hak asasi manusia.
Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur proIesi di luar
pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang
semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum
masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan
antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-
kontrak dagang, proIesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan
masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan
perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kendati keberadaan dan Iungsi Advokat sudah berkembang sebagaimana dikemukakan,
peraturan perundang-undangan yang mengatur institusi Advokat sampai saat dibentuknya
Undang-undang ini masih berdasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan
zaman kolonial, seperti ditemukan dalam #eglement op de #echterlijke Organisatie en het
Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 : 23 jo. Stb. 1848 : 57, Pasal 185 sampai Pasal 192
dengan segala perubahan dan penambahannya kemudian, Bepalingen betreIIende het kostuum
der #echterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 : 8,
Bevoegdheid departement hooId in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 : 446 jo. Stb. 1922 :
523, dan Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 : 522.
Untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatiI dan yang sudah
tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, serta sekaligus untuk memberi
landasan yang kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat,
maka dibentuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sebagaimana
diamanatkan pula dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 1999.
Dalam Undang-undang ini diatur secara komprehensiI berbagai ketentuan penting yang
melingkupi proIesi Advokat, dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan
kemandirian Advokat, seperti dalam pengangkatan, pengawasan, dan penindakan serta
ketentuan bagi pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping
itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas proIesi Advokat khususnya
dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara
hukum pada umumnya.
Dalam melaksanakan proIesinya maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat telah ditetapkan beberapa hak dan kewajiban yang melekat pada diri
advokat. Hal tersebut tentunya untuk mendukung kedudukan advokat sebagai proIesi yang
mulia atau oIIicium nobile. Penyebutan proIesi mulia atau oIIicium nobile kepada proIesi
advokat didasarkan pada alasan bahwa Iaktor menguasai ilmu pengetahuan hukum
bukan merupakan modal utama bagi seorang advokat namun juga harus memiliki nilai
kejujuran dan panggilan nurani. Secara prinsipil maka tugas dan wewenang advokat terdiri
dari tiga, yaitu sebagai berikut :
1. Melakukan pembelaan terhadap kliennya dalam hal mana advokat juga merupakan
salah satu komponen yang determinan dalam rangka membantu hakim untuk
melakukan penemuan hukum ;
2. Bertindak selaku konsultan masyarakat dalam hal mana advokat dituntut untuk
menunjukkan sikap yang benar dan sportiI ;
3. Mengabdi kepada hukum dalam hal ini advokat dituntut untuk dapat memberikan
kontribusi secara riil terhadap pembangunan hukum.
Pada dasarnya, maka seorang advokat memiliki hak-hak sebagai berikut:
1. Advokat berhak untuk bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap
berpegang pada kode etik proIesi dan peraturan perundang-undangan (Pasal 14 ;
2. Advokat berhak bebas dalam menjalankan tugas proIesinya untuk membela perkara
yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik proIesi dan
peraturan perundang-undangan (pasal 15 ;
3. Advokat berhak memperoleh inIormasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi
Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang
diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (Pasal 17 ;
4. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan
atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan
terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat (Pasal 19 ayat 2
Sedangkan kewajiban advokat adalah sebagai berikut :
1. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari
Kliennya karena hubungan proIesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang
(Pasal 19 ayat 1
2. Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu (Pasal 22.
C. METODE PENELITIAN.
Untuk mencari dan menemukan jawaban dari rumusan permasalahan yang telah
diajukan pada bab sebelumnya dalam penelitian ini, maka peneliti akan menggunakan
prosedur dan teknik penelitian atau yang lebih dikenal dengan istilah metode penelitian.
Pemilihan dan penggunaan prosedur dan teknik penelitian, bertujuan untuk dapat melakukan
analisis terhadap data dan Iakta yang telah diperoleh dengan disesuaikan pada tipe dan siIat
dari penelitian yang bersangkutan. Dengan demikian, metode penelitian adalah suatu cara atau
proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan berpikir yang
logis analitis (logika, berdasarkan dalil-dalil, rumusan dan teori-teori tertentu untuk
mengadakan veriIikasi serta menguji kebenaran dari suatu hipotesa tentang Ienomena alamiah,
Ienomena sosial dan Ienomena hukum tertentu.
