Anda di halaman 1dari 3

Memahami Prinsip Dasar Islam-Laa ilaaha illallah Dalam kalimat tersebut terkandung dua perkara, yaitu peniadaan (nafi’)

yaitu peniadaan (nafi’) dan pene-tapan


(itsbat). Peniadaan atas segala macam sesembahan yang diibadahi dan penetapan ibadah
hanya untuk Allah. Tidak bisa salah satunya dikatakan tauhid kecuali harus ber-sama
Pembahasan edisi kali ini dimulai dari prinsip yang paling mendasar dari ajaran Islam, yang lainnya. Artinya, peniadaan tanpa penetapan adalah atheisme sedangkan penetapan
sebagai pengingat bagi yang lupa, nasehat bagi yang lalai dan meluruskan bagi yang tanpa peniadaan adalah paga-nisme dan kesyirikan.
salah dalam memahaminya.
Inilah yang diistilahkan dengan tauhid uluhiyah atau tauhid ubudiyah dan inilah makna
Dalam rangka menjalankan perintah Allah: yang terkandung dalam kalimat tauhid
        ”     ”
” Dan tetaplah memberi peringatan, Karena Sesungguhnya Seseorang yang telah mengikrarkan tauhid uluhiyah dengan keyakinan dan amalan
peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” dengan sendirinya mereka harus beriman bahwa Allah adalah yang menciptakan dan
(Q.S adz-Dzariyat: 55) mengatur seluruh alam beserta isinya atau yang kita pahami sebagai tauhid rububiyah.
Juga meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama yang mulia serta sifat-sifat yang tinggi
Dalam sebuah hadits masyhur disebutkan: Dari Umar Radiyallahu ‘anhu , beliau yang dikenal dengan Tauhid Asma’ wa sifat. Keyakinan ini didasari berita yang
berkata: “Tatkala kami sedang duduk bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam datangnya dari al Qur-an dan lisan Rasul-Nya dalam ha-dits-hadits yang shahih.
pada suatu hari, tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang lelaki yang berpakaian sangat Beriman kepadanya merupakan ibadah kepada Allah yang terkandung dalam kalimat ” 
putih, berambut hitam legam, tidak ada pada-nya tanda-tanda selepas bepergian dan   ”
tidak ada seorangpun di antara kami yang menge-nalinya. Dia datang dan duduk Akan tetapi, seorang yang percaya bah-wa Allah adalah penguasa dan penciptanya
menghadap Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian merapatkan lututnya kepada belum tentu mereka beribadahnya hanya kepada Allah semata.
lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi Shalallahu ‘alaihi           
wassalam seraya berkata: “Wahai Muhammad terangkan kepadaku apa itu Islam?”.     
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab: Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah
”Islam itu ialah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi ke- yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka akan
cuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul (utusan) Allah dan engkau menjawab: "Semuanya diciptakan oleh yang Maha Perkasa
menegakkan shalat, menunaikan zakat, ber-puasa di bulan Ramadahan, dan menjalani lagi Maha Mengetahui". (Q.S az-Zukhruf: 9)
ibadah haji di Baitullah (al-Haram) jika engkau mampu mengadakan perjalanan
kepadanya”. (HR. Muslim juz 1 hal 133)              
Inilah dasar-dasar Islam.
”Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah
Kalimat yang pertama kali harus kita perhatikan adalah dua syahadat yang dengannya yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab:
seorang kafir menjadi muslim. Dengan demikian kalimat itu adalah kalimat yang sangat "Allah", Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
besar dan harus dipahami dengan benar. menyembah Allah )?” (Q.S az-Zukhruf: 87)
Kalimat “    ” adalah sebenar-benar ucapan dan sebaik-baik dzikir. Tidak ada satu           
makhluk pun yang tidak membutuhkan kali-mat tersebut. Kalimat ini mengandung per-             
nyataan bahwa tidak ada yang berhak dii-badahi kecuali hanya Allah saja. Konsekwen-            
sinya adalah orang yang mengikrarkan kalimat tersebut harus bertekad untuk tidak             
beribadah kepada siapapun kecuali kepada Allah. Tidak beribadah dalam bentuk apapun        
semisal berdo’a, tawakal, sujud dan ruku’, dan berkurban kecuali kepada Allah, untuk     
Allah dan dengan cara yang Allah kehendaki. Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika
kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah:
“Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah yang Empunya langit
yang tujuh dan yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: a. Menetapkan semua itu dengan lafadz dan maknanya sekaligus. karena sebagian
“Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertaqwa.” Katakanlah: ahlul bid’ah dari kalangan ahlul kalam, mu’tazi-lah dan asy’ariyah dan
“Siapakah yang ada di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedangkan sejenisnya meneri-ma lafadz-lafadznya tetapi menolak makna-nya dengan
Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu tahrif (penyimpangan makna-nya) atau tafwidh (tidak mau menerje-mahkannya
mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Kata-kanlah: “(Kalau secara dhahir dengan alasan menyerahkannya kepada-Allah). Tidak seperti
demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (Q.S Al-Mu’minun : 84-89) ahlut tahrif, mereka menerima sifat (Tangan) bagi Allah tetapi mereka
mengatakan bahwa maknanya bukan tangan tetapi kekuatan. Mereka
