Anda di halaman 1dari 12

207,/

Apakah salah fika kau ingin selalu berdekatan dengan orang yang kau sukai
terutama disaat kau sedang dalam kesedihan?
Tentu saja tidak, bukan? Pertimbangan itulah yang membuat sang jelita Karin
Himeko dari negeri Sakura itu memutuskan untuk menemui kekasihnya Brian Jesse
yang ada di Indonesia . Hampir satu bulan sudah sejak dia pertama kali mendengar
semua beritanyatentang bagaimana ayahnya, Haris, meninggal dalam kecelakaan,
tentang bagaimana perasaan depresi luar biasa milik Brian yang eleginya terbawa
angin hingga ke Tokyo.
Ketika Karin berkunjung ke Indonesia, dia biasa menunggui Brian dan ayahnya
bermain shogi hingga berjam-jam. Tetapi belum juga setengah permainan, Ana akan
datang untuk menariknya berbelanja di butik tengah kota dengan dalih untuk apa
jauh-jauh ke Indonesia kalau hanya menonton shogi. Lantas ketika udara malam
menjemput hari, mereka akan berakhir di kedai yakiniku milik keluarga Ando
menikmati santap malam dengan hidangan lezat buatan tangan terampil Ando yang
merupakan sahabat karip Brian. Karin menyunggingkan senyum tipis nan getir.
Sungguh miris bahwa kenyataannya dia sudah tak mungkin dapat mendapat keceriaan
macam itu lagi sekarang.
Dia memang sudah terlambat sekitar hampir sebulan. Salahkan semua urusan
perusahaan yang dilimpahkan kepadanyadan tentu izin yang susah didapat dari
adik lelakinya yang bersikeras tidak memperbolehkan pergi ke Indonesia. Hingga
akhirnya dia hanya dapat mengirim berpuluh surat belasungkawa. Meski pada
akhirnya dari sekian banyak surat, hanya segelintir yang mendapat balasan. Karin
memakluminya, kehilangan seseorang yang berharga dalam kehidupan memanglah
sebuah pukulan telak bagi siapapun yang mengalaminya. Tetapi kini, ketika dia dapat
waktu untuk berkunjung ke Indonesia, ia akan membayar semua keterlambatan
belasungkawanya dan tentu menemani Brian yang tengah dikelilingi keterpurukan.
Ini sudah hari ketiga sejak kedatangannya di Indonesia. Biasanya selalu ada yang
menyenangkan yang dapat dia lakukan di sini,tapi kali ini berbeda. Dia memang telah
diperingatkan oleh pemuda sahabat kekasihnya, bahwa Brian yang sekarang adalah
seseorang yang berbeda. Dia juga tahu semuanya telah berubah, tahu persis malah.
Tetapi apakah semuanya harus seasing ini? Sungguh, jika begini terus perasaannya
sebagai perempuan-lah tak dapat berhenti berspekulasi.
Sejak kedatangannya, Brian memang telah berkali-kali mendatangi apartemennya.
Tetapi tak sekalipun pemuda itu mau tinggal bersamanya lebih dari tiga jam. Pemuda
itu selalu datang dan pergi dengan terburu-buru. Dia sudah berbincang banyak hal
dengan Brian,tapi tak ada satupun yang berarah ke titik kesedihannya. Tak ada yang
perlu dibicarakan, aku sudah jenuh, itu ungkapnya. Ketika kalimat itu terlontar, maka
gadis itu tak lagi punya kuasa untuk meneruskan pembicaraan lebih lanjut. Sebut dia
naiI, kenyataannya dia berharap pemuda itu akan berkata kedatangannya menjadi
penenang baginya. Kurangkah dirinya untuk sekedar menjadi teman berbagi
kekasihnya sendiri? Apakah ada yang salah dengan dirinyaatau malah hubungan
ini? Entahlah.
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
Jam tangan yang memeluk erat pergelangan tangan gadis blondie itu membentuk
sudul 180 tepat, jarum kecilnya menunjuk ke arah enam. Masih dua jam lagi
sebelum Brian menjemputnya, tetapi perutnya sudah sama sekali tak mau
berkompromi. Jadi dia memutuskan untuk berjalan-jalan mencari makanan Jepang
untuk mengganjal perutnya. Di kedai ramen dekat dengan penginapan dia bertemu
dua temannya yaitu Agus dan Shinta yang sepertinya juga sudah menjadi pasangan.
