Anda di halaman 1dari 28

Gadai:

pengertian:
hak yang diperoleh kreditor atas suatu barang yang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitor
atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang. Selain itu, memberikan kewenangan
kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut terebih dahulu dari kreditur
lainnya, terkecuali biaya untuk melelang barang dan biaya yang dikeluarkan untuk memelihara benda
itu dan biaya-biaya itu mesti didahulukan.
SiIat-siIat gadai :
1. adai adalah untuk benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud
2. adai bersiIat accesoir artinya merupakan tambahan dari perjanjian pokok untuk menjaga
jangan sampai debitor itu lalai membayar hutangnya kembali
3. Adanya siIat kebendaan
4. Syarat inbezieztelling, artinya benda gadai harus keluar dari kekuasaan memberi gadai, atau
benda gadai diserahkan dari pemberi gadai kepada pemegang gadai
5. Hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri
6. Hak preIerensi sesuai dengan pasal 1130 dan pasal 1150 KUHP
7. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi artinya sebagian hak gadai tidak akan menjadi hapus
dengan dibayarnya sebagian dengan hutang oleh karena itu gadai tetap melekat atas seluruh
benda itu.
Objek gadai :
Semua benda bergerak dan pada dasarnya bisa digadaikan, baik benda bergerak berwujud maupun
tidak berwujud yang berupa berbagai hak untuk mendapatkan pembayaran uang, yakni berwujud
surat-surat piutang kepada pembawa, atas tunjuk, dan atas koma.
Hak pemegang gadai:
1. Berhak untuk menjual benda digadaikan atas kekuasaan sendiri
2. Berhak untuk mendapatkan ganti rugi yang berupa biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkan benda gadai.
3. Berhak menahan benda gadai sampai ada pelunasan hutangdari debitur.
4. Berhak mempunyai reIerensi.
5. Berhak untuk menjual benda gadai dengan perantara hakim
6. Atas ijin hakim tetap menguasai benda gadai.
Kewajiban pemegang gadai:
1. Pasal 1157 ayat 1 KUHP perdata pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya harga
barang yang digadaikan yang terjadi atas kelalaiannya.
2. Pasal 1156 KUHP ayat 2 berkewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai jika barang
gadai dijual.
3. Pasal 1159 KUHP ayat 1 beranggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai.
4. Kewaijban untuk mengembalikan benda gadai jika debitur melunasi hutangnya.
5. Kewajiban untuk melelang benda gadai.

Hapusnya gadai :
1. Perjanjian pokok
2. Musnahnya benda gadai
3. Pelaksanaan eksekusi
4. Pemegang gadai telah melepaskan hak gadai secara sukarela
5. Pemegang gadai telah kehilangan kekuasaan atas benda gadai
6. Penyalahgunaan benda gadai.

ipotik:
Pengertian :
Satu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil pergantian daripadanya bagi
perlunasan suatu perutangan.
SiIat hipotik :
1. BersiIat accesoir
2. BersiIat zaaksgeIolg
3. Lebih didahulukan pemenuhannya dari piutang yang lain berdasarkan pasal 1133-1134 KUHP ayat
2
4. Objeknya benda-benda tetap
Objek hipotik
1. Berdasarkan pasal 509 KUHP, pasal 314 KUHD ayat 4, dan UU no. 12 tahun 1992 tentang
pelayaran.
2. UU nomor 15 tahun 1992 tentang penerbangan.

Perbedaan gadai dan hipotik:
1. adai harus disertai dengan pernyataan kekuasaan atas barang yang digadaikan, sedangkan
hipotik tidak.
2. adai hapus jika barang yang digadaikan berpindah tangan ke orang lain, sedangkan hipotik
tidak, tetapi teap mengikuti bendanya walaupun bendanya dipindahtangankan ke orang lain.
3. Satu barang tidak pernah dibebani lebih dari satu gadai walaupun tidak dilarang, tetapi
beberapa hipotik yang bersama-sama dibebankan diatas satu benda adalah sudah merupakan
keadaan biasa.
4. Adanya gadai dapat dibuktikan dengan segala macam pembuktian yang dapat dipakai untuk
membuktikan perjanjian pokok sedangkan adanya perjanjian hipotik dibuktikan dengan akta
otentik.

idusia:
Pengertian :
Surat perjanjian accesor antar debitor dan kreditor yang isinya penyerahan hak milik secara
kepercayaan atas benda bergerak milik debitor kepada kreditor.
Jaminan Fidusia:
1. Menurut UU No. 42 tahun 1999 pasal 1angka 1 :
Pengalihan suatu atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa hak kepemilikannya
diahlikan dan penguasaan tetap ada pada pemilik benda
2. Pasal 1 angka 2 UUJF :
Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
pemberi Iidusia sebagai agunan atas perlunasan uatang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada pemberi Iidusia terhadap kreditur lainnya.
Perbedaan Fidusia dengan Jaminan Fidusia :
Fidusia merupakan proses pengalihan hak kepemilikan sedangkan jamian Iidusia adalah jaminan yang
diberikan dalam bentuk Iidusia.
Objek Jaminan Fidusia :
Benda segala sesuatu yang dapat memiliki dan dialihkan yang terdaItar maupun tidak terdaItar yang
bergerak maupun yang tidak bergerak dan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.
Hapusnya jaminan Fidusia :
1. hapusnya utang yang dijamin dengan Iidusia
2. pelepasan hak atas jaminan Iidusia oleh debitur
3. musnahnya benda yang menjadi objek jaminan Iidusia
4. Konkorndansi :
O 1. Dasar yang eIektiI untuk mempelajari kata-kata
O 2. Buku petunjuk untuk menemulan ayat-ayat dalam kitab suci
O 3. Index,daItar,alIabetis kata pokok dari sebuah buku atau karya seorang penulis konteks
terdekat.


