Anda di halaman 1dari 9

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Angka kejadian autisme di Indonesia pada tahun 2003 telah mencapai 152-per 10.000 anak (0,15-0,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh tahun yang lalu yang hanya 2-4 per 10.000 anak. Menurut data yang didapat dari Direktoray Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2001) memperlihatkan bahwa pada tahun 1987 penderita autisme 1/500 anak dan tahun 2001 menjadi 1/150 anak. Autisme masih ada harapan untuk sembuh walaupun tidak sembuh secara total, karena ada kelainan pada otaknya, Akan tetapi dapat diusahakan agar sel-sel otak yang yang masih baik dapat mengambil alih dan berfungsi menggantikan sel yang rusak asal dilakukan dengan cepat dan tepat dan dimulai sejak gejalanya masih ringan. Hal terpenting yang mempengaruhi kemajuan anak autisme adalah deteksi dini yang diikuti oleh penanganan yang tepat dan benar, serta intensitas terapi yang dijalani oleh anak autisme. Jika keduanya dilakukan, anak dengan autisme masih mempunyai harapan untuk lebih baik untuk dapat hidup mandiri dan bersosialisasi dengan masyarakat yang normal. Berbagai Jenis terapi telah dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan anak autisme agar dapat hidup mendekati normal. Tujuan terapi pada anak autisme adalah untuk mengurangi masalah perilaku serta meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam penggunaan bahasa. Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang menyeluruh dan bersifat individual. Agar anak bisa mandiri seperti makan, minum, toileting, gasok gigi, dan kegiatan-kegiatan lain. Bahkan literature mengatakan 75% anak autisme yang tidak tertangani, akan menjadi tunagrahita. Anak yang diberikan terapi tidak mempunyai target waktu yang ditentukan, karena terapi dari anak autisme ini tidak mempunyai waktu yang pasti dan terapi yang diberikan tergantung pada banyak hal seperti usia anak pada saat pertama kali diterapi dan kemampuan terapis untuk memberikan terapi. Anak penyandang autisme harus ditempa agar dapat hidup dan berkembang layaknya anak normal, Untuk memberikan pendidikan yang berkualitas, diperlukan sarana-prasarana yang sesuai. Sarana dan prasarana yang dipakai untuk kegiatan terapi, balajar, maupun bermain serta fasilitas fasilitas lain sangat perlu diperhatikan, karena

sarana

belajar dan bermain

mereka adalah tempat kegiatan belajar mengajar yang

merupakan aktivitas inti dari sebuah pendidikan bagi anak penyandang autis. Pertimbangan dalam suatu desain sistem furniture untuk terapi anak autis adalah kondisi pengguna. Perwujudan furniture yang ada di klinik harus dapat memenuhi tuntutan anak berkelainan. Perilaku anak menjadi keputusan utama dalam desain yang diciptakan, selain kebutuhan pengguna, yang harus dipertimbangkan dalam suatu desain adalah kondisi pengguna. Furniture tempat terapi berhubungan erat dengan proses belajar mengajar sebagai aktivitas utama didalamnya. Pemenuhan kebutuhan furniture yang sesuai dengan fungsi dan tujuan metode belajar yang diterapkan memberikan pengaruh positif pada perkembangan anak. Desain furniture, bentuk maupun warna akan mempengaruhi perilaku dan psikologi pengguna. Oleh karena itu harus ada kesesuaian antara perwujudan peralatan dan sarana yang dipakai dengan kondisi dan kebutuhan anak autis.
Tabel 1.1 Rekapitulasi jumlah sekolah dan guru perjenis kelainan per unit pendidikan seluruh Indonesia tahun 2005/2006

