Anda di halaman 1dari 15

1.

Etika Bisnis
Etika ialah suatu studi mengenai yang benar dan yang salah dan pilihan moral yang
dilakukan seseorang. Keputusan etika ialah suatu hal yang benar mengenai perilaku standar.
Etika bisnis mencakup hubungan antara perusahaan dengan orang yang menginvestasi
uangnya dalam perusahaan, dengan konsumen, pegawai kreditur, saingan dan sebagainya.
Orang-orang bisnis diharapkan bertindak etis dalam berbagai aktivitasnya di masayarakat.
Menjaga etika adalah suatu hal yang sangat penting untuk melindungi reputasi
perusahaan. Masalah etika ini selalu dihadapi oleh para manajer dalam keseharian kegiatan
bisnis, namun harus selalu dijaga terus-menerus, sebab reputasi sebagai perusahaan yang etis
tidak dibentuk dalam waktu pendek, tapi akan terbentuk dalam jangka panjang. Dan ini
merupakan asset yang tak ternilai sebagai goodwill bagi sebuah perusahaan.
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan
etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari
semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan
etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan
serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good
conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus
disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait
lainnya.
Dunia bisnis, tidak ada yang tidak menyangkut hubungan antara pengusaha dengan
pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal
ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara
semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya
satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang
mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui
adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan
pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang
menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang
bersiIat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam
perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain
ialah:
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri
mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk
apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan
main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main
curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun
keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus
memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya
dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks
lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual
pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian
dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanIaatkan kesempatan ini untuk
meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis
harus mampu mengembangkan dan memaniIestasikan sikap tanggung jawab terhadap
masyarakat sekitarnya.
3. empertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan inIormasi dan teknologi, tetapi
inIormasi dan teknologi itu harus dimanIaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi
golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya
tranIormasi inIormasi dan teknologi.
4. enciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan eIisiensi dan kualitas, tetapi
persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan
yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan
perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effectterhadap
perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-
kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. enerapkan konsep ~pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang,
tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini
jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang
semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang
walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. enghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan
terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan
curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan
negara.
7. ampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai
contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari
"koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa
diri untuk mengadakan 'kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. enumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan
pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusiI" harus ada saling percaya (trust)
antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah
mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan.
Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang
sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan
berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila
setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa?
Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha
sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi
kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. enumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah
disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu
ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif
yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi"
terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika
saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan
semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
12. %anggung 1awab Sosial Bisnis
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility adalah suatu
konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab
terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala
aspek operasional perusahaan.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada
argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus
mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan Iaktor keuangan, misalnya
keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan
lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan
"perbuatan baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat Ior
Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan sosial
merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali
mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian bea siswa dan pendirian
yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya
untuk sukarelawan (;4:3teer) dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga
menciptakan suatu itikad baik dimata komunitas tersebut yang secara langsung akan
meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan
diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka
baru dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas,
namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi
organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi
organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR
mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-
sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan(stakeh4der)
perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk
membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal
dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan
internal
Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang
pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility
(CSR). Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas
yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga ter-alienasi atau mengasingkan
diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha
yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya.
CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan
harmonis dengan masyarakat tempatan. Secara teoretik, CSR dapat dideIinisikan sebagai
tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama
komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang
perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan
harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut
pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil
terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang
sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak
memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan
begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan
memberikan manIaat terbesar bagi masyarakat.
Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua puluh
tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan
jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku
korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan
tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan
korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan jatuhnya reputasi
mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut.2
Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di
Rio pada 1992 menegaskan konseps:stai3ibiity de;e4pme3t (pembangunan
berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih
oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio,
terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkanB:it T4 Last,
S:ccesf: Habits 4f Jisi43ary C4mpa3ies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan,
mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah
perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata.
Sebagaimana hasil KonIerensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro
Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan
ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development). Dalam perspektiI perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan
suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep
kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder. Ada lima elemen sehingga konsep
keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ; (1) ketersediaan dana, (2) misi
lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat,
korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan/manIaat.
Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia
memunculkan konsep s4cia resp43sibiity, yang mengiringi dua konsep sebelumnya
yaitu ec434mic dan e3;ir43me3t s:stai3abiity. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi
perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (C4rp4rate S4cia
Resp43sibiity). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli
2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia.
Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan
perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan c4rp4rate s4cia resp43sibiity.
Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat
keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder
yang diIasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan
masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat
beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya,
baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan seyogianya
mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Prinsip keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat
miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola
pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi
ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya.
Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung
penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas saling
berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktiI masing-masing
stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara komprehensiI. Karena
dengan partisipasi aktiI para stakeholder diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan
keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan di emban secara
bersama.
CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab
yang berpijak pada si3e b4tt4m i3e, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang
direIleksikan dalam kondisi keuangannya (Iinancial) saja. Tapi tanggung jawab
perusahaan harus berpijak pada tripe b4tt4m i3es. Di sini bottom lines lainnya selain
Iinansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup
menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan
perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan
lingkungan hidup. Sudah menjadi Iakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di
berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap
tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya.
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization Ior Standardization)
sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatiI mengundang berbagai
pihak untuk membentuk tim (working group) yang membidani lahirnya panduan dan
standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama SO 26000. G:ida3ce
Sta3dard 43 S4cia Resp43sibiity.
Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada pemahaman
umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi. Pemahaman
tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu Ri4 Earth S:mmit 43 the E3;ir43me3t tahun
1992 danW4rd S:mmit 43 S:stai3abe De;e4pme3t (WSSD) tahun 2002 yang
diselenggarakan di AIrika Selatan.
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta ISO
on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar Corporate Social
Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO mengenai
pembentukan toStrategic Advisory Group on Social Responsibility pada tahun 2002.
Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-c43fere3ce dan c43fere3ce bagi negara-negara
berkembang, selanjutnya di tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau
NWIP diedarkan kepada seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan
Januari 2005, dimana 29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam hal
ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate Social
Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini, menurut komite
bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000 diperuntukan bukan
hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta maupun publik.
ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersiIat sukarela mengenai tanggung
tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun
badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan Iso 26000 ini akan
memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang
saat ini dengan cara: 1) mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung
jawab sosial dan isunya; 2) menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip
menjadi kegiatan-kegiatan yang eIektiI; dan 3) memilah praktek-praktek terbaik yang
sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat
internasional.
Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang
menggodok ISO 26000 Guidance Standard on Social responsibility yang secara konsisten
mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah CSR akan mencakup 7 isu pokok
yaitu:
1. Pengembangan Masyarakat
2. Konsumen
3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4. Lingkungan
5. Ketenagakerjaan
6. Hak asasi manusia
7. Organizational Governance (governance organisasi)
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu
organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan
lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
a) Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
b) Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;
c) Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
d) Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik
kegiatan, produk maupun jasa.
Berdasarkan konsep ISO 26000, penerapan sosial responsibility hendaknya
terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok diatas. Dengan
demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu saja, misalnya seperti
aspek lingkungan, maka perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung
jawab sosial. Misalnya suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun
perusahaan tersebut masih mengiklankan penerimaan pegawai dengan menyebutkan
secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan gender tertentu, maka sesuai dengan
konsep ISO 26000 perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung
jawab sosialnya secara utuh. Contoh lain, misalnya suatu perusahaan memberikan
kepedulian terhadap pemasok perusahaan yang tergolong industri kecil dengan
mengeluarkan kebijakan pembayaran transaksi yang lebih cepat kepada pemasok UKM.
Secara logika produk atau jasa tertentu yang dihasilkan UKM pada skala ekonomi tertentu
akan lebih eIisien jika dilaksanakan oleh UKM. Namun UKM biasanya tidak memiliki
arus kas yang kuat dan jaminan yang memadai dalam melakukan pinjaman ke bank,
sehingga jika perusahaan membantu pemasok UKM tersebut, maka bisa dikatakan
perusahaan tersebut telah melaksanakan bagian dari tanggung jawab sosialnya.
Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan
yang menjiwai atau menjadi inIormasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung
jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi:
a. Kepatuhan kepada hukum
b. Menghormati instrumen/badan-badan internasional
c. Menghormati stakeholders dan kepentingannya
d. Akuntabilitas
e. Transparansi
I. Perilaku yang beretika
g. Melakukan tindakan pencegahan
h. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia
Adanya ketidakseragaman dalam penerapan CSR diberbagai negara menimbulkan
adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR itu sendiri di
masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum dalam penerapan CSR di
manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai panduan (:idei3e) atau dijadikan
rujukan utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku umum, sekaligus menjawab
tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk Indonesia.
13. Konsumerisme
Konsumerisme adalah gerakan protes dari para konsumen atau masyarakat, karena
perlakuan para pengusaha/wirausaha yang kurang baik dalam melayani konsumen.
Artinya bahwa konsumerisme ialah suatu tindakan dari individu atau organisasi
konsumen, lembaga pemerintah dan perusahaan sebagai jawaban ketidakpuasan yang
diterima dalam hubungan dengan jual beli
Hak-hak konsumen :
O Hak untuk memilih, jangan hanya ditawarkan komoditi satu jenis saja, tanpa ada
pilihan
O Konsumen berhak memperoleh inIormasi dari produsen, terhadap barang yang akan
dibeli, baik mengenai bahan, cara pemakaian, daya tahan, dsb.
O Jika ada keluhan konsumen, harus didengar. Jika ada tuntutan konsumen harus segera
diperhatikan oleh produsen
O Apabila konsumen menggunakan produk, harus dijaga keselamatan konsumen, jangan
sampai barang yang telah dibeli membahayakan konsumen terutama dalam hal
mainan anak-anak , atau obat.
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau
kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsiatau pemakaian barang-barang
hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan.
Hal tersebut menjadikanmanusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga
ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan. SiIat konsumtiI yang
ditimbulkan akan menjadikan penyakit jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia
dalam kehidupannya.
Jika ungkapan Descartes 'Aku berpikir, maka aku ada! menjadi kebanggan dan
wujud peneguhan eksistensi manusia berdasarkan rasionalitas. Saat ini, yang dominan
adalah, 'Aku berbelanja, maka aku ada! Sebuah peneguhan eksistensial manusia yang
kadang tanpa dasar nalar. Kapitalisme pasar membentuk manusia menjadi makhluk
ekonomi sebagai satu-satunya dimensi kehidupannya. Tentu saja, kemudian, hubungan
sosial antar sesama manusia sarat dengan simbol dan logika ekonomi.
Ketika produksi kapitalisme mencapai puncak kelimpahan barang, sehingga
kebutuhan tercukupi, perusahaan berusaha bukan hanya mencipta barang, namun sekaligus
menciptakan kebutuhan. Ini merupakan upaya kapitalisme pasar untuk terus menguasai
kehidupan. Melalui berbagai instrumen dan cara-cara persuasiI, kapitalisme memaksa
masyarakat mengkonsumsi tanpa henti. Muncul kemudian kebutuhan semu, bukan karena
butuh (need), namun lebih pada ingin (want).
Produksi tentu tak lepas dari konsumsi, pasangannya. Sebab keduanya saling
membutuhkan. Pada awal perkembangan masyarakat, produksi adalah upaya usaha
memenuhi kebutuhan sendiri. Namun, karena barang yang dihasilkan berlebih maka
ditukarkan barang lain, untuk tujuan yang berbeda. Pertukaran barang ini kemudian
memunculkan pasar, dan barang tersebut berubah nilainya menjadi komoditas. Karl Marx
melihat hal tersebut sebagai perubahan nilai guna (use value) menjadi nilai tukar
(exchange value).
Dari gambaran di atas kita melihat bahwa, mengkonsumsi sebenarnya bukan hanya
persoalan pada zaman kini, ketika mall dan pusat perbelanjaan menjamur. Konsumsi
merupakan perilaku primitiI manusia. Bahkan, menurut Plato, terbentuknya masyarakat
merupakan akibat manusia tak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Yang nampak
berbeda adalah intensiIikasi dan perluasan jaringan pemasaran yang lebih kompleks.
Munculnya pusat perbelanjaan dalam bentuk yang lebih 'baru, membuat konsumsi
menjadi sebentuk candu.