1. Pengertian ipotik
Salah satu hak kebendaan sebagai jaminan pelunasan hutang adalah hipotik. Hipotik di atur
dalam buku II KUH Perdata Bab XXI Pasal 1162 sampai dengan 1232. sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) mak Hipotik atas tanah dan
segala benda-benda uang berkaitan dengan benda dengan tanah itu menjadi tidak berlaku
lagi. Namun diluar itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang
Penerbangan, Hipotik masih berlaku dan dapat dijaminkan atas kapal terbang dan helicopter.
Demikian juga berdasarkan Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang dan Undang-Undang No. 21
Tahun 1992 Tentang Pelayaran, Kapal Laut dengan bobot 20m
3
ke atas dapat dijadikan
jaminan Hipotik. Oleh karena itu di dalam tulisan ini Hipotik yang bersumber dari KUH
Perdata Barat sengaja disinggung sekedaernya saja hanya sebagai latar belakang atau
pebanding dengan Hak Tanggungan menurut UUHT.
Di dalam pasal 1162 KUH Perdata Hipotik diartikan sebagai :
Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil
penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.Pasal 1168 KUH Perdata
menyatakan lebih lanjut sebagai berikut :
Hipotik tidak bisa diletakkan selain oleh siapa yang berkuasa memindah tagankan benda yang
di bebani. Sedangkan pasal 1171 KUH Perdata mengatakan : Hipotik hanya dapat diberikan
dengan suatu akta otentik, kecuali dengan hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh Undang-
Undang. Kemudian Pasal 1175 sebagai berikut : Hipotik hanya dapat diletakkan atas benda-
benda yang sudah ada. Hiopotik atas benda-benda yang akan ada di kemudian hari adalh
batal. Selanjutnya Pasal 1176 KUH Perdata dinyatakan sebagai berikut: Suatu Hipotik
hanyallah sah, sekedar jumlah uang untuk mana ia telah diberikan, adalah tentu dan
ditetapkan di dalam akta.
Berdasarkan bunyi-bunyi pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa unsure-unsur dari
jaminan hipotik adalah sebagai berikut:
1. Harus ada benda yang dijaminkan .
2. bendanya adalah benda tidak bergerak.
3. dilakukan oleh orang yang memang berhak memindahtagankan benda jaminan.
4. ad jumlah uang tertentu dalam perjanjian pokok dan yag ditetapkan dalam suatu akta.
5. diberikan dengan suatu akta otentik.
6. bukan untuk dinikmati atau dimiliki, namun hanya sebagai jaminan pelunasan hutang
saja.
Namun jika hutangnya bersyarat ataupun jumlahnya tidak tertentu, maka pemberian Hipotik
senantiasa adalah sah sampai jumlah harga takiran, yang para pihak diwajibkan menerangkan
di dalam aktanya (Pasal 1176 ayat (2)) KUH Perdata.
1. atasan ipotik
Di dalam pasal 1162 KUH Perdata Hipotik diartikan sebagai : Hipotik adalah suatu hak
kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi
pelunasan suatu perikatan.
Beda dengan gadai untuk hipotik Undang-Undang tidak memberikan deIinisi secara
terperinci. Bila hendak di perinci lebih lanjut, maka akan berbunyi sebagai berikut:
a) Hak kebendaan yang di peroleh seorang berpiutang
b) Suatu barang tidak bergerak
c) Yang memberikan kekuasaan bagi si bberpiutang itu untuk mengambil pelunasan
dari hasil eksekusi barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang
lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut, (biaya mana harus
didahulukan) biaya yang telah dikeluarakan untuk menyelamatkan barang tersebut dan utang-
utang Iiscal, biaya-biaya dan utang-utang mana yang harus didahulukan.
1. $ifat-$ifat/Cirri-Ciri Dan Azas ipotik
Hipotik mempunyai siIat dari hak kebendaan pada umumnya antara lain :
1. Absolut, yaitu hak yang dapat dipertahankan terhadap tuntutan siapapun
2. Droit de suite atau zaaksgevolg, artinya hak itu senantiasa mengikuti bedanya di
tangan siapapun benda tersebut berada (Pasal 1136 ayat (2), Pasal 1198 KUH
Perdata).
3. Droit de PreIerence yaitu seorang mempunyai hak untuk didahulukan pemenuha
piutangnya di antara orang berpiutang lainnya (Pasal 1133,1134 ayat (2) KUH
Perdata). Di sini hak jaminan kebendaan tidak berpengaruh oleh kepailitan ataupun
oleh penyitaan yang dilakukan atas benda yang bersangkutan.
Di samping itu hipotik juga mempunyai cirri-ciri khas tersendiri yaitu:
1. Accecoir, artinya Hipotik merupakan perjanjian tambahan yang keberadaanya
tergantung pada perjanjian pokoknya yaitu hutang- piutang.
2. Ondeelbaar, yaitu Hipotik tidak dapat dibagi-bagi karena Hipotik terletak di atas
seluruh benda yang menjadi objekya artinya sebagian hak Hipotik tidak menjadi
hapus dengan di bayarnya sebagian hutang (Pasal 1163 ayat (1) KUH Perdata).
3. Mengandung hak untuk pelunasan hutang (verhaalsrecht) saja. Jadi tidak mengandung
hak untuk memiliki bendanya. Namun jika diperjanjikan, kreditur berhak menjual
benda jaminan yang bersangkutan atas kekuasaan sendiri
(eigenmachttigeverkoop/parate execusi) jikalau debitur lalai atau wanprestasi (Pasal
1178 ayar (1) dan (2) KUH Perdata).
Sedangkan asas-asas yang terkandung di dalam Hipotik adalah sebagai berikut:
1. Asas Publiciteit (Openbaarheid)
Asas Publiciteit berarti bahwa pengikatan Hipotik harus didaItarkan dalam Register umum
agar masyarakat khususnya pihak ketiga dapat mengetahuinya. PendaItaran yang dimaksud
adalah pendaItaran akte Hipotik pada Pejabat Kantor Badan Pertanahan Nasional (dulu
disebut Kantor Kadaster Seksi PendaItaran Tanah). Namun setelah berlakunya UUHT
otomatis Hipotik tidak lagi didaItarkan pada Kantor Badan Pertanahan Nasional.
1. Asas Specialiteit
Pengikatan Hipotik hanya dapat dilakukan atas benda-benda yang di tunjuk secara khusus.
Misalnya:
O Bendanya Berwujud apa
O Dimana letaknya
O Berapa besarnya dan luasnya
O Berbatasa dengan apa atau siapa dan sebagainya.
Hak hipotik adalah suatu hak kebendaan. Kita mengenal 'hak atas benda (ius in re) dan 'hak
terhadap orang (ius ad re). hak atas benda atau hak kebendaan memounyai siIat 'droit de
suite yaitu mempunyai daya mengikuti benda, hak itu mengikuti benda da dalam tangan
siapapun benda tersebut berada.
Selain ini hak kebendaan itu juga mempunyai siIat 'dapat dipertahankan terhadap semua
pihak, merupakan hak absolute. SiIat yang lain dari hak kebendaan itu, yaitu bahwa hak
yang lebih tua selalu dimenangkanterhadap yang lebih muda.
Kita mengenal hak kebendaan yang termasuk golongan 'hak atas benda kenikmatan,
misalnya hak eigendom, hak erpacht dan segainya, memberikan kepada pemegangnya hak
untuk menikmati benda tersebut (mempergunakan benda tersebut) dan kita juga mengenal
apa yang disebut 'hak atas benda jaminan/hak jaminan kebendaan, yang memberi kepada
pemegang jaminan bagi pelaksanaan kewajiban seorang debitur, termasuk dalam golongan
ini gadai hipotik.
Menurut Mr. scholten ada perbedaan pendapat mengenai apakah hak hipotik merupakan hak
kebendaan atau tidak.
- Ada yang berpendapat bahwa hipotik merupakan hak kebendaan (dan
berdasarkan pendapat mereka) karena hiotik itu tidak akan hilang, melainkan mengikuti
benda yang menjadi objek hak hipotik itu, di mana atau di tangan siapapun benda tersebut
berada.
- Pendapat yang menganggap hipotik bukan sebagai hak kebendaan didasarkan
pada alasan, bahwa karena hipotik itu tergantung pada suatu perjanjian (utang-utang) yang
bersiIat obligatoir, karena dasarnya bersiIat obligatoir maka dengan sendirinya sesuatu yang
bergantung kepadanya juga mempunyai siIat yang demikian.
- Tentang hal ini ProI. Dr. Wirjono Projodikoro berpendapat bahwa hipotik
sukar dimasukan dalam golongan hak kebendaan, karena hak tersebut tidak memberi
kekuasaan yang bersangkutan. Benda yang dibebani hipotik hanya ditentukan sebagai
jaminan, bahwa peminjaman uang dari si pemilik benda itu akan mendapat pembayaran di
lunasi oleh dari pendapatan penjualan bennda itu secara didahulukan dari pinjaman-
pinjaman/piutng-piutang lainya.
- Hanya saja hipotik mempunyai siIat kebendaan, yaitu siIat perhubungan
langsung antara pemegang hipotik di satu pihak dan benda yang dibebani hipotik di lain
pihak tidak sedemikian rupa, bahwa hak hipotik itu tetap berada di atsas benda tersebut,
meskipun hak milik oramh lain.
1. bjek ipotik Dan Perkembangannya
bjek hipotik menurut Pasal 1164 KU Peradata, yang dapat di bebani hipotik adalah
:
1. Benda-benda tidak bergerak yang dapat di pindahtagankan, beserta segala
perlengkapannya yang dianggap sebagai benda tidak bergerak.
2. Hak pakai hasil (vruchtgebruik) atas-atas benda tersebut beserta segala
perlengkapanya.
3. Hak numpang karang (postal, identik dengan hak guna bagunan) dan hak usaha
(erIpactt, identik dengan ak guna usaha).
4. Bunga tanah, baik yang harus di bayar dengan uang maupun yang harus di bayar
dengan hasil tanah.
5. Bunga sepesepuluh
6. Pasar-pasar yang di tentuin oleh pemerintah, beserta hak-hak istimewa yang melekat
padanya.
bjek hipotik di luar dari pada Pasal 1164 KU Peradata, yang dapat di bebani
hipotik adalah :
1. Bagian yang tak dapat dibagi-bagi dalam benda tak bergerak yang merupakan Hak
Milik Bersama Bebas (Vrije Mede Eigendom).
2. Kapal-kapal yang didaItar menurut Pasal 314 ayat KUH D agang.
3. Hak Konsensi Pertambangan menurut Pasal 18 Indische Minjwet.
4. Hak Konsensi menurut S. 1918 No. 21 Jo. No. 20 yang juga dapat dijadikan jaminan
Hipotik. Dan lain-lain
erlakunya Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA)
1. Berdasarkan peraturan menteri agrarian nomor 2 tahun 1960 pasal 2, diadakan
penggolongan-penggolongan sebagai berikut :
1. Hak-hak tanah yang dapat dibebani hipotik adalah,Hak milik, hak guna
bangunan, hak guna usaha yang berasal dari konvensi tanah-tanah Barat yaitu
eigendom, hak postal dan hak Erpacht.
2. Hak-hak tanah yang dapat dibebani credietverband adalah, hak milik, hak
guna bangunan, hak guna usaha yang berasal dari hak-hak Indonesia yaitu
hak-hak atas tanah adapt.
3. Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ( PP ) No. 10 tahun 1961 dengan
peraturan pelaksananya yaitu, Peraturan Mentri Agraria ( PMA ) No. 15
tahun 1961 tentang Pembebanan dan PendaItaran hipotik dan Credietverband,
maka tidak lagi diadakan pengolongan mengenai hak-hak tanah yang mana
yang dapat dibebani hipotik dan yang mana yang dapat dibebani
Credietverband.
