Anda di halaman 1dari 28

Cedera KepaIa (Trauma CapItIs)

Asrul Mappiwali
Tugas Bedah Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Pendahuluan
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan
usia produktif khususnya di negara berkembang.Hal ini diakibatkan karena
mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama
yang belum benar dan rujukan yang terlambat.
Cedera kepala merupakan salah satu kasus yang paling sering dijumpai di
ruang gawat darurat rumah sakit. Suatu rumah sakit yang melayani daerah
yang berpenduduk sekitar 250.000 orang bisa menerima sampai 5.000
kasus cedera kepala tiap tahun, ini merupakan 10% dari semua kasus yang
datang.
Kasus cedera kepala yang dirawat di bangsal saraf RS Cipto Mangunkusumo
selama tahun 19811982 adalah sebesar 1850 orang, 1642 orang (88,75%)
di antaranya adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sedangkan kasus cedera
kepala yang ke unit gawat darurat RS Cipto Mangunkusumo pada tahun
1982 adalah 4146 orang, 4056 dewasa dan 90 anak-anak. Di antara 1642
kasus yang dirawat tersebut 137 meninggal dunia. Dengan makin
banyaknya kendaraan di jalan-jalan dan meningkatnya mobilitas penduduk,
maka kasus cedera kepala terutama akibat kecelakaan lalu lintas akan
makin bertambah pula.
Di Amerika pada tahun 1970 kecelakaan lalu-lintas telah menduduki tempat
keempat sebagai penyebab kematian yang utama, bahkan nomor satu pada
golongan usia 0-40 tahun. Kasus cedera kepala mempunyai beberapa aspek
khusus, antara lain kemampuan regenerasi sel otak yang amat terbatas,
kemungkinan komplikasi yang mengancam jiwa atau menyebabkan
kecacatan, juga karena terutama mengenai pria dalam usia produktif yang
biasanya merupakan kepala keluarga. Pada tahun 1990 dilaporkan kejadian
cedera kepala 200/100.000 penduduk pertahun. Pada penderita dengan
cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan tindakan
operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosa
pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara
tepat dan cepat.
Pasien bias meninggal akibat prolog hipoksia dan hipotensi, herniasi otak,
dan komplikasi - komplikasi sistemik. Pada salah satu studi prospektif
dengan CT Scan didapat hasil :
- Pada cedera kepala berat : 30% CT Scan normal dan 70% abnormal
- Pada cedera kepala ringan yang pemah mengalami pingsan: 18% CT Scan
abnormal
- 5% diantaranya memerlukan tindakan operasi
- Pada cedera kepala sedang, 40% CT Scan abnormal dan 8% memerlukan
tindakan operasi.

Anatomi Kepala
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama
pada bayi dan anak-anak.

Gambar 1. Lapisan Kranium
b. Tulang tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum.
c. Mening
Selaput mening menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal (5). Dura mater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).


2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri (3). Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi
gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri
yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
d. Encephalon
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak
depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)
dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian
atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan
kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

Gambar 2. Lobus-lobus Otak
e. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
g. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot
didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.
Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial,
cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang
dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh
dari lumbal pungsi yaitu 4 - 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan
perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang
buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila
menetap.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus
bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran
CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara
cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan
tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial
harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie.
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau
16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup.
Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara
50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih
besar tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam
pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan
meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap
koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah
cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level
60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO.
Definisi dan Epidemiologi
Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan
kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput
otak, dan jaringan otak itu sendiri. Menurut Brain Injury Assosiation of
America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik .
Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai
beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh
suatu benturan keras pada kepala .
Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas:
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial
dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak. Cedera tembus,
biasanya disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;
1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar
tengkorak. Fraktur dapat berupa garis/linear, mutlipel dan menyebar dari
satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif).
Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak
memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan
perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural,
perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus
dan terjadi secara bersamaan.
Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala
digunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap
respon motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan
interval GCS 3-15.

Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi:
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala
berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Gejala Klinis
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori
utama ( Hoffman, dkk, 1996):
1. Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus
2. Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan
berfikir kompleks
3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :
1. Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran
2. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal
3. Respon pupil mungkn lenyap.
4. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan
TIK
5. Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intracranial
6. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan
gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat.