Data diatas menunjukkan bahwa saat ini belum banyak sekolah- sekolah yang menyediakan pendidikan bagi anak autis. Selama ini mereka hanya di didik di SLB dimana Sekolah Luar Biasa ini kurang memperhatikan kebutuhan anak autis,karena fasilitas yang ada disamaratakan dengan anak penyandang cacat yang lain. Perancangan sarana balajar SLB belum mampu memadahi segala kebutuhan anak berkelainan, Lagi pula penanganan secara khusus untuk anak autis harus dilakukan, secara teori anak autis harus ditangani setiap anak oleh satu pembimbing atau lebih pembimbing dan dalam satu kelas tanpa dicampur jadi anak autis sangat mustahil bisa berkurang kadar keautisannya apabila cara penanganannya seperti di SLB sekarang dengan karakteristik yang dimiliki anak, anak butuh dipantau perkembangannya, melihat tabel diatas tentunya tidak mungkin di SLB anak diperlakukan

secara khusus dengan melihat banyaknya guru serta kelas yang disediakan dan jumlah anak yang berkelainan. kalau anak berkelainan lain dicampur dengan anak autis maka yang terjadi anak berkelainan yang lain akan ikut autis, karena anak autis memiliki kebiasaan kebiasaan aneh memiliki gerakan gerakan dan ritual ritual aneh yang sangat mungkin akan bisa ditiru oleh anak berkelainan yang lain. Hal inilah yang membuat penulis terdorong merancang sarana belajar dan bermain di pusat terapi untuk anak taman kanak-kanak karena merupakan jenjang pendidikan yang pertama. Semakin cepat anak berkelainan mendapat penanganan maka semakin besar pula kemungkinan anak yang bersangkutan mengalami kemajuan perkembangan.

1.1.1. Posisi Dan Peranan Sistem Furniture Belajar Dan Terapi Autis Di Pembimbingan Dan Proses Terapi

Dalam Pola

Banyak klinik terapi di Surabaya sudah berupaya keras untuk menanggulangi permasalahan tentang penggunaan furniture yang cocok untuk mendukung kelancara proses terapi, salah satunya adalah dengan pengembangkan konsep desain bangku yang dapat mengunci anak didalam bangku agar anak tidak dapat keluar dan kabur sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan untuk kemudahan proses terapi yang dilakukan terhadap anak yang berkebutuhan khusus seperti anak penyandang autis. Konsep ini diharapkan akan membuat mudah penerapi dan dapat menjadikan anak agar lebih bisa fokus dengan apa yang disampaikan pembimbing. Adapun jenis sistem furniture yang sekarang digunakan untuk proses terapi dan yang sedang dikembangkan. Konsep desain ini digunakan oleh semua klinik terapi di surabaya guna mempermudah proses terapi yang dilakukan dalam pemberian materi terapi dan belajar dan pencapaian hasil akhir yang dituju yaitu kemandirian bagi anak penyandang autis. Dalam konsep terapi ini bangku memegang peranan penting sebagai sarana dan prasarana yang menunjang kelangsungan terapi. Pada saat proses terapi, anak akan dimasukkan kedalam bangku yang terdapat dalam bilik bilik yang masing masing bilik terdapat satu bangku untuk satu anak dan satu atau lebih pembimbing (tergantung kebutuhan untuk menghadapi anak penyandang autis dengan kadar tertentu karena masing masing anak berbeda kadar keautisannya). Kemudian setelah anak didalam bangku tadi, pengguna akan diberikan materi terapi selama 5 jam dikurangi waktu istirahat selama 30 menit.

Dalam kasus lain, jika anak tantrum maka proses terapi tidak bisa dilakukan karena anak akan dibiarkan saja akan tetapi tetap dalam pengawasan pembimbing dan anak tetap ditempatkan didalam bilik tidak boleh keluar, karena kalau sedang tantrum mustahil untuk memaksa anak menerima materi, dan terjadinya tantrum itu tidak bisa diperkirakan dan hal ini sering sekali terjadi, biasanya penyebabnya anak pada waktu dekat itu sering mengkonsumsi gula dan mungkin perlakuan orang tua yang membuatnya trauma dan banyak hal yang menyebabakan anak autis tantrum kembali dan menjadi sangat liar karena tidak dapat mengendalikan emosinya. Untuk lebih memperjelas mengenai konsep terapi dan peranan sistem furniture di dalamnya, berikut adalah skema kegiatan yang dilakukan di dalam konsep.

