Anda di halaman 1dari 12

Modul / Tatap Muka 14

PEREKONOMIAN INDONESIA
Materi Pembahasan

IDEOLOGI EKONOMI,TEORI EKONOMI DAN KOLONIALISME

Oleh : ADIYAS,SE,MM

Program Kelas Karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Jakarta 2008

OTONOMI DAERAH A. Otonomi Daerah & Peluang Serta Tantangan Bisnis di Daerah. 1. Pembangunan yang tidak merata. Pembangunan ekonomi nasional selama pemerintahan Orba yang lebih terfokus pada pertumbuhan ternyata tidak membuat banyak daerah di tanah air berkembang dengan baik. Proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran sebagai hasil pembangunan selama itu lebih terkonsentrasi di pusat (Jawa). Pada tingkat nasional memang laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun cukup tinggi dan tingkat pendapatan perkapita naik terus setiap tahun (hingga krisis terjadi). Namun, dilihat pada tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antar propinsi makin membesar. Demikian juga dengan kesenjangan dalam distribusi pendapatan semakin besar, bukannya semakin membaik sesuai hipotesis Kuznets mengenai adanya suatu korelasi negatif dalam periode jangka panjang antara tingkat pertumbuhan dan kesenjangan di dalam distribusi pendapatan. Masalah ketimpangan ekonomi regional di Indonesia disebabkan antara lain, karena selama pemerintah Orba, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974, pemerintah pusat menguasai dan mengontrol hampir semua sumber pendapatan daerah yang ditetapkan sebagai penerimaan negara, termasuk pendapatan dari hasil sumber daya alam di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan/kelautan. Akibatnya, selama itu daerah-daerah yang kaya sumber daya alam tidak dapat menikmati hasilnya secara layak (Yafitz, 1999). Juga pinjaman dan bantuan luar negeri, penanaman modal asing (PMA) dan tata niaga di dalam negeri diatur sepenuhnya oleh pemerintah pusat sehingga hasil yang diterima daerah lebih rendah daripada potensi ekonominya (Basri, 1994; Sondakh, 1999). Konstelasi hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pemda) yang berlaku sejak pemerintahan Orba hingga

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Adiyas, SE.MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

diberlakukannya otonomi daerah (OD) sejak bulan Januari 2001 lalu menyebabkan relatif kecilnya peranan pendapatan asli daerah (PAD) dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan kata lain, peranan/kontribusi penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat dalam bentuk bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan mendominasi konfigurasi APBD. Sumber-sumber penerimaan yang relatif besar pada umumnya dikelola oleh pemerintah pusat, sedangkan sumber-sumber penerimaan yang relatif kecil dikelola oleh Pemda (Yafitz, 1999). 2. Ketimpangan Fiskal Pola hubungan pusat daerah seperti yang digambarkan di atas membuat Pemda sangat tergantung pada pemerintah pusat. Data APBN periode 1990-an menunjukkan bahwa struktur penerimaan Pemda Tingkat I (Dati I) didominasi oleh transfer uang dari pemerintah pusat, baik dalam bentuk bantuan maupun sumbangan. Pada pertengahan periode 1990-an sumbangan dan bantuan ini mencapai hampir 50% dari total penerimaan Dati I dan cederung meningkat (Indef, 1998). Ketergantungan keuangan Pemda terhadap pemerintah pusat juga dilihat pada berbagai indikator lainnya, diantaranya rasio penerimaan Pemda terhadap pengeluarannya. Sebagai contoh, menurut laporan dari Bank Dunia tahun 1977 mengenai pembangunan ekonomi di Indonesia, porsi daerah dalam total pengeluaran nasional adalah sekitar 7%, sementara porsi penerimaannya sebesar 22%, sehingga rasionya sekitar 30% (lihat Tabel 1). Hal ini mencerminkan betapa kecilnya peran keuangan daerah, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Adiyas, SE.MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

Tabel 1. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah Indonesia dan Beberapa Negara Lainnya (dalam persentase) Saham Daerah Pengeluaran Penerimaan Negara Pusat Pusat (A) (B) Cina 64 64 Brazil 37 22 Argentina 37 35 India 54 35 Kolombia 31 18 Korea Selatan 38 18 Indonesia 22 7 Sumber : World Bank (1997) Rasio A/B 100 60 95 65 56 47 32

