Anda di halaman 1dari 5

Krisis Multidimensi: Dilupakannya Empat Pilar Kebangsaan?

terjadinya krisis multidimensi yang melanda bangsa kita akhir-akhir ini dapatlah dicari jawabannya dengan merenungkan kembali apakah kita masih menggunakan dan bahkan berhukum yang berkeselarasan dengan empat pilar tersebut guna menopang ne gara dan bangsa yang kita proklamasikan pada 17 Agustus 1945. Bisa jadi kita tel ah beralih dari empat pilar tersebut: entah dalam kapasitas kita sebagai penyele nggara negara, maupun sebagai warga negara. Ada setidaknya dua spekulasi mengen ai hal ini. Pertama, kita telah memiliki berbagai hukum, termasuk hukum dasar ya ng demokratis, yang selaras dengan jiwa Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal ika, namun dalam tataran implementasinya masih jauh panggang dari api. K edua, bisa jadi, berbagai peraturan hukum yang diciptakan masih tak demokratis d an justeru bertolak belakang dengan fungsi empat pilar kebangsaan tersebut. Jika dalam tataran implementasinya hukum masih jauh dari empat pilar kebangsaan, maka kontrol terhadap kekuaasaan adalah sesuatu yang mutlak dilakukan. Harus di sadari bahwa adanya konstitusi, adanya hukum bukan serta merta menjadi jaminan d an sulapan bahwa semua aspek kehidupan bernegara tak akan mengalami penyimpangan dalam tataran implementasi. Keduanya, hukum dan penegakan hukum, adalah hal yan g berbeda. Namun yang penting adalah bahwa segala kelemahan dan kekurangan terse but dapat dikoreksi melalui mekanisme yang demokratis. Masyarakat memiliki kesem patan melalui jalur yang konstusional menyampaikan kritik melalui media, melalui lembaga perwakilan, dan bahkan berperan serta aktif dalam mengawal segenap kebi jakan pemerintah untuk tak melenceng dari cita-cita bangsa. Lebih jauh, capaian yang tak maksimal dalam tataran implementasi juga bisa disebabkan karena minimny a kesadaran hukum. Di sini, tak pelak sosialisasi hukum menjadi penting untuk di lakukan, tak saja terhadap warga negara, namun pula kepada para penyelenggara ne gara. Lebih lanjut, jika kita telah berhukum dengan melupakan empat pilar kebangsaan t ersebut maka pembaharuan dan koreksi terus menerus terhadap hukum itulah yang ha rus dilakukan. Perundangan dibuat lebih kepada memenuhi syahwat politik daripada diabdikan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan politik jangka pendek mewarnai proses legislasi yang pada gilirannya akan merugikan rakyat. Pada akhirnya, masy arakat mengabdi pada hukum, dan bukan sebaliknya: hukum mengabdi pada masyarakat . Alih-alih tercipta order, adanya hukum justeru menimbulkan disorder, disintegr atif daripada integratif. Kondisi seperti ini bukan sesuatu yang mengherankan da lam perspektif ilmu hukum kenegaraan, karena kekuasaan memang bertendensi untuk melanggengkan diri dan menyimpang. Namun demikian, hal ini dapat diatasi dengan koreksi melalui prosedur yang telah tersedia. Hukum bisa direview oleh pelaku ke kuasaan kehakiman yang dalam hukum kenegaraan kita diemban oleh dua pelaku kekua saan kehakiman yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. 1. IV. Penutup Tegaknya NKRI pada akhirnya berpulang pada apakah kita masih menggunakan empat p ilar kebangsaan. Pembangunan hukum oleh karenanya haruslah dalam aras yang berke sesuaian dengan empat pilar kebangsaan tersebut, yang bernafaskan Pancasila, yan g konstitusional, dalam kerangka NKRI, dan untuk menjamin keanekaragaman budaya, suku bangsa dan agama. Jika salah satu foundasi itu tidak dijadikan pegangan, m aka akan goyahlah negara Indonesia. Jika penopang yang satu tak kuat, maka akan berpengaruh pada pilar yang lain. Pada akhirnya bukan tak mungkin Indonesia akan ambruk, sesuatu yang tentu tak diinginkan. ________________________________________ [1] Makalah disampaian dalam Sarasehan bertajuk Merenungkan Kembali Empat Pilar Kebangsaan, di Rawalo, Kab. Banyumas, 20 Desember 2010. [2] Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara FH UNSOED, Alumnus Monash University Aus tralia, dan International Institute of Social Studies, Erasmus University, Belan da. [3] Penjelasan UUD 1945 setelah perubahan konstitusi bukan lagi menjadi bagian d ari UUD 1945

