Anda di halaman 1dari 7

Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di berbagai daerah tropis di dunia

termasuk Indonesia.1 Plasmodium yang merupakan penyebab malaria terdiri dari 4 spesies yaitu
P. Ialsiparum, P. vivak, P. malariae, dan P. ovale. Lebih dari 90 kasus malaria di Indonesia
disebabkan oleh P. Ialsiparum dan P. vivak.2 P. malariae jarang dijumpai sedangkan P. ovale
hanya ditemukan di beberapa tempat di Irian dan Timor.3 P. Ialsiparum merupakan parasit
berbahaya karena dapat menimbulkan kematian, sedangkan P. vivak menyebabkan morbiditas
tinggi dengan seringnya relaps.4

Di Indonesia, sampai saat ini angka kesakitan malaria masih cukup tinggi, terutama di luar Jawa
dan Bali. Namun, kini di Jawa dan Bali sudah terjadi peningkatan jumlah penderita malaria.5
Survei Kesehatan Rumah Tangga pada tahun 2001 melaporkan 15 juta kasus malaria dengan
angka kematian sebesar 1,2 (23.483 orang).1 Pada tahun 1999, annual parasite index (API) di
Jawa Bali berkisar antara 0,12-9,97. Sedangkan annual malaria incidence (AMI) yaitu jumlah
kasus klinis malaria dalam 1 tahun per 1000 penduduk, di pulau lain berkisar antara 3 di Aceh
hingga 16,8 di NTT.6 Pada tahun 2003, API sebesar 0,22/1000 di Jawa-Bali dan AMI sebesar
21,8/1000 di luar Jawa-Bali. Sebanyak 42,4 (sekitar 95 juta) penduduk Indonesia tinggal di
daerah endemik.1
Besarnya masalah malaria di Indonesia disebabkan berbagai Iaktor, antara lain tersebar luasnya
P. Ialsiparum yang resisten klorokuin, bahkan ada galur yang multiresisten di beberapa daerah.1
Selain itu, meningkatnya resistensi vektor terhadap insektisida,2,6 aktivitas surveilans yang
kurang mendukung, pengaruh desentralisasi sehingga SDM kurang memadai di daerah, serta
kegiatan pengendalian vektor yang hanya dilakukan di daerah yang penting secara ekonomi dan
politik. Lebih jauh lagi, Iaktor luar seperti mobilisasi penduduk pada waktu terjadi konIlik atau
gempa bumi, perubahan iklim yang menyebabkan pajanan manusia terhadap parasit meningkat,
serta Iaktor sosial budaya dan rendahnya pengetahuan tentang malaria juga turut berperan.1
Kebijakan pengendalian malaria di Indonesia dilakukan berdasarkan pada evidence based. Untuk
itu, dibutuhkan data lapangan mengenai eIektivitas obat malaria baik untuk P. Ialsiparum
maupun P. vivak. Sedangkan peningkatan penemuan kasus dilakukan dengan memperbaiki
kualitas diagnosis baik secara konvensional maupun dengan teknik yang lebih canggih seperti
penggunaan rapid test.1

Resistensi Klorokuin
Salah satu masalah yang timbul pada penyakit malaria adalah terjadinya resistensi parasit
terhadap beberapa jenis obat terutama klorokuin. Yang dimaksud resistensi adalah kemampuan
strain parasit malaria tertentu untuk tetap hidup dan berkembang dalam darah, walaupun obat
antimalaria yang diberikan serta absorbsinya telah cukup atau melebihi dosis yang dianjurkan
tetapi masih dalam batas toleransi pasien. Kriteria resistensi didasarkan atas waktu dan jumlah
parasit dalam darah yang diperiksa setelah diberikan pengobatan. Meskipun gejala klinis tidak
dijadikan kriteria dalam menentukan resistensi, kewaspadaan terjadinya resistensi dapat diduga
bila dalam pengobatan sering terjadi relaps atau respon klinis yang tidak optimal.7
Resistensi P. Ialsiparum terhadap klorokuin ditemukan di hampir seluruh daerah endemi malaria.