Patofisiologi
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala.
Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi
pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri.
Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu:
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain
dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala
diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi
tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak. Dalam mekanisme cedera
kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan coup
pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang
mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup
disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena
sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan. Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala
primer dan cedera kepala skunder. Cedera kepala primer merupakan cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan
suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen.
Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga
sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan
lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat,
pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat
kesembuhan/keluaran penderita.
Penyebab cedera kepala skunder antara lain penyebab sistemik (hipotensi,
hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan
penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema,
pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain, hematoma epidural
(perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater),
perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan
arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan
arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang
terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak),
hematoma serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya
akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara
berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang
tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak
fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serenri setempat), lesi
nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak.
Indikasi Perawatan

Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit bila terdapat gejala atau tanda
sebagai berikut :
1. Perubahan kesadaran saat diperiksa
2. Fraktur tulang tengkorak
3. Terdapat defisit neurologic
4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak- anak, riwayat
minum alkohol, pasien tidak kooperatif
5. Adanya faktor sosial seperti :
a.Kurangnyapengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
b.Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.
c.Sulitnya transportasi ke rumah sakit.

Pasien yang diperbolehkan pulang hanis dipesan agar segera kembali ke
rumah sakit bila timbul gejala sebagai berikut :
1. Mengantuk, sulit dibangunkan
2. Disorientasi, kacau
3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam
4. Rasa lemah, kelumpuhan, penglihatan kabur
5. Kejang, pingsan
6. Keluar darah/cairan dari hidung, teling

Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan radiologi, pemeriksaan tanda-tanda vital juga dilakukan yaitu
kesadaran, nadi, tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu
badan. Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus
dilakukan yaitu dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali
dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun 1974 yang digunakan
sebagai standar internasional.
Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale
Glasgow Coma Scale Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1
Nilai GCS = ( E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3
Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan
wajah, respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu
dilakukan. Pupil pada penderita cedera kepala didak berdilatasi pada
keadaan akut, jadi jika terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai
tanda awal terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota
gerak ekstrimitas dapat dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan otak
dan medula spinalis. Respon sensorik dapat dijadikan dasar menentukan
tingkat kesadaran dengan memberikan rangsangan pada kulit penderita.
CT scan merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera
kepala. CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan
kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat,
GCS < 15. CT scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya fraktur,
perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar
pada jaringan otak (kontusio), dan udem pada jaringan otak. Selain itu juga
dapat digunakan foto rongen sinar X, MRI, angiografi dan sken tomografik
terkomputerisasi. Pada pasien cedera kepala berat, penundaan transportasi
penderita karena menunggu CT scan sangat berbahaya karena diagnosis
serta terapi yang cepat sangat penting.
Transportasi penderita cedera kepala
Transportasi penderita cedera kepala terutama penderita dengan cedera
kepala sedang dan berat harus cepat dilakukan untuk mendapatkan
tindakan medis yang cepat, tepat dan aman. Karena keterlambatan sampai
di rumah sakit, 10 % dari total penderita cedera kepala di Amerika Serikat
meninggal. Pada penderita cedera kepala berat sering menderita gangguan
pernafasan, syok hipovolemik, gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, tekanan intrakranial meninggi, kejang-kejang, gangguan
kardiovaskuler, karena itu perlu penanganan yang cepat. Tindakan gawat
darurat yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan penderita yaitu;
menjaga kelancaran jalan nafas (air way), oksigenasi yang adekuat,
resusitasi cairan, melindungi vertebra servikalis dan torakolumbal,
identifikasi dan stabilisasi perdarahan ekstrakranial, dan menilai tingkat
kesadaran penderita.
Dalam penganan pasien dengan cedera kepala berat transportasi sangat
penting, karena berhubungan dengan cedera kepala sekunder. Cedera
kepala sekunder yang sering terjadi dan menyebabkan kematian adalah
hipoksia dan hipotensi. Waktu tunggu penderita dirumah sakit untuk
penanganan penderita cedera kepala untuk cedera kepala berat. Pada
penderita cedera kepala berat dengan perdarahan subdural sebaiknya
interval waktu kejadian trauma dan tindakan yang dilakukan kurang dari 4
jam, sedangkan pada penderita dengan interval waktu lebih dari 12 jam
prognosis buruk. Seelig et al telah melakukan penelitian tentang pentingnya
penanganan dan transportasi yang cepat pada penderita dengan cedera
kepala berat tertutup dan perdarahan subdural akut. Penderita dengan
hematoma yang dievakuasi lebih kurang 4 jam, angka kematiannya 30%
dan 65% dengan keluaran baik. Sedangkan penderita yang dioperasi diatas
4 jam, angka kematiannya 90% dan kurang dari 10 % dengan keluaran
baik.
Faktor-faktor yang memperburuk prognosis pada penderita cedera kepala
yaitu; terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport
yang tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat,
terlambatnya delakukan tindakan bedah dan adanya cedera multipel yang
lain.
Pengukuran keluaran penderita cedera kepala
Berdasarkan pengukuran GCS di Amerika mayoritas (75-80%) penderita
cedera kepala adalah cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan berat
yang masing-masingnya antara 10% dan 20%. Sebagian besar penderita
dengan cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala sisa
yang sangat ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera
kepala ringan lebih kurang 3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis
yang berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal.
Sekitar 10-20% dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan
dan jatuh dalam koma. Pada penderita dengan cedera kepala berat sering
diperburuk dengan cedera skunder. Hipoksia yang disertai dengan hipotensi
pada penderita cedera kepala berat akan menyebabkan mortalitas mencapai
75%.
Kecacatan akibat cedera kepala tergantung dari tingkat beratnya cedera,
lokasi cedera, umur dan kesehatan penderita. Beberapa kejadian kecacatan
tersering yaitu masalah kesadaran (fikiran, ingatan dan akal sehat), proses
sensorik (melihat, mendengar, meraba, mengecap dan menghidu),
berkomunikasi (ekspresi dan pemahaman) dan tingkah laku atau kesehatan
mental (depresi, gelisah/cemas, perubahan kepribadian, agresif/menyerang,
dan keadaan sosial yang tidak normal).
Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit.
Terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang
tidak adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya
dilakukan tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain merupakan
faktor-faktor yang memperburuk prognosis penderita cedera kepala. Untuk
keluaran penderita, pengukuran standar yang biasa digunakan adalah
Glasgow Outcome Scale (GOS) yang dikemukakan oleh Jennett dan Bond
(1975).
Tabel 2.2 Glasgow Outcome Scale
Skore Kategori Keterangan
1