Mengatasi Krisis Multidimensi Oleh Imam Sudjono KRISIS multidimensi sejak 1997 hingga kini belum menunjukkan tanda berakhir, bah kan semakin menjadi. Korupsi makin membudaya, hukum macet, hilangnya budaya meng utamakan kepentingan umum (salus populis suprema lex), euforia reformasi yang ke bablasan, budaya kerusuhan dan unjuk rasa di mana-mana, dan sebagainya. Kondisi ini semakin diperburuk dengan bencana silih berganti melanda bangsa Indonesia. I deologi baru berupa materialisme telah merasuki ke seluruh sektor kehidupan. Masyarakat mengalami kelelahan emosional. Situasi yang demikian menjadikan semua teori ekonomi dan manajemen sepertinya tidak berjalan. Para pakar, pelaku ekono mi dan manajemen kebingungan mencari solusi terbaik untuk mengatasi krisis yang sangat berat dan berkepanjangan ini. Implementasi Sistem Kondisi di Indonesia saat ini serba ketinggalan di semua aspek (kualitas manusia baik aparat/birokrasi pemerintah maupun masyarakat umum), sarana prasarana, ins trumen ipoleksosbudhankam dan iklim kesatuan (incorporated). Juga ketinggalan da lam pengetrapan sistem manajemen, karena demikian bervariasinya manajemen yang d iterapkan di Indonesia sebagai sistem manajemen yang kita kenal, yaitu Sistem Ma najemen Cina, Manajemen Barat, dan Jepang. Sistem Manajemen Barat sebagaimana diterapkan Amerika maupun Eropa, salah satu c iri utamanya adalah menghargai prestasi individu sehingga membentuk ciri-ciri in dividualistis. Sedangkan Manajemen Cina ciri utamanya pada manajemen keluarga, s ehingga sistemnya tidak tertata secara ilmiah, dan peran perseorangan sangat men onjol. Manajemen Jepang mendasarkan pada filosofi 5S, yaitu: Seiri, Seiton, Seis o, Seiketsu dan Shitsuke. Program 5S bermaksud membuat lingkungan kerja menjadi efisien dan produktif untu k menjadi kepuasan pelanggan, meliputi (satu) produktivitas merupakan sesuatu ya ng timbul dari penghapusan pemborosan. Dua, suatu masalah perlu dicari penyebab utamanya, bukan hanya gejalanya. Tiga, partisipasi setiap orang; dan empat, peng akuan bahwa manusia itu tidak sempurna tapi orang sering melupakan hal tersebut. Sistem Manajemen mana yang paling sesuai dengan kultur bangsa Indonesia dan bisa mengatasi krisis? Bertolak dari hal tersebut, penulis mencoba menggali Sistem M anajemen yang bersendikan pada budaya bangsa Indonesia. Sangat relevan dan signifikan kata-kata mutiara wasiat peninggalan almarhum Drs RMP Sosrokartono, putra kelahiran Mayong, Kabupaten Jepara berupa suatu butir-bu tir budaya Jawa dan bernilai filosofis yang tinggi. Satu, Sugih tanpa banda (Kaya tanpa harta). Sepintas prinsip ini adalah tidak ra sional diukur dengan sudut pandang prinsip ekonomi dalam alam yang serba kebenda an dan individualistis saat ini. Umumnya kekayaan lahir lebih dominan daripada k ekayaan batin. Praktik kolusi, korupsi, manipulasi dan penyalahgunaan wewenang s erta kekuasaan telah merasuk di semua sisi kehidupan. Ini berarti betapa dominannya kekayaan lahir yang dilandasi nafsu serakah duniaw i, yang jika tidak disertai dan diimbangi dengan kemampuan menguasai diri akan m embawa kehancuran, hal ini tidak saja merugikan diri sendiri tapi sekaligus meru gikan masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan kekayaan batin berdasarkan pada keteguhan mental, moral, norma-norma d an kode etik yang telah menjadi kesepakatan bersama. Ini akan memberikan manfaat