Di Indonesia dilaporkan kasus resistensi P. Ialsiparum terhadap klorokuin di 27 propinsi
walaupun kasusnya tidak banyak dan tidak merata.8 Hasil uji eIikasi in vivo di NTT, Lampung,
Sulawesi Utara, Jawa Tengah dan Sumatra Utara memperlihatkan tingginya angka kegagalan
klorokuin untuk pengobatan P. Ialsiparum. Hal tersebut sebenarnya tidak mengherankan,
mengingat sejak pertama kali kasus kegagalan klorokuin di Kalimantan Timur dilaporkan pada
tahun 1974, klorokuin tetap digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk P. Ialsiparum di
seluruh propinsi. Lebih jauh lagi, pemakaian obat berdasarkan pemeriksaan klinik tanpa
konIirmasi laboratorium terlebih dahulu sampai tahun 2004 merupakan salah satu kebijakan
malaria di luar Jawa-Bali. Berdasarkan hal tersebut, Depkes sejak akhir tahun 2004 tidak lagi
menganjurkan penggunaan klorokuin untuk pengobatan malaria Ialsiparum kecuali pada hal
khusus seperti ibu hamil.1
Kasus resistensi P. Ialsiparum terhadap sulIadoksin pirimetamin secara in vitro dilaporkan di 10
propinsi di Indonesia.8 Penggunaan sulIadoksin pirimetamin secara luas di Thailand dan AIrika
telah terbukti memicu mutasi lebih lanjut pada gen parasit secara cepat. Dengan demikian, dalam
beberapa tahun saja sulIadoksin pirimetamin yang relatiI aman, mudah dan murah
penggunaannya akan bernasib sama dengan klorokuin. Oleh karena itu, sebaiknya obat alternatiI
ini tidak dijadikan obat pilihan pertama untuk P. Ialsiparum.1 Selain kasus resistensi terhadap
klorokuin dan sulIadoksin-pirimetamin, dilaporkan pula kasus resistensi P. Ialsiparum terhadap
kina di 5 propinsi.8
Penggunaan klorokuin untuk P. vivax juga mulai dilaporkan menurun eIektivitasnya, walaupun
relatiI masih dapat digunakan bila diberikan bersamaan dengan primakuin. Kasus resistensi P.
vivak terhadap klorokuin ditemukan pertama kali di Irian Jaya pada tahun 1989 dan setelah itu di
Nias, Flores dan Sulawesi Utara.7 Masalah pengobatan P. vivax juga ditambah dengan adanya
hipnozoit yang resisten terhadap primakuin, bahkan di Indonesia hal ini mulai ditemukan.
