Anda di halaman 1dari 7

Ittiba` dan Taqlid

Posted on Februari 25, 2008 by Badan Koordinasi Dakwah Islam


Pengertian Ittiba`
Ittiba` secara bahasa berarti iqtifa (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan uswah
(berpanutan). Ittiba terhadap Al-Qur`an berarti menjadikan Al-Qur`an sebagai imam dan
mengamalkan isinya. Ittiba kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut
diteladani dan ditelusuri langkahnya. (Mahabbatur Rasul, hal.101-102).
Adapun secara istilah ittiba berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan huffah dan
dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : 'Setiap orang yang engkau ikuti dengan huffah dan
dalil padanya, maka engkau adalah muttabi (Ibnu Abdilbar dalam kitab Bayanul Ilmi, 2/143).
Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin ber-ittiba kepada Rasulullah saw, seperti
Firman-Nya: 'Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut
Allah. (Al-Ahzab:21)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini : 'Ayat ini merupakan azas pokok lagi agung
dalam bersuri teladan kepada Rasulullah saw dalam segala ucapan, perbuatan dan hal
ihwalnya.(TaIsir Ibnu Katsir, 3/475). Sedangkan Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam
kitabnya Al-Hadits Al-Huffatun bi Nafsihi pada hal.35 menyatakan : 'Ayat ini memberi
pengertian bahwa Rasulullah saw adalah panutan kita dan suri teladan bagi kita dalam segala
urusan agama.
Ber-uswah kepada Rasulullah saw ialah mengerjakan sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh
beliau, baik berupa amalan sunnah atau pun wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan
oleh Rasulullah saw baik perkara itu makruh, apalagi yang haram. Jika beliau SAW
mengucapkan suatu ucapan, kita juga berucap seperti ucapan beliau, jika beliau mengerjakan
ibadah, maka kita mengikuti ibadah itu dengan tidak ditambah atau dikurangi. Jika beliau
menganggungkan sesuatu, maka kita juga mengagungkannya.
Namun perlu diperhatikan bahwa mustahil seseorang itu ber-uswah atau ber-ittiba kepada
Rasulullah saw jika dia fahil (bodoh) terhadap sunnah-sunnah dan petunjuk-petunjuk Rasulullah
saw. Oleh sebab itu jalan satu-satunya untuk ber-uswah kepada Rasulullah eadalah dengan
mempelajari sunnah-sunnah beliau ini menunjukkan bahwa atba (pengikut Rasul) adalah
ahlul bashirah (orang yang berilmu).
Dan cukup banyak ayat-ayat Al-Qur`an agar kita senantiasa mengikuti sunnah seperti :
'Barangsiapa yang mentaati Rasul berarti dia mentaati Allah.. (An-Nisa`:80)
'Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya Allah akan memasukkannya ke dalam
Syurga. (An-Nisa`:13) . dan ayat-ayat yang lainnya.
Dan perkataan Rasulullah merupakan perkataan yang harus dipercaya, sebab 'an tidaklah ia
berkata-kata dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang disampaikan Allah kepadanya. (An-
Najm:4)
Bahkan Rasulullah mengingkari orang-orang yang beramal tetapi mereka tidak mau mencontoh
seperti apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah :
'Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu
tertolak. (HR. Muslim, 1718).
Dalam hadits ini ada Iaedah penting, yaitu : Niat yang baik semata tidak dapat menjadikan suatu
amalan menjadi lebih baik dan akan diterima di sisi Allah I, akan tetapi harus sesuai dengan cara
yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu Nabi emenutup jalan bagi orang yang
suka mengada-ngada dalam ibadah dengan ucapan : 'Siapa yang benci (meninggalkan)
sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku'.(HR. Bukhari). Dan ini berlaku bagi seluruh
sunnah yang telah ditetapkan beliau.
Maka dengan demikian kedudukan ittiba (mengikuti contoh kepada Ralullah saw) dalam Islam
adalah wajib, setiap orang yang mengaku muslim mesti meninggikannya, bahkan ia merupakan
pintu bagi seseorang setelah masuk Islam. Sehingga Ittiba kepada Rasulullah adalah salah satu
syarat agar diterimanya amal seseorang. Sedangkan syarat diterimanya ibadah seseorang yang
disepakati oleh para ulama, ada dua: Pertama, mengikhlaskan niat ibadah hanya kepada Allah.
Kedua, harus mengikuti dan cocok dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.