Esensi dari metode penelitian dalam setiap penelitian hukum adalah mendeskripsikan
mengenai tata cara atau teknik bagaimana suatu penelitian hukum tersebut dilakukan. Tata
cara atau teknik tersebut biasanya mencakup uraian mengenai tipe atau metode penelitian,
siIat penelitian, jenis data, alat pengumpulan data, analisis dan teknik pengambilan
kesimpulan. Pada dasarnya, penggunaan metode dalam suatu kegiatan penelitian adalah
bertujuan untuk dapat mempelajari satu atau beberapa Ienomena dan menganalisanya
berdasarkan Iakta-Iakta yang tersedia, yang kemudian akan memberikan suatu solusi terhadap
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh Iakta tersebut.
Oleh karena itu, dalam penelitian hukum ini, maka peneliti menggunakan tipe
penelitian hukum normatiI. Walaupun tipe penelitiannya normatiI, namun peneliti juga
menggunakan data primer yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara. Proses
wawancara tersebut dilakukan dengan bertujuan untuk menambah inIormasi dan data yang
bermanIaat mengenai perihal kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat dalam
kaitannya dengan peran dan Iungsi sosial advokat sebagai oIIicium nobile. Hasil wawancara
tersebut akan digunakan sebagai data pelengkap (complementary data dalam menganalisis
untuk menjawab permasalahan.
Alasan digunakannya tipe penelitian hukum normatiI adalah bahwa penelitian ini
menggunakan data sekunder yang diperoleh dengan cara melakukan studi dokumen. Pada
penelitian hukum normatiI, data sekunder merupakan sumber atau bahan inIormasi yang
penting. Data sekunder tersebut dapat berbentuk buku-buku, hasil penelitian, peraturan
perundang-undangan, kamus, bibliograIi dan literatur-literatur lainnya yang yang terkait
dengan perihal hukum acara perdata, khususnya terkait dengan materi kompetensi relatiI
Pengadilan Agama. Keseluruhan data sekunder tersebut dapat diklasiIikasi kembali
berdasarkan jenisnya ke dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.
Apabila ditinjau dari siIatnya, maka penelitian ini bersiIat deskriptiI-analitis. Hal
tersebut didasarkan pada alasan bahwa tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk
memberikan penjelasan atau deskripsi secara lengkap mengenai peran dan Iungsi sosial
advokat sebagai suatu proIesi yang mulia (oIIicium nobile khususnya dalam melaksanakan
kewajiban pemberian bantuan hukum (legal aid. Selain memberikan deskripsi, maka dalam
penelitian ini juga akan dilakukan analisis khususnya keterkaitan antara peran dan Iungsi
sosial advokat sebagai suatu proIesi yang mulia (oIIicium nobile dengan kewajiban
pemberian bantuan hukum sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat.
Dalam penelitian ini, maka peneliti, selain menggunakan data primer yang berupa hasil
wawancara dengan pihak berkompeten dalam menjawab rumusan permasalahan yang diajukan
dalam penelitian ini, juga menggunakan data sekunder yang pada umumnya tersedia dalam
bentuk literatur-literatur tertulis dan bersiIat publik yang telah siap digunakan (ready to use.
Karakteristik lain dari data sekunder tersebut bahwa selain bentuk maupun isinya telah
dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu, maka data sekunder juga dapat diakses
tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat. Adapun data sekunder dalam penelitian
hukum ini terdiri dari :
O Bahan hukum primer, yaitu berupa bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari
peraturan dasar (UUD 1945 dan Ketetapan MP#, peraturan perundang-undangan
khususnya yang terkait dan mengatur mengenai bantuan hukum dan proIesi advokat
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Surat Edaran Mahkamah
Agung, Petunjuk Teknis Mahkamah Agung Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan
Administrasi Pengadilan, dan bahan hukum primer lainnya.
O Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-
hasil penelitian yang tersaji dalam bentuk laporan, hasil karya dari kalangan hukum
yang berupa buku, majalah serta artikel atau makalah ilmiah dan lain-lain.
O Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus
terminologi hukum, ensiklopedia, bibliograIi dan lain-lain.
Perihal alat atau cara pengumpulan data maka peneliti akan melakukan wawancara
(interview sebagai cara untuk memperoleh data primer. Wawancara tersebut akan dilakukan
peneliti dengan pihak yang memiliki kapabilitas dan kompetensi untuk menjawab rumusan
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Peneliti telah memilih pihak yang tepat
untuk diwawancarai dalam hal mana proses pemilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan
kualitas dan siIat dari masalah yang akan diteliti. Adapun pihak yang akan diwawancarai
adalah praktisi hukum khususnya advokat yang aktiI dalam memberikan pelayanan bantuan
hukum. Proses wawancara tersebut dilaksanakan dengan didasarkan pada pedoman
wawancara yang telah dibuat sebelumnya oleh peneliti.