Gambar 1.1. Skema alur kegiatan di dalam sistem furniture

Dari penjelasan dan skema di atas, dapat kita simpulkan bahwa peranan sistem furniture dalam konsep terapi yang diterapkan di klinik autis di wilayah Surabaya adalah penting keberadaannya sebagai penunjang dari kegiatan terapi yang merupakan konsep utama dari proses terapi, guna pencapaian tujuan dari terapi itu sendiri untuk menjadikan anak autis lebih mandiri dan mengurangi kadar keautisannya agar mereka dapat bersosialisasi dengan lingkungannya.

1.1.2. Peran Sistem Furniture Terapi Bagi Anak Penyandang Autis, Pembimbing Dan Pengelolah Klinik Sistem furniture telah mengalami beberapa kali fase perubahan, yaitu dari sistem furniture lama yang masih seperti bentuk furniture sekolah biasa yang non autis ke Sistem furniture yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk sarana belajar dan terapi anak autis dengan prinsip anak terkunci didalam bangku dan tidak bisa melepaskan diri dan tidak hanya itu perkembangan desainpun merujuk ke sebuah bangku yang mengunci anak didalam dan sekaligus membuat anak fokus apabila proses belajar dan terapi sedang berlangsung. Hal ini sudah digunakan di klinik klinik autis di Surabaya sejak tahun 2002. Jika keduanya dibandingkan, Sistem furniture lama yang masih dengan bentuk bangku seperti di sekolah non Autis tidak dapat berfungsi dengan baik daripada bangku yang disesuaikan dengan kebutuhan anak Autis, dikarenakan faktor karakter anak autis yang berbeda dengan anak normal biasa atau anak penyandang cacat yang lain selain Autis, pengalaman dan praktiknya sudah membuktikan dan perbaikan dilakukan secara terus menerus dengan tujuan mencari solusi terbaik untuk suatu sarana yang dapat menunjang proses terapi anak autis semaksimal mungkin. Pengembangan pada sistem furniture terletak dari segi tampilan, bentuk secara keseluruhan, mekanisme dan beberapa komponen serta fungsi tambahan yang dirasa masih kurang efektif dan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan akan kemudahan proses terapi itu sendiri. Permasalahan yang terjadi adalah sistem furniture lama yang masih belum bisa membuat anak autis tertahan didalam bangku dan selalu berhasil kabur dari bangku saat proses terapi berlangsung. Dari survey wawancara dan observasi tiga klinik autis di kota Surabaya, dapat kita identifikasi bahwa 75% pembimbing menyebutkan bahwa mereka merasakan kerepotan menghadapi anak karena sistem furniture terapi tidak menunjang kerja mereka, dalam arti anak berhasil melepaskan diri dan selalu berhasil berulah dari bangku bahkan bilik kelas tempat terapi mereka; namun sebanyak 25% pembimbing mengaku bahwa mereka bisa menangani anak dengan bangku yang ada akan tetapi memang secara kebetulan anak yang mereka tangani memiliki karakter keautisannya yang tidak begitu liar dan tidak terlalu parah. Hal diatas membuktikan bahwa sistem furniture kurang mampu menunjang seluruh kagiatan terapi yang diselenggarakan, sedangkan Sistem furniture seperti itu banyak digunakan di seluruh klinik autis di seluruh indonesia bahkan didunia. Sistem furniture lama sudah menjadi kebutuhan pokok sistem penerapian itu sendiri. Selain itu, perbaikan dan evaluasi terhadap keberhasilan sistem furniture maupun sistem terapi mereka lakukan sendiri,

