Anda di halaman 1dari 15

Menurut para ahli etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara

sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atauu lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani yaitu ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan beberapa ahli tersebut ini : Drs. O.P. Simorangkir : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik Drs. Sidi Gajabla dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. Drs. H. Burhanudin salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya Menurut Kamus Besar Bhs. Indonesia (1995) Etika adalah Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat Menurut Maryani & Ludigdo (2001) Etika adalah Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi Menurut Ahmad Amin, etika adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia." Menurut Soegarda Poerbakawatja, etika adalah filsafat nilai, pengetahuan tentang nilainilai, ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya bentuk perbuatan. Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which can act as the performance index or reference for our control system".

Secara teoritis, etika mempunyai pengertian sebagai berikut : 1. Pertama, secara etimologis, etika berasal dari kata Yunani ethos (jamaknya : ta etha), yang berarti adat-istiadat atau kebiasaan. Dalam ari ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau masyarakat.

Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. 2. Kedua, etika dipahami dalam pengertian yang berbeda dengan moralitas sehingga mempunyai pengertian yang jauh lebih luas. Dalam pengertian ini, etika dimengerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situasi khusus tertentu. Etika adalah filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret. Pengertian etika (etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (costom). Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu: Susila (sangsekerta) lebih menunjukan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su) Akhlak (arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf aristoteles dalam bukunya EtikaNikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan etika, sebagai berikut: Terminius tecnicus pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. Manner dan Custom membahas tentang etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terkait dengan pengertian baik dan buruk suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.

Etika Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa Filosofi

Cabang[tampilkan] Zaman[tampilkan] Tradisi[tampilkan] Filsuf[tampilkan]

Sastra[tampilkan] Daftar[tampilkan] Portal l b s Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. [rujukan?] Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.[rujukan?] Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita.[rujukan?] Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.[1] Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.[rujukan?] Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.[rujukan?] Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi.[rujukan?] Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. [rujukan?] Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.[2] Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).[rujukan?] Daftar isi [sembunyikan]

1 Jenis Etika o 1.1 Etika Filosofis o 1.2 Etika Teologis o 1.3 Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis 2 Reference 3 Pranala luar

[sunting] Jenis Etika [sunting] Etika Filosofis Etika filosofis secara harfiah (fay overlay) dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.[rujukan?]

Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat. [rujukan?] Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:[3] 1. Non-empiris[rujukan?] Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan. 2. Praktis[rujukan?] Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu yang ada. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang apa yang harus dilakukan. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji. [sunting] Etika Teologis Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masingmasing.[rujukan?] Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.[4] Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis.[5] Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis.[rujukan?] Di dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi.[rujukan?] Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris.[6] Etika teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia.[rujukan?] Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.[7] Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.[rujukan?]

[sunting] Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis

Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika. [rujukan?] Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:[8]

Revisionisme[rujukan?]

Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.

Sintesis[rujukan?]

Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

Diaparalelisme[rujukan?]

Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar. Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis.[rujukan?] Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat.[rujukan?] Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.[9] Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya.[10] Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja.[rujukan?] Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-

pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan suatu nilai, Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar. Nilai-nilai pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang ke dua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila juga merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa indonesia sendiri sebagai asal mula (kausa materialis). Pancasila bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan. BAB II PENGERTIAN 1. Pengertian a. Etika Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandanganpandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi etika khusus yaitu etika yang membahas prinsip dalam berbagai aspek kehidupan manusia sedangkan etika umum yaitu mempertanyakan prinsipprinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia (Suseno, 1987). Menurut Kattsoff, 1986 etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia, dan juga berkaitan dengan dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. b. Nilai Nilai atau Value termasuk kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiologi, theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tyentang nilai-nilai. Istilah ini di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya keberhargaan (Worth) atau kebaikan (Goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian, (Frankena, 229). Dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences Dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yan menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. (The believed copacity of any abject to statisfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kwalitas yang melekat pada suatu obyek, bukan obyek itu sendiri.

c. Politik Pengertian politik berasal dari kosa kata Politics yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara. Yang menyangkut proses penentuan tujuantujuan daari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau Decisionmaking mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala perioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Untuk melaksanakan tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public policies. Yang menyangkut pengaturan dan pemabgian atau distributions dari suber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suatu kekuasaan (Power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat Persuasi, dan jika perlu dilakukan pemaksaan (Coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (Statement of intent) yang tidak akan pernah terwujud. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik kegiatan berbagai kelompok termasuk paratai politik, lembaga masyarakat maupu perseorangan. Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decionmaking), kebijaksanaan (policy), pembagian (allocation). (Budiardjo, 1981: 8,9) d. Etika Politik Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubunganya dengan masyarakat bangsa maupun negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang kearah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.Aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia, (Lihat suseno, 1987: 15) Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti : 1. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan negra (John Locke) 2. Kebebasan berfikir dan beragama (Locke) 3. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesque) 4. Kedaulatan rakyat (Roesseau) 5. Negara hukum demokratis/repulikan (Kant) 6. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb) 7. Keadilan sosial 2. Prinsip-prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer a. Pluralisme Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda

pandangan hidup, agama, budaya dan adat. Mengimplikasikan pengakuan terhadap kebabasan beragama, berfikir, mencari informasi dan toleransi Memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan kelompok orang Terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didiskriminasikan karna keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter klektif bangsa b. HAM Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti kemanusiaan yang adil dan beradab, karena hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakuakan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dimana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi dan sebaliknya diancam oleh Negara modern Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, meliankan karena ia manusia, jadi dari tangan pencipta Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras c. Solidaritas Bangsa Solidaritasd mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup untuk diri sendiri melaikan juga demi orang lain Solidaritas dilanggar kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran, tanggung jawab, sikap obyektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup d. Demokrasi Prinsip kedaulatan rakyat menyatakan bahwa tidak ada manusia atau sebuah elit, untuk menentukan dan memaksakan bagaimana orang lain harus atau boleh hidup Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana tujuan mereka dipimpin Demokrasi adalah kedaulatan rakyat dan keterwakilan. Jadi demokrasi memerlukan sebuah sistem penerjemah kehendak rakyat kedalam tindakan politik Dasar-dasar demokrasi Kekuasaan dijalankan atas dasar ketaatan terhadap hukum Pengakuan dan jaminan terhadap HAM. e. Keadilan Sosial Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat, Keadilan sosial mencegah dari perpecahan Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideolodis, sebagai pelaksana ide-ide, agama-agama tertentu. Keadilan adalah yang terlaksana Keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidak adilan dalam masyarakat 3. Dimensi Politik Manusia a. Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kacamata yang berbeda-beda. Paham individualismeyang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai makhluk individu yang bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa, maupun negara dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur

berdasarkan kepentingan da tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme mamandang siafat manusia sebagi manusia sosial sauja. Individu menurut paham kolekvitisme dipandang sekedar sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai masyarakat atau makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain. Manusia didalam hidupnya mampu bereksistensi kare orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam hubunganya dengan orang lain. Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sbagai makhlukindividu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara moralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan kkesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar tersebut. b. Dimensi Politis Kehidupan Manusia Dimensin politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.Dimensi ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan moral manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara. Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Jadi lemabaga negara yang memiliki kekuasaan adalah lembaga negara sebagai kehendak untuk hidup bersama (lihat Suseno :1987 :21) 4. Nilai-nilai pancasila Sebagai Sumber Etika Politik Sebagi dasar filsafah negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, malainkan juga merupakan sumber moraliatas terutama dalam hubunganya

dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa serta sila ke dua kemanusiaan yang adoil dan beradab adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum) , secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasrkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus berdasarkan legitimimasi moral religius serta moral kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Etika politik ini harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara, BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Etika politik termasuk lingkup etika sosial yang berkaiatan dengan bidang kehidupan politik, politik juga memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik negara dan menyangkut proses penentuaan tujuan dari sebuah sitem yang diikuti oleh pelaksananya, yang menyangkut kepentingan masyarakat (publikols) dan bukan tujuan pribadi. Dalam hubungan dengan etika politik pengertian politik harus dipahami dalam pengertian yang lebih luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk sesuatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara. Dalam kapasitas moral kebebasan manusia menentukan tindakan yang harus dilakukan dan yang tidak dilakukan dengan cara mengambil sikap terhadap alam dan dan masyarakat sekelilingnya untuk penyesuaian diri. Sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis sehingga segala keputusan kebijaksanaan serta arah dari tujuan harus dapat dikembalikan secara moral tertentu. 2. Saran Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi terwujud dengan adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat sebagai bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara. DAFTAR PUSTAKA Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yokyakarta, Paradigma Thamiend Nico, Tata Negara, Ghalia Indonesia, Yudhistira Suseno Franz Magnis, Titik Temu Etika Politik, 04 Mei 2008

Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus BANYAK pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara? Urgensi etika politik Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja. Kekhasan etika politik Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual,

tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya. Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif. Etika politik vs Machiavellisme

Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis). Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individuindividu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil. Institusi sosial dan keadilan prosedural Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem

politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan seseorang tidak pertamatama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah "yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir" dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga sama besarnya. Dengan demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan semua untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu

memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil). Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan keadilan? Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.

DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma, dan IAIN Sunan Kalijaga, Jogjaka

Anda mungkin juga menyukai