Sesungguhnya dalam tauhid rububiyah -pun terkandung konsekwensi tauhid uluhiyah menerima sifat  (marah) tetapi mereka mengatakan bahwa  maknanya
juga. Artinya orang yang mengerti bahwa Allah adalah penguasa, pencipta dan pemilik bukan marah tetapi berkehendak untuk membalas. Dengan kata lain ahlul
alam semesta, maka sudah seharusnya ia beribadah hanya kepada Allah, meminta dan bid’ah tersebut menerima lafadznya tetapi menyimpangkan maknanya kepada
berdoa hanya.kepadaNya. makna-makna lain yang diistilahkan oleh Ibnu Taimiyah dengan “at-tahrif”.
Pendapat mereka ini bertentangan de-ngan hikmah diturunkannya al-Qur’an
Oleh karena itu Allah mempertanyakan orang yang mengerti bahwa Allah sebagai de-ngan bahasa Arab, yaitu untuk dipahami maknanya sebagaimana Allah
penguasanya, namun ia berdo’a dan beribadah kepada selain-Nya dengan kalimat berfirman:
”maka dari jalan manakah kamu ditipu ?”              
Oleh karena itulah kalimat ”     ” lebih luas dan lebih lengkap kandungan
maknanya daripada kalimat      (“Tidak ada pen-cipta kecuali Allah” ) atau kalimat ” Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran
    (“Tidak ada penguasa kecuali Allah”). Belum dapat dikatakan masuk Islam dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”
seorang kafir musyrik yang mengatakan: “Saya percaya bahwa yang menciptakan langit (Q.S Yusuf : 2)
dan bumi adalah Allah”, sampai ia mengikrarkan bahwa “tiada yang berhak diibadahi b. Kita menetapkan nama dan sifat Allah dengan yakin bahwa
kecuali Allah” dengan yakin dan kemudian dibuk-tikan dengan amalannya. Dengan Allah tidak sama dengan makhluk-Nya.
demikian tiga macam tauhid tersebut yakni uluhiyah, rububiyah dan asma wa sifat          
adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan semuanya terkandung dalam
kalimat syahadat ” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan
”     ” yang merupakan ma’rifatullah atau pengenalan seorang hamba terhadap Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.”
Allah: (Q.S Asy-Syura’ : 11)
1. Mengenal hak-hak-Nya; yaitu hak untuk diibadahi, ditaati, dicintai dengan Maka kita harus meyakini Allah memiliki (tangan), tetapi tidak sama dengan
setinggi-tingginya cinta, berharap kepada-Nya, tangan makhluk-Nya. Kita juga meyakini bahwa Allah mempunyai sifat 
bergantung kepada-Nya, takut kepada-Nya dan sebagainya. (marah), tetapi tidak sama dengan kemarahan makhluk-Nya.
2. Mengenal rububiyah-Nya yaitu bahwa Allah-lah yang menciptakan langit dan Tidak seperti golongan lain dari ahlul bid’ah yaitu para mumatsilin yang
bu-mi serta seluruh alam semesta. Dialah yang memilikinya, yang mengaturnya mengata-kan bahwa Allah mempunyai tangan seperti kita dan memiliki sifat
dan yang berhak menakdirkan segala sesuatu yang terjadi dengan hikmah dan marah seperti kita marah. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.
keadilan-Nya. c. Tanpa menanyakan bagaimananya. Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat
3. Mengenal nama-nama, sifat-sifat dan per-buatan-Nya yakni menetapkan Allah seperti apa adanya di dalam al-Qur’an dan dalam hadits-hadits yang
dengan keimanan dan keyakinan seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang shahih tanpa menanyakan seperti apa atau bagaimana? Kita beriman dengan
Allah ke-nalkan diri-Nya dalam al-Qur’an dan yang dikenalkan oleh Rasulullah apa yang Allah beritakan kepada kita tentang diri-Nya dan kita tidak tahu apa
dalam riwayat-riwayat-yang-shahih. yang tidak diberitakan kepada kita. Karena masalah ini adalah perkara ghaib
yang tidak mungkin kita mengetahuinya kecuali sebatas apa yang diberitakan
Dalam mengenal dan mengimani nama dan sifat Allah harus dengan oleh Allah dan Rasul-Nya.
syarat-syarat sebagai berikut: Wahyu telah berhenti, Rasulullah I telah wafat, Islam telah sempurna.
Maka siapakah yang akan menjawab pertanyaan kita tentang apa yang tidak di
beritakan kepada kita oleh Allah dan Rasul-Nya ?!!!
Pertanyaan ‫كيْفَف‬. (seperti apa atau bagaimana) adalah pintu setan. Sedemikian
berbahayanya pintu takyif sampai-sampai para ulama bersikap keras kepada
mereka yang memiliki pikiran-pikiran usil dan kotor. Tercatat di antaranya
Imam Malik bin Anas, pemilik Kitab Al-Muwatha’, menunjukan rasa marahnya
saat seseorang bertanya –tepatnya mempertanyakan—bagaimana isti-wanya
Allah di atas arsy-Nya. Beliau rahimahulllah menjawab:
“al-Istiwa’ adalah bukan (kalimat) yang asing, kaifiyah (bagaimana istiwa’nya
Allah)nya adalah tidak mungkin diketahui, beriman terhadapnya adalah wajib
dan ber-tanya tentangnya adalah bid’ah. Tidaklah aku melihat engkau kecuali
orang yang sesat. Kemudian diperintahkan agar ia dikeluarkan dari majlisnya.”

Dengan demikian dalam beriman kepa-da nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita ha-rus
memenuhi syarat-syarat di atas yaitu:

1. Menerima lafadz dengan maknanya secara dhahir.


2. Tanpa tahrif (penyimpangan makna).
3. Tanpa ta’thil (penolakan sebagian maupun keseluruhan).
4. Tanpa tafwidh (tidak mau menerjemah-kannya secara dhahir dengan alasan me-
nyerahkannya kepada Allah).
5. Tanpa tasybih atau tamtsil, yaitu tidak me-nyerupakan Allah dengan makhluk-
Nya.
6. Tanpa Takyif, yaitu tidak menanyakan se-perti apa dan bagaimananya.

Anda mungkin juga menyukai