"Hey, Agus! Shinta!" sapa Karin akhirnya, mendekat pada sosok pink dan kuning itu.
"Oh hey karin, bagaimana kabar Adikmu?" tanya Agus langsung, membuat Karin
tersenyum geli. Adik bungsunya itu juga selalu menanyakan kabar Agus tiap kali dia
pulang dari kunjungannya ke Indonesia.
"Dia baik-baik saja, hanya sibuk dengan tugasnya sebagai Direktur Perusahaan."
Tapi sepersekian detik kemudian ekspresi cerianya pudar, dia menunjukkan raut
wajah prihatin pada gadis itu. "Em, kami dengar tentang kau dan Brian. Itu pasti
menyedihkan ya..."
Alis Karin bertaut bingung. Dengar tentang dia dan Brian? Tentang apa? Terlebih
lagi, menyedihkan katanya? Menyedihkan...?
Agus melanjutkan kalimatnya, tak sadar akan perubahan besar pada raut wajah gadis
itu. "Pasti berat untuk kalian berdua setelah putus. Tapi kalau Brian sudah 'jalan'
dengan Ana, tentu semua sudah baik-baik saja kan?"
"Agus! Kau ini, tidak sopan bicara begitu!MaaIkan dia ya, dia memang"
"Brian... jalan dengan... Ana?" ulang Karin menatap kedua sosok dihadapannya
dengan pandangan mata tak percaya. Wajahnya berubah pucat, "Apa? Sejak kapan?"
"Kau... tidak tahu, Karin?" tanya Shinta heran "Tentu saja sejak kalian putus, kan?"
Karin tidak dapat berpikir lagi, yang jelas kakinya telah menjauh dari Kedai itu
sekarang. Dia memang tahu bahwa Brian telah berubah, tetapi dia sama sekali tak
menyangka kenyataan seperti ini yang akan diterima. Berapa banyak orang yang telah
melihat secara nyata hubungan antara Brian dan Anasementara dihadapannya
pemuda itu tetap berakting sebagai kekasihnya tercinta? Kenapa tak ada yang
memberi tahu bahwa dia selama ini hidup dalam dunia Iantasi bahwa dirinya selalu
punya hubungan sempurna dengan pemuda yang dia cintai? Apakah Brian sudah
tidak mencintainya?
rukk'
Tubuh Karin menabrak seseorang, mata Emeraldnya yang basah itu hanya dapat
menatap nanar sosok di depannya, "Ando..."
"Karin, Kaukau kenapa?" pemuda berbadan besar itu menangkap ada
ketidakberesan yang terjadi pada diri sang gadis.
"Brian tidak berpacaran dengan Ana kan? Katakan, ini semua bohong, kan?"
Wajah Karin terangkat, menatap lekat sosok dihadapannya. Menanti sebuah jawaban
positiI yang akan dilontarkannya. Tetapi yang dia dapatkan adalah pandangan mata
prihatin darinya. Selebihnya bisu, pemuda itu hanya membiarkan diam yang
menjawab pertanyaan sang gadis. Gadis itu menggelengkan kepalanya, melanjutkan
langkahnya dengan segera. Tak peduli walaupun pemuda di belakangnya terus
memanggil namanya dan mengejarnya. Ini semua omong kosong, dan dia harus
mencari tau sendiri dimana letak kegilaan ini.
Dia tidak percaya mereka, dia harus percaya pada Brian bukan?
========
Mungkin, ide datang kemari memang bukanlah ide yang bagus. Ando memang telah
menyuruhnya untuk tidak datang, dan memintanya untuk menyelesaikan semuanya
baik-baik. Duduk bertiga, membicarakan bersama tentang bagaimana jalan keluar
yang terbaik bagi mereka. Ide yang dilontarkan pemuda itu memang cukup sempurna,
namun hatinya yang sudah begini perih itu tak sanggup berkompromi. Dia harus
melihatnya. Dia ingin menyelesaikan semuanya, sekarang juga.