Persoalan kunci dari fenomena ketergantungan keuangan Pemda terhadap pusat bersumber dari ketimpangan fiskal vertikal. Sebagai contoh, dengan mengacu kepada struktur keuangan negara yang berlaku. Tabel 2 menunjukkan bahwa pangsa penerimaan Dati I dari sumber sendiri kurang dari 3% dan Dati II lebih parah lagi, kurang dari 2%. Berikutnya Tabel 3 memperlihatkan ketimpangan fiskal vertikal antara pusat dan propinsi-propinsi di Indonesia dan juga ketimpangan fiskal horizontal antar propinsi dimana persentase penerimaan dari sumber sendiri, DKI Jakarta paling tinggi dibandingkan propinsi-propinsi lainnya.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Adiyas, SE.MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

Tabel 2. Ketimpangan Fiskal Vertikal di Indonesia Tahun 1990/1991 (% dari Penerimaan Sendiri) Pangsa Penerimaan Nasional 96,1 Daerah 3,9 Dati I 2,8 Dati II 1,1 Seluruh Tingkatan 100,0 Sumber : Tabel 3, Indef (1998) Pangsa Pengeluaran 83,1 16,9 9,3 7,6 100,0 Surplus / Defisit 13,0 -13,0 -6,5 -6,5 100,0

Tabel 3. Struktur Fiskal Pusat Daerah Tahun 1995 (dalam persen) Penerimaan Penerimaan Kontribusi Propinsi Daerah Bersama Pusat DI Aceh 18,06 11,61 68,31 Sumatera Utara 25,57 5,43 64,44 Sumatera Barat 39,22 6,70 45,03 Riau 33,47 26,17 25,04 Jambi 25,68 10,57 54,49 Sumatera Selatan 31,93 19,68 37,92 Bengkulu 20,79 6,25 67,13 Lampung 36,06 4,78 51,84 DKI Jakarta 61,57 10,82 13,27 Jawa Barat 29,57 2,93 59,32 Jawa Tengah 21,18 1,78 73,56 DI Yogyakarta 21,05 2,03 71,97 Jawa Timur 29,68 2,22 61,32 Kalimantan Barat 20,73 13,67 55,38 Kalimantan Tengah 5,92 23,32 0,65 Kalimantan Selatan 23,40 19,04 52,34 Kalimantan Timur 23,98 30,46 28,19 Sulawesi Selatan 39,61 12,36 42,45 Sulawesi Utara 22,54 10,36 65,54 Sulawesi Tengah 9,29 4,81 85,28 Sulawesi Tenggara 11,35 10,68 70,72 Bali 50,33 5,24 30,43 Nusa Tenggara Barat 20,44 5,01 68,37 Nusa Tenggara Timur 18,9 4,72 69,10 Maluku 12,34 15,55 66,65 Irian Jaya 6,67 40,63 44,45 Sumber : Tabel 4, Basri (2000)

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Adiyas, SE.MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

Dengan struktur fiskal antara pusat dan daerah seperti ini, tidak mengherankan Indonesia termasuk yang paling parah dalam ketimpangan fiskal. Seperti dilihat di Tabel 4, koefisien ketimpangan fiskal Indonesia paling rendah antara negara-negara yang lain di dalam sampel. Koefisien ketimpangan fiskal dapat dihitung dengan suatu formula sederhana sebagai berikut : 1 (TRsp + TRgp + REVsh + B) / EXP (1) dimana: TRsp = transfer pusat untuk tujuan khusus kepada Pemda TRgp = transfer pusat untuk tujuan umum kepada Pemda B = pinjaman penerimaan REVsh = pembagian penerimaan EXP = pengeluaran Pemda Tabel 4. Koefisien Ketimpangan Fiskal Vertikal di Beberapa Negara Negara Indonesia Australia India Kolombia Pakistan Malaysia Kanada Jerman (Barat) Amerika Serikat (AS) Brazil Sumber : Tabel 4, Indef (1998) Periode 1990 1987 1982 1986 1979 1983 1987 1988 1984 - 1988 1988 1988 1988 1988 Koefisien 0,19 0,43 0,45 0,50 0,53 0,56 0,79 0,79 0,88 0,89