bagi dirinya, yang pada gilirannya akan memberikan keuntungan kepada semua piha k.Dua,Digdaya tanpa aji (mampu menghadapi bahaya tidak dengan perlengkapan senja ta). Setiap variabel apapun dari suatu sistem, harus berfungi sebagaimana fungsinya. Satu variabel tidak jalan akan membawa dampak kepincangan sistem tersebut. Agar variabel tersebut berjalan dan berfungsi dengan baik, maka harus diketahui sejau hmana kesiapan dari variabel tersebut, disertai dengan sikap dan sifat yang posi tif dan optimis serta mau menerima kekurangan maupun kelebihan lingkungannya. Ji ka sikap dan sifat ini dipelihara yang kemudian ditunjang dengan suatu pola piki r yang rasional, dinamis, konstruktif dan sistematis, maka sifat dan sikap ini m erupakan suatu modal dan senjata yang sangat besar bagi masyarakat baik individu , lembaga/institusi maupun negara. Tiga, Ngalurug tanpa bala (Pergi berperang tidak disertai pasukan dan persenjata an yang lengkap). Di dalam manajemen, setiap kita melangkah terlebih dahulu mengadakan analisa SWO T (Strengh/Kekuatan, Weakness/Kelemahan, Opportunity/Peluang, dan Threat/Hambata n) dulu, sehingga kita tahu seberapa besar kekuatan dan keunggulan kita, kelemah an dan kekurangan yang ada pada kita, peluang-peluang yang mungkin serta kendala -kendala yang kita hadapi. Dengan mengadakan analisa SWOT, kita memutuskan bagaimana langkah, kiat, strateg i dan solusi dalam mengatasi segala permasalahan yang ada. Empat, Menang tanpa ngasorake (mendapat kemenangan tidak perlu merendahkan lawan nya). Sikap ini harus dimiliki oleh setiap orang, terlebih para pengambil keputu san, dimana situasi yang serba duniawi, individualistis, budaya "katak"-isme ber upa menghalalkan segala cara dengan mengorbankan lingkungan baik secara vertikal , horizontal bahkan diagonal. Budaya berbeda pendapat, menghargai kebenaran dan kebesaran lawan, dan budaya ko reksi diri serta introspeksi diri harus ditumbuhkembangkan. Kita tidak perlu mal u untuk belajar dari lawan kita kalau memang kita kalah segala-galanya dari lawa n kita. Kita pun dengan jiwa besar harus mau menerima lawan kita sebagai mitra k erja. Perjuangan Batin Timah mawi pasrah (Rela menerima kenyataan apapun yang sudah terjadi). Prinsip i ni didasarkan atas keyakinan bahwa manusia sifatnya sebatas berusaha dan berikht iar semampunya, sedangkan kewenangan terakhir ada pada Tuhan Yang Maha Esa. Manu sia harus sadar sepenuhnya bahwa betapapun tingginya ilmu pengetahuan dan teknol ogi yang dipunyainya, pada dasarnya masih jauh dari kekuasaan dan kebesaran Tuha n Yang Maha Esa. Suwung pamrih, tebih ajrih (jika tidak ada maksud buruk yang tersembunyi, tentun ya kitaharus berani dan tidak perlu takut). Pada dasarnya semua sikap dan langkah manusia penuh pamrih. Bagi atasan rasa pam rih agar status quo dan kelanggengan kekuasaannya terpenuhi, sedangkan bagi bawahan sikap pamrih dimaksudkan untuk keselamatan diri dan mengkatrol diri. Akhirnya te rjadi "simbiosis-mutualisme" (saling menguntungkan, saling membutuhkan) suatu po tret yang demikian telah membudaya, sehingga pihak bawahan akan melakukan segala cara dan upaya seperti praktek katak-isme, beo-isme dan bebek-isme, sehingga la poran ke atas serba baik-baik saja, mulus-mulus saja. Kehancuran tinggal selangkah lagi dan tunggu waktu. Untuk mengatasi hal tersebut , maka semua pihak harus terbuka dan transparan. Masing-masing variabel harus be rfungsi sebagaimana mestinya. Perbedaan pendapat dan kritik yang bisa dipertangg