2

3


4



5 Death (meninggal)

Vegetative state

Severe disability


Moderate disability



Good recovery Merupakan akibat langsung dari cedera kepala. Penderita
menjadi sadar kembali dan meninggal setelah itu karena komplikasi skunder
dan penyebab lain.
Penderita tidak memberikan respon dan tidak bisa berbicara untuk beberapa
waktu kedepan. Penderita mungkin dapat membuka mata dan menunjukkan
siklus tidur dan bangun tetapi fungsi dari korteks serebral tidak ada.
Membutuhkan bantuan orang lain dalam melakukan aktifitas sehari-hari
disebabkan karena kecacatan mental atau fisik, biasanya kombinasi antara
keduanya. Kecacatan mental yang berat kadang-kadang juga dapat
dimasukkan dalam klasifikasi ini pada penderita dengan kecacatan fisik
sedikit atau tidak ada.
Dapat berjalan-jalan menggunakan transportasi umum dan bekerja di
tempat-tempat tertentu (dengan perlindungan) dan dapat beraktifitas bebas
sejauh kegiatan tersebut tidak mengkhawatirkan.
Ketidakmampuan(kecacatan) penderita mencakup perubahan derajat dari
dispasia, hemiparise, atau ataksia maupun berkurangnya intelektual dan
daya ingat dan perubahan personalitas. Lebih mampu untuk melakukan hal-
hal protektif diri.
Dapat melanjutkan kehidupan normal sekalipun terjadi keadaan defisit
neurologis
Evaluasi/taksiran penilaian praktis dari keluaran penderita cedera kepala
berat
GOS dibagi menjadi 5 skala yaitu: good recovery, moderate disability,
severe disability, vegetative dan death. Dari skala di atas dapat dibagi
menjadi keluaran baik/favorable outcome (good recovery dan moderate
disability) dan keluaran buruk/unfavorable outcome (severe disability,
vegetative dan dead). Cederatic Coma Data Bank menganalisa 760
penderita cedera kepala dan mengidentifikasi 5 faktor yang berhubungan
dengan keluaran buruk yaitu; umur penderita diatas 60 tahun, GSC < 5.
Data dari Rosner, Marion and rekan kerjanya melaporkan total penderita 241
orang dengan GCS <7. Dari data Journal of Nuerotaruma ada beberapa
penelitan terbaru yang berhubungan dengan tingkat keparahan ataupun
keluaran penderita cedera kepala terutama penderita cedera kepala berat.
Kadar magnesium serum yang rendah berhubungan dengan keluaran buruk
pada penderita setelah cedera kepala berat. Respon stres berperan oenting
dalam penurunan konsentrasi magnesium. Serum hipomagnesemia menjadi
independent marker untuk beratnya cedera kepala. Penderita cedera kepala
dengan usia 75 tahun atau lebih secara signifikan tidak dapat bertahan
hidup setelah tindakan bedah dari pada penderita muda (14-64 tahun). Von
Willebrand Factor (VWF) dikenal sebagai biomaker dari cedere pada
endotelial. Peningkatan dari kadar serum VWF terjadi karena aktivasi
endotelial pada cedera kepala berat. Peningkatan serum VWF pada cedera
kepala cerat merupakan tanda dari keluaran buruk dari penderita. High
intracranial pressure (HICP) adala komplikasi yang sering dijumpai dan
berbahaya dari cedera kepala, berat dan durasi HICP berhubungan dengan
keluaran buruk penderita dan memerlukan terapi yang intensif.
Pemeriksaan Dianostik:
1. CT-Scan, mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran
ventrikel pergeseran cairan otak
2. MRI, sama dengan CT -Scan dengan atau tanpa kontraks
3. Angiografi Serebral, menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma
4. EEG, memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang
5. Sinar X, mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran
struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen
tulang)
6. BAER (Brain Eauditory Evoked), menentukan fungsi dari kortek dan
batang otak
7. PET (Pesikon Emission Tomografi), menunjukkan aktivitas metabolisme
pada otak
8. Pungsi Lumbal CSS, dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid
9. Kimia/elektrolit darah, mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh
dalam peningkatan TIK
10. GDA (Gas Darah Arteri), mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK
11. Pemeriksaan toksitologi, mendeteksi obat yang mungkin bertanggung
jawab terhadap penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah, dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat
terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala
sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga
dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk
penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support
(2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat
keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E
(exposure/environmental control) yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala
berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder
dan menjaga homeostasis otak.
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan. Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan
besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada
penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha
untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis
(cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau
rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin
lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi
jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila
hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari
mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2
dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera
kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan
oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan
adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang
teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang
relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah
sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan
perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar
untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri
femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg.
Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan
sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera
hentikan dengan penekanan pada luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi.
Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%,
sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu,
karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera
otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah
head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan
bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat
menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila
keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik
penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi
respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil,
gerakan bola mata (dolls eye phonomenome, refleks okulosefalik), test
kalori dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.
Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi
perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT
scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran,
kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obat-
obatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang
bermakna, GCS < 15.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang
dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,
hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan.
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom
intrakranial >30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan
fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm.

Operasi Cedera Kepala

Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran
garis tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal,
kontrol pendarahan dan mencegah perdarahan ulang.
lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah
ini :
- Status neurologis
- Status radiologis
- Pengukuran tekanan intrakranial

Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :
- Massa hematoma kira-kira 40 cc
- Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
- EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang.
- Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.
- Pasien - pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
berkembangnya
- tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm
Hg.

lndikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak
memungkinkan dan didapat :
- Dilatasi pupil ipsilateral
- Hemiparese kontralateral
- Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba

Indikasi operasi pada fraktur depres :
- Lebih dari satu tabula
- Adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak dibawahnya
- LCS leakage
- Fraktur depres terbuka
- Preventif growing fracture pada anak.

