Anda di halaman 1dari 5

MAKARA, TEKNOLOGI, VOL. 12, NO.

2, NOVEMBER 2008: 65-69

DEKOMPOSISI VOLATILE MATTER DARI BATUBARA TANJUNG ENIM DENGAN MENGGUNAKAN ALAT THERMOGRAVIMETRY ANALYZER (TGA)
Nukman
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Inderalaya, Ogan Ilir 30662, Sumatera Selatan, Indonesia E-mail: ir_nukman2001@yahoo.com

Abstrak
Batubara adalah material alam yang merupakan sumber energi. Perilaku perubahan komposisi atau dekomposisi material batubara dapat diamati dengan cara memanaskannya dengan memakai alat thermogravimetry. Tiga jenis batubara Tanjung Enim dapat diketahui dekomposisi volatilnya. Dengan besaran energi aktivasi yang berbeda, maka masing-masing untuk batubara Semi Antrasit, Bitunimus dan Sub Bituminus menunjukkan temperatur awal devolatisasi yaitu 60,8 oC, 70,7 oC, 97,8 oC dan temperatur akhir devolatisasi masing-masing 893,8 oC, 832 oC, 584,6 oC.

Abstract
The Decompositioning of Volatile-Matter of Tanjung Enim Coal by using Thermogravimetry Analyzer (TGA). Coal is a nature material which a kind of energy source. The decompotition of coal could analyze by heat treated using thermogravimetry analyzer. The decomposition of the volatile matter for three kinds of Tanjung Enim coal could be known. The value of activation energy that be found diference, then for Semi Anthracite, Bitumonius and Sub Bituminous Coal, the initial temperatures are 60.8 oC, 70.7 oC, 97.8oC, and the last temperatures are 893.8 oC, 832 oC, 584.6oC. Keywords: devolatisation, coal, thermogravimetry, activation energy

1. Pendahuluan
Pemakaian batubara saat ini semakin banyak dipakai dalam industri berskala besar antara lain pada pembangkit tenaga listrik, pabrik semen, dan industri yang memerlukan proses pemanasan seperti pabrik pengecoran dan pengolahan besi baja. Seiring dengan penggunaan batubara yang semakin meningkat maka penelitian tentang batubara juga semakin banyak diminati. Penelitian tentang batubara ini tidak hanya bertujuan untuk memahami sifat dari batubara tersebut namun bertujuan yang lebih spesifik antara lain bertujuan memberi perlakuan khusus kepada batubara agar dapat aman dan nyaman dipakai saat dibakar. Hal ini berkaitan dengan isu lingkungan dan pemanfaatan atau pemakaian sumber energi batubara seefisien mungkin dalam menghadapi krisis energi. Selain daripada itu, batubara adalah material alam yang merupakan sumber energi yang dapat dipelajari sifat pembakaran dan perubahan komposisinya. Dengan

penelitian seperti ini maka pemakaian batubara di masa depan dapat dilakukan dengan cara yang lebih bijaksana, agar sumber energi ini tidak cepat habis. Pemahaman tentang devolatisasi atau dekomposisi material saat ini telah berkembang pesat. Penelitian perubahan dekomposisi material akibat pengaruh panas telah banyak dilakukan. Batubara sebagai salah satu material alam adalah sumber energi yang sangat melimpah di Indonesia. Pembakaran batubara akan mengubah energi kimia material batubara menjadi energi panas. Sebagai salah satu material hidrokarbon, komposisi utama material batubara adalah karbon. Selain itu berdasarkan analisis proksimat maka batubara mempunyai klasifikasi atas kandungan kadar air, volatile matter (materi ikutan), abu, dan karbon tertambat (fixed carbon). Pemanasan atau pembakaran batubara akan mengubah komposisi material batubara tersebut. Prilaku perubahan material akibat pemanasan ini dapat dipahami dengan menggunakan alat Thermogravimetry Analyzer (TGA) merek Shimadzu TGA-50.