Hal tersebut yang disebabkan karena baik hipotik maupun credietverband dapat dibebankan
pula pada :
a) Hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha baik yang berasal dari konvensi hak-hak
Barat maupun yang berasal dari konvensi hak-hak tanah adat.
b) Hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang baru ( yang tidak berasal dari
konvensi ) yaitu yang baru diadakan setelah tanggal berlakunya UUPA tanggal 24 september
1960. hal ini yang didasarkan pada pasal 1 PMA No. 15 tahun 1961 yang menyatakan tanah-
tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang telah dibukukan dalam daItar buku
tanah menurut ketentuan PP No. 10 tahun 1961 tentang pendaItaran tanah dapat dibebani
hipotik dan credietverband.
Berkaitan dengan objek hak jaminannya tersebut jika kita bandingkan antara KUH Perdata
dengan UUPA sebelum berlakunya Undang-undang No. 16 tahun 16 tahun 1985 tentang
Rumah Susun ( UURS ) maka akan ditemui hal-hal sebagai berikut :
a) Menurut KUH Perdata, objek utama hak jaminan adalah, hak atas tanah dan segala yang
menjadi satu dengan tanah tersebut. Jadi termasuk didalamnya tumbuhan dan bangunan
dengan status Eigendom, postal, erIpacht yang kesemuanya dapat dijadikan jaminan hipotik.
Hal ini sesuai degan azas yang dianutnya yaitu perlekatan ( accessie ).
b) Menurut UUPA jo. PMA No. 15 tahun 1961, objek utama hak jaminan adalah hak atas
tanah dengan status hak milik ( pasal 25 UUPA ), hak guna usaha (pasal 33 UUPA0 da hak
guna bangunan (pasal 39 UUPA), kesemuanya dapat dijadikan jaminan deengan dibebani hak
tanggungan.
Hal ini adalah sehubungan dengan UUPA yang mengatur tentang tanah (agrarian) dan
menganut asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding). Tentang statusnya itu UUPA
hanya mengatur tentang status hak atas saj dan tidak dan tidak mengatur tentang bagaimana
status bangunan, rumah dan lain-lainnya yang terletak diatas tanah yang bersangkutan apakah
dapat dijaminkan secara terpisah dari tanahnya atau tidak dan melalui lembaga apa.
erlakunya Undang-Undang Rumah $usun ( UUR$ )
Dengan berlakunya UURS, objek utama hak jaminan adalah bangunan rumah susun bukun
tanahnya ( pasal 12 ayat 1 UURS ) karena pasal 12 menyatakan sebagai berikut :
1. Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainya yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang
dengan :
a) Dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik atau hak guna bangunan.
b) Dibebani Iidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara.
1. Hipotik atau Iidusia, dapat juga dibebankan atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) beserta rumah susun yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit
yang akan dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah susun
yang telah direncanakan di atas taah yang bersangkutan dan yang pemberi kreditnya
dilakukan secara bertahap sesuai dengan pelaksanaan pembanguna rumah susun
tersebut.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa banguna rumah susun
merupakan objek uatama hak jaminan oleh karena UURS mengatur tentang rumah susun dan
menganut asas pemisahan horizontal. Disini tanah hanya menentukan jenis hak jaminan yang
dapat dibebankan yaitu jika tanahnya berstatus hak milik atau hak guna bangunan, maka
tanah-tanah tersebut dapat dibebankan hipotik. Sedangkan tanahnya jika berstatus hak pakai
atas tanah negara, maka tanah tersebut dapat dibebani Iidusia.
1. Pembebanan ipotik Atas Pesawat Udara Menurut UU No. 15 Tahun 1992
Tentang Penerbangan.
Dengan berlakunya UUHT sudah jelas bahwa hipotik tidak berlaku lagi atas tanah dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan tanah. Namun dengan berlakunya UU No. 15 Tahun 1192 dan
UU No. 21 Tahun 1992, maka objek Hipotik menjadi jelas.
erlakunya Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang penerbangan.
1. si Akta ipotik
Selain harus memenuhi syarat-syarat tiap-tiap akta yang di buat oleh seorang pejabat
agrarian, maka akta hipotik itu juga harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan
dalam pasal 1186 ayat 2 KUH Perdata. Janji-janji yang sering dimuat dalam suatu akte
hipotik ialah :
1. Janji untuk menjual sendiri pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata.
2. Janji mengenai sewa-menyewa benda yang merupakan objek hak hipotik pasal 1185
KUH Perdata.
3. Janji untuk tidak membersihkan benda yang dihipotik itu dari hak-hak hipotik yang
melebihi harga penjualan benda tersebut pasal 1210 ayat 2 KUH Perdata.
4. Janji asuransi pasal 297 KUH Dagang.
Pada prinsipnya isi akte hipotek itu dapat di bagi atas dua bagian :
1. Isi yang wajib
2. Isi yang IakultatiI
ad.1. Isi yang wajib yaitu berisi hal-hal yang wajib dimuat. Yang memuat pertelaan
mengenai barang apa yang dibebani hipotik itu (tanah rumah dan lain-lain), luasnya/ukuranya
berapa, letaknya di mana, berbatasan dengan milik siapa, jumlah barang dan lain-lain.
ad.2. Isi yang IakultatiI yaitu yang berisi hal-hal yang secara IakultatiI dimuat. Yaitu yang
berisi janji-janji/beding yang diadakan antara pihak-pihak (debitur dan kreditur). Tetapi
sekalipu janji-janji ini merupakan isi yang IakultatiI dari hipotik namun janji-janji demikian
lazim dimuat dalam akte demi kepentingan para pihak sendirisupaya lebih zeeI/kuat.
Janji-janji yang biasa dimuat dalam akte itu ialah :
1. Janji-janji untuk menjual benda atas kekuasaan sendiri.
2. Jaanji tentang sewa.
3. Janji tentang asuransi
4. Janji untuk tidak dibersihkan
anji untuk menjual benda atas kekuasaan sendiri. Ini pokoknya menentukan, jika debitur
itu nanti tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) maka kreditur itu nanti atas kekuasaan
sendiri berhak untuk menjual benda yang dihipotikkan untuk pelunasan hutang-hutangnya.
Dengan ketentuan bahwa menjualnya harus di muka umum dan hasil penjualan itu setelah
dikurangi dengan hutang debitur sisanya di kembalikan kepada debitur.
Janji yang demikian ini terutama ialah untuk melindungi kepentingan si kreditur. Karena baik
pada hipotik maupun pada pand, kreditur tidak dapat mengadakan verval beding. Yaitu suatu
janji untuk mendaku barang yang dihipotikkan dalam hal si debitur melakukan wanprestasi.
Janji untuk menjual barang-barang tersebut untuk pelunasan hutangnya. Hanya saja bedanya
dengan pand/gadai, wewenang untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri itu pada gadai
adanya dan diberikan oleh undang-undang sedangkan pada hipotik wewenang untuk menjual
bendanya atas kekuasaan sendiri itu adanya harus diperjanjikan lebih dahulu.
anji tentang sewa, ini adalah janji yang diadakn antara para pihak yang maksudnya bersiIat
membatasi dalam hal menyewakan bendanya. Misalnya menyewakanya dengan persetujuan
pemegang hipotik, harus dalam batas waktu tertentu yang tidak terlalu lama, harus dengan
cara tertentu dan lain-lain. Kalau ketentuan itu di langgar dapat dimintakan pembatalan.
Janji yang demikian diadakan terutama untuk melindungi si pemegang hipotik. Karena jika
benda yang di pakai sebagai jaminan dalam hipotik itu oleh si pemberi hipotik lalu disewakan
untuk waktu yang lama tentu mengakibatkan akan merosot harganya. Dan dengan
merosotnya harga benda yang dipakai sebagai jaminan itu akan merugikan si pemegang
hipotik. Karenanya lalu diadakan janji mengenai sewa.
anji tentang asuransi, sering juga pemegang hipotik itu mengadakan perjanjian dengan
pemberi hipotik yaitu jika nanti terjadi kebakaran, banjirdan lain yang menimpa benda-benda
yang dipakai sebagai jaminan sedangkan benda-benda itu telah diasuransikan, maka
sipemegang hipotik akan menerima pembayaran piutangnya dari uang asuransi tersebut.
Adanya janji yang demikian antara pemberi hipotik dan pemegang hipotik harus
diberitahukan kepada perseroan asuransi,, supaya perseroan asuransi terikat oleh adanya janji
yang demikian itu.
anji untuk tidak dibersihkan, sipemegang dapat juga meminta diperjanjikan agar hipotik
itu tidak dibersihkan dalam hal ada penjualan dari benda yang dipakai sebagai jaminan.
Disamping itu undang-undang juga memberikan kemungkinan bagi sipembeli untuk meminta
dibersikan benda itu dari pada hipotik-hipotik yang melebihi harga pembeliannya. Tapi ini
hanya berlaku jika penjualan itu dilakukan oleh pemegang hipotik untuk melunasi
piutangnya, penjualan karena adanya penyitaan dan lain-lain.
Dengan adanya tindakan pembersihan dari beban-beban hipotik ini tentu merhikan
sipemegang hipotik, sebab lalu tidak ada benda yang dipakai sebagai jaminan lagi bagi sis
piutangnya. Oleh karena itu maka kepada sipemegang hipotik, lalu diberi kemungkinan untuk
minta diperjajikan agar 'tidak dibersihkan. Tetapi janji yang deikian hanya dapat diaakan
pada penjualan yang suka-rela saja, yaitu penjualan yang memang dikehendaki oleh pemilik
bendanya. Dan hanya dapat dilakukan oleh pemegang hipotik yang pertama.
1. Cara Terjadinya ipotik
Ditinjau dari ketentuan-ketentuan hukum Perdata Barat yang berlaku sebelum diundangkanya
UUPA (UU No.5 tahun 1960, L.N. 1960 No.104), maka cara terjadinya hipotik dapat kita
perinci menjadi tiga Iase/tahap:
Fase pertama : hipotik seperti halnya gadai bersiIata accessoir, ini berarti hipotik diadakan
sebagai tambahan belaka dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian minjam meminjam
uang. Karena itu untuk adanya perjanjian hipotik itu harus pertama-tama harus lebih dahulu
ada persetujuan pokok yaitu misalnya persetujuan utang piutang.
Fase kedua : persetujuan utang piutang tersebut kemudian disusul dengan persetuan hipotik,
dimana pihak yang berhutang (atau pihak ketiga yang mau menanggung utang tersebut)
berjanji untuk memberikan hipotik kepada siber|iutang sebagai jaminan bagi pembayaran
kembali utang tersebut. Berlainan dengan persetujuan pokok yang bersiIat obligatoir,
persetujuan hipotik bersiIat kebendaan.
System KUH Perdata mengadakan perbedaan yang nyata mengenai cara mengadakan
persetujuan obligatoir dengan cara mengadakan persetujuan kebendaan. Persetujuan
obligatoir ini diatur dalam buku ke-3 KUH Perdata, dimana dalam pasal 1338 KUH Perdata