Tetapi dia sekarang justru mematung, diam dengan ketidaktahuan akan apa yang
harus dilakukannya. Sementara suara sayup-sayup dari balik pintu kian jelas, kian
meremukkan perasaannya. Dia sedang berdiri di depan pintu apartemen milik Ana.
Pemandangan mesra yang jauh dari harapannya.
"Kau... tidak apa kemari...?" suara manja itu semakin merobek hati gadis yang
mematung di balik pintu. "Bukankah... dia sedang disini?"
ia. Karin tau jelas siapa 'dia' yang sedang mereka bicarakan di balik potongan kayu
yang menjadi pembatas perbuatan dosa itu dengan dirinya. Namun dia tetap bertahan
dengan kebisuan dan kepatuhannya pada rasa penasaran untuk tetap diam. Sekalipun
dia begitu ingin untuk lari saja.
"Aku tidak ingin memikirkannya..." Suara yang berat, yang telah begitu dikenalnya
menjawab. Pernyataan yang langsung menusuk sampai ke dasar hatinya. Entah
kenapa otaknya tak dapat berhenti memberi gambaran tentang apa yang terjadi di
dalam. "Aku hanya ingin menikmati semuanya sekarang..."
Sebuah suara debam, kali ini persis di pintu kayu itu, menggema keras. Membuat
gadis berkuncir dua itu mundur berberapa langkah. Percayakah, bahkan ketika dia
sudah menjauh sekian langkah dari pintu laknat itu, telinganya masih mendengar
bisik-bisik manja, kata-kata mesra, dari keduanya? Kemudian sudah tidak ada yang
terdengar olehnya, sepasang telapak tangan tiba-tiba menutup kedua telingannya.
Membuat suara-suara disana kian samar terdengar, membuat hatinya sedikit lebih
tenang.
"Sudah cukup, Kau hanya perlu dengar sampai disitu..."
Bibir Karin tidak bicara kepada pemuda itu, namun mata Emerald yang makin
berubah kemerahan itu seakan dapat menceritakan segalanya. "Aku sudah
mengetahui semuanya. Terima kasih."
Pemuda itu menghela naIas berat, "Lantas, apa rencanamu selanjutnya?"
Tubuh gadis itu hanya bisa jatuh pasrah ke lantai marmer. Wajahnya menyiratkan
rasa sedih, kecewa, tapi juga lelah di sisi lain. "...mungkin, aku lebih baik pulang
sekarang..."
Dia hanya dapat menatap nanar gadis yang menjadi kekasih sahabatnnya itu. Prihatin,
jelas. Namun dia juga tak dapat berbuat banyak. Sang gadis melangkah pergi.
Bergelut dalam pikirannya sendiri, kini pemuda itu merasa telah begitu bodoh dengan
setuju menyembunyikan semua hubungan gelap antar dua sahabatnya dari Karin Kali
ini, biar dia membayar seluruh kebodohannya.
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
rakk'
Bunyi pintu kayu yang dibuka secara paksa itu tiba-tiba memekakkan telinga,
terutama bagi kedua sosok di dalam kamar tersebut. Pemuda berambut cokelat itu
menatap keduanya dengan pandangan mata dingin dengan suatu amarah disana.
"Ando...?" pekik Ana Brian mendelik tak suka pada sahabatnya, "Ngapain kau
kesini?"
Pemuda itu langsung menuju ke arah Brian berdiri dan meninjunya keras. Ana
kembali terpekik kaget, raut wajahnya pun menunjukkan kebingungan dengan apa
yang sedang terjadi. Jenius Jesse itu bangkit, menghela darah dari tepi bibir kirinya
yang sobek. "Kau ngapain sih? Sudah gila ya?"
"Aku gila? Kau yang gila!" Ando balas membentak pemuda itu. "Kau... pasti tidak
sadar kan selama kalian bermesraan tadi Karin ada di balik pintu apartemen kalian?"
Baik Brian ataupun Ana sama-sama terbelalak dengan pernyataan barusan.
"Apa?" Brian menautkan alisnya tak percaya, wajahnya berubah ngeri.