Dari traumatik koma data bank ditemukan pada studi 275 pasien dengan
hematoma tutorial didapat : 58% SDH, 26% ICH dan 16% EDH.

Preparasi Pra 0perasi
- Inform concernt
- Cegah hipotensi, hipoksia
- Periksa foto turaks dan cervikal
- Dua infus line
- Periksa AGD, elektrolit dan darah rutin serta cross match
- Pasang kateter
- Profilaksis antibiotik sebelum operasi dimulai.
- ETT yang adekuat
- lindungi kedua mata dari cairan dan tekanan.

TEKNIK OPERASI
1. Burr hole explorasi
- Tentukan areanya : disisi pupil yang dilatasi, kontra lateral hemiparese.
- Burr hole I : di temporal walaupun frakturya di lokasi yang berbeda. Bila
positif lanjutkan dengan craniotomy. Bila negatif lakukan langkah burr hole
selanjutnya.
- Burr hole II : di frontal
- Burr hole III : di parietal, bila negatif dilakukan disisi sebaiknya.
- Ada yang menambahkan burr hole IV di fossa posterior
- Incisi linier dan bila perlu dilanjutkan dengan question mark.
- Bila duramater tampak tegang dan kebiruan tapi clothing belum ditemukan
sebaiknya dilakukan lebih dahulu burr hole bilateral baru dilakukan
mengintip duramater karena sering subdural tersebut hanya tipis Baja.

2. Epidural hematom :
- lokasi : 50% ditemporal, 15%-20% di frontal dan sisanya di occipital,
fossa posterior dan parietal
- bila ada mix lessi (hipodens clan hiperdens )curigai adanya gangguan
pembekuan darah
- teknik :
a. Incisi bentuk question mark atau tapal kuda
b. Burr hole I di daerah yang paling banyak clothing biasanya di lobus
temporal, bila perlu dilanjutkan dulu kraniektomi kecil dan evakuasi clothing
untuk mengurangi tekanan, lalu dilanjutkan kraniotomi untuk mengevakuasi
massa.
c. Bila duramater tegang kebiruan lakukan intip dura dengan incisi kecil
d. Kemudian duramater dijahit clan dilakukan gantung dura

3. Subdural hematom :
- lokasi paling sering di temporal dan parietal
- incisi bentuk tapal kuda atau question mark
- Kraniotomi seekspos mungkin dan bila ada clothing kecil dan tidak jelas
terlihat sebaiknya ditinggalkan.
- duramater dibuka dan dievakuasi clothingnya.
- duramater dijahit waterproof, bila swelling tidak dapat dikontrol, biarkan
terbuka dan tulang tidak dipasang dan langsung diflap.

4. Intracerebral hematom :
- lokasi : 80% -90% di temporal dan frontal
- kraniotomi secara prinsip sarna dengan perdarahan intrakranial lainnya
- perdarahan dirawat dengan bipolar, surgicel
- durameter dijahit waterproof

5. Hematoma fossa posterior
- 80% -100% pasien EDH fossa posterior disertai fraktur os occipitalis
- bila ada EDH supra dan infra tentorial, 30% disertai hidrocefalus
- incisi kulit linier/stick golf di para median atau midline
- konservatif bila simptom minimal dan stabil terutama bila ada fraktur di
atas sinus


Hasil
1. EDH: bila cepat dioperasi mortality kurang dari 10%
2. SDH:
1. Serlig et al : operasi dalam 4 jam pertama mortality 30%, operasi setelah
4 jam mortality 90%
2. Hasselberger et al :
- pasien koma kurang dari 2 jam mortality 47%
- pasien koma lebih dari 2 jasm mortality 80%

3. ICH: mortality 27% -50%

Komplikasi
Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada
situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative
statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau
menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar
dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative
state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
Seizure
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.
Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya
karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang
lain.