ditentukan, bahwa segala persetujuan bagaimanapun juga cara diadakannya, sudah bersiIata
mengikat kudua belah pihak, asal saja terbentuk menurut syarat-syarat yang ditentukan
Undag-undang, yaitu yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Jadi mengenai bentuknya, persetujuan obligatoir bersiIata bentuk bebas. Ini dapat
disimpulkan dari bunyi kata-kata pasal 1338 KUH Perdata : ' suatu persetujuan
bagaimanapun juga caranya diadakan..
Lain halnya dengan persetujuan kebendaan yang diatur dalam buku ke-2 KUH Perdata di
mana ditentukan cara-cara tertentu untuk membuat persetujuan-persetujuan kebendaan
tersebut, yaitu dengan membuat suatu akte yang di buat di hadapan seorang pejabat tertentu.
Demikkian pula halnya dengan persetujuan hipotik, hal yang mana mula-mula di atur oleh
pasal 1171 : 1 dan 1172 KUH Perdata, di mana ditentukan bahwa perjanjian hipotik harus di
buat suatu akte otentik, antara lain dengan akte notaries karena akte notaris adalah seorang
pejabat yang diwajibkan untuk membuat akte otentik. Tetapi kedua pasal tersebut tidak
berlaku lagi menurut pasal 31 Peraturan Peralihan Perundang-undangan tahun 1848, yang
menentukan satu sama lain harus dilakukan secara membuat akte kehakiman menurut pasal 1
dari Stb. 1834 : 27, akte mana menurut S. 1947 : 53 harus dibut di muka Kepala Kantor
PendaItara Tanah.
Sedangkan menurut peraturan yang berlaku sekarang mengenai pembuatan akte hipotik,
yakni pasal 19 P.P. 10/1961 ditetapkan bahwa akte hipotik/akte perjanjian pemberian hipotik
harus dibuta oleh dan dihadapan pejabat yang dituju lebih dahulu, Menteri Agraria, sekarang
Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraria (Sekarang Badan Pertanahan
Nasional), karena sejak 3 November 1966 jabatan Menteri Agraria telah ditiadakan dan
wewenangnya sekarang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Agraria yang bernaung
dibawah lingkungan Departemen Dalam Negeri (Keputusan Presidium Kabinet No.
75/U/Kep/11/1966 Tentang Struktur Organisasi dan Pembagian Tugas Departemen-
Departemen). Dengan dibuatnya akte hipotik tersebut, maka Iase kedua ini selesai. Tetapi
dengan selesainya Iase kedua ini, yaitu pembuatan akte hipotik, belum timbul hak hipotik,
melainkan masih harus dilanjutkan dengan Iase k tiga.
Fase ketiga : Dulu. Akte hipotek harus didaItarkan kepada 'Pegawai Pengurusan Balik
Nama atau lazim juga disebut 'Pegawai Penyimpanan Hipotek yang wilayahnya meliputi
tempat dimana persil atau rumah yang dihipotekkan terletak.
Menurut ketentuan yang berlaku sekarang, yaitu pasal 2 Peraturan Menteri Agraria No.
15/1961 TLN. 1961 No. 2347 ditetapkan, bahwa : hipotek agar sah harus didaItarkan pada
Kantor PendaItaran Tanah yang wilayahnya meliputi letak tanah atau rumah yang dibebani
hipotek. Jadi, yang berIungsi sebagai penyimpan hipotek sekarang adalah kepala Kantor
PendaItaran Tanah.
PendaItaran ini perlu, mengingat siIat 'droit desuite dari hak hipotek tersebut, sehingga
perlu diberitahukan kepada umum mengenai terjadinya, beralihnya dan hapusnya hak hipotek
tersebut, yaitu dengan jalan pendaItaran dalam register umum tersebut.
Setelah pendaItaran ini selesai dilakukan, barulah hak hipotek itu timbul sebagai hak
kebendaan yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang-orang pihak ketiga.
1. Kuasa Untuk Memasang ipotik
Menurut pasal 1171 ayat 1 KUH Perdata ditetukan bahwa kuasa untuk memasang hipotik
harus dibuat dengan akte authentik. Yang dimaksudkan dengan pemberi kuasa disini ialah
mengigat acara pemasangan/pemberian hipotik itu tidak gampang, harus dilalui menurut
Iormalitas tertentu, mmemakan waktu dan biaya, maka adakalanya kredit-kredit yang
diberikan, kreditur telah merasa terjamin bilamana telah mendapat kuasa dari debitur untuk
memasang hipotik. Pemaangan hipotik itu kemudian baru dilaksanakan jika benar-benar
diperlukan, misalnya jika ada tanda-tanda bahwa debitur akan mengingkati janji, tidak
memenuhi kewajibanya, maka baru terhadap benda yang dijadikan jamina itu dipasang
hipotik. Dengan istilah perbankan disebut dilakukan pemasangan.
Adanya perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotik yang demikian itu menurut
ketentuan pasal 1171 ayat 2 harus dituangkan akte authentik. Yang dimaksudkan disini akte
notaries, bukan akte yang harus oleh dan dan di hadapan PPAT.
Pada praktek perbankan perjanjian kuasa memasang hipotik ini, lebih banyak dilakukan
dibandingkan dengan jumlah pemasangannya yang nyata. Hal ini disebabkan karena
prosedurnya yang gampang, cepat dan murah.terlebih-lebih terhadapnya,karena kelakuannya
sebagai debitur tak tercela atau terhadap kredit-kredit yang jumlahnya kecil, Bank sudah
merasa terjamin hanya dengan mengadakan kuasa memasang hipotik saja dan tidak
melakukan pemasangan yang nyata. Perjanjian yang demikian harus dituangkan dalam
authentic. Dikota-kota besar yang telah ada notarisnya diadakan dengan akte notaries, sedag
dikota-kota kecil dimana belum ada notaries bisa dilaksanakan dengan legislasi dari
Pengadilan atau pemerintah daerah setempat terserah atas permintaan Bank yang
bersangkutan.
Bagaimana kedudukan kreditur sebelum dan setelah pemasangan hipotik ada perbedaanya.
Sebelum pemasangan hipotik (sekalipun telah dibuat dengan akte notaries pemberian
kuasanya) kedudukan kreditur adalah sebagai kreditur concuren biasa yang sama berhak dan
bersaing dengan kreditur-kreditur yang lain. Sedang setelah adanya pemasangan nyata
hipotik terhadap benda jaminan, kreditur berstatus sebagai kreditur yang paling kuat yang
pemenuhan piutangnya didahulukan dari piutang-piutang lain, bahkan lebih didahulukan dari
privilegie.
Juga didalam credietverband dimungkinkan adanya pemberian kuasa untuk memasang
credietverband . tapi disana tidak disyaratkan harus dengan akte authentic, sehingga
kesimpulanya pemberian kuasa untuk memasang credietverband itu dapat diadakan dengan
akte dibawah tangan.
1. erakhirnya ipotik
Di dalam pasal 1209 KUH Perdata disebutkan 3 cara berakhirnya hak hipotik, yaitu :
1) Dengan berakhirnya perikatan pokok, jadi apabila utang yang dijamin dengan hak
hipotik itu lenyap; bisa karena utang itu dilunasi, bisa juga karena perikatan pkoknya lenyap
karena daluarsa yang membebaskan seorang dari suatu kewajiban (daluarasa ekstinktiI).
2) Karena pelepasan hipotiknya oleh siberpiutang, jadi apabila kreditur yang bersangkutan
melepaskan dengan sukarela hak hipotiknya; pelepasan dengan sukarela ini tidak ditentukan
bentuk hukumnya, tetapai tentu harus secara jelas dan tegas. Tidaklah cukupdengan
memberitahukan maksud hendak melepaskan hak hipotikoleh pemegang hipotik kepada
sembarang orang misalnya pihak ke tiga. Biasanya pelepasan ini dilakukan dengan
pemberitahuan kepada pemilik dari benda yang terikat dengan hak hipotik itu
3) Karena penetapan tingkat oleh hakim; jadi apabila dengan perantaraan oleh hakim
diadakan pembagian uang pendapatan lelng dari benda yang dihipotikkan itu kepada para
kreditur; kreditur yang tidak kebagian pelunasan piutangnya kehilangan hak hipotiknya oleh
karena pembersian.
4) Dengan musnahnya benda yang dihipotikkan itu, misalnya dengan lenyapnya tanah yang
merupakan objek haka hipotik itu oleh karena tenggelam,atau tanah longsor.
5) Dari berbagai peraturan tersebut diatas dapat juga disimpulkan cara-ara hapusnya hak
hipotik seperti misalnya dalam pasal 1169 KUH Perdata : kalau pemilik bbenda bergerak
yang dihipotikkan itu hanya mempunyai hak bersyarat atas benda tersebut dan hak bersyarat
itu terhebti.
6) Dengan berakhirnya jangka waktu untuk mana hak hipotik tersebut di berikan hapuslah
haka hipotik tesebut.
Haras diperhatikan bahwa pencoretan 'roya bukan merupakan salah satu cara hapusnya hak
hipotik. Dalam praktek pembayaran utang yang dijamin dengan haka hipotik itu dan
pembersihan yang merupakan cara-cara yang paling sering mengakibatkan hapusnya haka
hipotik.
Penghapusan hipotik atau pencoretan hipotik oleh pasal 31 Stb 1834 : 27 dinamakan 'roya,
yang berarti pencoretan. Ini berarti, bahwa terhentinya hipotik itu di catat di dalam surat-surat
yang bersangkutan, terutama pada sertiIikat haknya di mana dicatat adanya hipotik itu. Jadi
jika utang yang di tanggung dengan hipotik itu sudah di bayar lunas, maka atas permintaan
dari pihak yang berkepentingan dilakukan pencoretan atau roya atas hipotik yang
bersangkutan.
Mengenai Iungsi pegawai penyimpan hipotik dalam melakukan roya itu menurut pendapat
yang paling banyak di anut, pegawai-pegawai penyimpan hipotik itu dalamhal ini hanyalah
bertindak sebagai pegawai tata usaha saja ; ini berarti, bahwa perbuatan roya itu tidak
merupakan penghapusan secara mutlak terhadap haknya seorang pemegang hipotik, sehingga
jikalau terjadi, bahwa pencoretan yang telah dilakuakan itu ternyata tidak sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya, jadi di dalam hal telah terjadi salah coret, maka keadaan
sebenarnya itulah yang diakui oleh hakim.
Roya hipotik, biasanya dilakuka dengan sukarela atas persetujuan pemegang hipotik, tetapi
jika pemegang hipotik itu tidak bersedia memberikan persetujannya, maka ruya itu dapat juga
diperintahkan oleh hakim. Juga setelahnya suatu eksekusi yang dilakuka dengan melewati
hakim selesai dengan diadaknnya pembagian pendapatan lelang, maka hakim tersebut akam
memerintahkan supaya dilakukan roya.
A ' PENUTUP
1. Kesimpulan
O Hipotik merupakan suatuu perjanjian accesoir, jika hubungan pokok berakhir maka
berakhir pula jaminan hiotiknya.
O Berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang hak tanggungan, maka hipotik
tentang tanah dan segala sesuatau yang berada dan tetap ada di atas tanah tersebut,
maka tidak dapat menggunakan hipotik di karenakan telah ada Undang-undang No. 4
tahun 1996.
O Keberlakuan hipotik di persempit di sebabkan hipotiknya dirasakan kurang relevan
yaitu dengan adanya asas yang tidak dapat di pecah-pecahkan,
O Sejak berlakunya Undang-undang No. 4 tahun 1996, maka jaminan hipotik di atur
dalam Undang-undang No. 15 tahun 1992 (Undang-undang penerbangan) dan
Undang-undang No. 21 tahun 1992 ( Undang-undang Pelayaran).