Dalam hal perolehan dan pengumpulan data sekunder maka peneliti menggunakan alat
pengumpulan berupa studi dokumen (documentary study. Penggunaan studi dokumen
tersebut dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap substansi atau isi (content
analysis dari data atau bahan-bahan tertulis yang berhasil didapat dan dikumpulkan oleh
peneliti.
Pemilihan terhadap analisis yang tepat digunakan dalam suatu penelitian hendaknya selalu
didasarkan pada tipe, tujuan dan jenis data yang terkumpul.Apabila data yang diperoleh
tersebut lebih bersiIat pengukuran maka analisis yang tepat digunakan adalah kuantitatiI.
Sebaliknya, apabila data yang diperoleh tersebut sulit untuk dilakukan pengukuran dengan
angka-angka maka analisis yang digunakan adalah bersiIat kualitatiI. Selain itu, penggunaan
analisis kualitatiI juga dapat dilakukan terhadap data yang diperoleh dari proses wawancara
yang dilakukan dengan berdasarkan pada pedoman wawancara. Dengan demikian, pada
penelitian ini, maka peneliti menggunakan analisis kualitatiI terhadap data yang telah
diperoleh. Peneliti juga akan menggunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktiI,
yaitu dengan didasarkan pada bahan hukum yang bersiIat umum untuk kemudian dibawa atau
dibandingkan dengan bahan hukum yang bersiIat khusus, dalam rangka mencapai kesimpulan
yang diinginkan.
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.
Advokat sebagai proIesi mulia atau oIIicium nobile memiliki kebebasan dalam
melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada hierarki birokrasi.
Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara sehingga advokat dihaapkan mampu
berpihak kepada kepentingan masyarakat atau kepentingan publik.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka kedudukan sosial dari advokat yang demikian
itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi advokat yang bukan hanya bertindak
sebagai pembela konstitusi namun juga bertindak sebagai pembela hak asasi manusia,
khusunya yang berkaitan dengan hak-hak publik. Akibat dari adanya tanggung jawab moral
yang melekat pada pada status proIesinya maka advokat memiliki lima dimensi perjuangan
ideal yaitu sebagai berikut :
1. Dimensi kemanusiaan, yang diartikan bahwa walaupun advokat menerima imbalan
honorarium atau legal Iee dalam melakukan perkerjaannya namun pada dasarnya
advokat tetap harus berpedoman dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan khususnya
dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya. Dalam melakukan pembelaan maka
harus didasarkan pada motivasi aspek kemanusiaan ;
2. Dimensi pertanggungjawaban moral, yang diartikan bahwa advokat dalam melakukan
pembelaan kepada kliennya harus selalu melihat dan mempertimbangkan dua hal
pokok, yaitu adanya ketentuan hukum yang menjadi dasar dalam melakukan
pembelaan dan adanya dasar moral serta etika. Berkaitan dengan hal tersebut maka hak
atau kepentingan hukum dari klien yang dibelanya maka tidak boleh bertentangan
dengan moralitas umum ataupun etika proIesi yang wajib untuk dijunjung lebih tinggi ;
3. Dimensi kebebasan, kemandirian dan independensi proIesi, Hal ini diartikan bahwa
advokat ditantang untuk selalu memperjuangkan tegaknya proIesi yang mandiri, bebas
dan independen dari intevensi kekuasaan dalam melakukan pembelaan terhadap
kliennya. Oleh karena itu maka untuk mendukung dimensi yang ketiga tersebut
dibutuhkan suatu organisasi advokat yang kuat serta memiliki kode etik termasuk
memiliki kapabilitas untuk membina dan menjaga kedisiplinan anggota proIesinya ;
4. Dimensi pembangunan negara hukum, yang diartikan bahwa proIesi advokat dapat
diimplementasikan secara ideal apabila proses penegakan hukum juga telah berjalan
secara ideal. Dengan perkataan lain, bahwa advokat memiliki kepentingan demi proIesi
hukumnya dan demi kepentingan kliennya. Oleh sebab itu maka perlu untuk dibangun
esensi dari sebuah negara hukum yang ideal ;
5. Demensi pembangunan demokrasi, yang diartikan bahwa suatu negara hukum
sebagaimana yang diuraikan dalam dimensi keempat hanya dapat dilaksanakan selaras
dengan pembangunan demokrasi. Ibarat suatu mata uang maka antara pembangunan
hukum dan pembangunan demokrasi dapat saling memiliki relasi. Demokrasi hanya
dapat ditegakan apabila didukung oleh negara yang berdasarkan hukum dalam hal
mana menjunjung supremasi hukum. Demokrasi akan berubah menjadi anarki apabila
tidak didukung oleh hukum. Sebaliknya, negara hukum tanpa demokrasi akan
menciptakan suatu negara yang bertipikal penindas.