Pengertian Taqlid
%aqlid dari segi bahasa berarti membuat ikatan di leher. iambil dari kata qaladah, yaitu
sesuatu yang digunakan orang untuk mengikat yang lainnya. (Al-Aqaid hal. 91). Adapun
secara istilah, taqlid bermakna mengambil mad:hab dari seseorang atau beramal dengan
ucapan-ucapan orang itu tanpa dalil dan huffah. Abu Abdillah bin Khuwai:i Mandad
menyatakan . 'Setiap orang yang engkau ikut tanpa dalil dan huffah maka engkau adalah
muqallidnya`. (Al-Alamul Muwaqqiin hal.137). engan demikian fika kita mengikuti pendapat
seseorang, padahal pendapatnya itu tidak berdasarkan Al-Quran dan Sunnah sesuai dengan
pemahaman gene-rasi shahabat, maka kita adalah muqallidnya.
::2 bertaqlid
1. Pendapat yang membolehkan taqlid kepada salah satu imam madzhab. Pendapat ini dipegang
banyak oleh orang-orang yang Ianatik terhadap madzhab.
2. Pendapat yang secara mutlak melarang taqlid, seperti diantaranya pendapat Iman As-Syaukani
dan Ibnu Khuwazi Mandad.
3. Taqlid dengan syarat. Yaitu taqlid yang diperbolehkan, seperti taqlid orang bodoh kepada
alim yang terpercaya; serta taqlid yang dilarang, seperti taqlid seseorang kepada alim tanpa
huffah (dalil). Pendapat ini adalah pendapat fumhur para ulama.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkomentar tentang kebolehan seorang awam
bertaqlid kepada alim yang terpercaya :Yang benar adalah bahwa orang yang tidak mampu
untuk mengetahui dalil, dia itulah yang diharuskan taqlid. Karena Allah tidak membebani suatu
jiwa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan kadang-kadang seorang alim pun terpaksa
harus taqlid dalam beberapa permasalahan yaitu ketika dia tidak mendapatkan nash Al-Qur`an
dan As-Sunnah dan dia mendapatkan ucapan orang yang lebih alim dari dirinya. Maka keadaan
itu dia pun terpaksa taqlid kepadanya. Hal ini pernah dilakukan oleh Imam SyaIi`i dalam
beberapa permasalahan.
Para muqallid madzhab berpendapat yang sebenarnya pendapat mereka itu bukan pada
tempatnya. Di antara pendapat mereka adalah: 'Tidak seorang pun yang dapat memahami Al-
Qur`an dan As-Sunnah serta mengamalkannya kecuali hanya para imam madzhab saja.
Sedangkan mereka sudah memenuhi syarat begini dan begitu!! Bahwa merekalah yang lebih
memenuhi syarat untuk pekerjaan itu, serta tidak ada satu manusia pun bisa melakukannya
setelah mereka. Begitu perkataan mereka.
Bantahan ucapan mereka itu adalah Iirman Allah : 'an sesungguhnya kami telah mudahkan Al-
Quran untuk pelafaran, maka adakah orang-orang yang mengambil pelafaran? (Al-Qamar
17,22,32 dan 40).
'Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelafaran bagi orang-orang yang
mempunyai pikiran. (Shaad : 29)
Kedua ayat ini membantah pemahaman bahwa Al-Qur`an itu dilarang dipelajari oleh sembarang
orang. Bahkan kepada orang munaIiq atau kaIir pun Allah perintahkan untuk mempelajari Al-
Qur`an itu, seperti Firman-Nya dalam surat Muhammad : 24.
Para muqallid madzhab juga berpendapat bahwa : 'Tidak boleh taqlid kepada selain empat
madzhab, sekali pun tidak sesuai dengan ayat Al-Qur`an dan Sunnah, tidak pula kepada aqwal
(pendapat) sahabat, karena orang yang keluar dari madzhab yang empat adalah sesat dan
menyesatkan. Juga karena mengambil arti zhahir nash Al-Qur`an dan As-Sunnah termasuk
pokok-pokok kekuIuran.