Kerusakan sara
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus
facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari
saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya
penglihatan ganda.
Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
berat mengalami masalah kesadaran.
Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada kasus cedera kapala resiko perkembangan terjadinya penyakit
alzheimer tinggi dan sedikit terjadi parkinson. Resiko akan semakin tinggi
tergantung frekuensi dan keparahan cedera.






















DAFTAR PUSTAKA

1. Dwliel F.Kelly.Curtis.D.Donald P.Becker: 1996 General principles of head
injury management dalam Narayan Raj.K, James E. Wilberger Jr,
Jhon.Povlishock (ed); Neuro trauma.
2. Daniel F.Kelly,D.L.Nikos,D.P.Becker: 1996, Diagnosis and treatmen of
moderate and severe head injuries (ed) neurological surgery, Philadelphia,
USA, W.B.Sauders and co.
3. G.M.Teasdale, S.Galbrath: 1989, head injuries, Rob & Smith's (ed)
Operative surgery,London.
4. Narayan. K. Raj: 1994, closed head injuries, Setti. S.Rengachary, Robert
H. Wilkins (ed) principles of neurosurgery, Minnesota, USA, World
Publishing.
5. Jennet Bryan: 1997; Outcome after severe head injury, Peter Reilly, Ross
Bullock (ed)head injury, London, UK, Chapman and Hall.
6. Krauss F.Jess: 1993; Epidemology of head injury, Cooper R.Paul (ed)
head injury, Baltimore, USA, William & Wilkins.
7. Mark S.Greenberg; 1994; handbook of neurosurgery, Greenberg graphics
inc.
8. Al Fauzi A. Penanganan Cedera Kepala di Puskesmas. Juli 2002 [4
September 2007]. Diunduh dari:
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072002/pus-1.htm
9. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Dalam : Oxford Textbook of Surgery.
2nd ed. Volume 3. Oxford Press, 2000.
10. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala.
Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah
Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193.
11. Mc Khann GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital Care of the Head-
Injuried Patient. Dalam : Textbooks of Neurotrauma. Mc Graw Hill. 103-112
12. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,
Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.
Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006;
740-59.
13. Markam S, Atmadja DS, Budijanto A. Cedera Kepala Tertutup. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999; 4-112
14. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon
Learning System LLC, 2003.
15. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice of
Surgery. 4th ed. Elsevier Churchill Livingstone, 2007; 551-61.
16. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Elsevier
Saunders, 2006; 685-97.
17. Putz R, Pabst R. Sobotta:Atlas der Anatomie des Menschen. 22nd ed.
Suyono J, Sugiharto L, Novrianti A, Liena, penerjemah. Sobotta:Atlas
Anatomi Manusia. Edisi 22. Jilid 1. Jakarta: EGC, 2007.
18. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrtz Principles of
Surgery. 8th ed. McGraw-Hill, 2005; 1615-20.
19. Singh J. Head Trauma. 25 September 2006 [20 September 2007]; Topic
929: [11 screens]. Diunduh dari:
http://www.emedicine.com/ped/topic929.htm
20. Bedong MA. Cedera Jaringan Otak : Pengenalan dan Kemungkinan
Penetalaksanaannya. Mei 2001 [31 Agustus 2007];. Diunduh dari:
http://www.tempo.ci.id/medica/arsip/052001/sek-1.htm
21. Perez E. Head Injury.University of Maryland Medical Center, 1 Agustus
2007 [20 September 2007]; Topic 28: [11 screens]. Diunduh dari:
http://www.umm.edu/ ency/ article/000028.htm
22. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. 2006 [4
September 2007]. Diunduh dari:
http://www.biausa.org/pages/type_of_brain_injury_ .htm
23. Olson DA. Head Injury. 2 Oktober 2006 [20 September 2007]; Topic
153: [11 screens]. Diunduh dari:
http://www.emedicine.com/neuro/topic153.htm
24. Valadka BA, Narayan RK. Emergency Room Management of the Head
Injuried Patient. Dalam: Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-Hill.119-134.
25. Stein SC. Classification of the Head Injury. Dalam: Textbook of
Neurotrauma. Mc. Graw-Hill. 31-38.
26. Batjer HH, Loftus CM, Textbook of Neurological Surgery. Principles and
Practise. Volume 3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2003; 2795-
2814.
27. Homeier BP. Head Injuries. Durani Y, reviewer. Mei 2007 [20 September
2007]. Diunduh dari:
http://www.kidshealth.org/parent/firstaid_safe/emergencies/
head_injury.htm
28. Mt. Drablo Adult Educaation. TBI Backgraoud Information. Juli 2007 [17
