Eggshell factors influencing eggshell penetration and whole
Egg contamination by different bacteria,
including Salmonella enteritidis
Meningkatnya kesadaran konsumen terhadap isu keamanan pangan telah mengubah persepsi masyarakat mengenai telur dengan keadan baik yang terlihat dari kebersihan kerabang dan kondisi dalam telur itu sendiri. Mikroorganisme dapat mengkontaminasi telur dari berbagai tahap yang berbeda, mulai dari proses produksi, pengolahan bahkan sampai persiapan ketika akan dikonsumsi. Transmisi mikroorganisme secara transovarian / vertikal, terjadi ketika proses pembentukan telur dalam saluran reproduksi induknya. Transmisi horizontal terjadi ketika telur terpapar oleh agen kontaminan (mikroorganisme) kemudian melakukan penetrasi memasuki kerabang telur. Menurut studi yang dilakukan oleh Barrow dan Lovell (1991), kebanyakan kontaminasi terjadi secara horizontal, namun menurut (Humphrey,1994) kontaminasi berawal dari saluran reprduksi khususnya oleh Salmonella enteritidis. Para peneliti lain melaporkan bahwa penetrasi bakteri dalam cangkang telur berhubungan dengan keberadaan membrane dari keseluruhan kontaminasi telur. Bakteri dari genus Pseudomonas lebih berpotensi melakukan penetrasi pada pada telur dengan kualitas kerabang yang buruk, namun juga ditemukan bahwa Salmonella cenderung melakukan penetrasi pada telur dengan berat jenis yang rendah. Sebanyak 7 sampel telur yang berasal dari peternakan ayam petelur dengan sistem kandang konvesional, diambil pada hari pertama proses produksi (hari pertama ayam mulai bertelur), minggu ke-32, 34, 46, 60, 69, dan minggu ke-74. Kemudian telur tersebut diperiksa kualitasnya melalui metode candling, lalu disimpan pada suhu 20 o C selama semalam. Bakteri yang digunakan terdiri dari 7 strain yang berbeda, yaitu: Staphylococcus warneri, Acinetobacter baumannii, Alcaligenes sp, Serratia marcescens , Carnobacterium sp, Pseudomonas sp. dan S.enteritidis. keseluruhan bakteri tersebut diisolasi dari keseluruhan bagian telur (kerabang, albumin, yolk, dll). Isolat tersebut lalu dikultur pada nutrient agar, diinkubasi pada suhu 30C selama 72 jam. Pada kultur media ini telah ditambahkan streptomycin yang bertujuan agar hanya dib Musta`in 0911310032/Pkh bakteri yang diinginkan saja dapat tumbuh serta hasil kultur tidak terkontaminasi oleh Ilora normal. Inokulasi dilakukan dengan memasukkan imersi yang mengadung masing-masing strain bakteri dari hasil kultur yang telah diencerkan dengan PBS pada kerabang telur. Kemudian masing-masing telur disimpan pada chamber pada suhu 20 o C, dengan kelembaban relatiI 60, selama 21 hari. Kerabang telur dibersihkan secara berkala untuk menghindari kontaminasi bakteri lain, mengunakan ethanol 75. Setelah masa inkubasi selesai, karakteristik kerabang kemudian diperiksa meliputi: kondisi permukaan kerabang, ketebalan, jumlah pori, masa kerabang, serta pembentukan endapan pada kutikula. Kondisi permukaan kerabang diamati dengan mengukur luas permukaan dan masa telur, ketebalan kerabang diukur dengan mikrimoeter. Jumlah pori diamati mengunakan mikroskop okuler pada sebuah bidang pandang, sedangkan masa kerabang ditimbang kemudian dihitung perbandingannya dengan kerabang yang masih segar. Hilangnya sejumlah masa kerabang mengindikasikan siIat porosity suatu telur. Pembentukan endapan pada kutikula diamati dengan melakukan pewarnaan mengunakan aqueous mixture (7.2 g Tartrazine 28 g GreenS /liter) selama 1 menit, kemudian dicuci mengunakan akuades untuk menghilangkan pewarna yang tersisa. Endapan yang terbentuk pada kerabang terlihat berwarna kemerahan setelah dilakukan pewarnaan. Evaluasi data hasil percobaan yang diperoleh tidak memiliki perbedaan secara signiIikan terlihat dari Tabel 1, meliputi: kondisi permukaan kerabang, ketebalan, jumlah pori, masa kerabang, serta keberadaan bakteri yang melakukan penetrasi ke kerabang. Untuk masing masing strain bakteri, secara keseluruhan memiliki daya penetrasi yang cukup tinggi dibandingkan jenis bakteri yang tidak memiliki daya penetrasi. Artinya endapan pada kutikula yang terbentuk lebih tinggi pada bakteri dengan daya penetrasi. Jika dibandingkan dengan jenis lain, strain Carnobacterium sp memiliki angka yang berbeda secara signiIikan (P0.001). Waktu yang dibutuhkan untuk masa penyimpanan juga berpengeruh terhadap daya penetrasi strain bakteri tersebut. Terlihat penetrasi bakteri mulai meningkat signiIikan pada hari ke 4-5 inkubasi, mencapai 80. Sedangkan pada hari ke 6-14, daya penetrasinya meningkat sebesar 95. Strain bakteri yang digunakan berpengaruh terhadap daya penetrasi pada telur setelah 21 hari masa inkubasi. Hal ini terlihat dari gambar 2a. dengan kontaminasi terbesar secara berturut-turut disebabkan oleh: Pseudomonas sp 60, Alcaligenes sp 58, serta S.enteritidis 43. Sedangkan banyaknya kontaminasi yang dihasilkan: S.enteritidis (33), dan Carnobacterium sp (17.5). Daya penetrasi serta kontaminasi strain masing bakteri juga dipengaruhi oleh umur telur (waktu pengambilan sampel). Terlihat dari umur sampel pada minggu ke-34, 46, 60, 69 dan minggu ke- 74, masing-masing memiliki tingkat penetrasi sebesar 30,39,41,33, dan 37. Dari presentase ini dapat diketahui bahwa daya penetrasi pada masing-masing telur bersiIat konstan, sedangkan pada kontaminasi bakteri pada tingkat yang berbeda sebesar 13, 13, 15, 26, dan 20. Hal ini menunjukkan bahwa umur sampel juga berpengaruh dalam percobaan yang telah dilakukan. Area penetrasi kerabang serta kontaminasi tidak memilki perbedaan yang cukup tinggi pada sampel dibandingkan dengan kontrol dari keseluruhan telur yang di uji pada media agar. Menurut Williams et al (1968), ketebalan kerabang tidak berpengaruh secara signiIikan terhadap penetrasi strain bakteri S.typhimurium, namun ada pendapat lain bahwa Pseudomonas fluorescens memiliki resistensi tinggi terhadap kerabang tebal Orel (1959) dan Sauterand Petersen(1969,1974). Rute primordial dipengaruhi oleh ukuran diameter pori-pori ketika bakteri penetrasi pada telur. Sedangkan jumlah pori-pori yang ada tidak memiliki korelasi yang nyata antara daya penetrasi serta kontaminasi bakteri. Adanya selaput kutikula pada kerabang telur berIunsi sebagai lapisan kedap air serta bertindak sebagai barier terhadap invasi bakteri dan jamur. Pada studi yang dilakukan diketahui bahwa deposisi kutikula yang rendah berdampak pada daya penetrasi tinggi dan berbanding lurus dengan kontaminasi bakteri.