65

66

MAKARA, TEKNOLOGI, VOL. 12, NO. 2, NOVEMBER 2008: 65-69

Dekomposisi Termal Material Batubara. Analisis thermogravimetry adalah suatu cara yang cepat dan secara teknis efektif dalam pembiayaan untuk memonitor profil pembakaran batubara dan juga profil volatilnya (perubahan/dekomposisi pada volatile matter). TGA, differential thermal analysis (DTA), dan differential scanning calorimeter (DSC) telah memainkan peranan penting dalam mempelajari dekomposisi termal dalam bahan bakar padat [1-2]. Temperatur Termal Dekomposisi. Istilah dekomposisi termal (thermal decomposition) atau pirolisa (pyrolisis), maupun karbonisasi (carbonization) sudah kerapkali digunakan. Pemahaman tentang kelakuan termal dari batubara seperti layaknya pemahaman tentang kelakuan kimiawi dari batubara. Saat batubara dipanaskan ke temperatur tinggi dalam suatu inert atmosphere (zat bebas oksigen), batubara akan terdekomposisi dengan evolusi air, tar, gas dan akan meninggalkan suatu sisa padatan dimana komposisi dan sifat-sifatnya bervariasi bergantung pada temperatur perlakuan panas [3]. Walaupun biasanya diasosiasikan dengan kisaran temperatur (350 500 oC), padamana proses devolatisasi berlangsung secara cepat, dekomposisi termal sebenarnya mulai terjadi pada temperatur yang lebih rendah, dan diilustrasikan sebagai suatu kurva kehilangan berat (kumulatif). Pada tingkat pertama, di bawah temperatur 200 C, dekomposisi masih terjadi perlahan dan mulai melepaskan sejumlah kecil kombinasi kimia air, oksida dari karbon, dan hidrogen. Diatas 200 oC terjadi pemanasan awal (preheating) yang cenderung terjadinya perubahan berbentuk cake. Tingkatan kedua, yang kadangkala disebut sebagai dekomposisi termal aktif (active thermal decomposition), mulai antara 350 oC dan 400 oC dan berakhir pada saat mendekati 550 oC. Pada temperatur awal 400 oC ini dikatakan sebagai temperatur awal untuk proses dekomposisi material. Tingkat akhir dari dekomposisi ini, ditunjukkan garis yang mulai mendatar, saat ini terjadi degasifikasi kedua. Dalam prakteknya, komposisi dan jumlah volatile matter berubah melepaskan diri pada temperatur 800 850oC. Energi Aktivasi. Untuk mengetahui besarnya energi kinetis atau energi aktivasi yang diperlukan untuk proses termal dekomposisi material ini diperlukan satu gambar khusus [4-5]. Pada proses dekomposisi yang memakai TGA, terdapat hubungan antara berkurangnya masa batubara akibat meningkatnya temperatur. Bila kehilangan masa adalah suatu fungsi dari temperatur pada laju pemanasan
o

ln k

1/T (oK)
Gambar 1. Konstanta Arrhenius dalam laju termal vs 1/T untuk menghitung Energi Aktivasi

konstan (dengan laju pemanasan sebagai parameter), maka dapat diasumsikan bahwa laju dekomposisi sesaat (laju kehilangan berat), adalah refleksi dari kehilangan berat, adalah fungsi dari fraksi batubara yang tidak terdekomposisi, dan laju dekomposisi itu dapat ditulis sebagai [6-7]:

dm = k (m mt ) dt

(1)

Dengan: k = konstanta kecepatan reaksi yang mengikuti hukum Arrhenius [7]:

k = Ae E / RT

(2)

Sedangkan: A = faktor pre-eksponensial atau faktor frekuensi atau faktor Arrhenius E = energi aktivasi, J/mol R = konstanta gas, 8,314 J/mol oK T = temperatur absolut, oK Bila persamaan (2) dapat ditulis dalam bentuk:

ln k = ln A

E RT

Dengan menggunakan nilai-nilai m, mt terhadap fungsi waktu dari data TGA, satu garis dapat dibuat antara sisi kiri persamaan ln k terhadap 1/T (Gambar 1). Maka untuk itu energi aktivasi dapat dihitung.

2. Eksperimental
Batubara yang dipakai dalam penelitian ini berasal dari Tanjung Enim Sumatera Selatan. Tiga jenis batubara yang dipakai adalah semi antrasit, bituminus, dan subbituminus. Ketiga jenis batubara ini mempunyai spesifikasi yang masing-masing berbeda [8]. Batubara digerus hingga mencapai ukuran 60 mesh. Batubara halus kemudian dimasukkan kedalam cell (crussible) alumina dan ditimbang seberat maksimum 80 mg. Gas yang dialirkan adalah gas nitrogen dengan laju alir 20 ml/menit. Laju temperatur pemanasan 10oC/menit dengan maksimum temperatur 900oC. Pemanasan berlangsung selama 90 menit.