Berkaitan dengan tanggung jawab moral yang dimiliki oleh advokat dan dalam
kedudukannya sebagai salah satu pilar atau penyangga dari pelaksanaan sistem peradilan yang
adil dan berimbang (Iair trial maka peneliti setuju dengan pendapat Dr. Adnan Buyung
Nasution, SH, yang menyatakan bahwa advokat memiliki peran bukan hanya sebagai pembela
konstitusi namun juga sebagai dengan pembela hak asasi manusia. Oleh karena itu, maka
advokat memiliki Iungsi sosial dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu Iungsi sosial tersebut
adalah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya bagi kaum miskin dan buta
hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Menurut Daniel Panjaitan, SH, LLM berpendapat bahwa pada dasarnya pelaksanaan
kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya bagi kaum miskin dan
buta hukum tersebut memiliki tujuansebagai berikut :
1. Bagian dari pelaksanaan hak-hak kosntitusional sebagaimana yang diatur dan dijamin
oleh UUD 1945 berikut amandemennya. Hak atas bantuan hukum merupakan salah
satu dari hak asasi yang harus direkognisi dan dilindungi. Dengan mengacu kepada
Pasal 27 ayat (1 UUD 1945 termasuk ketentuan Pasal 28 HuruI D ayat (1 dan Pasal
28 HuruI I ayat (1 UUD 1945 yang telah diamandemen tersebut maka hak atas
bantuan hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga yang wajib dimiliki dan hanya
ada di dalam sistem negara hukum. Adanya prinsip hukum yang berdaulat (supremacy
oI law dan adanya jaminan terhadap setiap orang yang diduga bersalah untuk
mendapatkan proses peradilan yang adil (Iair trial merupakan syarat yang harus
dijamin secara absolut dalam negara hukum ;
2. Bagian dari implementasi asas bahwa hukum berlaku bagi semua orang. Adanya
keterbatasan pengertian dan pengetahuan hukum bagi individu yang buta hukum untuk
memahami ketentuan yang tertulis dalam Undang-Undang maka diperlukan peran dan
Iungsi advokat untuk memberikan penjelasan dan bantuan hukum ;
3. Bagian dari upaya standarisasi pelaksanaan peran dan Iungsi penegakan hukum dari
advokat.
Berdasarkan pada pertimbangan peran dan Iungsi sosial advokat tersebut maka kewajiban
pemberian bantuan hukum oleh advokat telah diatur secara tegas dalam Pasal 22 ayat (1
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Pasal 22 ayat (1 tersebut
dijelaskan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
pencari keadilan yang tidak mampu. Menurut peneliti, bahwa pengaturan yang bersiIat
penegasan mengenai kewajiban sosial advokat untuk memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma kepada kaum miskin merupakan suatu hal yang patut dihargai. Hal ini mengingat
bahwa dalam suatu negara berkembang masih banyak terdapat individu atau keluarga yang
hidup miskin bahkan dibawah garis kemiskinan. Bantuan hukum yang diberikan oleh advokat
tersebut tentunya berpedoman pada penghargaan terhadap nilai kemanusiaan termasuk
didalamnya penghargaan terhadap hak asasi manusia. Selanjutnya, kewajiban memberikan
bantuan hukum tersebut diharapkan mampu memberikan kesadaran dan pengetahuan
khususnya mengenai hak-hak dari kaum miskin yang semakin lama dimarjinalkan oleh
kebijakan dan proses pembangunan.
Walaupun telah diatur secara tegas dalam Pasal 22 ayat (1 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat, maka peneliti telah mengidentiIikasi beberapa hal yang menjadi
potensi kesulitan pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat. Mulai dari
perihal optimalisasi pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap advokat yang tidak
melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sampai dengan
perihal ketiadaan tolok ukur yang deIinitiI untuk menentukan pihak-pihak mana saja yang
dapat dikategorikan sebagai pencari keadilan yang tidak mampu.