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Adiyas, SE.MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

A. Undang-Undang Otonomi Daerah 1. Alasan Muculnya Undang-Undang Otonomi Daerah Munculnya krisis ekonomi disusul kemudian dengan lengsernya Suharto, timbulnya krisis politik dan sosial, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan semakin parahnya hak azasi manusia (HAM), semua ini seakan-akan memberi suatu kesempatan besar bagi masyarakat di daerah yang selama pemerintah Orba sangat tertekan untuk menuntut kemerdeakan atau mendapatkan otonomi yang lebih luas. Isu integrasi pun segera menyeruak dan menjadi salah satu topik hangat sejak Orde Reformasi hingga akhir pemerintah Abdurrahman Wahid saat itu. Menurut Sondakh (1999), ada 3 faktor yang memicu bangkitnya tuntutan tersebut, sentimen regional, ketimpangan dan ketidakberdayaan ekonomi dan represi dan pelanggaran hak-hak masyarakat lokal. Dari ketiga faktor tersebut, ketimpangan ekonomi merupakan faktor pemicu paling utama. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat di DI Aceh atau Irian Jaya tidak akan sampai menuntut kemerdekaan apabila selama pemerintahan Orba pembagian penghasilan dari ekspor sumber daya alam yang mereka miliki dilakukan secara adil. Namun, kenyataannya tidak demikian. Yang terjadi selama ini di kedua propinsi yang kaya itu adalah proses capital drainage (Azis, 1995, Hill, 1990). Gerakan disintegrasi tersebut akhirnya memunculkan 2 Undangundang yang memberikan keleluasaan kepada daerah dalam wujud otonomi yang luas dan bertanggungjawab untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri, tanpa ada lagi intervensi dari pemerintah pusat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai kondisi dan potensi wilayahnya. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemda dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah-daerah dapat dianggap sebagai salah satu konsekuensi positif dari proses reformasi sejak krisis ekonomi terjadi, yang mengisyaratkan telah terjadinya pergeseran paradigma dari sistem

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Adiyas, SE.MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

pemerintahan yang sentralistik ke sistem pemerintahan yang desentralistik (Koswara, 1999). 2. Tujuan Otonomi Daerah Tujuan pokok UU No. 22 Tahun 1999 adalah untuk mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menjadikan daerah otonom yang mandiri dalam rangka menegakkan sistem pemerintahan negara kesatuan RI sesuai UUD 1945. Penyelenggaraan otonomi daerah yang luas dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, sserta memperhatikan potensi dan kanekaragaman daerah (Koswara, 1999). Tujuan pokok UU No. 25 Tahun 1999 adalah upaya memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggungjawab dan pasti serta mewujudkan sistem perimbangan keuangan yang baik antara pemerintah pusat dan Pemda (Sidik, 1999). Menurut UU No. 25 Tahun 1999, dalam rangka implementasi desentralisasi atau dalam rangka mencapai tujuan tersebut diatas, pemerintah pusat akan mengalokasikan uang yang disebut dana perimbangan yang terdiri atas Bagian Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Bagian Daerah terdiri atas hasil pajak, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan PPh Perorangan (diatur dalam UU No. 17 Tahun 2000 dan PP No. 115 Tahun 2000) dan hasil non pajak, yakni penerimaan SDA. Kriteria alokasi dana perimbangan didasarkan pada sejumlah variabel yang diatur dalam UU tersebut. Pembagian DAU dan DAK dapat dilihat pada Tabel 5 dan perbedaan proporsi pembagian dana perimbangan sebelum dan sesudah berlakunya UU No. 25 Tahun 1999 dapat dilihat pada Tabel 6.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Adiyas, SE.MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

Tabel 5. Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Uraian Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Komponen Dati I : 10% Dati II : 90% Kebutuhan khusus Dana Reboisasi Pusat : 60% Dati I : 40%

- Dana darurat Sumber : UU No. 25 Tahun 1999. B. Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah Menurut UU No. 18 Tahun 1997, sumber-sumber keuangan daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD); bagi hasil pajak dan non pajak; pendapatan dari pemerintah pusat, yang terdiri atas sumbangan/subsidi daerah otonomi atau SDO, Inpres/bantuan pembangunan atau DII dan sumbangansumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, dan lainlain pendapatan yang sah. Dengan keluarnya UU No. 25 Tahun 1999, struktur keuangan daerah mengalami perubahan, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6, dimana sumber baru yang penting adalah dana perimbangan dari pemerintah pusat.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Adiyas, SE.MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

