Anda di halaman 1dari 12

Mengkonsolidasikan Demokrasi Indonesia Refleksi Satu Windu Reformasi

Saiful Mujani Lembaga Survei Indonesia (LSI) Mei 2006

Reformasi Indonesia sudah genap satu windu (Mei 1998 dan Mei 2006). Reformasi tersebut terkait erat dengan berakhirnya kekuasaan otoritarian Soeharto dan munculnya rezim demokrasi yang secara formal ditandai dengan terselenggaranya pemilihan umum demokratis tahun 1999. Setelah satu windu, apakah demokrasi kita semakin matang, semakin diterima sebagai sistem pemerintahan terbaik dibanding sistem manapun yang pernah ada dalam sejarah, dan oleh karena itu mendapatkan dukungan dan legitimasi luas dari masyarakat? Dengan kata lain, sejauh mana demokrasi kita terkonsolidasi? Demokrasi kita terkonsolidasi apabila ia mendapatkan legitimasi yang luas dan kuat dari warga sehingga sangat kecil kemungkinannya ia akan ambruk. (Diamond, 1996: 238). Dengan kata lain, Demokrasi terkonsolidasi ketika ia menjadi satu-satunya aturan main, dan ketika tak seorang pun dapat membayangkan untuk bertindak di luar sistem demokrasi; ketika kelompok yang mengalami kekalahan menggunakan aturan yang sama [demokrasi] untuk membalas kekalahannya... (Prezeworski 1991: 26). Adanya legitimasi yang kuat dari warga, atau adanya penerimaan sebagai satusatunya aturan main dalam membangun dan melaksanakan pemerintahan tersebut ditandai oleh tidak signifikannya perilaku menentang demokrasi dari kekuatan-kekuatan yang ada, tumbuhnya keyakinan yang luas di masyarakat bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik, dan berfungsinya negara secara efektif dalam penegakan hukum. Konsolidasi demokrasi sebagaimana terlihat dari sikap dukungan yang luas dari masyarakat terhadap demokrasi banyak ditentukan oleh kinerja demokrasi itu sendiri, misalnya apakah masyarakat merasakan puas dengan pelaksanaan demokrasi atau tidak. (Fuchs, Guidorossi, dan Svensson, 1995; cf. Norris, 1999). Kepuasan ini terkait dengan kinerja pemerintahan demokrasi itu sendiri, yakni bagaimana masyarakat menilai kinerja pemerintah dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Masalah yang dihadapi masyarakat terutama terkait dengan kinerja ekonomi secara nasional. Secara umum kinerja ekonomi nasional yang baik membuat demokrasi stabil dan terkonsolidasi (Prezeworski et al, 2000; Wheaterford, 1990; Dutt dan Kornberg 1994). Seperti akan dikemukakan di bawah bahwa dukungan terhadap demokrasi sebagai sistem politik terbaik bagi bangsa kita sudah cukup baik, tapi tidak cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa demokrasi kita telah terkonsolidasi. Di negara-negara demokrasi, pandangan positif warga terhadap demokrasi bisanya lebih dari 84%. Kita dalam satu windu ini baru mencapai rata-rata sekitar 72%. Di samping itu masih cukup besar di antara anggota masyarakat kita yang toleran terhadap keterlibatan tentara aktif dalam politik praktis, misalnya menjadi pemimpin nasional. Di negara-negara demokrasi yang terkonsolidasi tingkat toleransi terhadap kepemepimpinan militer dalam politik ini tidak lebih dari 10%. Di negara kita dalam satu windu terakhir ini toleransi terhadap kepemimpinan tentara aktif masih sekitar 30%.