Tentu saja perubahan pola perilaku konsumsi tidak terjadi begitu saja. Perubahan pola
dan perilaku konsumsi terjadi seiring perkembangan inIrastruktur masyarakat. Berbagai
penemuan di bidang teknologi dan meletusnya Revolusi Industri, mengkonsumsi menjadi
niscaya setelah produksi. Produksi barang secara massal meniscayakan proses produksi
mengalami percepatan. Begitu pula usaha untuk menghabiskan dan menggunakan barang.
Zaman ini memunculkan masyarakat baru yakni masyarakat konsumen. Masyarakat inilah
yang menjadi pengguna barang yang dihasilkan oleh produksi massal tersebut.
Perubahan sosial serta produksi massa industrial yang mempengaruhi pola perilaku
mengkonsumsi mendorong beberapa tokoh untuk mengkajinya. Oleh Haryanto
Soedjatmiko, dalam Saya Berbelanja, maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain
Menjadi Gaya Hidup Konsumeris (Jalasutra: 2008), membagi perilaku konsumsi ke dalam
tiga periode dengan masing-masing kondisi sosial di sekitarnya. Tiga periode tersebut
yakni; periode klasik, kemunculan sosiologi konsumsi, dan periode posmodernis.
Teori konsumsi klasik digawangi oleh Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel.
Pada dasarnya Marx adalah seorang yang lantang mengecam kapitalisme dengan berbagai
implikasi eksploitasinya. Sehingga, tak mengherankan bila Marx mengatakan bahwa hasil
produksi tidak secara langsung terkait dengan kebutuhan masyarakat. Barang produksi
adalah komoditas yang mendahulukan nilai tukar daripada nilai guna. Dalam kondisi
demikian, masyarakat merupakan obyek yang didorong produsen untuk mengkonsumsi.
Masyarakat berada pada subordinat produksi, di mana produsen mampu menciptakan
kebutuhan masyarakat.
Pada saat kapitalisme mulai meletakkan dasar-dasarnya dengan kuat. Berikutnya
Weber muncul dengan ide tentang Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Kritik
Weber bahwa, etika Protestan bukan hanya menghabiskan barang konsumsi sebagaimana
yang dilakukan masyarakatnya saat itu. Namun, pada investasi dan kerja keras. Weber
tampak ingin semakin memperjelas dan memperkokoh kapitalisme dengan bentuk
investasi kembali keuntungan produksi. Meskipun masyarakat kental dengan semangat
Kalvinisme ini, namun perilaku konsumsi tidak berhenti. Masyarakat mulai sadar akan
kesenangan berkat kemajuan industri.
Tokoh berikutnya adalah George Simmel, yang menekankan interaksi pertukaran,
terutama dalam perekonomian. Munculnya uang sebagai alat tukar dan munculnya
perkotaan memunculkan model baru dalam mengkonsumsi. Pertumbuhan kelas sosial
urban dan model konsumsi baru tersebut tidak bisa dipisahkan dari modiIikasi barang
konsumsi. Pertumbuhan imajinasi mengenai barang konsumsi muncul dari penilaian
terhadap barang konsumsi. Puncak imajinasi itu bergantung dan berperan pada munculnya
masyarakat urban yang berorientasi pada pemasaran mode (Iashion) (Chaney, 2006: 55).
Simmel menyimpulkan bahwa mengkonsumsi membentuk konstruksi masyarakat dan
menimbulkan budaya baru masyarakat. Di sini terjadi pergeseran dari masyarakat
konsumen (consumer society) menjadi budaya konsumen (consumer culture).
Kemudian muncul seorang sosiolog dari Prancis, Pierre Bourdieu, yang yang menurut
buku ini mempelopori kemunculan periode sosiologi konsumsi. Bourdieu menghubungkan
konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam masyarakat. Dalam pandangannya produk
konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial seseorang. Musik klasik misalnya,
hanya dinikmati orang-orang tertentu (biasanya dari kelas atas). Konsumsi dibentuk oleh
ide, simbol, selera, yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan
pembedaan dalam masyarakat. Dalam konsumsi, selera, preIerensi, gaya hidup, dan
standar nilai ditentukan oleh kelas yang lebih superior. Kelas atas bukan hanya unggul
secara ekonomi politik, namun juga budaya dengan menentukan dan melakukan hegemoni
dalam pola-pola konsumsi.