Padahal obat ini merupakan obat satu-satunya di dunia yang tersedia di pasaran untuk
mengeliminasi stadium hipnozoit di hati. Sementara itu, walaupun sulIadoksin pirimetamin
kadang diaplikasi di klinik, obat ini tidak eIektiI untuk inIeksi P. vivax.1

Obat Baru
Adanya masalah resistensi parasit malaria terhadap obat yang tersedia menyebabkan klorokuin
saja sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menyembuhkan penderita malaria Ialsiparum tanpa
komplikasi. Penggunaan obat malaria kombinasi merupakan kebijakan pengobatan malaria saat
ini. Penderita dapat diterapi dengan kombinasi klorokuin dan sulIadoksin pirimetamin dengan
observasi ketat. Pilihan terapi lain adalah penggunaan obat baru. Pemilihan obat baru sebagai
pengganti klorokuin dan sulIadoksin pirimetamin harus mempertimbangkan beberapa Iaktor
seperti eIikasinya diharapkan masih tinggi (90) sehingga kemungkinan terjadi resistensi
memerlukan jangka waktu lama.1
Obat baru yang tersedia antara lain haloIantrin, meIlokuin, piperquine, proguanil, atovakuon,
amodiakuin dan artemisinin.1,9 MeIlokuin merupakan golongan kuinolin metanol yang memiliki
aktivitas yang kuat pada bentuk aseksual dalam eritrosit dan juga gametosit dari setiap
plasmodium. Dosis meIlokuin adalah 750 mg-1250 mg dosis tunggal.9 MeIlokuin juga termasuk
obat yang direkomendasikan untuk proIilaksis di daerah resisten klorokuin.10 Dosis meIlokuin
untuk proIilaksis adalah 250 mg/minggu yang biasa diminum 2 minggu sebelum bepergian
sampai 4 minggu setelah kembali dari daerah endemis.1
Amodiakuin merupakan golongan obat 4-aminokuinolin. EIektivitas amodiakuin lebih tinggi
daripada klorokuin sehingga masih dapat digunakan di daerah dengan P. Ialsiparum yang
resisten klorokuin. Bila dibandingkan dengan sulIadoksin pirimetamin, amodiakuin lebih cepat
menghilangkan demam secara bermakna.1 Dosis amodiakuin yang diberikan adalah 600 mg basa
hari I, 400 mg hari ke-2 dan 3.9
Artemisinin eIektiI terhadap P. Ialsiparum dan P. vivak yang resisten.11 Artemisinin bersiIat
skizontosida darah. Obat ini tidak direkomendasikan pada kehamilan trimester I.12 Kelebihan
artemisinin antara lain cepat menghilangkan gejala klinis dan mengeliminasi parasit dalam darah
dan dapat menurunkan transmisi malaria di daerah endemis karena bersiIat gametosida.
Artemisinin menghilangkan parasitemia dalam waktu singkat yaitu 48 jam. Waktu paruhnya
pendek (sekitar 2-3 jam) sehingga harus diberikan selama 7 hari.13 Golongan artemisinin antara
lain artemeter, arteeter, dihidroartemisinin, artesunat dan artemisin. Sodium artesunat merupakan
salah satu derivat yang larut dalam air, sehingga dapat diberikan dalam berbagai Iormula seperti
tablet, suntikan dan supositoria. Hal ini memudahkan pemberiannya dalam kasus malaria berat di
daerah terpencil, saat peralatan inIus tidak ada.1 Dosis artesunat adalah 5 mg/kgBB/hari I, dan
2,5 mg/kgBB pada hari ke-2 dan ke-3.9
Artemisinin dengan cepat akan dikeluarkan dari tubuh sehingga penggunaan sebagai monoterapi
akan menyebabkan angka kekambuhan yang tinggi. WHO menganjurkan penggunaan terapi
kombinasi berbasis artemisinin untuk meningkatkan eIikasi.1 Sejak tahun 2004, kombinasi
artesunat-amodiakuin menjadi pilihan terapi untuk malaria tanpa komplikasi di Indonesia.11
Studi di Kenya, Gabon, dan Senegal yang merupakan daerah malaria yang resisten klorokuin
memperlihatkan kombinasi obat tersebut memiliki eIektiIitas lebih dari 90 pada hari ke-14 dan
menurun sampai 68-85 pada hari ke-28. Uji eIikasi artesunat-amodiakuin di beberapa daerah
seperti NTT, Lampung, Jawa Tengah, dan Bangka Belitung menunjukkan hasil yang bervariasi
dari 80-95. Hal ini mungkin disebabkan beberapa Iaktor misalnya dosis amodiakuin yang
berbeda (17,5 mg-30 mg/kgBB) dan derajat resistensi P. Ialsiparum terhadap klorokuin yang
berbeda di daerah tersebut.1
Sementara itu, untuk kasus malaria berat dapat diberikan artemeter. Dosis artemeter yang