Masih belum optimalnya sentimen positif terhadap demokrasi terkait dengan penilaian masyarakat bahwa demokrasi kita belum berjalan sebagaimana diharapkan. Masih besar di antara warga yang merasa tidak puas dengan kinerja demokrasi kita. Keadaan ini terkait kuat dengan kinerja pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini, terutama dalam masalah ekonomi. Penilian negatif atas kinerja pemerintah berdampak pada penilian negatif atas kinerja demokrasi, dan pada akhirnya tidak memberikan dukungan terhadap ide bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik, dan cenderung toleran terhadap kepemimpinan tentara aktif dalam politik nasional. Karena itu konsolidasi demokrasi kita akan banyak tergantung pada kinerja pemerintah demokrasi sekarang. Lambannya pemulihan ekonomi bisa menjadi sumber negatif sangat serius bagi nasib demokrasi kita ke depan. Sejumlah hipotesis tentang konsulidasi demokrasi ; Demokrasi terkonsulidasi bila: Mendapatkan legitimasi yang luas dan kuat dari kemungkinannya ia akan amruk (Diamond 1996) Menjadi satu-satunya aturan main, dan ketika tak seorang pun dapat membayangkan untuk bertindak di luar sistem demokrasi; Ketika kelompok yang mengalami kekalahan menggunakan aturan yang sama [demokrasi] untuk membalas kekalahannya. Pada tingkat perilaku, tidak ada kekuatan signifikan di dalam sebuah negara yang menentang demokrasi. Pada tingkat sikap, demokrasi diterima secara luas di masyarakat sebagai sistem politik terbaik. Secara konstitusional, semua kekuatan menjadi hamba hukum, atau setiap konflik diselesaikan lewat proses hukum. Parameter konsolidasi demokrasi (Linz and Stepan 1996): 1. Pada tingkat perilaku, tidak ada kekuatan signifikan di dalam sebuah negara yang menentang demokrasi. 2. Tidak signifikannya kekuatan yang mentoleransi kepemimpinan politik tentara. 3. Pada tingkat sikap, demokrasi diterima secara luas di masyarakat sebagai sistem politik terbaik. 4. Secara konstitusional, semua kekuatan menjadi hamba hukum, atau setiap konflik diselesaikan lewat proses hukum. Sumber Data: Serangkaian Survei Opini Publik secara nasional, dari tahun 1999 (Liddle dan Mujani), 2001-2002 (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat), dan 2003-2006 warga sehingga sangat kecil

(Lembaga Survei Indonesia, LSI). Jumlah setiap sampel nasional bervariasi, antara 1200 hingga 2400 Untuk perbadingan dengan negara-negara lain digunakan data dari World Value Survey 1990-2000.

Demokrasi sebagai sistem terbaik Yang akan dipaparkan di sini adalah konsolidasi demokrasi yang dicermati dari sikap warga terhadap demokrasi, seberapa luas warga yakin bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik. Bersamaan dengan itu sejauh mana warga menolak kepemimpian tentara aktif dalam politik nasional (Klingemann 1999; World Value Survey). Grafik 1. Setuju bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik untuk negara kita (%)

80 70 60 50 40 30 20 1999 2001 2002 2003


68 70 70

75

72

74

69

2004

2005

2006

Kalau diambil angka rata-rata dalam satu windu reformasi kita, dukungan terhadap pandangan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik mencapai sekitar 72%. Di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, proporsi dukungan terhadap demokrasi sebagai sistem terbaik rata-rata sekitar 84% (Klingemann 1999). Proporsi Indonesia tersebut di bawah banyak negara demokrasi seperti Jerman (93%), USA (88%), Jepang (88%), Korea Selatan (84%), atau Afrika Selatan (85%) pada tahun 90-an (Klingemann 1999). Posisi Indonesia dekat dengan Negara-negara seperti Meksiko (71%) dan Filipina (72%) pada kurun waktu yang sama. Dengan kata lain, tingkat konsolidasi demokrasi kita belum kuat, meskipun tidak terlalu jelek. Ia setingkat dengan Filipina yang kita tahu demokrasinya kurang stabil.