Tabel 6. Sumber-Sumber Keuangan Daerah Menurut UU No. 18 Tahun 1997 Dan UU No. 25 Tahun 1999
1. UU No. 18 Tahun 1997 Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. hasil pajak daerah b. hasil retribusi daerah c. bagian laba perusahaan daerah (BUMD) d. penerimaan lain-lain yang sah 1. UU No. 25 Tahun 1999 PAD a. hasil pajak daerah b. hasil retribusi daerah c. hasil BUMD d. hasil pengolahan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan. e. Penerimaan lain-lain yang sah Dana Perimbangan; a. bagi hasil - bag. daerah penerimaan PBB - bag. daerah penerimaan BPHTB - bag. daerah penerimaan SDA sumber kehutanan a) IHH b) provisi sb.daya hutan (PSDH) sumber pertambangan umum a) landrent b) royalti sumber perikanan a) royalti perikanan sumber minyak bumi a) royalti minyak bumi sumber gas alam a) royalti gas alam b. dana alokasi umum (DAU) c. dana alokasi khusus (DAK) Pinjaman daerah yang terdiri atas pinjaman dalam negeri dan luar negeri.

2.

Bagi hasil pajak dan bukan pajak; a. bagi hasil pajak b. bagi hasil bukan pajak

2.

3.

Pemberian yang berasal dari pemerintah; a. SDO b. Bantuan Inpres

3.

Keterangan Sumber

: Pinjaman LN diperoleh melalui pemerintah pusat yang jumlahnya tidak melebihi yang ditetapkan : UU No. 18 Tahun 1997 dan UU No. 25 Tahun 1999

Dari Tabel 5 dan 6 dapat dilihat bahwa dengan adanya UU No. 25 Tahun 1999, dana yang diterima propinsi mengalami perubahan pada beberapa pos, antara lain proporsi IHH berkurang dari 30% menjadi 16% dan IHPH dari 70% menjadi 16%. Pos-pos baru adalah royalti minyak bumi (3%)

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Adiyas, SE.MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

10

dan gas alam (6%). Tambahan dana perimbangan diperoleh propinsi dari DAU = 1,5%. Ada sejumlah studi yang telah dilakukan mengenai besarnya dana yang akan disalurkan dari pusat ke daerah akibat penerapan UU No. 25 Tahun 1999, diataranya dari Bappenas (Tjahjono, 2000). Didasarkan pada sejumlah asumsinya, hasil studi tersebut menunjukkan bahwa penerimaan yang bersumber dari bagian (bag.) daerah, 4 propinsi yang memiliki kekayaan alam cukup besar mendapatkan kenaikan penerimaan yang besar yakni DI. Aceh, Riau, Jabar dan Kaltim. Keempat propinsi tersebut umumnya memiliki penerimaan tambahan dari sektor pertambangan, bukan migas dan sektor perhutanan. Hal ini dikarenakan menurut UU No. 25 Tahun 1999, persentase bagi hasil sumber tersebut hanya sebesar 3% dari penerimaan BBM dan 6% dari penerimaan gas bumi.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Adiyas, SE.MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

11

DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Cornelis Rintuh, Perekonomian Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1995. 2. Drs. Dumairy, MA, Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, Agustus, 1996. 3. Hera Susanti, Moh. Ikhsan, Widyanti, Indikator-indikator Makro Ekonomi, LPFE-UI Jakarta, 1995. 4. Drs. Hg. . Suseno Triyanto Widodo, Indikator Ekonomi, Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1990. 5. Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, Cetakan Ketiga, Penerbit PT. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1994. 6. Dr. Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia, Teori dan Temuan Empiris, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001. 7. Dr. Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia, Teori dan Temuan Empiris, Edisi Pertama, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2001. 8. Zulkarnain Djamin, Perekonomian Indonesia, LPFE-UI, 27 Oktober 1989.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB

Adiyas, SE.MM.

PEREKONOMIAN INDONESIA

12

Anda mungkin juga menyukai