Ucapan mereka ini bukan saja syubhat tetapi kebathilan bahkan kejahilan yang amat jahil. Al-
Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam kitabnya Al-Aqalid hal.24-25 menyata-kan:
'Lihatlah wahai saudara-saudaraku. Alangkah keji dan bathilnya perkataan mereka. Boleh
meyelisihi Al-Qur`an dan As-Sunnah dan Ijma` Shahabat asal jangan keluar dari empat
madzhab. Ini adalah kedustaan besar!! Ada pun ucapan mereka bahwa Sesungguhnya
mengambil zhahir Al-Qur`an termasuk pokok-pokok kekuIuran.` Juga merupakan kebathilan
yang sangat keji dan besar.
Justru yang tidak mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah berarti telah kuIur. Seperti Firman Allah:
'%aatlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (As-Sunnah), barangsiapa yang berpaling
(dari keduanya) maka sesung-guhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir. (Al-
Imran : 32)
Padahal Allah telah membenarkan untuk mengikuti petunjuk (ifma`) shahabat seperti Firman-
Nya:
'Generasi pertama (Islam) dari kaum Muhafirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan benar Allah RIHO kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah. (At-
Taubah:100).
Atau perkataan mereka bahwa melarang mengambil arti Al-Quran dan Sunnah yang tersurat
karena termasuk-masuk pokok-pokok kekuIuran. Lihatlah bagaimama Firman Allah membantah
mereka :
'ia (Allah) yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepadamu di dalam terdapat ayat-ayat
YANG JELAS, sebagian besar isi Al-Quran itu(demikian). (Al-Imran:7)
Perhatikan para muqallid, Allah menyatakan bahwa Al-Qur`an itu mudah dipelajari, dan mudah
dimengerti. Lalu mereka melarang orang-orang mempelajari Al-Qur`an dengan pengerti-an
tekstual bisa kuIur. Masya Allah! Sama saja artinya mereka menggiring orang untuk menjauhi
Al-Qur`an. Maka jelaslah kedustaan mereka yang mereka ada-adakaan. Sementara Rasulullah
epernah bersabda bahwa : 'Sesungguhnya agama ini mudah, tidaklah seseorang mempersulitnya
kecuali akan dikalahkan (HR. Bukhari).
Perhatikan, agama ini bukan teka-teki. Jika Al-Qur`an itu sulit bagi manusia maka tidak ada
gunanya ia diturunkan. Dan tidak ada gunanya pula kita diperintahkan untuk mempelajarinya
sebagai Hudal linnas (petunjuk bagi manusia).
Dan para muqallid itu berdalil dengan Iirman Allah :.maka tanyakanlah olehmu kepada
orang-orang yang berilmu, fika kamu tiada mengetahuinya.(Al-Anbiya`:7).
Mereka memakai istidlal (pengambilan dalil) bukan pada tempatnya. Karena ayat itu tidak
menunjukkan taqlid buta. Yang dimaksud ahlu d:ikr pada ayat adalah orang yang mengerti
tentang wahyu yang turun. Diperintahkan bertanya kepada mereka agar diberi Iatwa dengan
ketentuan wahyu. Karena Al-Qur`an dan Sunnah pada hakekatnya adalah wahyu dari Allah,
maka jika seseorang menjelaskan dengan kedua wahyu tersebut, sehingga bila kita mengikuti
penjelasan seseorang dengan Al-Qur`an dan Sunnah bukan taqlid lagi namanya tetapi ittiba.
Begitulah para muqallid membela-bela pendirian mereka. Bahkan banyak lagi ayat-ayat dan As-
Sunnah yang mereka gunakan supaya terkesan 'benar di mata orang-orang yang sama jahilnya
dengan mereka. Sampai-sampai seorang ulama besar seperti Ibnul Qayyim Al-Jaujiyyah
rahimahullah membantah mereka dalam kitabnya Al-Muwaqqiin, juz II hal.140-198 dengan
huffah kepada para muqallid madzhab sampai beliau menyebutnya lebih dari 80 segi.