Pada perkembangan kapitalisme akhir, dalam teori-teori sosial muncul
posmodernisme. Posmodernitas menurut Baudrillard adalah dunia yang penuh dengan
simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka yang
dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut. Konsumsi
dirayakan seiring dengan munculnya pusat perbelanjaan (super)modern, kapitalisme
neoliberal, dan pasar bebas. Kajian terhadap konsumsi masyarakat posmodern oleh buku
ini diwakili dua tokoh posmodernis, yakni Mike Featherstone dan Jean Baudrillard.
Berbeda dengan dua zaman sebelumnya atau juga dalam pandangan Featherstone, di
mana konsumsi menjadi sumber diIerensiasi masyarakat. Justru posmodernitas menurut
Baudrillard megaburkan kelas dan status sosial. Bahkan Baudrillard menyatakan era
posmodern sebagai 'matinya yang social, kematian masyarakat. Siapa pun yang mampu
bisa merayakan konsumsi tanpa memandang kelas dan status sosial. Konsumsi
memberikan identitas tertentu tanpa memandang batas-batas sosial.
Featherstone menjelaskan budaya konsumen dengan membaginya ke dalam tiga tipe
Chaney, 2006: 67); pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu kapitalis. Kedua,
konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan yang lebih sosiologis mengenai relasi
benda-benda dan cara melukiskan status. Praktik konsumsi merupakan strategi untuk
menciptakan dan membedaan status sosial. Tipe kedua dari konsumsi ini dapat kita lihat
dengan munculnya komunitas pengguna barang tertentu, misalnya klub motor merk
tertentu. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Baudrillard di atas. Ketiga,
Featherstone melihat munculnya kreativitas konsumsi. Kreativitas konsumsi ini terkait
dengan estetikasi konsumsi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan mode,
estetisasi bentuk, dan gaya hidup.
Tokoh selanjutnya, Jean Baudrillard, melihat konsumerisme sebagai logika untuk
memenuhi kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena kebutuhan
masyarakat, namun lebih pada pemuasan naIsu mereka. Dalam pandangan Baudrillard,
kapitalisme akhir memanIaatkan mesin hasrat tersebut untuk terus membelenggu
masyarakat dalam jerat konsumerisme.
Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi
menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Seiring dengan terus beroperasinya industri
lintas negara dan tumbuhnya supermarket, hipermarket, dan mall. Bahkan dengan
strateginya yang cantik, barang konsumsi disesuaikan dengan pengalaman dan pandangan
IilosoIis masyarakat setempat (Iordisme). Munculnya strategi Iordisme tersebut terus-
menerus menempatkan masyarakat dalam kubangan konsumerisme.
Kajian tentang konsumerisme dan sosiologi konsumsi menjadi penting saat ini.
SigIikansinya adalah, perubahan masyarakat saat ini cenderung menuju pada budaya
komsumeris seiring menjamurnya pusat perbelanjaan. Kajian ini dimulai dari tokoh klasik,
tokoh sosiologi konsumsi, dan teori posmodern dengan konteks sosial masing-masing
zaman mereka. Kajian keilmuan sosiologi dalam masyarakat konsumsi jelas akan
senantiasa penting di masa yang akan datang.

. KESIPULAN
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan
pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam
hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan
antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar
jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada
apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan
menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis
tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika
didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain
tidak perlu pembicaraan yang bersiIat global yang mengarah kepada suatu aturan yang
tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan
"perbuatan baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat Ior
Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan sosial
merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali
mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian bea siswa dan pendirian
yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya
untuk sukarelawan (;4:3teer) dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga
menciptakan suatu itikad baik dimata komunitas tersebut yang secara langsung akan
meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan
diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka
baru dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas,
namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi
organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi
organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR
mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-
sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan(stakeh4der)
perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk
membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal
dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan
internal
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau
kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsiatau pemakaian barang-barang
hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan.
Hal tersebut menjadikanmanusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga
ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan. SiIat konsumtiI yang
ditimbulkan akan menjadikan penyakit jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia
dalam kehidupannya.

. N% KASUS
Sebuah penerbit buku baru berdiri, dan sudah menerbitkan beberapa judul buku.