Desember 2007]. Diunduh dari:
http://www.mdusd.k12.ca.us/adulted/ontrack/ brain.htm
29. Gerdes SL. Some Mechanism of Traumatic Brain Injury. 2007 [17
Desember 2007]. Diunduh dari:
http://www.nebraskabraininjurylawyer.com/how.html
30. Miller JD, Piper IR, Jones PA. Pathophysiology of Head Injury. Dalam:
Textbook of Neurotrauma. Mc. Graw-Hill. 61-68.
31. Bhangu AA, Keighley MR. Head Injury. Dalam: Flesh and Bones of
Surgery. Mosby Elsevier, 2007; 16-17.
32. Rappaport WA, Brannan S. Head injury. Dalam: Surgery. Mosby Elsevier,
2005; 216-18.
33. Yaumans JR. Trauma. Dalam: Neorological surgery. 4th ed. Volume 3.
WB Saunders Company, 1996; 1531-1618.
34. National Institude of Neurological Disorders and stroke. Traumatic Brain
Injury:Hope Through Research. 24 Agustus 2007 [20 September 2007].
Diunduh dari: http://www.ninds.nih.gov/disorders/tbi/detail_tbi.htm
35. Lu JJ, Dacey RG. Neurosurgical Emergencies. Dalam: The Washington
Manual of Surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2002.
36. Shepard S. Head Trauma. 20 Agustus 2004 [20 September 2007]; Topic
2820: [9 screens]. Diunduh dari:
http://www.emedicine.com/med/topic2820.htm
37. Aldrich EF, Chin LS, Dipatri AJ, Eisenberg HM. Neurosurgery:Traumatic
Head Injury. Dalam: Sabiston Textbook of Surgery:The Biological Basis of
Modern Surgical Practice. 16th ed. WB Saunders Company, 2001; 1529-33.
38. Mayo Foundation for Medical Education and Research. Traumatc Brain
Injury. 20 September 2006 [20 September 2007]. Diunduh dari:
http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552
39. Hatfield R, Simpson B, Sutcliffe J. Head Injury and Concussion:A Guide
for Patients and cares. The brain trauma Foundation. 19 Juli 2005 [18
September 2007]. Diunduh dari:
http://www.brainandspine.org.uk/information/
publications/brain_and_spine_booklets/head_injury_and_concussion/introdu
ction.html
40. Wijanarka A, Dwiphrahasto. Implementasi Clinical Governance:
Pengembangan Indikator Klinik Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat.
Desember 2005 [4 September 2007]; volume 8; [8 screens]. Diunduh dari:
http://jmpk-online.net/files/05agus.pdf
41. Turkington CA. Head Injury:Gale Encyclopedia of Medicine. 14 Agustus
2006 [18 September 2007]. Diunduh dari:
http://www.healthatoz.com/healthatoz/
Atoz/common/standard/transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/he
ad_injury.jsp.
42. Whyte J, Hart T, Laborde A, Rosenthal M. Rehabilitation Issues in
Traumatic Brain Injury. Dalam: Physical Medicine and Rehabilitation,
Principles and Practice. 4th ed. Volume 2. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2005; 1640-85.
43. Stippler M, Fischer MR, Puccio AM, Wisniewski SR, Carson-walter EB,
Dixon CE, et al. Serum and cerebrospinal Fluid Magnesium in Severe
Traumatic Brain Injury Outcome. Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20
September 2007]; Topic 277 [1347-54]. Diunduh dari:
http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus /10.1089/neu.2007.0277
44. Bouras T, Stranjalis G, Korfias S, Andrianakis I, Pitaridis M, Sakas DE.
Head Injury Mortality in a Geriatric Population:Differentiating an "Edge Age
Group with Better Potential for Benefit than Older Poor-Prognosis Patients.
Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 370
[1355-61]. Diunduh dari:
http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus/10.1089/ neu.2005.370
45. Oliveira COD, Reimer AG, Da Rocha AB, Grivicich I, Schneider RF,
Roisenberg I, et al. Plasma von Willebrand Factor Levels Correlate with
Clinical Outcome of Severe Traumatic Brain Injury. Journal of Neurotrauma.
Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 159 [1331-38]. Diunduh dari:
http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus /10.1089/neu.2006.0159
46. Stocchetti N, Colombo A, Ortolano F, Videtta W, Marchesi R, Longhi L, et
al. Time Course of Intracranial Hypertension after Traumatic Brain Injury.
Journal of Neurotrauma. Agustus 2007 [20 September 2007]; Topic 300
[1339-46]. Diunduh dari:
http://www.liebertonline.com/doi/pdfplus/10.1089/ neu.2007.0300
47. Ghazali MV, Sastromihardjo S, Soedjerwo SR, Soelaryo T, Pramulyo H.
Studi Cross Sectional. Dalam: Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi
2. Jakarta: CV. Sagung Seto, 2002; 97-109.
Diposkan oleh Situs Asrama Medica di 10:04
komentar:
Poskan Komentar
Silahkan Komentar
LInk ke postIng InI
Buat sebuah Link
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
You Are Not AIone