ungjawabkan adalah suatu investasi masukan untuk perbaikan semua pihak. Langgeng tan ana susah, tan ana bungah (Tetap tenang, tidak kenal suka maupun duka). Dalam menghadapi segala sesuatu, kita harus bersikap jiwa besar dan kepala dingi n. Sebaik apapun maksud dan tujuan kita, belum tentu diterima dengan baik. Sebal iknya, sekecil apa pun kelemahan kita, akan merupakan kesempatan untuk memukul k ita.Segala bentuk kritik, cercaan bahkan hujatan sekalipun, harus kita terima de ngan sabar, jiwa besar dan mengambil hikmah. Begitu pun kita tak boleh lengah ol eh pujian dan sanjungan yang ditujukan kepada kita, harus kita terima dengan waj ar dan ada adanya. Dalam setiap langkah kita, harus diperhitungkan betul dan teliti serta hati-hati

. Kita harus siap menerima risiko dan konsekuensinya. Dengan demikian, niscaya k ita siap menghadapi persaingan yang sedemikian ketat dan berat, terlebih pada er a global. Anteng manteng sugeng jeneng (Diam sungguh-sungguh, selamat dan sentausa). Sifat dan sikap diam dan tenang sambil bekerja serta senantiasa mencemati lingku ngan maupun menindaklanjuti hal-hal yang krusial harus kita lakukan. Kita harus mau untuk belajar dan selalu belajar untuk melengkapi diri. Perkembangan iptek demikian cepat dan terus berkembang, persaingan semakin hari semakin ketat. Kita tak boleh lepas kendali dan harus mengacu pada norma dan kod e etik baik agama maupun aspek kehidupan lainnya. Kita harus berani berkata bena r kalau memang itu benar, dan berkata salah kalau memang itu salah. Kita senanti asa siap untuk koreksi diri dan menerima segala sesuatu dengan kepala dingin dan jiwa besar. Penutup Dengan mengimplementasikan sistem manajemen tersebut di atas, solusi minimalisas i krisis multi dimensi teratasi. Terlebih dengan disertai semua sifat dan sikap baik lahir maupun batin yang jujur, rendah hati, lembut, sederhana, tegas, berji wa besar, tulus dan ikhlas, terbuka, mengutamakan kepentingan orang banyak, nisc aya kita akan bisa menempatkan diri dalam situasi dan kondisi apapun. Kita siap berkompetisi dalam bentuk persaingan seketat dan sesulit apa pun serta dengan siapa pun, dan kita akan keluar sebagai pemenang dari semua kompetisi in i. (11) --- Imam Sudjono, Konsultan Manajemen, Pendiri/Ketua Yayasan Lembaga Kliping Nas ional http://www.suaramerdeka.com/harian/0610/02/opi04.htm

EmpatPilar Ditulis oleh Prof Dr Azyumardi Azra MA Kamis, 12 Mei 2011 16:42 Empat pilar: Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi pembica raan publik belakangan ini. Banyak kalangan tersentak ketika aksi-aksi terorisme kembali marak, yang memperlihatkan sel-sel terorisme masih tetap bergerak di se kitar kita. Juga ada kehebohan tentang mahasiswa-mahasiswi dan pelajar yang tere krut NII; sebagian sudah kembali, dan sebagian lagi masih menghilang tanpa diket ahui rimbanya. Baik mereka yang terlibat dalam sel-sel terorisme maupun yang tercuci otak oleh jaringan NII jelas menganut ideologi dan agenda politik yang bertentangan dengan empat pilar kebangsaan-kenegaraan Indonesia. Untuk mencapai agenda-agenda itu, mereka jelas terlihat tidak segan-segan melakukan berbagai bentuk aksi pelanggar an hukum dan bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti terorisme atau berba gai bentuk tindakan kekerasan lain. Harus diakui, tidak banyak pembicaraan di kalangan publik tentang keempat pilar itu sepanjang masa demokrasi dan kebebasan sejak 1998. Jika ada, diskusi publik tentang keempat pilar itu, maka ia hilang-hilang timbul untuk kemudian seolah le