Penjualan bukunya masih dalam tahap perintisan, baru diintroduksikan ke pasar tertentu
saja belum laris. Pengusahanya agak sulit juga untuk mencari pasar lebih luas, karena
belum berpengalaman dalam memasarkan buku. Lalu datang telepon dari Jakarta yang
ingin memesan buku-bukunya menggunakan cek mundur 1 (satu) bulan. Pengusaha
merasa senangdan menjawab silakan ajukan permintaan tertulis. Besoknya melalui pos
kilat khusus, datanglah surat permohonan yang diketik rapi diatas kertas kop sebuah
perusahaan yang cukup meyakinkan dan dapat dibaca lapangan usaha perusahaan tersebut,
sebagai leveransir dan perdagangan buku, minta dikirim buku-buku secepat mungkin,
dalam jumlah yang sangat besar, dan dilampirkan cek mundur sebagai pembayarannya. Si
pengusaha merasa gembira bercampur bingung. Wah, hebat nih, dapat order besar
bukunya laris, tapi apakah cek ini benar? Timbul rasa was-was. Apakah pemilik cek ini
masih aktiI rekeningnya di bank? Apakah saldo uangnya terjamin pada waktu jatuh
tempo? Apakah perusahaan ini b43afid? Apakah pemesan ini penipu? Dan berbagai
pertanyaan lainnya yang sulit dilacak jawabannya. Kemudian datang lagi telepon
menanyakan apakah surat pesanan dan cek sudah diterima dan kapan dikirim bukunya?
Mohon disegerakan pengirimannya.
Pengusaha penerbit berIikir lebih cermat lagi, dan berusaha mencari inIormasi untuk
membuktikan kecurigaannya. Pertama-tama ia pergi k eke cabang bank yang sama di
Bandung, menengok apakah rekening dari cek ini masih aktiI dan berapa besar saldonya
sekarang ini? Bank agak keberatan memberikan inIormasi ini karena rahasia. Akan tetapi,
sebenarnya bank seharusnya memberikan inIormasi demikian agar etika bisnis dan gejala
penipuan dapat dihindarkan dari masyarakat bisnis secara menyeluruh. Namun demikian
pengusaha penerbit memperoleh jawaban, bahwa rekening tersebut masih aktiI, dan saldo
rekeningnya sangat kecil hanya puluhan ribu saja. Bank menyarankan, jika mau inIormasi
lebih lanjut dan pasti silahkan datangi orang yang bersangkutan.
Pengusaha penerbit mencoba usaha lain, yaitu membuat surat perjanjian diatas segel,
dimana pihak pembeli berjanji bahwa pada tanggal jatuh tempo, dana dari cek tersebut
akan tersedia di bank. Jika pembeli lalai, maka ia akan mempertanggungjawabkan
kelalaiannya itu baik disengaja ataupun tidak, di pengadilan dengan jaminan pribadi dan
asset perusahaannya. Pengusaha penerbit mengirim manajernya ke Jakarta membawa
segel perjanjian, sambil memantau situasi perusahaan dan mencari inIormasi lebih lanjut
tentang calon pembeli tersebut.
Sampai di Jakarta, si manajer tidak bertemu dengan calon pembeli, mungkin sedang
keluar, segel ditinggal di kantornya. Malam hari segel diambil kembali ternyata sudah
ditanda tangani, akan tetapi calon pembeli (Direktur Perusahaan) tidak dapat ditemui.
Lokasi perusahaannya berada di tempat kumuh, kurang meyakinkan dan katanya nama
perusahaan tersebut sudah diganti dengan nama perusahaan lain. Kemudian didapat
banyak inIormasi dari pedagang-pedagang lain, bahwa mereka sudah mengalami nasib
kurang beruntung dan ditipu oleh calon pembeli tersebut. Sampai sekarang tagihan-tagihan
mereka banyak yang macet, dan sulit dibawa ke pengadilan, atau tidak mau berurusan
dengan pengadilan karena menyita waktu.
Dengan inIormasi dan pengalaman demikian, akhirnya diputuskan cek mundur
dikembalikan kepada yang punya, dan jual beli dibatalkan. Mungkin ini suatu hikmah dari
Allah SWT bagaimana seseorang diberi pengalaman, agar dapat belajar dari pengalaman
tersebut, bekerja lebih berhati-hati dalam rangka turut menegakan praktek etika bisnis
lebih sempurna.

Anda mungkin juga menyukai