diantaranya penambahan fitur pada sistem furniture yang sudah ada dengan harapan fitur itu dapat memaksimalkan hasil terapi. Penyebab lain kurangnya dukungan pemerintah terkait masalah pengadaan fasilitas terapi, selaku pengelolah klinik, terhadap sistem furniture adalah susahnya mendapatkan dana yang cukup untuk pengadaan fasilitas terapi, dari evaluasi, perbaikan sampai pengadaan mereka lakukan sendiri. Sistem furniture yang digunakan sekarang merupakan suatu sistem yang dibuat untuk memenuhi apa yang dibutuhkan untuk kebutuhan proses terapi bagi anak oleh masing masing pihak klinik secara sedarhana.

1.1.3. Prosedur Terapi Bagi Anak Autis Prosedur yang seharusnya dipenuhi dalam suatu terapi yang dilakukan pada anak autis agar keoptimalan hasil terapi dapat dicapai, Dimana prosedur tersebut mengenai 3 faktor yang berinteraksi, prosedur tersebut, yaitu : A. Pembimbing 1. Pembimbing harus memenuhi beberapa kriteria seperti penguasaan ilmu yang dimiliki akan pengetahuan yang berhubungan dengan terapi dan apa saja pembekalan yang dibutuhkan untuk menjalankan proses terapi bagi anak autis. 2. Posisi mata pembimbing harus sejajar dengan mata anak, karena disini anak akan dibuat fokus dan harus patuh kepada perintah perintah yang di instruksikan oleh pembimbing. 3. Pembimbing harus selalu ada untuk mengamati setiap pergerakan yang dilakukan anak dan mengamati selalu apa yang terjadi kepada anak. B. Sistem furniture 1. Harus aman bagi anak dengan material bahan furniture yang digunakan. 2. Dilakukan di dalam ruangan dimana diruangan itu berisi satu anak oleh satu pembimbing atau lebih sesuai dengan kebutuhan serta bangku terapi agar anak bebas distraksi(pengalih perhatian). 3. Luas ruangan sesuai dengan kebutuhan saja, dibuat sempit dengan tujuan agar dapat membatasi gerak anak.

4. Suasana ruangan harus benar benar bersih, tidak diperbolehkan hiasan ruangan ditempatkan di dalam ruangan atau detil detil yang dapat membuat anak menjadi tidak fokus. 5. Struktur yang digunakan untuk sistem harus kuat oleh berbagai perlakuan dan akibat yang ditimbulkan oleh anak autis saat tantrum. 6. Anak harus dapat ditahan didalam bangkunya saat proses terapi dilakukan. 7. Anak harus dapat duduk dibangku saat terapi berlangsung. C. Anak penyandang autis 1. Harus ada kepatuhan dari anak, kepatuhan dimulai dengan duduk dibangku. 2. Dipastikan yang melakukan terapi autis itu adalah anak anak umur 3 sampai 7 tahun karena penanganan masih bisa dilakukan, tatalaksana perilaku menuntut kepatuhan anak. Pada awalnya(hari pertama terapi) anak akan mengadakan perlawanan, baik pasif maupun aktif (misalnya meronta, ataupun agresif seperti memukul/menendang). Sebab itu pertama kali mereka mendapatkan perintah, anak belum mengerti sehingga mereka merasa sebagai suatu hukuman. Bila anak memiliki tubuh yang besar (sedangkan umumnya terapis di indonesia fisik dan kekuatannya tidak cukup besar), maka untuk latihan awal yaitu latihan duduk( bertujuan untuk melatih kepatuhan) mungkin diperlukan terapi yang kuat, karena kalau anak memukul akan terasa sangat sakit bahkan mungkin cedera atau pingsan. Apabila ke 3 faktor diatas telah terpenuhi kebutuhannya akan peran masing-masing, berdampak proses terapi akan berjalan dengan lancar karena sesuai dengan prosedur, maka keoptimalan hasil terapi akan dicapai.

1.2.