Grafik 2. Demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik (%): Indonesia, sejumlah demokrasi lain, dan rata-rata demokrasi di Dunia

Dunia Jerman USA Jepang Korea S Afsel Meksiko Filipina Indonesia 71 72 72

84 93 88 88 84 85

Sumber: Indonesia: proporsi rata-rata dari lima survei; selainnya: World Value Survey data set, dan Klingemann (1999). Dalam konteks studi demokrasi, dukungan publik atas keterlibatan tentara aktif dalam politik merupakan indikator penting lain dari belum kuatnya demokrasi di sebuah negara. Dalam survei opini publik, konsep dukungan keterlibatan tentara dalam politik praktis bisa diukur dengan sebuah pertanyaan umum, apakah setuju atau tidak setuju kalau negara ini dipimpin oleh seorang tentara aktif. Secara umum, masyarakat kita menolak keterlibatan tentara aktif dalam politik praktis. Sentimen ini fluktuatif dari tahun ke tahun. Namun demikian, masih cukup banyak (rata-rata sekitar 27% dalam enam tahun terakhir) yang membenarkan keterlibatan tentara aktif dalam politik praktis, misalnya menjadi kepala negara, anggota DPR, gubernur, atau bupati/wali kota. Ke depan, angka ini harus semakin kecil. Di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, dukungan atas keterlibatan tentara dalam politik praktis di bawah 10%. Di Jerman misalnya, toleransi terhadap keterlibatan tentara dalam politik hanya 1%, di Amerika 7%, di Korea Selatan 4%, di Argentina 14%, dan di Turki 26%.

Grafik 3. Sebaiknya Indonesia dipimpin oleh tentara aktif/belum pensiun ...(%)

40
31

34

36

30 20 10 0 1999 2001 2002 2003 2004 2005 2006


13 23 26 25

Angka Indonesia berada pada negara-negara demokrasi baru yang belum stabil seperti Turki, dan masih terbuka terhadap kemungkinan kudeta oleh tentara seperti halnya yang terjadi berkali-kali di Turki. Artinya, kekuatan resistensi opini publik yang belum mantap terhadap keterlibatan tentara dalam politik bisa memberikan peluang bagi kembalinya tentara di arena polititik bila faktor-faktor penting lain mendukung, terutama kegagalan pemulihan ekonomi dan meluasnya protes massa. Kasus ini terlihat dengan jelas dalam kasus Pakistan, yang tingkat toleransinya terhadap keterlibatan tentara dalam politik praktis terbilang tinggi (40%), dan jendral sering keluar-masuk politik praktis di negeri tersebut.

Grafik 4. Sebaiknya negara dipimpin oleh tentara aktif ...(%)


sumber: World Value Survei 90-an

50 40 30 20 10 0 7 6 1 2 5 14 26 40 27

USA

Inggris

Jerman

Jepang

Korea

Argentina

Turki

Pakistan Indonesia

Kepuasan terhadap Praktek Demokrasi Apa yang mempengaruhi dukungan atau penolakan terhadap demokrasi sebagai sistem politik terbaik? Salah satu jawaban terhadap masalah itu adalah tingkat kepuasan public terhadap praktek demokrasi di sebuah Negara. Kalau masih ada warga kita yang tidak memandang demokrasi sebagai system terbaik, dan masih toleran terhadap keterlibatan tentara dalam politik seperti di atas, hal itu terkait dengan belum puasnya warga terhadap pelaksanaan demokrasi di Negara kita. Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi kita tergantung pada bagaimana demokrasi dipraktekan. Bila dinilai buruk dalam praktek, maka warga juga cenderung menilai demokrasi sebagai system yang buruk sehingga dukungan terhadapnya lemah. (Mishler dan Rose 1999). Grafik 5. Puas dengan pelaksanaan demokrasi (%)
80 70 60 50 40 30 20 10 0

67 62 56 46 38 38

2001

2002

2003

2004

2005

2006

Masyarakat ditanya seberapa puas dengan pelaksanaan demokrasi di Negara kita? Yang menyakatakan puas menunjukan indikasi kemajuan. Sebelum pemilihan umum 2004 yang menyatakan puas masih di bawah 50%. Setelah itu selalu di atas 50%. Ini indikasi yang positif dari konsolidasi demokrasi kita. Tapi masih besar yang menyatakan belum puas. Dalam enam tahun terakhir yang puas rata-rata sekitar 51%. Selebihnya belum puas. Ketidakpuasan yang masih besar ini bisa menjadi sumber psikopolitik bagi tumbuhnya toleransi terhadap sistem politik non-demokrasi. Hubungan antara kepuasan terhadap praktek demokrasi dan legitimasi terhadap demokrasi signifikan (Grafik 6). Ini mengindikasikan bahwa bila warga semakin puas dengan praktek demokrasi maka ia semakin yakin bahwa demokrasi memang sistem politik terbaik, dan demokrasi menjadi semakin terkonsolidasi. Sebaliknya, bila warga semakin tidak puas dengan praktek demokrasi maka dukungan terhadap demokrasi menjadi semakin lemah, dan berakibat semakin tidak terkonsolidasinya demokrasi kita.