PTK KAPAL

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagian besar wilayah Indnesia adalah perairan.
Oleh karena itu di Indoensia kapal merupakan suatu benda yang banyak ditemui dan digunakan dalam lalu lintas
bisnis.Kapal merupakan benda yang dapat dijadikan obyek jaminan hutang. Namun kapal
yang seperti apakah yang dapat dibebani Hipotik? Bagaimana pula cara pembebanan hipotik
atas kapal?
Tanggal 7 Mei 2008 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008,
tentang Pelayaran, di dalam pasal 60-64 diatur mengenai hipotik kapal, namun peraturan
pelaksananya belum dibuat sehingga masih mengacu pada PP no 51 pasal 33-36. Mengenai
ipotik Kapal ini awalnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur tentang Hipotik dalam pasal 314 ayat 3.
Dalam ketentuan tersebut hipotik dapat dibebankan pada kapal-kapal yang dibukukan dalam
register kapal, kapal-kapal dalam pembuatan.
Pada asasnya berdasarkan ketentuan Pasal 510 KUH Perdata, kapal-kapal, perahu-perahu,
perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu
atau yang berdiri, terlepas dari benda-benda sejenis itu merupakan benda bergerak.

Pengecualian bagi kapal-kapal yang terdaItar, statusnya bukanlah benda bergerak, karena
menurut ketentuan pasal 314 ayat 1 KUH Dagang kapal-kapal yang didaItarkan dalam
register kapal adalah kapal yang memiliki bobot isi kotor.minimal 20 M. Dengan demikian
kapal dengan kondisi seperti ini dikategorikan sebagai benda tetap dan jika dijaminkan,
lembaga yang digunakan adalah Hipotik. Sedangkan untuk kapal-kapal yang tidak terdaItar
menggunakan lembaga jaminan gadai atau Iidusia, karena merupakan benda bergerak.