Dalam berbagai wacana telah dijelaskan bahwa hal-hal tersebut akan dirumuskan dalam
Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 22 ayat (2 UU Nomor 18
Tahun 2003. Namun sampai dengan dibuatnya penelitian ini, Peraturan Pemerintah yang
mengatur hal-hal tersebut belum pernah diterbitkan. Selain itu, menurut peneliti, akan muncul
kekhawatiran adanya dissinkronisasi dan disharmonisasi Peraturan Pemerintah yang mengatur
mengenai kewajiban pemebrian bantuan hukum oleh advokat dengan #ancangan Undang-
Undang Bantuan Hukum yang telah disusun draIt akademiknya oleh berbagai pihak.
Permasalahan ini pernah peneliti sampaikan dalam acara Focus Group Discussion (FGD yang
diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN bekerja sama dengan The Indonesian
Legal #esource Center (IL#C.
Perihal sanksi maka dalam Pasal 7 ayat (1 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang telah
mengatur beberapa jenis sanksi mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian
sementara dan pemberhentian tetap. Apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 6 huruI (d
UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat maka advokat yang tidak melaksanakan
kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma dapat dikategorikan telah melakukan
perbuatan yang bertentang dengan kewajiban proIesi sebagaimana yang dijelaskan dalam
Pasal 22 ayat (1 UU Nomor 18 Tahun 2003. Oleh karena itu, maka sanksi-sanksi
sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1 UU Nomor 18 Tahun 2003 dapat
diberlakukan kepada advokat yang tidak melaksanakan kewajiban pemberianbantuan hukum
secara cuma-cuma.
Selanjutnya, pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat tidak dapat
dilepaskan dari peranan organisasi advokat itu sendiri. Hal dikarenakan alasan bahwa
organisasi advokat berIungsi untuk melakukan pengawasan. Hal ini sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal 12 ayat (1 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang
menerangkan bahwa pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh Organisasi advokat.
Sedangkan dalam Pasal 12 ayat (1 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang
menerangkan bahwa pengawasan tersebut dilakukan dengan tujuan agar advokat selalu
menjunjung tinggi kode etik proIesi dan peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan
tugasnya.
Sehubungan dengan perihal pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum oleh
advokat maka pengawasan yang dilakukan oleh organisasi proIesi belum dilakukan secara
optimal. Adapun bentuk pengawasan yang selama ini dilakukan oleh organisasi proIesi lebih
cenderung kepada adanya pelanggaran-pelanggaran kode etik yang bukan bersiIat tidak
dilaksanakannya kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat.
Menurut peneliti, adanya kondisi belum dilakukannya pengawasan secara optimal dari
organisasi proIesi terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-
cuma oleh advokat disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu sebagai berikut :
1. Belum dilakukannya optimalisasi pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap advokat
yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
pengaturan sanksi yang tegas dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 terhadap advokat yang
tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma ;
2. Ketiadaan pengaturan mengenai teknis pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan
hukum secara cuma-cuma yang seharusnya dirumuskan oleh organisasi proIesi ;
3. Ketiadaan pengaturan yang bersiIat teknis mengenai pelaksanaan pengawasan terhadap
advokat yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma.

E. KESIMPULAN DAN SARAN.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya pada Bab IV laporan penelitian ini, maka selanjutnya diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mengatur secara tegas
mngenai kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
sebagai bagian dari kewajiban proIesi.Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban
proIesi tersebut maka dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban proIesi sebagaimana yang diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Oleh karena itu, maka UU
Nomor 18 Tahun 2003 tersebut juga telah mengatur mengenai jenis-jenis sanksi yang
dapat diberlakukan mulai dari sanksi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian
sementara danpemberhentian tetap.
2. Organisasi proIesi memiliki peran yang penting dan determinan dalam mendukung
pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cumua-cuma oleh advokat.
Hal ini didasarkan alasan bahwa organisasi memiliki kewenangan untuk melakukan
pengawasan kepada advokat.