Grafik 6. Korelasi praktek dan konsolidasi demokrasi (r = .15; P<.001)


3.3

3.2

3.1

3.0

2.9

Konsolidasi

2.8

2.7 1.00 2.00 3.00 4.00

Praktek

Kinerja lembaga-lembaga demokrasi Tingkat kepuasan terhadap praktek demokrasi yang berkaitan dengan konsolidasi demokrasi terkait dengan kinerja lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri seperti partai politik, DPR, dan Presiden.1 Data dari serangkaian survei opini publik nasional menunjukan bahwa evaluasi terhadap kinerja lembaga-lembaga demokrasi ini berhubungan dengan kepuasan publik atas kinerja demokrasi. Semakin positif penilaian publik terhadap lembagalembaga demokrasi maka semakin puas publik terhadap praktek demokrasi. Sebaliknya semakin buruk penilian terhadap kinerja lembaga-lembaga tersebut maka semakin kuat rasa tidak puas publik terhadap praktek demokrasi. Lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik, DPR, dan Presiden bertanggung jawab terhadap pembentukan kesadaran publik tentang baik-buruknya atau puas-tidak pusanya mereka terhadap praktek demokrasi. Grafik 7. Korelasi antara kinerja lembaga-lembaga demokrasi dan kepuasan publik atas pelaksanaan demokrasi secara umum (r = .32; P<.001)

1 Tentu saja lembaga-lembaga demokrasi tidak terbatas pada tujuh Lembaga tersebut. Termasuk juga ke dalamnya adalah organisasi-organisasi kepentingan dan voluntary association, DPD, dll. Dalam survei 2006, ditanya: Bagaimana menurut ibu/bapak kerja lembaga-lembaga pemerintah berikut selama ini? Apakah sangat baik, baik, buruk, atau sangat buruk? Lembaga-lembaga tersebut adalah partai politik, DPR, presiden, polisi, tentara, kejaksaan, dan kehakiman. Skor total dari 7 lembaga ini membentuk indeks kinerja Lembaga-lembaga demokrasi, dari 1 sampai 5. Yang menjawab tidak tahu diberi skor 3, yang berarti netral atau tidak bersikap.

4.50

4.00

Praktek demokrasi

3.50

3.00

2.50

2.00
2.00 2.14 2.29 2.43 2.57 2.71 2.86 3.00 3.14 3.29 3.43 3.57 3.71 3.86 4.00 4.14 4.29 4.43

Lembaga demokrasi

Berakar dalam masalah ekonomi nasional Evaluasi positif atau negatif terhadap kinerja lembaga-lembaga demokrasi seperti partai, DPR, atau presiden dipercaya berakar dalam evaluasi publik atas kinerja ekonomi nasional, yakni apakah keadaan ekonomi nasional tahun ini menjadi lebih baik, lebih buruk, atau sama saja, dibanding tahun lalu. Bila keadaan ekonomi nasional dirasakan lebih baik, maka pada gilirannya lembaga-lembaga demokrasi seperti partai, DPR, dan Presiden juga dinilai beerkinerja baik, dan kemudian muncul rasa puas di masyarakat bagaimana demokrasi kita dipraktekan. Pada akhirnya publik menjadi semakin yakin bahwa demokrasi memang sistem politik terbaik. Masalahnya, sejak otoritarianisme Suharto tumbang umumnya masyarakat tidak pernah merasa bahwa keadaan ekonomi sekarang lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Dalam kurun waktu sekitar satu windu, rata-rata anggota masyarakat yang merasakan bahwa keadaan ekonomi nasional sekarang lebih baik dari tahun sebelumnya hanya sekitar 24%. Sejak tahun 1999 hingga sekarang memang ada perbaikan, misalnya dari 7% pada tahun 1999 menjadi 28% pada tahun 2001. Pernah mencapai perbaikan tertinggi pada tahun 2004 ketika masa pemilihan umum.2 Tapi tidak melampuai 35%. Siapapun pemimpin nasionalnya dalam 8 tahun terakhir, publik pada umumnya tidak merasakan bahwa keadaan ekonomi nasional menjadi lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Persoalan ekonomi ini merupakan persolan lintas kepemimpinan nasional, dan seperti akan ditunjukan di bawah bahwa masalah ekonomi ini berhubungan secara berarti dengan kinerja lembaga-lembaga demokrasi, kepuasan publik atas praktek demokrasi, dan dukungan terhadap keyakinan bahwa demokrasi merupakan sistem politik terbaik.