"Puas kau menghancurkan hati kekasihmu, hah? Dia sudah tahu semuanya! Puas?"
cibir Ando sinis.
Pemuda Jesse itu tidak memperdulikan cibiran yang dilontarkan sahabatnya itu. Dia
segera melangkah pergi mengejar kekasihnya yang entah pergi kemana itu. Dia
merasa harus menjelaskan semuanya. Harus.
Sementara yang tersisa disana, hanya saling bertatapan ."Ngapain kau menatapku
seperti itu?" sang gadis yang lebih dulu membuka mulut.
"Ana, dengarkan aku!" Ando menatap lurus bola mata aquamarine itu. "Kau tidak
harus melakukan semuanya sampai seperti ini!" Ando menggengam erat lengan Ana.
"Aku tahu kau mencintai Brian tapi merusak hubungan mereka dengan
memanIaatkan rasa kesepian Brian itu benar-benar picik!
"Lantas aku harus bagaimana?" naIas gadis itu menggebu karena emosinya yang
kian tidak stabil, air mata mulai turun membasahi wajahnya. "Kau tidak tahu
bagaimana rasanya cinta yang tidak terbalas!
Sekali lagi Ando menghela naIas, "Aku tahu betul, sangat tahu... Karena... rasa
cintaku untukmu juga tidak terbalas" ucapnya lirih, namun tetap dapat terdengar jelas.
"MaaI sudah mengganggumu."
Ana membelalak kaget, namun dia tidak sempat bereaksi. Ana sama sekali tidak
menatap kepergian pemuda itu. Ketika bunyi pintu ditutup, kembali membuka
kesunyian ruangan itu, kala itu pula tubuhnya jatuh ke kasur.
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
Karin membanting pintu apartemennya kasar. Dadanya naik turun, sejalan dengan
emosinya. Langkahnya gontai memasuki kamar mandi dan membasuh wajahnya.
Mungkin setengah berharap air itu ikut meluruhkan air matanya. Walau dia sendiri
lebih dari paham, tangis adalah hal tak terelakkan untuk dia dalam kasus ini. Dia
mungkin sosok yang kuat, tetapi sekali ini dia tak bisa menahannya. Matanya
menatap nanar bayangannya sendiri di kaca, tak perlu berapa lama hingga rasa benci
kian membuncah dalam benaknya. Siapa sangka dari asmara yang sempat dia
banggakan harus berbuah amarah. a, adalah seorang jenius, pasti. Tapi soal hati?
Kenapa sampai setega ini, siapa bisa membayangkan?
Kepalanya sekarang terasa pusing bukan main, dipaksakannya untuk segera menuju
kamar utama. Penyakit yang sudah membatasi umurnya terasa kian menusuk sejalan
dengan luka baru yang tercipta di hatinya. Tubuhnya bergerak dan berujung pada
melemparkan tubuhnya ke kasur. Sungguh demi apapun dia berharap dapat jatuh
tertidur dan melupakan segalanya. Jikalau mungkin Tuhan memperbolehkan dia
mengakhiri umurnya tanpa menunggu sisa waktu 3 minggu lagi. Yang penting dia
hanya ingin melupakan a, melenyapkan bisik cinta yang pernah singgah di hatinya.
Gadis itu mulai pasrah dalam rasa sakitnya, ketika derap langkah mendekat.
Cklekk'
Pintu terbuka.Perlahan, pemuda Jesse memasuki kamar itu. Senyap dan gelap,
Pemuda rambut reven itu segera menuju kamar utama. Benar saja, dia mendapati
kekasihnya berbaring disana, berlawanan arah dengan dirinya. Apakah Karin sedang
tidur? Brian bergerak mendekat, ketika Karin buka suara.
"Kau terlambat..." gumam Karin parau, menatap jam meja yang kini menunjuk angka
20.15 ."Untuk apa kemari?"
Jesse itu menghela naIas, mengerjap mata sejenak. Otaknya menangkap sinisme pada
nada bicara sang gadis. Tentu terlalu naiI jika dia masih punya pikiran gadis ini tidak
tahu menahu tentang apa yang barusan terjadi. "Kita harus bicara,"
"Tentang bagaimana asiknya bermesraan dengan sahabatmu?" cibir Karin dengan
suara yang mulai bergetar, tangis sudah hampir kembali menyergap dirinya.