Ko2entar para I2a2 Madzhab tentang Taqlid:

1. Imam HanaIi (Abu HaniIah An-Nu`man bin Tsabit)
'Apabila hadits itu shahih maka itu adalah mad:habku (Perkatan beliau ini dapat dilihat pada
kitab Al-Hasyiyah karya Ibnu Abidin Juz 1/63, juga dalam risalah Rasmul Mufti Juz 1/4.)
'%idaklah dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataanku, selagi ia tidak tahu
dari mana aku mengambilnya. (Ibnu Abdilbar dalam kitab Al-intiqau fi Fadha-ilist %salatsatil
A-immatil Fuqahai p.145, dan Ibnul Qayyim dalam Ilamul Muwaqqiin, 2/309 dan Ibnu
Abidin dalam Al-Hasyiyah).
Dalam riwayat lain dikatakan : 'Adalah haram bagi orang yang tidak megetahui alasanku untuk
berfatwa dengan perkataanku.'. Atau riwayat lain lagi : 'Sesungguhnya kami adalah manusia
yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari.
Beliau berkata kepada Abu YusuI : 'Kasihan engkau wahai Yaqub (Abu Yusuf) fangan engkau
tulis setiap apa yang dari padaku. Karena kadangkala aku memang berpendapat dengan suatu
pendapat pada hari ini, dan kadang kala aku berpendapat lain pada esok lusa, bahkan aku
meninggalkannya pada esok lusa. (Al-Mi:an 1/6. Abu HaniIah adalah seorang ulama yang
sering menetapkan sesuatu hukum dengan qiyas kepada suatu ketentuan yang belum
ditemukannya pada Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. Para pengikut hanaIi penghaIal
hadits yang sering melakukan perjalan jauh dari negeri-negeri dan pelabuhan-pelabuhan setelah
berhasil mendapatkan hadits, niscaya Imam HanaIi mengambilnya dari mereka dan membuang
qiyas yang pernah ia Iatwakan.)
'Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan Kitabullah atau khabar
Rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku. (Al-Fulani dalam Al-Iqa:h p.50 yang diasalkan
oleh Imam Muhammad ).

2. Imam Malik bin Anas. Beliau berkata :
'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah
pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, ambillah dan setiap
perkataanku yang menyimpang dengan Al-Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah. (Ibnul Abdilbar
dalam Al-Jami, 2/32, dan Ibnu Hizam dalam Ushulul Ahkam, 6/149 dan demikian pula Al-
Fulani, p.72)
'%idak ada seorang pun setelah Nabi saw kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan
yang ditinggalkan, kecuali Nabi saw.( Ibnul Hadi dalam Irsyadus Salik, 227/1, Ibnu Abdilbar
dalam Al-Jami, 2/91, dan Ibnu Hazm dalam Ushulul Ahkam, 6/145 dan 179 dari perkataan Al-
Hakam bin Uthaibah dan Mujahid. Taqiyuddin mengeluarkan dalam Al-Fatawa 1/48)