Yang termasuk dalam jaminan hipotik adalah kapal termasuk dengan segala alat
perlengkapannya karena merupakan satu kesatuan dengan benda pokoknya (asas
accesie/perlekatan), sebagai contoh: sekoci, rantai, jangkar.
Fase PendaItaran Hipotik Kapal:
Fase Pertama
Debitur mengikatkan diri dengan Kreditur (bank/lembaga pembiayaan) dalam suatu
Perjanjian Kredit dengan menyatakan menyerahkan kapal sebagai hipotik sebagai jaminan
pelunasan hutangnya.
Fase Kedua
Perjanjian pemberian (pembebanan) hipotik. Kreditur nersama debitur atau bank sendiri
berdasarkan Surat Kuasa Memasang Hipotik menghadap Pejabat PendaItar Kapal dan minta
dibuatkan akta Hipotik Kapal.
Dokumen yang diperlukan:
-Surat Permohonan dengan menyebutkan data kapal dan nilai penjaminan
-rosse Akta PendaItaran Kapal
-Surat Kuasa Memasang Hipotik
Fase Ketiga
Akta Hipotik didaIatarkan dalam buku daItar. Saat selesainya pendaIataran maka hak
Pemegang Hipotik lahir.
Tingkatan hipotik dimungkinkan dan diurutkan berdasarkan haari pembukuan. Apabila
dibukukan pada hari yang sama mempunyai tingkat yang sama.
Dengan lahirnya hak hipotik, pemegang hipotik berhak untuk melaksanakan haknya atas
kapal itu, di tangan siapaun kapal itu berada.
Apabila hutang sudah lunas, maka dilakukan roya/pencoretan hipotik di syahbandar dengan
membawa dokumen:
-surat permohonan roya
-surat tanda lunas dari kreditur
-grosse akta pendaftaran hipotik
-grosse akta pendaftaran kapal


