Anda di halaman 1dari 4

Nama: Ardi Patriadi November 2010 NRP : F34100045 Kelas : B.

07

Hari/Tanggal Asisten

: Selasa, 30

: Solihin

Mata Kuliah : Sosiologi Umum

TERJADINYA PEMUSATAN KEKUASAAN Catatan untuk Bachrun Martosukarto Oleh : Sulardi Pada masa Orde Lama terjadi sistem demokrasi yang tidak berjalan yang ditandai dengan semakin besarnya kekuasaan Presiden dari undang-undang yang dibuat dan ketatanegaraan yang secara yuridis menyimpang dari konstitusi. Contohnya yaitu sistem Presidensial yang diubah menjadi parlementer dan maklumat Presiden bahwa Presiden mengambil alih kekuasaan dengan sepenuh-penuhnya. Pada masa Orde Baru, sistem yang rusak ini akan diperbaiki dengan melaksanakan UUD yang murni dan konsekuen. Namun demokrasi yang diharapkan memperbaiki pelaksanaan konstitusi dipraktikkan oleh DPR dan Presiden pun hanyalah formalitas belaka. Munculnya paket Undang-undang Poltik yang terdiri dari Undang-undang Pemilu, kedudukan dan susunan MPR/DPR/DPRD, Parpol, Ormas dan referendum merupakan gambaran bahwa DPR belum bisa menjalankan fungsinya dan bisa dibilang semakin ompong terhadap fungsi yang seharusnya mereka laksanakan. Presiden disebutkan sebagai mandataris MPR dalam penjelasan UUD. Seharusnya kata mandataris mengunakan tanda petik. Namun dengan tidak adanya tanda petik tersebut maka Presiden benar-benar sebagai mandataris MPR yang mejadikannya sebagai pelaksana kedaulatan. Dengan hal yang semacam ini, memberikan peluang presiden untuk memdominasi

pembuatan

undang-undang.

Sedangkan

hak

DPR

sebatas

mengajukan RUU. Inilah yang menjadikan sistem pemerintahan menjurus ke pemusatan kekuasaan. Adapun solusinya yaitu mereformasi sistem politik dengan mencabut undang-undang demokratisasi politik seperti yang tidak sesuai lima dan paket menghalangi mencabut

undang-undang politik yang sedang berlangsung. Untuk itu diperlukan adanya anggota-anggota DPR yang berani dan cerdas untuk mereformasi sistem yang sudah tercemar ini. Namun pada saat itu DPR jelas-jelas berada di bawah pengaruh lima paket Undang-undang Politik tersebut.

PENGGULINGAN KEKUASAAN : ANTARA ORLA DAN ORBA Oleh : Panji Semirang Masa Orde Lama adalah masa dimana tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dipimpin oleh Presiden Soekarno. Sedangkan Orde Baru pada kepemimpinan Pak Harto melakukan koreksi terhadap Orde Lama setelah Orde Lama lengser. Orde Baru pun mengalami koreksi lagi oleh Orde Baru yang lebih Baru. Pada kedua pergantian Orde tersebut terjadi pertumpaha darah, secara langsung ataupun tidak langsung. Pertumpahan darah pergantian Orla dilakukan oleh PKI. Sedangkan pergantian Orba dilakukan oleh orang-orang bersenjata terhadap pendemo di Universitas Trisakti dan diikuti kerusuhan masal. Persamaan pada penggulingan Orla dan Orba yaitu perbaikan sistem pemerintahan secara mendasar. Selain itu pada 1966 terjadi kerusuhan di depan Istana Merdeka yang korban jiwanya adalah Arief Rahman Hakim dan Zubaidah.

Jatuhnya korban Trisakti untuk mempercepat aksi reformasi menggulingkan rezim Orba juga banyak berjatuhan dan tidak ada pengusutan tuntas dari kasus ini. Perbedaannya, pada awal Orba makin lama hubungan pendemo dan ABRI makin erat. Ada yang menyebutnya tunggang-menunggangi. Sedangkan pada penggulingan Orba ke arah reformasi, militer berada dalam satu barisan undangundang sehingga tidak ada yang langsung mendukung demo. Para pendemo menghadapi medan dan benteng yang kuat dalam memperjuangkan reformasi pada saat itu. Pada 1966 korban jiwa yang jatuh tidak lebih banyak dibandingkan korban kasus Trisakti dan kerusuhan 1998 yang hingga ribuan orang termasuk di daerah-daerah. Kedua Presiden menurut Ordenya, mengalami pergantian secara berbeda pula. Presiden Soekarno mundur melalui dua proses. Sedangkan Pak Harto satu proses. Soekarno menyerahkan mandat melalui Supersemar dan partai-partai islam menyerukan agar Beliau turun. Lain lagi dengan Pak Harto, Beliau diturunkan setelah mahasiswa dan pimpinan bidang DPR Ekuin mengultimatum agar wakil-wakil rakyat segera mengadakan sidang-sidang. Kemudian menteri-menetri kabinetnya Pak Harto sebagian besar tidak mau duduk dalam Kabinet Reformasi. Setelah itu Pak Harto angkat tangan dan menyerah sehingga jabatannya Ia serahkan kepada Pak Habibie sebagai penggantinya.

SAMPANG DAN TRADISI PERLAWANAN Oleh : Anwar Hudijono Masyarakat Sampang memiliki tradisi heroik dengan

perlawanan mereka terhadap kezaliman dan terhadap rezim

otoritarian. Mereka memberikan inspirasi dan ilham kepada masyarakat lainnya untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya. Di Sampang, hubungan masyarakat dengan PPP terbentuk dari sejarah yang sangat kuat. PPP dan tokohnya KH. Alwy sangat berpengaruh di masyarakat. Daerah Sampang sendiri terkenal sebagai daerah perlawanan terhadap kesewenangwenangan pemimpin otoriter. Pada pemilu 1982, Golkar belum bisa menaklukan masyarakat Sampang dengan hanya bisa meraih 9 kursi. Sedangkan PPP meraih 23 kursi. Tinggallah Sampang satu-satunya daerah yang belum berhasil diGolkarkan. Barulah pada pemilu 1992 pemerintah militer dan Golkar merealisasikan program Golkarkan Sampang. Sebaliknya PPP berjargon pertahankan sampang hidup atau mati. Namun Golkar untuk pertama kalinya menang telak pada pemilu saat itu. Bagitu pula pada pemilu 1997, Golkar menang suara setelah diwarnai pencoblosan ulang dan aksi amuk masa. Sampai rezim Orde Baru runtuh, Sampang merupakan daerah yang sulit ditaklukan.

Anda mungkin juga menyukai