3. Imam SyaIi`i. (Muhammad bin Idris Asy-SyaIi`i). Inilah nasihat beliau tentang taqlid : Setiap
pendapatku yang menyalahi hadits Nabi saw. maka hadits Nabi saw itulah yang wajib diikuti,
dan janganlah kalian taqlid kepadaku. (iriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Abu Nuaim dan
Ibnu Atsakir 15/10/1)
'Apabila kalian dapati di dalam kitabku, pendapat-pendapat menyalahi Sunnah Rasulullah
saw., peganglah Sunnnah Rasulullah saw dan tinggalkan pendapatku.` alam riwayat lain
beliau berkata . 'Ikutilah Sunnah Rasulullah saw. dan fanganlah kalian menoleh kepada
pendapat siapapun'. (Riwayat al-Harawi, Abu Nuaim fil Hilyah / lihat Shifat Shalat Nabi
hal.28 Lil-Albani).
'Setiap masalah yang sudah shahih haditsnya dari Rasulullah menurut para ulama hadits,
tetapi pendapatku menyalahi hadits yang shahih, maka aku rufu dari pendapatku dan aku ikut
hadits Nabi saw yang shahih baik ketika aku masih hidup maupun sesudah wafatku.` (Al-
Harawi 47/1, Ibnul Qayyim dalam Ilamul Muwaqqiin, 2/363).
'Kaum muslimin sudah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah
Rasulullah maka tidak halal meninggal-kannya karena taqlid kepada pendapat seseorang.
(Ibnul Qayyim 2/361 dan Al-Fulani p.68)
'Apabila hadits itu shahih, maka dia adalah mad:habku. (An-Nawawi dalam Al-Mafmu`, Asy-
sya`rani, 10/57, Al-Fulani, p.100)

4. Imam Ahmad bin Hambal. Adalah salah seorang dari Imam madzhab yang paling banyak
jasanya dalam mengumpulkan Sunnah. Perhatikan pula apa perkataan beliau tentang taqlid :
'Janganlah kalian taqlid padaku dan fangan pula kalian taqlid kepada Imam Malik, Syafii,
Au:ai dan %sauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil. (Ibnul Fulani, 113, dan Ibnul
Qayyim dalam kitab Al-Ilam 2/302).
'Pendapat Au:ai, pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan
bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar. (Ibnul
Abdilbar dalam Al-Jami, 2/149).
'Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah maka sungguh ia telah berada di tepi
kehancuran. (Ibnul Jauzy p.182).
Amat jelas perkataan mereka, dan amat jelas kedustaan yang dibuat oleh para muqallid yang
membolehkan taqlid buta kepada salah seorang dari mereka. Perhatikanlah, kesemua Imam-
imam itu tidak ingin ditaqlidi. Semua mereka menyarankan agar kembali kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah saw. Tidak dibenarkan orang-orang yang mengikuti mereka mengambil
pendapat mereka tanpa dalil. Dikarenakan keempat imam madzhab itu, memiliki dalil-dalil, dan
diantara dalil-dalil itu terdapat dalil yang shahih dan ada pula yang lemah, maka ambillah
pendapat mereka yang lebih rafih dan shahih, dengan tidak membedakan satu imam dengan
lainnya. Jika hujjah mereka berasal dari atsar yang shahih maka wajib kita membenarkan dan
memegang pendapat tersebut. Tidak dibenarkan seseorang mengambil Iatwa-Iatwa hanya dari
salah seorang mereka kemudian membenci pendapat Imam yang lain. Atau seseorang mengambil
fatwa dari ulama-ulama sementara dia tidak mengetahui huffah atau dalil dari ulama tersebut.
Yang benar adalah kita cocokkan setiap pendapat yang kita terima dari Imam-imam Ahlussunnah
baik dari empat Imam Madzhab atau pun dari imam-imam yang lain dengan merujuk kepada
Kitabullah, As-Sunnah serta atsar dari sahabat.
Wallahu alamu bish-shawab.
(Sumber : Majalah Al-Hujjah)

Anda mungkin juga menyukai