"Aku punya alasan melakukan semua ini"
"Seperti kau sudah bosan pacaran jarak jauh?"
"Karin, dengarkan aku dulu. Kau tidak bisa menyalahkan se"
"Jadi aku tidak bisa menyalahkanmu karena berselingkuh dariku?"
"Demi Tuhan, Karin! Biarkan aku bicara dulu!"
"Bicara apa? Pengkhianatan macam apa lagi yang harus kudengar?" Karin bangkit
dari tidurnya, menghadap langsung kearah sosok yang sedari tadi mati-matian
dihindarinya. Karin terpaksa berulang kali menyeka tangisnya dengan punggung
tangannya. Dalam tahap ini, cairan bening itu sudah masuk Iase menyakitkan bagi
matanya. Meski begitu, segala upaya untuk menyudahinya dirasa percuma.
Sementara yang dapat dilakukan pemuda itu hanya menatap gadisnya prihatin.
Percayalah, hatinya pun sakit mendapati kekasihnya berlinang air mata. Terluka,
karena dirinya. Mungkin dia bajingan, tapi setidaknya dia masih punya hati tersisa
untuk diserahkan pada rasa iba.
"MaaIkan aku..." jenius Jesse itu bersungguh-sungguh, menatap lurus mata emerald
Karin. Seakan dia dapat merasakan seluruh perih gadis itu dalam hatinya sendiri.
"Aku minta maaI karena aku berselingkuh," Tangan Brian terjulur lagi, kali ini
langsung ke pipi Karin. Kini jemari pemuda itu yang mencoba untuk menghapus
jejak-jejak tangis disana. Sementara sang gadis sudah sama sekali tak punya kuasa
untuk melawan, jujur dia merindukan pemuda ini. Sangat rindu. Tetapi disisi lain,
perasaannya sudah remuk. "Aku mencintaimu, Karin. Sungguh..."
Seketika pemuda Jesse itu menariknya ke dalam pelukan. Terlalu lelah, siapapun
butuh seseorang untuk bersandar jika kau dalam keadaan terguncang macam ini.
Karin makin tak kuasa menjauh dari pelukannya. Meski luka hatinya menganga
sekian besar, tetapi ada cinta yang begitu dalam, menyimpan rasa rindu. Dua insan
yang tenggelam dalam kehangatan itu semakin larut, ketika tiba-tiba sebuah suara
terlintas begitu saja ditelinga sang gadis.
'ukankah... dia sedang disini?
Seketika dia mendorong kuat tubuh pemuda itu. "Karin...?" panggil Brian menatap
gadis dihadapannya dengan cemas. Merasakan kejanggalan yang ditunjukkan
olehnya. Karin menutup telinganya sendiri dengan kedua telapak tangannya, mencoba
melenyapkan suara-suara yang mencabik hatinya .Tetapi hal itu menjadi tidak
berguna karena bagaimana pun suara itu tidak nyata, suara itu adalah Iatamorgana
yang tercipta dari balik batinnya yang terluka . Otaknya seperti tak mau
berkompromi, organ utama itu terus menerus menyebar garam pada luka hatinya.
'Aku tidak ingin memikirkannya..Aku hanya ingin menikmati semuanya sekarang...
"Hentikan...!" Karin mendorong kuat-kuat dada pemuda dihadapannya hingga
terhuyung mundur beberapa langkah. "Sudah cukup, hentikan!"
"Apa sih? Kenapa kau ini!" Rasa kesal membayang dalam benaknya, sama sekali tak
mengerti apa yang dirasakan oleh Karin. "Aku tahu ini kesalahanku, Karin. Tapi aku
minta maaI!"
"MaaI?" amarah sang gadis pecah, sekuat tenaga lepas dari cengkraman pemuda itu.