#efarat
O Anastesi (7)
O BEDAH (2)
O Humor (9)
O INFO JK-WIN For President (6)
O Motivasi (16)
O Rahasia (11)
O Refarat (18)
O Sport (3)
O THT (1)
O Time Schedule MCU (1)
O Warna Medica (6)
engenaI Saya

Situs Asrama Medica
Kumpulan Orang-orang gagah FK UNHAS
Lihat profil lengkapku
edIca LInks
O khazanahmedica
O Stetoskop Tua
O bulqis
O astaqauliyah
O fathul
O irga
O likha
O halik
ArsIp Iog
O2010 (4)
O2009 (143)
4Agustus (9)
4Juli (1)
4Juni (44)
4Mei (35)
Anatofisologi Cedera Kepala
Bagaimana Berhadapan dengan Audience yang Sulit?
Hati Kader PKS Ada di Jilbab Istri JK-Wiranto
JK Inginkan 97% Suara di Sulsel
Buku Saku Istri Shalihah Beredar di Mangunsarkoro
ATURAN SEDERHANA TENTANG KEBAHAGIAAN
Apakah Anda Ingin Berubah?
25 Kompetensi Emosional: Sudahkah Anda Miliki?
10 Prioritas Organisasi Personal
Kalla Sindir Pemimpin Suka Klaim
KERA ABIS NGINTIP PRIA MANDI Sehabis ngintip pria...
Jusuf Kalla - Wiranto Saturday, 30 May 2009
SEKS&KEGUNAANNYA
Karakteristik Seks wanita bDasarkan Ciri fisikx
Bedanya Cinta sama Suka
Bahaya Nasi
arti ciuman menurut bidang studi
CARA NGERAYU.....
Perbaikan Laserasi Kandung Kemih Intraperitoneal
SARKOMA EWING
Long Case Hirschprung Disease
HIRSCHSPRUNG DISEASE (HD)
Pemasangan Pipa Intratorakal (WSD)
Hirschsprung's Disease
C O L L I F A C I A L I S bahan kuliah asrul map...
ARTHROLOGI bahan kuliah asrul mappiwali PENDAHULU...
Ontogeni Pharynx BAHAN KULIAH ASRUL MAPPIWALI Pa...
EMBRYOLOGY VISCERA ABDOMINIS BAHAN KULIAH ASRUL M...
EMBRYOLOGY MANUSIA ASRUL MAPPIWALI Perkembang...
BAGIAN ANATOMI FAK. KEDOTERAN UNIVERSITAS HASA...
Leukorea (keputihan)
Kehamilan Ektopik dengan Kejadian Abses Tuba
Cedera Kepala (Trauma Capitis)
Jenis-jenis pembuatan neovagina M Rizkar A Sukars...
Patogenesis dan Gejala Klinis Tumor Hipofisis ASRU...
4April (39)
4Maret (15)
ejak PetuaIangan

ShoutMix chat widget
PengIkut

Anda mungkin juga menyukai