Berdasarkan hasil konklusi sebagaimana yang telah diuraikan tersebut maka selanjutnya dapat
dikemukakan saran-saran sebagai berikut :
1. Untuk mendukung pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma oleh
advokat sebagai bagian dari kewajiban proIesi maka perlu dirumuskan peraturan
pemerintah. Namun dalam proses perumusan peraturan pemerintah tersebut perlu
dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi kondisi dissinkronisasi dan disharmonisasi
dengan rancangan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum sebagaimana yang telah
dirumuskan oleh berbagai pihak.
2. Organisasi proIesi dapat segera melakukan perumusan ketentuan yang bersiIat teknis
berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma
oleh advokat. Selain itu, organisasi proIesi juga perlu melakukan pengawasan secara
melekat terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum tersebut oleh
advokat.
F. DAFTAR PUSTAKA.
Abdul Hakim Garuda Nusantara. Politik Hukum Indonesia. Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia. Jakarta. 1988.
'Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural dalam Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan
Hukum : Ke Arah Bantuan Hukum Struktural ed. Abdul Hakim G. Nusantara dan Mulyana
W. Kusuma. Alumni. Bandung. 1981.
Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum Di Indonesia. LP3ES Indonesia. Jakarta. 2007.
Arus Pemikiran Konstitusionalisme : Advokat. Kata Hasta Pustaka. Jakarta. 2007.
AsIinawati. 'Bantuan Hukum Cuma-Cuma Versus Komersialisasi dalam Bantuan Hukum :
Akses Masyarakat Marjinal Terhadap Keadilan : Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan,
Penerapan dan Perbandingan Di Berbagai Negara ed. Gatot dan Virza #oy Hizal. LBH
Jakarta. Jakarta. 2007
Bambang Sunggono dan Aries Hartanto. Bantuan Hukum Dan Hak asasi Manusia. Mandar
Maju. Bandung. 2001.
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar GraIika. Jakarta. 1996.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20 . Alumni.
Bandung. 1994.
Daniel Panjaitan. 'Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia dalam Panduan Bantuan Hukum
Di Indonesia : Pedoman Anda Memahami Dan Menyelesaikan Masalah Hukum ed. A. Patra
M. Zein dan Daniel Hutagalung. YLBHI dan PSHK. Jakarta. 2007.
Henry Campbel Black. Black`s Law Dictionary. West Publishing Co. St. Paul Minn. 1990.
H.M.A. KuIIal. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. UMM Press. Malang. 2003.
Jeremias Lemek. Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum Di
Indonesia. Galang Press. Yogyakarta. 2007.
#. Soesilo. #IB/HI# Dengan Penjelasan. Politeia. Bogor. 1995.
Soerjono Soekanto. Bantuan Hukum : Suatu Tinjauan Sosio Yuridis. Ghalia Indonesia.
Jakarta. 1983.
********* dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum NormatiI : Suatu Tinjauan Singkat.Cet-
Kelima. #aja GraIindo Persada. Jakarta. 2001.
Sr. Mauro Cappelleti, Earl Johson Jr. dan James Gord Ley. Towards Equal Justice, A
Comparative Studi oI Legal Aid in Modern Societies. Dobbes Ferry. New York. 1975.
Todung Mulya Lubis. 'Gerakan Bantuan Hukum Di Indonesia (Sebuah Studi Awal dalam
Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum : Ke Arah Bantuan Hukum
Struktural ed. Abdul Hakim G. Nusantara dan Mulyana W. Kusuma. Alumni. Bandung.
1981.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ;
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ;
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ;
Makalah dan Artikel :
Adnan Buyung Nasution. 'Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Judicial #eview
Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat : Beberapa Pointers, Makalah
disampaikan pada Dialog InteraktiI Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Judicial
#eview Pasal 31 UU Advokat. Bandung. 24 Februari 2006.
B. ArieI Sidharta. 'Sebuah Catatan Tentang Bantuan Hukum, Makalah disampaikan pada
Dialog InteraktiI Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Judicial #eview Pasal 31 UU
Advokat. Bandung. 24 Februari 2006.
Frans Hendra Winarta, '#evitalisasi Lembaga Konsultasi Dan Bantuan Hukum di Indonesia,
KHN Newsletterr (Volume 8Nomor 2, Maret-April 2008.
Luhut M.P. Pangaribuan, 'Advokat Sebagai Penegak Hukum : Suatu Catatan Secara Garis
Besar. Makalah disampaikan pada Pendidikan Khusus ProIesi Advokat, Jakarta, 19 April
2005.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI, 'Bantuan Hukum, diperoleh
dari www.pemantauperadilan.com 20 Desember 2004

Anda mungkin juga menyukai