nyap tanpa bekas. Tidak ada upaya tindak lanjut sistematis dari pemerintah khusu snya untuk merevitalisasi, menyosialisasikan, dan menanamkan kembali keempat pil ar itu dalam kehidupan kebangsaan-kenegaraan. Akibatnya, sepanjang reformasi pol itik yang bermula pada 1998, negara-bangsa Indonesia hampir tidak pernah putus d ipenuhi gagasan, wacana, gerakan, dan aksi yang secara diametral bertolak belaka ng dengan keempat pilar itu. Semua orang sadar, lembaga pendidikan merupakan lokus terpenting dalam penanaman dan penguatan semangat kebangsaan keindonesiaan tersebut. Seperti sering ditand askan presiden pertama RI, Bung Karno, lembaga pendidikan adalah lokus paling ut ama dalam nation and character building. Tetapi, kebebasan membuat nyaris lenyapnya upaya transmisi pengetahuan dan praks is menyangkut keempat pilar itu dalam kehidupan kebangsaan-kenegaraan. Pancasila , yang pada masa-masa sebelumnya merupakan mata kuliah/pelajaran wajib, sejak sa at itu hampir hilang dalam kurikulum lembaga-lembaga pendidikan sejak dari SD sa mpai perguruan tinggi. Keadaannya bertambah parah karena para guru dan dosen yang mulai bertugas sejak menjelang akhir 1990-an tidak lagi mendapatkan penguatan paham kebangsaan-keindo nesiaan tersebut. Jika pun mereka mendapatkannya, itu hanya selintas ketika mere ka yang bakal menjadi guru dan dosen PNS menempuh latihan prajabatan. Setelah it u, mereka hampir tidak lagi bersentuhan dengan keempat pilar. Karena itu, mereka juga dengan mudah tergoda dan tertarik pada paham dan ideologi lain, yang bukan tidak mungkin mereka tularkan kepada para pelajar dan mahasiswa mereka. Akibatnya mudah bisa diduga. Para mahasiswa dan pelajar yang tidak lagi menerima materi tentang keempat pilar itu hampir tidak lagi mengetahui prinsip-prinsip d asar dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Keempat pilar nyaris lenyap dari kesad aran mereka. Jika mereka tidak mengetahui dan menyadari keempat pilar itu, bagai mana mereka bisa diharapkan memiliki komitmen ideologis kepada negara-bangsa Ind onesia ini? Sebaliknya, kondisi itu membuat mereka sangat rentan, rawan, dan mudah tergelinc ir menjadi tertarik kepada paham dan ideologi lain yang bukan hanya bertentangan dengan keempat pilar itu. Dengan iklim dan suasana kebebasan ditambah akses tan pa batas kepada informasi instan di dunia maya, berbagai macam ideologi yang ber tentangan dengan keempat pilar itu dengan mudah menyebar ke berbagai lapisan mas yarakat. Sekali mereka terpengaruh dan terekrut ke dalam ideologi-khususnya yang radikal-mereka hampir secara instan pula terdorong melakukan aksi-aksi kekerasa n dan terorisme. Keadaan ini jika tidak mampu diatasi pemerintah, Indonesia dapa t menjadi negara gagal, dan bahkan terjerumus ke dalam disintegrasi. Karena itu, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah-langkah konkret ke arah r evitalisasi dan sosialisasi kembali keempat pilar kebangsaaan-kenegaraan itu mel alui berbagai kelembagaan, baik pemerintah maupun masyarakat luas. Tanpa langkah dan usaha yang konkret, jelas pengikisan kesadaran tentang kebangsaan-keindones iaan terus terkikis. Reintroduksi pengetahuan dan praksis tentang keempat pilar itu dalam kurikulum-s ejak dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi-karena itu sudah saatnya pula perlu segera dilaksanakan. Penangggung jawab pendidikan-dalam hal ini Kementeri an Pendidikan-hendaknya segera mengambil kebijakan afirmatif tentang hal ini. Sa tu hal jelas, secara substantif maupun metodologis, sosialisasi keempat pilar me lalui lembaga pendidikan memerlukan kontekstualisasi sehingga pengalaman buruk y ang terjadi pada masa Orde Baru dengan Penataran P4-nya tidak terulang kembali. Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tulisan dimuat di Harian Republika, 12 Mei 2011.

Anda mungkin juga menyukai