TNAUAN YURD$ TERADAP
PTK KAPAL LAUT

2.2 Kedudukan ipotik $etelah Keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
Sebelumnya, pengaturan mengenai hipotik atau di undang-undang disebutkan dengan
hypotheek ini berada di Pasal 57 UU No. 5 Tahun 1960. Adapun bunyi dari Pasal UU No. 5
Tahun 1960 adalah sebagai berikut:
Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal
51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan
mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad .1908
No. 542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190.
Pasca dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, terdapat perubahan
mendasar dalam pengaturan hipotik.
|4|Dalam pasal 24 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan ditetapkan ketentuan
sebagai berikut:
Hak Tanggungan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, yang
menggunakan ketentuan Hypotheek atau Credietverband berdasarkan
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria diakui, dan selanfutnya berlangsung sebagai Hak
Tanggungan menurut Undang-Undang ini sampai dengan berakhirnya
hak tersebut.
Adapun untuk hipotik dan credietverband sebagai dimaksud di dalam Pasal 24 ayat 1
sebagaimana disebut di atas, menurut Pasal 24 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,
pelaksanaan ekskusi dan pencoretan dapat menggunakan ketentuan yang ada di dalam Pasal
20 dan Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, setelah Buku Tanah dan Sertipikat Hak
Tanggungan yang bersangkutan disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-
Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Perihal dapat atau tidaknya pelaksanaan ekskusi hipotik menurut UU No. 4 Tahun 1996 dapat
diperoleh dari Pasal 26 undang-undang ini yang berbunyi sebagai berikut:
Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya,
dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai
eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini,
berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.
Dengan demikian,berarti kita baru bisa menggunakan ketentuan ekskusi hipotik, setelah
diadakan penyesuaian sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah.
2.3 Kedudukan ukum agi ipotik Kapal
Salah satu bentuk dari jaminan hipotik di Indonesia adalah hipotik atas kapal laut.
Keberadaan jaminan hipotik ini sangat membantu perusahaan perkapalan dalam memenuhi
dan menjalankan modal kerjanya agar dapat menyelenggarakan kegiatan operasionalnya.
Tentunya, hipotik atas kapal laut ini akan melibatkan dua pihak. Dua pihak itu adalah
perusahaan perkapalan sebagai debitur dan lembaga perbankan, seperti bank, sebagai
kreditur.
Hubungan hukum antara perusahaan perkapalan dan lembaga perbankan, dalam hal ini adalah
bank, perlu ditetapkan suatu ketentuan hukum. Dengan adanya ketentuan hukum, maka
terdapat aturan baku dalam melaksanakan perbuatan hukum di antara kedua belah pihak.
|5|Pada tanggal 7 Mei 2008 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008,
tentang Pelayaran, di dalam pasal 60-64 diatur mengenai hipotik kapal, namun peraturan
pelaksananya belum dibuat. Mengenai Hipotik Kapal ini awalnya diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur tentang Hipotik dalam Pasal 314 ayat 3.
Dalam ketentuan tersebut, hipotik dapat dibebankan pada kapal-kapal yang dibukukan dalam
register kapal, kapal-kapal dalam pembuatan. Adapun bunyi dari Pasal 314 ayat 3 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang ini adalah:
(Atas kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal, kapal-kapal
dalam pembukuan, dan andil-andil dalam kapal-kapal dan kapal-kapal
dalam pembuatan itu dapat diletakkan hipotik.
Pada asasnya berdasarkan ketentuan Pasal 510 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi sebagai berikut:
(Kapal-kapal, perahu-perahu, perahu tambang, gilingan-gilingan dan
tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu atau yang berdiri,
terlepas dari benda-benda sefenis itu merupakan benda bergerak.
Pengecualian bagi kapal-kapal yang terdaItar, statusnya bukanlah benda bergerak, karena
menurut ketentuan pasal 314 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, kapal-kapal yang
didaItarkan dalam register kapal adalah kapal yang memiliki bobot isi kotor minimal 20 m.
Dengan demikian kapal dengan kondisi seperti ini dikategorikan sebagai benda tidak
bergerak dan jika dijaminkan, lembaga yang digunakan adalah Hipotik. Sedangkan untuk
kapal-kapal yang tidak terdaItar menggunakan lembaga jaminan gadai atau Iidusia, karena
merupakan benda bergerak.
|8|Yang termasuk dalam jaminan hipotik adalah kapal termasuk dengan segala alat
perlengkapannya karena merupakan satu kesatuan dengan benda pokoknya (asas
accesie/perlekatan), sebagai contoh: sekoci, rantai, jangkar.
|9|Langkah-langkah dalam pendaItaran hipotik kapal laut adalah sebagai berikut:
1. Debitur mengikatkan diri dengan Kreditur (bank/lembaga pembiayaan) dalam suatu
Perjanjian Kredit dengan menyatakan menyerahkan kapal sebagai hipotik sebagai jaminan
pelunasan hutangnya.
2. Perjanjian pemberian (pembebanan) hipotik. Kreditur nersama debitur atau bank sendiri
berdasarkan Surat Kuasa memasang Hipotik menghadap Pejabat PendaItar Kapal dan
minta dibuatkan akta Hipotik Kapal.
Adapun dokumen yang diperlukan:
-Surat Permohonan dengan menyebutkan data kapal dan nilai penjaminan;
-rosse Akta PendaItaran Kapal;
-Surat Kuasa Memasang Hipotik.
3. Akta Hipotik didaIatarkan dalam buku daItar. Saat selesainya pendaIataran maka hak
Pemegang Hipotik lahir.
Tingkatan hipotik dimungkinkan dan diurutkan berdasarkan hari pembukuan. Apabila
dibukukan pada hari yang sama mempunyai tingkat yang sama. Dengan lahirnya hak
hipotik, pemegang hipotik berhak untuk melaksanakan haknya atas kapal itu, di tangan
siapapun kapal itu berada.
Apabila hutang sudah lunas, maka dilakukan roya/pencoretan hipotik di syahbandar dengan
membawa dokumen:
-surat permohonan roya;
-surat tanda lunas dari kreditur;
-grosse akta pendaItaran hipotik; dan
-grosse akta pendaItaran kapal.
Dalam hal perusahaan perkapalan (shipping company) sebagai debitur gagal
mengembalikan pembiayaan yang diterimanya kepada bank, ketentuan saat ini yang
mengatur tentang eksekusi kapal laut adalah:
1. Pasal 224 HIR berkaitan dengan hipotek pada umumnya mengatur bahwa gross atau
copy pertama yang otentik dari akte hipotek mempunyai status yang sama dengan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga pihak pemegang hipotek
dapat meminta bantuan pengadilan untuk melakukan eksekusi atas obyek hipotek;
2. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku untuk hipotek atas kapal
laut disebutkan bahwa pemegang hipotek dapat melakukan penjualan sendiri atas obyek
hipotek yang prosedurnya dilakukan dengan cara lelang umum.
Berdasarkan hal-hal diatas dapat dikatakan bahwa sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku saat ini, secara hukum penjualan atas kapal laut yang menjadi obyek
hipotek tidak terlalu sulit, akan tetapi mendapatkan harga yang sesuai dengan nilai
penjaminannya merupakan hal yang relatiI sulit dilakukan sehingga butuhkan adanya price
stability untuk jual beli kapal.
|10|Dalam draIt RUU Hipotek Kapal yang saat ini sedang dibahas oleh Depkumham,
diatur bahwa SertiIikat hipotek mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan ini berarti pihak pemegang
hipotek dapat meminta bantuan pengadilan untuk melakukan eksekusi atas obyek tersebut
dan sertiIikat hipotek tersebut berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotek.
|11|Berkaitan dengan itu, draIt RUU Hipotek Kapal memberikan kebebasan kepada
kedua belah pihak (debitur dan kreditur) untuk memperjanjikan dalam akta hipotek tentang
hak untuk menjual atas kuasa sendiri bagi pemegang hipotek tersebut, dalam hal debitor yang
bersangkutan ingkar janji.
Selanjutnya, prosedur penjualan kapal dalam draIt RUU Hipotek Kapal diatur dengan
cara pengumuman melalui minimal 2 (dua) surat kabar harian yang beredar di daerah yang
bersangkutan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara terbuka oleh
pemberi dan/atau pemegang hipotek kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Penjualan
dilakukan dengan cara pelelangan umum melalui seorang pejabat pelelangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, dalam draIt RUU Hipotek
Kapal juga diatur penjualan kapal oleh pemegang hipotek dapat dilakukan di bawah tangan
jika dari penjualan tersebut dapat diperoleh harga yang tertinggi.
Terkait dengan kewenangan untuk mengambil alih kapal sebagai agunan, khusus untuk
perbankan dalam kaitannya dengan penentuan kualitas aktiva terdapat pembatasan waktu
kepemilikan atas agunan yang diambil alih. Selain itu, bank juga harus melakukan penilaian
kembali atas agunan yang diambil alih untuk menetapkan net reali:able value dari agunan
dimaksud yang dilakukan pada saat pengambilalihan agunan.
Dalam pengambilalihan agunan ini, bank akan mengeluarkan biaya pengambilalihan
dan pemeliharaan agunan yang diambil alih, dan oleh karena itu kiranya diperlukan
mekanisme yang dapat mempercepat penjualan agunan.
Bagi bank sebagai kreditur, semakin lama jangka waktu pemilikan atas agunan yang
diambil alih akan berpengaruh terhadap biaya yang harus dikeluarkan terkait dengan biaya
pemeliharaan agunan. Selain itu, dapat pula berpengaruh pada kinerja bank karena akan
menurunkan kualitas aktiva produktiI bank dan terjadinya peningkatan pencadangan yang
harus dibentuk oleh bank.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mendorong bank agar segera menjual agunan
yang diambil alih, karena bank sebagai institusi keuangan yang memiliki Iungsi intermediasi
seyogianya tidak memiliki agunan yang diambil alih.
|12|Kembali pada eksekusi kapal, bahwa pada dasarnya pengaturan prosedur eksekusi
kapal yang menjadi obyek hipotek sebagaimana diatur dalam draIt RUU Hipotek Kapal
adalah sama dengan peraturan yang berlaku saat ini, kesulitan yang mungkin timbul dalam
lelang umum adalah penentuan acuan harga dasar lelang yang sangat sulit.
Bagi bank, kemudahan dalam menentukan harga sebuah agunan sangat penting dan
menjadi salah satu Iaktor dalam penilaian proposal permohonan pembiayaan yang diajukan
oleh calon debitur.
Sebagai bahan perbandingan, dalam praktek eksekusi jaminan yang terjadi saat ini,
misalnya dalam hal eksekusi jaminan Iidusia, akta jaminan Iidusia juga memuat irah-irah
'Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sehingga akta tersebut mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Sebelum melakukan eksekusi jaminan Iidusia melalui pelelangan umum, tetap
diperlukan adanya suatu mekanisme permohonan sita eksekusi terlebih dahulu yang diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang.
Adapun apabila dalam perjalanannya, kapal laut yang dijadikan jaminan hipotik musnah,
pastinya akan menimbulkan suatu akibat hukum. Pasal 1209 KUH Perdata mengatur bahwa
hapusnya hipotek disebabkan karena:
a) hapusnya perikatan pokoknya;
b) pelepasan hipotek oleh si berpiutang; dan
c) karena penetapan hakim.
Hal ini berarti bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, musnahnya kapal yang
menjadi obyek hipotek tidak termasuk dalam hal yang menyebabkan hapusnya hipotek. Oleh
karena tidak ada pengaturan yang jelas mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal laut
yang menjadi obyek hipotek, hal tersebut tentunya dikembalikan pada kesepakatan antara
debitur dengan kreditur pada perjanjian hipotek (sebagai perjanjian accesoir) atau perjanjian
kredit (sebagai perjanjian pokok). Apabila dalam perjanjian tersebut diatur mengenai akibat
hukum dari musnahnya kapal, maka dapat pula diatur mengenai asuransi atas musnahnya
kapal sebagai jaminan terhadap pembayaran utang debitur.
|13|Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005 telah menginstruksikan kepada menteri yang
berwenang untuk melakukan dan merumuskan kebijakan-kebijakan sebagai berikut :
1. Setiap kapal yang dimiliki dan/atau dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional,
dan/atau kapal bekas/kapal baru yang akan dibeli atau dibangun di dalam atau di luar
negeri untuk jenis, ukuran dan batas usia tertentu wajib diasuransikan sekurang-
kurangnya untuk 'Hull & Machineries (rangka kapal);
2. Muatan/barang dan penumpang yang diangkut oleh perusahaan pelayaran nasional yang
beroperasi baik di dalam negeri maupun di luar negeri, wajib diasuransikan;
3. Menetapkan kebijakan yang mendorong perusahaan asuransi nasional untuk bergerak di
bidang asuransi perkapalan untuk menyesuaikan dengan standar kemampuan retensi
asuransi perkapalan internasional.
Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana
dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian pelunasan utang
terhadap kreditur dalam hal terjadi sesuatu` terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun
perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka kapal.
Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi
dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.
|14|Selanjutnya, dalam draIt RUU Hipotek Kapal tersebut juga diatur bahwa kreditur yang
kreditnya dijamin oleh suatu hipotek kapal berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan
yang terkait dengan kapal tersebut apabila debitur atau setiap orang yang menguasai kapal
tersebut secara substansial diduga melakukan sesuatu tindakan atau kelalaian yang bersiIat
merugikan terhadap jaminan kreditur.
3. Penutup
Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Benda bergerak adalah kebendaan yang karena siIatnya dapat berpindah atau dipindahkan
atau karena undang-undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang melekat
pada benda bergerak.
Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan jaminan
benda bergerak berwujud dengan gadai atau Iiducia, sedangkan pengikatan jaminan benda
bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan account receivable.
Sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, kita
baru bisa menggunakan ketentuan ekskusi hipotik, setelah diadakan penyesuaian.
Dalam rangka pembiayaan pembelian kapal, maka kapal yang dibeli akan dijadikan
agunan dan diikat dengan hipotek (hipotek kapal). Hal ini merupakan suatu tuntutan untuk
memenuhi rasio kecukupan modal.
Yang termasuk dalam jaminan hipotik adalah kapal termasuk dengan segala alat
perlengkapannya karena merupakan satu kesatuan dengan benda pokoknya (asas
accesie/perlekatan), sebagai contoh: sekoci, rantai, jangkar.
Prosedur penjualan kapal dalam draIt RUU Hipotek Kapal diatur dengan cara
pengumuman melalui minimal 2 (dua) surat kabar harian yang beredar di daerah yang
bersangkutan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara terbuka oleh
pemberi dan/atau pemegang hipotek kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Penjualan
dilakukan dengan cara pelelangan umum melalui seorang pejabat pelelangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, dalam draIt RUU Hipotek
Kapal juga diatur penjualan kapal oleh pemegang hipotek dapat dilakukan di bawah tangan
jika dari penjualan tersebut dapat diperoleh harga yang tertinggi.
Sebelum memutuskan untuk menyetujui hipotik kapal, pihak bank harus
memperhitungkan nilai agunan yang diajukan dalam pengajuan proposal untuk memberikan
pinjaman bagi pembiayaan modal kerja perusahaan perkapalan. Perhitungan nilai agunan itu
erat kaitannya dengan penentuan harga dasar lelang. Sehingga, dengan adanya kemudahan
dalam penilaian agunan, akan sangat penting bagi bank. Namun, hal ini juga turut menambah
risiko meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan dan dibutuhkannya waktu yang lebih lama
sehubungan dengan proses eksekusi jaminan tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan di kemudian hari, apabila kapal yang dijaminkan dalam
hipotik musnah, ditetapkan suatu pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan
sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian
pelunasan utang terhadap kreditur dalam hal terjadi sesuatu` terhadap kapal yang dijaminkan
tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya
atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah nilai
pertanggungan asuransi dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.
Ketentuan ini tercantum dalam Inpres No. 5 Tahun 2005.
Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana
dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian pelunasan utang
terhadap kreditur dalam hal terjadi sesuatu` terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun
perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka kapal.
Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi
dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.
Selanjutnya, dalam draIt RUU Hipotek Kapal tersebut juga diatur bahwa kreditur yang
kreditnya dijamin oleh suatu hipotek kapal berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan
yang terkait dengan kapal tersebut apabila debitur atau setiap orang yang menguasai kapal
tersebut secara substansial diduga melakukan sesuatu tindakan atau kelalaian yang bersiIat
merugikan terhadap jaminan kreditur.