Dalam survei 1999, 2001, dan 2002, pertanyaannya sedikit berbeda dengan pertanyaan yang digunakan dalam survei sejak tahun 2003. Sebelumnya ditanyakan, apakah keadaan ekonomi nasional sekarang lebih baik atau lebih buruk disbanding keadaan ekonomi nasional sebelum krisis ekonomi tahun 1997? Kemudian pertanyaannya berubah, apakah keadaan ekonomi nasional tahun ini lebih baik atau lebih buruk disbanding tahun lalu? 9

Grafik 8. Keadaan ekonomi nasional sekarang lebih baik dibanding tahun sebelumnya (%)
40 30 28 20 10 0 1999 2001 2002 2003 2004 2005 2006 25 28 23 24 35

Grafik

mennunjukan

bahwa

evaluasi

terhadap

kondisi

ekonomi

nasional

berhubungan secara berarti dengan evaluasi terhadap lembaga-lembaga demokrasi, dan juga secara langsung dengan evaluasi atas praktek demokrasi secara umum. Warga yang merasa keadaan ekonomi nasional sekarang lebih baik cenderung juga menilai bahwa lembaga-lembaga demokrasi menilai praktek demokrasi kita. Pola hubungan seperti itu mengindikasikan bahwa lambatnya pemulihan ekonomi bisa berdampak negatif terhadap kepuasan publik terhadap praktek demokrasi di negara kita, dan pada akhirnya masyarakat semakin tidak yakin bahwa demokrasi merupakan sistem terbaik atau paling pas untuk negara kita. Dengan kata lain, legitimasi atas dan konsolidasi demokrasi kita potensial terancam oleh lambannya pemulihan ekonomi nasional. Grafik 9. Hubungan antara kinerja ekonomi nasional dan kinerja lembaga-lembaga demokrasi (r = 18; P<.001).
4.00

berkinerja baik, dan juga cenderung lebih positif dalam

3.80

Kinerja lembaga demokrasi

3.60

3.40

3.20

3.00

2.80 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00

Keadaan ekonomi nasional

10

Kesimpulan Pola hubungan antara kinerja ekonomi nasional dan kinerja lembaga-lembaga demokrasi tersebut bersifat konsisten dan penting (dalam analisis multivariat) lepas dari perbedaan tingkat sosial-ekonomi (pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dll.) maupun faktor demografis (agama, daerah, kelompok etnik, umur, maupun perbedaan jender). Pola hubungan antara faktor untuk memperkuat atau memperlemah konsolidasi kita dapat diringkaskan dalam path-analysis di bawah. Analisis ini menunjukan bahwa demokrasi kita bisa terselamatkan, atau terancam keberlangsungannya, tergantung pada kinerja lembaga-lembaga demokrasi, terutama presiden, DPR, dan partai politik, dan kinerja lembaga-lembaga ini di mata publik tergantung pada seberapa baik kekuatan kolektif mereka untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Path-Analysis Model ekonomi-politik konsolidasi demokrasi (standardized regression coefficients; semua signifikan pada P<.001)

.12 .13

KPD
.08 .30

EN
.17 .18

KD

LD

KD LD EN

= Konsolidasi demokrasi = Evaluasi atas kinerja lembaga-lembaga demokrasi = Keadaan ekonomi nasional

KPD = Kepuasan atas pelaksanaan/praktek demokrasi

11

Anda mungkin juga menyukai