diberikan adalah 3,2 mg/kbBB IM, kemudian 1,6 mg/kgBB hari ke 2-5.9 Artemeter dapat juga
diberikan dengan dosis beban 160 mg IM diikuti dengan 80 mg/hari selama 4 hari. Artemeter
tidak boleh diberikan secara IV. Penelitian di beberapa tempat di Indonesia, artemeter diberikan
1,6 mg/kgBB IM setiap 12 jam pada hari 0 dan sekali sehari pada hari 1-4.14 Penelitian di
Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur menunjukkan artemeter lebih cepat mengembalikan
kesadaran dan menurunkan demam dibandingkan kina, meskipun angka mortalitas tidak ada
perbedaan yang bermakna.3

Rapid Test
Di daerah endemis, malaria sering memberikan gejala klinis yang ringan dan jarang disertai
menggigil sehingga mudah tersamar dengan penyakit lain. Pemeriksaan laboratorium yang
paling sederhana secara mikroskopik memerlukan tenaga laboran yang trampil, dan kadang-
kadang parasit malaria sulit ditemukan karena waktu pengambilan darah yang tidak tepat.8
Pemeriksaan yang lain berupa rapid test. Rapid test merupakan cara mendeteksi antigen malaria
dengan dipstick. Beberapa kit antigen yang sudah tersedia saat ini antara lain antigen histidine
rich protein-2 (HRP-2), enzim parasite lactate dehidrogenase (p-LDH) dan antigen pan-malarial.
Hasil rapid test dapat diketahui dalam waktu 10 menit dan tidak memerlukan mikroskop. Dengan
cara itu malaria berat dapat didiagnosis secara cepat dan penatalaksanaan dapat diberikan segera.
Namun, pemeriksaan tersebut hanya mendeteksi P. Ialsiparum saja.1,9,14
Antigen HRP2 (histidine rich protein 2) dihasilkan oleh troIozoit dan gametosit muda P.
Ialsiparum. Jenis pemeriksaannya antara lain PF test, ICT test dan paracheck. Penelitian di
berbagai negara memperlihatkan sensitivitas rapid test untuk antigen HRP2 antara 84-100 dan
spesiIisitas 82,5-97. Penelitian pada 500 penderita yang diduga malaria pada salah satu
puskesmas propinsi Lampung tahun 2004 memperlihatkan sensitivitas HRP2 sebesar 86,5 dan
spesiIisitas 95,6. Salah satu kekurangan tes antigen HRP2 adalah hasil positiI palsu dari orang
yang sudah berhasil diobati walaupun parasitnya tidak ditemukan lagi secara mikroskopik dalam
darah. Penyebabnya antara lain Iaktor rheumatoid, sisa antigen HRP2 yang diproduksi stadium
gametosit muda atau mungkin stadium aseksual P. Ialsiparum tidak seluruhnya tereliminasi oleh
obat yang diberikan.1
Enzim parasite Lactate Dehidrogenase (p-LDH) diproduksi oleh bentuk aseksual dan seksual
keempat spesies Plasmodium. Pemeriksaan untuk antigen p-LDH misalnya Optimal test.
Pemeriksaan tersebut dapat digunakan juga untuk mengevaluasi hasil pengobatan artesunat-
amodiakuin. Penelitian di Lampung dengan SDAg dengan p-LDH sebagai marker pada penderita
yang berobat ke puskesmas menunjukkan sensitivitas mendekati 90 dan spesiIisitas mendekati
95. Kelemahan pemeriksaan ini adalah kurang sensitiI bila jumlah parasit 100/ul darah dan
tidak dapat mendeteksi inIeksi campur.1

Rapid Test dan Obat Malaria Baru di Aceh Pasca Tsunami
Aceh termasuk salah satu propinsi yang menjadi Iokus malaria di Indonesia bagian barat.2 Pada
tahun 1999, angka annual malaria index di Aceh sebesar 3.6 Pada tahun 2005 lebih dari 25.000
kasus malaria ditemukan di Aceh.15 Adanya konIlik sosial dan kejadian tsunami berpengaruh
terhadap masalah malaria di Aceh. KonIlik sosial telah menyebabkan mobilisasi penduduk dan
tidak memadainya pelayanan kesehatan. Sementara kejadian tsunami telah menyebabkan
kerusakan lingkungan di hutan dan pantai sehingga menambah luas tempat nyamuk malaria
berkembang biak. Tsunami juga telah menyebabkan kerusakan Iasilitas kesehatan.16
Pasca tsunami sulit untuk mendapatkan data pasti kasus malaria. Oleh karena itu, perlu
kewaspadaan akan terjadinya epidemi apalagi Aceh termasuk daerah endemik. Kebijakan yang
telah dilaksanakan adalah penggunaan rapid test dan obat malaria baru.17 Dengan adanya
kebijakan tersebut diharapkan dapat mengatasi masalah malaria, khususnya di daerah bencana.