PTK PE$AWAT
Berdasarkan asas dan prinsip hukum perdata di Indonesia khususnya dan yang dianut oleh
mayoritas negara-negara di dunia, pesawat terbang digolongkan sebagai benda tidak
bergerak. Prinsip hukum ini berpengaruh pada penetapan aturan hukum keperdataan yang
berlaku bagi pesawat terbang sebagai objek jaminan, yaitu antara lain dapat mempunyai
hubungan dengan lembaga jaminan berupa Hipotik Hypotheek). Dibeberapa negara maju,
lembaga jaminan pesawat terbang telah dilaksanakan melalui ketentuan Mortgage.
Ketentuan mengenai lembaga jaminan pesawat terbang diatur dalam Pasal 9, 10, dan 12 UU
No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengenai pendaItaran dan kebangsaan pesawat
terbang serta lembaga jaminan pesawat terbang.
Dalam Pasal 9 UU Penerbangan diatur bahwa pesawat terbang yang akan dioperasikan di
Indonesia wajib mempunyai tanda pendaItaran Indonesia. Dalam hal ini, tidak semua pesawat
terbang dapat mempunyai tanda pendaItaran Indonesia, kecuali pesawat terbang Sipil yang
tidak didaItarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan dan syarat dibawah ini :
O Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia;
O Dimiliki oleh Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing dan dioperasikan oleh
Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia untuk jangka waktu
pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara terus menerus berdasarkan suatu perjanjian
sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk perjanjian lainnya;
O Dimiliki oleh instansi pemerintah;
O Dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan pemerintah.
Secara khusus ketentuan mengenai pendaItaran pesawat terbang Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dan pendaItaran pesawat terbang sipil diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.
Selain tanda pendaItaran Indonesia , sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU
Penerbangan, pesawat terbang dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula
mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan
diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaItaran
Indonesia. Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia
bagi pesawat terbang dan helikopter dan jenis-jenis tertentu dari pesawat terbang dan
helikopter yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan Indonesia, akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan diterapkannya pendaItaran terhadap Pesawat Terbang, maka memberikan siIat hak
kebendaan yang kuat kepada pemilik dan hak itu mengikuti bendanya ditangan siapapun
benda itu berada. Dalam praktek, hal ini memberikan perlindungan yang kuat kepada
pemilik, karena pemilik dapat mempertahankan haknya terhadap khalayak umum (publik).
Dengan demikian secara yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang
dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang
atau helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaItaran dan kebangsaan Indonesia. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan yang
secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
(1) Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaItaran dan
kebangsaan Indonesia dapat dibebani Hipotek.
(2) Pembebanan Hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus didaItarkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaItaran hipotek pesawat udara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengikatan
pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui pembebanan hipotik. Lalu timbul
pertanyaan bagaimanakah tata cara pendaItaran hipotik pesawat terbang dan helikopter ?
lembaga manakah yang berwenang mencatat pendaItaran dan menerbitkan Sertipikat Hipotik
atas pesawat terbang dan helikopter ?
Berdasarkan penelitian kami, peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pembebanan
hipotek atas pesawat terbang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No. 15
tahun 1992 tentang Penerbangan sampai saat ini belum direalisasikan, sehingga pelaksanaan
pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang masih belum jelas dan belum bersiIat nasional,
yang artinya tidak semua Dinas Perhubungan (yang nantinya diharapkan sebagai badan yang
melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang) dapat menerima
atau bersedia melakukan pencatatan terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, atau
dengan kata lain belum ada badan yang ditunjuk secara resmi sebagai badan yang berwenang
melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, sebagaimana
Kantor PendaItaran Fidusia dalam hal pembebanan Fidusia, Kantor Pertanahan (BPN) dalam
hal pembebanan Hak Tanggungan atau Kantor Syahbandar dalam hal pembebanan Hipotek
atas kapal.
Mengingat peraturan pemerintah belum ada, lalu apakah pengikatan pesawat terbang dapat
diterobos dengan melakukan pengikatan Fidusia dan mendaItarkan ke Kantor PendaItaran
Fidusia ? mengingat pengikatan Iidusia dapat dilaksanakan terhadap benda-benda jaminan
yang tidak dapat diikat Hak Tanggungan maupun hipotik ?
Walapun dalam ketentuan umum dalam Undang-Undang No 42 tahun 1999 tentang Fidusia,
pada Pasal 1 ayat 4 menyebutkan, bahwa yang dapat dibebani Fidusia salah satunya adalah
benda yang terhadapnya tidak dapat dibebani Hak Tanggungan atau Hipotek, namun
pasal/klausul tersebut tidak serta merta berlaku bagi pesawat terbang, mengingat dalam
ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia telah secara tegas
menyebutkan bahwa UU Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotek atas pesawat terbang.
KE$MPULAN, $ARAN DAN CATATAN PENUL$
Kesimpulan
Pengikatan Jaminan atas pesawat terbang melalui pembebanan Hipotik sebagaimana
diamanatkan oleh UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan belum dapat dilaksanakan dan
pembebanan melalui Fidusia bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42
tahun 1999 tentang Fidusia yang secara tegas menyebutkan bahwa Fidusia tidak berlaku
terhadap Hipotik atas pesawat terbang.


Saran
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas sebagai langkah pengamanan bagi BANK, kami
memberikan masukan agar terhadap jaminan berupa pesawat terbang diperlakukan sebagai
jaminan tambahan dan bukan sebagai jaminan pokok atas suatu hutang (Iasilitas kredit).
Namun demikian apabila jaminan pesawat terbang tersebut harus diterima oleh BANK, maka
kami menyarankan agar BANK memperkirakan dan meyakinkan bahwa tidak ada kreditur
lain yang mempunyai hubungan utang piutang dengan pihak debitur yang menyerahkan
pesawat terbang sebagai jaminan kredit.
Catatan
Pemerintah seyogyanya memperhatikan permasalahan ini, karena kebutuhan akan
penggunaan pesawat terbang dalam perkembangannya dewasa ini sudah bukan merupakan
hal yang exclusive, namun sudah merupakan kebutuhan primer bagi mobilitas umat manusia,
sehingga pembiayaan kredit bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang usaha air
traffic carrier sangat terbuka luas dan memberikan tantangan peluang usaha kedepan.
Sehingga pemerintah dituntut untuk segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan tentang tata
cara pengikatan pesawat terbang dan helikopter.
Demikian pula untuk pelaku usaha perbankan di tanah air, agar segera mendapatkan
kepastian dalam mengakomodir tantangan dan peluang kedepan dalam melakukan
pembiayaan terhadap usaha air traffic carrier sehingga kedepan tidak ada hambatan regulasi
untuk membiayai kredit jasa air traffic carrier tersebut.

Anda mungkin juga menyukai