"Kau berselingkuh, bodoh! dan aku harus memaaIkanmu BEGITU SAJA HAH? "
Himeko tertua itu sontak berdiri menghindari kontak lebih lanjut dengan sosok
dihadapannya. Sayang sang jenius tak kalah cepat membaca keadaan, pemuda itu
langsung ikuti bangkit, seraya menahan Karin untuk pergi lebih jauh. "Kau tidak
tahu kacaunya aku ketika Haris pergi, Karin!"
Rahang Karin serta merta mengeras. Haris katanya? Apa ia bermaksud menyalahkan
jarak lagi? membuat pemuda ini harus menyalurkan emosinya ke perselingkuhan? Itu
masalahnya? "Lantas kau mau katakan ini salahku? Karena aku tidak ada
disampingmu, SEMUA INI SALAHKU?"
Karin makin berontak keras dalam cengkraman Brian.Berbanding lurus, tangan
pemuda itu justru makin kuat pula mencengkram, tak peduli sang gadis telah
berteriak kesakitan dihadapannya. Pemuda itu justru sekuat tenaga menghempas
kembali tubuh gadis itu ke tempat tidur. "Kau tidak akan mengerti, perempuan!"
Pemuda itu mengunci mati tubuh sang gadis dibawah kendalinya, menahan
pergelangan tangan sang gadis untuk tetap menempel dengan kasur. Himeko tertua
itu meronta keras, masih ingin melepaskan diri. Seketika dia memajukan tubuhnya,
meludah tepat ke arah wajah Brian. 'Shit'" Brian tiba-tiba reIleks, tak hanya menarik
semua pertahanannya tapi jugaplakk!
"Arggh!" kedua tubuh itu bergeser ke arah yang berlawanan. Saat Brian selesai
membersihkan wajahnya, detik itu pula ia sadar dengan apa yang telah ia lakukan
pada Karin. Gadis itu meringkuk, memeganggi pipinya yang serasa terbakar
sementara bola matanya mendidih, tangis meluncur begitu saja tanpa suara. Ia baru
saja menampar wajah kekasihnya.
"K-Karin..."
Tangan pemuda yang terulur kearahnya itupun langsung ditangkisnya dengan cepat.
Kali ini gadis itu segera bangkit dari tempat tidurnya, melempar pandangan lurus.
Jujur dia sudah jengah menatap mata yang menyakitkan itu. Bola mata yang sekali ini
sangat dibencinya. Dia sangat membencinyabegitu benci karena dia masih juga
mencintainya. "Ya... aku memang tidak mengerti..." Karin menggumam lirih,
suaranya kali ini begitu bergetar dalam perih hatinya. "...aku tidak mengerti sampai
batas mana sebenarnya kau mencintaiku, laki-laki..."
Brian tertegun.Bahkan otaknya dengan IQ 200 sekian itu menjadi begitu lambat
mencerna rangkaian kata singkat dari sang gadis untuknya. Ia masih bertahan dalam
ketidaktahuannya ketika Karin akhirnya memutuskan untuk bergerak, menarik koper
dan melangkah pergi dengan segera, angkat kaki dari Indonesia.
Jesse muda itu memejamkan matanya, meresapi bunyi yang diterima telinganya.
Adalah derap langkah yang kian menjauh, meninggalkannya. Kala itu banyak yang
terlintas diotaknya, harus bagaimana? Harus apa? Apa sebenarnya masalahnya?
Setelah kesadaran kembali menjemputnya dia segera keluar dari apartemen menuju
liIt. Pikirannya kalut. Pemuda itu merasa bersalah setidaknya karena kekasihnya itu
sudah jauh-jauh datang ke Indonesia dan hanya disuguhi penghianatan.Tapi apalah
daya, disaat keterpurukan datsng justru gadis lain yang selalu disampingnya dan
memberi sejuta tawaran manis untuk menghilangkan dukanya. Brian turun dari liIt
dan mendapati Karin sudah memberhentikan taksi bersebrangan dengannya yang
dipastikan akan membawa gadis itu ke Perusahaan Himeko untuk pulang ke Tokyo
dengan pesawat pribadi.