Rapid test yang banyak tersedia di lapangan terutama paracheck dan parascreen. Sedangkan obat
malaria baru yang banyak tersedia adalah meIlokuin, artesunat-amodiakuin (artesdiaquineR) dan
artemeter injeksi (artemR).
Tersedianya rapid test diharapkan dapat mengatasi keterbatasan alat diagnostik. Terlebih dalam
situasi tidak ada mikroskop. Pemeriksaan rapid test walaupun hanya mendeteksi P. Ialsiparum
saja, namun hasilnya dapat diketahui dalam 10 menit dan tidak memerlukan mikroskop. Tes ini
juga digunakan untuk skrining pasien dengan dugaan malaria berat yang memerlukan
pengobatan segera.
Sebelum tsunami, penanganan malaria sebagaimana di daerah Indonesia yang lain adalah
penggunaan monoterapi klorokuin meskipun telah terjadi resistensi.18 Di samping itu,
penggunaan obat berdasarkan pemeriksaan klinis tanpa konIirmasi laboratorium lebih dulu
sampai tahun 2004 menjadi kebijakan malaria di luar Jawa-Bali. Sejak tahun 2004, terapi
kombinasi berbasis artemisinin menjadi kebijakan terapi malaria. Kombinasi artesunat-
amodiakuin menjadi pilihan terapi malaria Ialsiparum tanpa komplikasi. Untuk kasus malaria
berat digunakan artemeter.19 Meskipun telah dilaporkan penggunaan obat baru memperlihatkan
hasil eIektiI pada kasus yang resisten klorokuin, studi lebih lanjut diperlukan untuk
mengkonIimasikan hal tersebut.
Adanya laporan resistensi P. Ialsiparum terhadap artesunat di perbatasan Thailand dan Myanmar
memperlihatkan bahwa obat malaria baru dapat menjadi resisten setelah beberapa lama
digunakan. Bila hal ini dikembalikan ke Indonesia, dengan inIrastruktur dan SDM kurang
memadai, kemungkinan besar obat baru tersebut menjadi resisten dalam waktu yang tidak terlalu
lama. Oleh karena itu, penggunaan obat malaria baru sebaiknya digunakan untuk kasus yang
terbukti malaria baik secara mikroskopik ataupun rapid test sehingga dapat menghindari
penggunaan yang tidak perlu.1,16
Meskipun rapid test dan obat baru telah tersedia, namun berbagai masalah tetap timbul. Untuk
itu, sejalan dengan kebijakan evidence based dalam pengendalian malaria, studi untuk
mendapatkan data lapangan mengenai eIektivitas obat malaria perlu dilakukan. Demikian halnya
perbaikan kualitas diagnostik untuk penemuan kasus malaria perlu ditingkatkan. Untuk
mewujudkan hal tersebut, diperlukan kerjasama berbagai pihak baik dokter, pemerintah daerah,
dinas kesehatan, serta NGO yang ada di Aceh sehingga didapatkan pemecahan yang lebih baik
dalam menangani masalah malaria.

Anda mungkin juga menyukai