MAKARA, TEKNOLOGI, VOL. 12, NO. 2, NOVEMBER 2008: 65-69

67

3. Hasil dan Pembahasan


Batubara Semi Antrasit. Sekitar daerah temperatur 60,8 oC terjadi proses pelepasan air. Kecilnya temperatur, menunjukkan bahwa air ini adalah air yang menempel pada permukaan bagian luar batubara (yang teradsorbsi) yang cukup mudah untuk dilepaskan (Gambar 2). Puncak laju maksimum dekomposisi kedua temperatur 516 oC. Puncak kurva ini menunjukkan adanya dekomposisi senyawa yang mengandung karbon, hidrogen dan oksigen. Pada awal temperatur ini, gas CO2 (karbon diokasida) dan CH4 (metana) mulai dilepas. Saat ini mulai terbentuk fasa plastis. Puncak kedua ini termasuk dalam proses kondensasi kimia dan merupakan devolatilisasi primer (primary devolatilisation), suatu devolatilisasi pada temperatur 350 550 0C [9]. Temperatur 619 oC adalah temperatur pembentukan fasa plastis, pada fasa ini sejumlah volatile matter masih dilepas seperti H2 (hidrogen), tar, dan CH4, walau mulai terjadi penurunan kadarnya. Puncak terbesar dari kurva batubara semi antrasit ini adalah 721 oC. Pada temperatur 771,9 0C dan 893,8 0C terdapat puncakpuncak temperatur. Pada puncak temperatur ini sejumlah energi ini diperlukan untuk pembentukan fasa kokas berpori dengan pelepasan sejumlah gas yang masih tersisa di dalamnya. Adanya dua puncak dalam kurva dekomposisi termal ini, menunjukkan masih adanya gas gas yang dilepaskan seperti CH4, H2. Antara temperatur 200 sampai dengan 700 0C, adalah daerah terjadinya pelepasan volatile matter yang besar dan terjadi perubahan fasa dari semikokas menjadi kokas. Dari Gambar 3 dapat dihitung besarnya energi aktivasi untuk devolatisasi ini sebesar 37,2 kJ/mol dengan faktor Arrhenius A = 0.5 s-1.
105 100 TGA (%) 95 90 85 80 0 200 400 600 Temperatur ( oC) 800 0.003 0.0025 0.002 0.0015 0.001 0.0005 0 -0.0005 1000 TGA dm/dt dm/dt (mg/menit)

8.0 7.5 7.0 ln k 6.5 6.0 5.5 5.0 0.00110 0.00120 0.00130 0.00140 0.00150 0.00160 1/T ( oK-1)

Gambar 3. Hubungan antara ln k dan 1/T dari batubara semi antrasit

Batubara Bituminus. Tingkatan dekomposisi material batubara bituminus dibagi dalam tiga tingkatan temperatur yaitu, tingkat I, antara 250 sampai dengan 475 0C, tingkat kedua terjadi antara temperatur 475 sampai dengan 575 0C, dan tingkat ketiga terjadi diatas 575 0C [10]. Pelepasan air pada batubara bituminus, terjadi pada 70,7 0C. Air tersebut adalah air yang menempel pada permukaan batubara. Pada sampel batubara bituminus, terjadi empat tingkat dekomposisi selain daripada pelepasan air di temperatur 70,7 0C (lihat Gambar 4). Batubara bituminus ini tidak mengalami pemanasan awal (preheating), karena temperatur langsung mencapai 496 0C. Di sekitar daerah temperatur tersebut masih terjadi devolatilisasi dan mulai terjadi awal pelepasan tar atau hidrokarbon ringan yang dapat menguap, dan proses ini berlanjut pada temperatur sekitar 578 0C. Beberapa gas lain juga telah mengalami awal pelepasan antara lain, H2, CH4 (metana), CO, dan CO2. Puncak temperatur adalah proses devolatilisasi primer. Pada temperatur tersebut, batubara telah berubah fasa menjadi kokas berpori. Meningkatnya temperatur menjadi 618 0C, mengidentifikasikan adanya pelepasan sisa gas-gas yang masih ada pada pori kokas. Terdapat satu puncak yang khas pada batubara bituminus ini, yaitu pada temperatur 832 0C, dimana energi aktivasinya lebih besar sedikit dibandingkan dengan saat pelepasan air. Diperkirakan terjadi pelepasan sisa gas secara keseluruhan dan fasa akhir material batubara ini adalah kokas. Dari Gambar 5 dapat diperhitungkan besar energi aktivasi maksimum yaitu sebesar 34,3 kJ/mol. Pada temperatur 832 0C, degasifikasi akhir terjadi, yang mana semi kokas telah berubah menjadi kokas.

Gambar 2. Kurva kehilangan massa TGA dan diferensial dm/dt terhadap temperatur batubara semi antrasit

68

MAKARA, TEKNOLOGI, VOL. 12, NO. 2, NOVEMBER 2008: 65-69

105 100 TGA (%) 95 90 85 80 0 200 400 600 Temperatur ( oC)

TGA dm/ dt

0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 1000 dm/dt (mg/menit)

800

Gambar 4. Kurva kehilangan massa TGA dan diferensial dm/dt terhadap temperatur pemanasan batubara bituminus
8 7.5 7 ln k 6.5 6 5.5 5 0.0011