'Karin . . Hey . . Tunggu!' Brian berlari menyebrangi jalan itu tanpa peduli
kendaraan yang melaju berlawanan dengannya. Tujuannya hanya satu, mencegah
kepergian Karin dan menjelaskan kesalahpahaman itu, walau memang sepertinya
bukan subuah kesalahpahaman. Karin hanya meliriknya sejenak. Dia sudah teralu
muak dengan semuanya. Gadis itu kembali menyebrangi jalan.
Tin . . Tin . . .
Bruuuaaak . . .
Tubuh itu terhempas ke badan jalan.
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
'Pendonor 201 panggilan seorang dokter membuyarkan lamunannya.
' Iya saya, bagaimana hasilnya dokter Nada bicaranya sedikit serak seiring dengan
gerakan tangan nya menyeka air mata dengan kasar.
'Mata anda memang cocok untuk pasien tetapi dengan penyakit Lupus stadium empat
operasi ini bisa saja merenggut nyawa anda
Tercekat.
'Jadi bagaimana? Tanya dokter itu lagi.
'Eee. . . saya akan tetap melakukannya dokter, kira-kira kapan operasinya bisa
dijalankan? tanyanya dengan nada yang semakin bergetar.
'Tetapi anda harus melengkapi beberapa persyaratan dan ijin dari keluarga. Paling
lambat besok jelas dokter tersebut.
Matanya berbalik memandang ke ruangan itu, seseorang sedang terbaring dengan
berbagai peralatan medis di tubuhnya. Ini kesalahannya, jelas itu yang terpikir di
benaknya sekarang. Semuanya terjadi begitu cepat dan lagi-lagi diluar pertahanannya.
Hilanglah kesedihan yang ada hanyalah rasa bersalah. Sekali lagi cintanya
mengalahkan segalanya. 'MaaI . . kata itu sekarang malah terucap dari bibirnya
diiringi dengan air mata yang mulai mengalir dari bola matanya.
5 hari kemudian . .
"Kita tinggal membuka perbannya saja," samar-samar terdengar suara Dokter.
"Selamat ya operasi matamu berhasil sekarang kami akan membuka perbannya," kata
Dokter sambil membuka perban.
"Buka matamu," perinta dokter itu, lalu perlahan-lahan ia membuka matanya. Dia
melihat seberkas cahaya, lalu mulai menampakkan siluet orang-orang yang
menyayanginya. Ibunya dan dua sahabatnya. Beberapa detik hanya diwarnai
gumaman syukur dari orang-orang yang menyayanginya.
'Dokter siapa pendonor mata ku?
'Dia ingin saya merahasiakannya. Ia hanya meminta saya menyerahkan ini dokter
berucap seraya menyerahkan setangkai aster putih.
'Aster Putih artinya aga dirimu untukku ' sahabat wanitanya angkat bicara
dengan nada datar berusaha tak bergetar walau air mata tetap mengalir dari matanya.
'Kenapa dia memberikan ini ? tanyanya lagi
'karena ini sekarang giliran sahabat laki-lakinya angkat bicara-bahkan nada
bicaranya bergetar walau tak ada air mata- sembil menyodorkan kaca, yang diambil
dengan heran oleh orang di hadapannya.
Pemuda itu tertegun 'mata ini. . e-emerald . . ti-dak . . tidak mungkin
|u e~:g re|~:u e:c.:r~.u . . ru~: e:.u-.
Genggamannya melonggar, kaca itu meluncur jatuh, membentur lantai marmer.
Benturannya membuat dentingan. Denting yang menyanyikan simIoni penyesalan
yang memilukan.
==


jll [Ku ]nl [mu
|CrlDtlh

Aku memang terlanjur mencintaimu
Dan tak pernah ku sesali itu
Seluruh jiwa telah kuserahkan
Menggenggam janji setiaku
Kumohon jangan jadikan semua ini
Alasan kau menyakitiku
Meskipun cintamu tak hanya untukku
Tapi cobalah sejenak mengerti

ReII:
Bila rasaku ini rasamu
Sanggupkah engkau
Menahan sakitnya terkhianati cinta yang kau jaga
Coba bayangkan kembali
Betapa hancurnya hati ini kasih
Semua telah terjadi
# kembali ke reII #

Aku memang terlanjur mencintaimu

Anda mungkin juga menyukai