Rumusan Masalah
Selama ini sistem furniture yang digunakan untuk terapi anak autis masih

menggunakan sistem furniture sekolah biasa yang non autis. Sistem furniture yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk sarana terapi anak autis dengan prinsip anak terkunci didalam bangku agar tidak bisa melepaskan diri sekaligus membuat anak fokus apabila proses terapi sedang berlangsung, sistem furniture eksisting kurang mampu menunjang seluruh kagiatan terapi yang diselenggarakan, sedangkan Sistem furniture seperti itu banyak digunakan di seluruh klinik autis di seluruh indonesia, Berikut ini merupakan permasalahan-

permasalahan yang ada pada produk sistem furniture yang banyak dipakai saat ini yang diharapkan dapat diselesaikan melalui pendekatan desain: 1. Bagaimanakah Desain sistem furniture untuk terapi anak autis agar anak didalamnya tidak dapat melepaskan diri saat tantrum. 2. Bagaimanakah Desain sistem furniture untuk terapi anak autis agar anak dapat memfokuskan perhatian dengan baik dan optimal saat pembimbing memberikan perintah perintah yang disampaikan saat proses terapi berlangsung. 3. Bagaimanakah Desain sistem furniture untuk terapi anak autis agar Pembimbing maupun anak dapat terhindar dari cedera saat proses berlangsungnya terapi. 4. Bagaimanakah Desain sistem furniture untuk terapi anak autis yang dapat fleksibel saat dibutuhkan untuk kelas besar dan kelas kecil.

1.3.

Batasan Masalah
dasar program terapi dan belajar anak dengan pengembangan aktivitas belajar dan terapi yang dikonsentrasikan pada aktivitas posisi duduk

A. Desain sistem furniture balajar dan terapi anak autis akan mengakomodir 4 aktivitas

B. Target pemasaran produk : 1. Target market : klinik autis dan SLB yang menangani autis serta rumah sakit yang melayani terapi autis 2. Target pengguna : Masyarakat Kota Surabaya khusunya anak yang masuk dalam klinik klinik autis pada masa terapi. 3. Gender : Anak - anak penyandang autis pria dan wanita (unisex), Pembimbing (dewasa) anak autis pria dan wanita (unisex) 4. Sosial Ekonomi : menengah bawah (C+) hingga menegah atas (B+). Hal ini akan disesuaikan dengan klinik. target Dalam pengguna pelayanan sesuai kebijakan akan

stakeholder/pengelola

dasarnya

memprioritaskan menengah atas. 5. Wilayah sasaran : Surabaya Utara, Surabaya Selatan, Surabaya Timur, dan Surabaya Barat. Diutamakan untuk klinik dan SLB yang masih menggunakan sistem furniture yang masih sama dengan furniture yang dipakai anak normal dan penyandang cacat berjenis lain.

1.4.

Tujuan Perancangan

Tujuan- tujuan yang ingin dicapai dalam perancangan furniture untuk sarana belajar dan bermain pusat terapi bagi anak autis ini adalah : A. Mendesain sistem furniture untuk terapi anak autis agar anak didalamnya tidak dapat melepaskan diri saat tantrum. B. Mendesain sistem furniture untuk terapi anak autis agar anak dapat memfokuskan perhatian dengan baik dan optimal saat pembimbing memberikan perintah perintah yang disampaikan saat proses terapi berlangsung. C. Mendesain sistem furniture untuk terapi anak autis agar Pembimbing maupun anak dapat terhindar dari cedera saat proses berlangsungnya terapi. D. Mendesain sistem furniture untuk terapi anak autis yang dapat fleksibel saat dibutuhkan untuk kelas besar dan kelas kecil.

1.5.

Manfaat Perancangan

A. Dapat memberikan sarana terapi yang layak bagi anak autis B. Dapat membantu anak autis untuk hidup lebih baik dan diterima dimasyarakat serta kemandirian

Anda mungkin juga menyukai