Batubara Sub Bituminus. Kadar air pada batubara sub bituminus yang akan dilepas cukup besar. Hal ini terlihat dari besarnya energi aktivasi yang dibutuhkan untuk proses pelepasan tersebut. Berbeda dengan batubara semi antrasit dan bituminus, kurva pada batubara sub bituminus (lihat Gambar 6) mempunyai dua puncak yang menonjol yaitu puncak dengan temperatur 96.8 dan 420,8 0C. Proses devolatilisasi untuk pembentukan tar dan pelepasan gas-gas CH4, CO2 diawali pada daerah sekitar temperatur 177,8 0C dan berakhir pada temperatur 533,3 0C. Dengan memakai Gambar 7, besarnya energi aktivasi untuk devolatisasi dapat dihitung besarnya adalah 32,5 kJ/mol dengan faktor Arrhenius sebesar 2,3 E-5 s-1. Pelepasan gas-gas CH4 dan CO2 masih berlanjut, namun sekarang diikuti dengan pelepasan gas-gas H2 dan CO. Pada temperatur sekitar ini, batubara meleleh (melembut) selama proses pembentukan fasa plastis (proses antara temperatur 350 5000C [10]. Degasifikasi sekunder pada batubara ini terjadi disekitar temperatur 584,60C. Pada saat ini proses pelepasan semua gas dan tidak nampak adanya puncak lain sampai proses degasifikasi sekunder mencapai temperatur akhir proses pemanasan (899,40C). Dimana pada fasa ini semi kokas menjadi bentuk kokas (grafit padat).

0.0012

0.0013

0.0014

0.0015

0.0016

1/T (oK-i )

Gambar 5. Hubungan antara ln k dan 1/T dari batubara bituminus


TGA dm/dt

4. Kesimpulan
Dekomposisi material batubara dimulai dengan pelepasan kadar air, walau temperatur puncak pelepasan air dari ketiga jenis batubara ini kurang daripada 100 0C, namun proses lanjutannya yang merupakan pelepasan kadar air yang terdapat pada pori batubara berlangsung antara 177 0C sampai dengan 211 0C. Pada daerah temperatur akhir ini adalah proses dekomposisi atau devolatisasi kadar volatile matter batubara. Puncak daripada proses ini untuk semi antrasit dan bituminus ternyata sama yaitu terjadi pada temperatur 211oC, yang berbeda dengan sub bituminis yaitu pada 420,8 0C. Energi aktivasi dari ketiga jenis batubara masingmasing untuk Semi Antrasit, Bituminus, dan Sub Bituminus yaitu 37,2 kJ/mol, 34,2 kJ/mol dan 32,5 kJ/mol. Ketiga nilai energi aktivasi ini masuk dalam rentang angka energi aktivasi yang dibutuhkan untuk dekomposisi batubara.

110 100 TGA (%) 90 80 70 60 0 200 400 600 Temperatur (oC)

0.018 0.013 0.008 0.003 dm/dt (mg/menit)

800

-0.002 1000

Gambar 6. Kurva kehilangan massa TGA dan diferensial dm/dt terhadap temperatur pemanasan batubara sub bituminus.

13 12 ln k 11 10 9 8 0.0014 0.0016 0.0018 1/T (oK-1) 0.002 0.0022

Daftar Acuan
[1] P.R. Solomon, T.H. Flecher, R.J. Pugmire, Journal of Fuel 72/5 (1993) 587- 597. [2] G. de la Puente, E. Fuente, J.J. Pis, Journal of Analytical and Apllied Pyrolisis, 53 (2000) 91-93. [3] G.Q. Lu and D.D. Do, Journal of Fuel Processing Technology 28 (1991) 35-48. [4] Mianowski, Andrzaj and Tomasz Redko, Journal of Fuel 72/11 (1993) 1537-1539.

Gambar 7. Hubungan antara ln k dan 1/T dari batubara sub bituminus

MAKARA, TEKNOLOGI, VOL. 12, NO. 2, NOVEMBER 2008: 65-69

69

[5] Askeland Donald R., The Science and Engineering of Materials, PWS-KENT Publishing Company, Boston, 1993, p.119. [6] N. Berkowitz, An Introduction to Coal Technology, Academic Press, New York, 1979, p.49 and 136. [7] H. Scott Fogler, Elements of Chemical Reaction Engineering, second edition, Prentice Hall International, New Jersey, 1992, p.62.

[8] Nukman dan Hasan Basri, Proceeding of International Seminar on Green Technology and Engineering 2007, Malahayati University Bandar Lampung, 2007, p.25-26. [9] D.W. Van Krevelen., Elsevier (1993) 705. [10] J.A Menendez, M.A. Diez, G. de la Puente, E. E. Fuente, R. Alvarez, J.J. Pis, Journal of Analytical and Apllied Pyrolisis (1998) 45, 75.

Anda mungkin juga menyukai