Anda di halaman 1dari 18

Oleh Arief Pujianto formatnews - Jakarta, 9/3 - Kementerian Kehutanan kini terus memanfaatkan potensi kawasan hutan nasional

sebagai pendukung sistem kehidupan untuk mendongkrak perekonomian nasional, sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat. Langkah ini ditempuh karena peran masyarakat dalam pemanfaatan potensi hutan sangat minim sejak pertama kali dieksploitasi. Mereka bahkan terpinggirkan karena pengelolaan ekonomi hutan hanya bertumpu pada usaha skala besar melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH). Sayangnya, banyak kelompok usaha besar baik swasta maupun BUMN yang masing-masing bisa menguasai izin pengelolan hutan ratusan hektare -bahkan sampai jutaan hektare -- hutan alam mengalami kebangkrutan saat diterjang krisis keuangan di pertengahan 1997, yang berujung pada krisis multidimensional. Kondisi itu kemudian diikuti oleh maraknya aksi pembalakan liar dan penjarahan yang membuat luas kawasan hutan rusak semakin berkurang. Indonesia bahkan kemudian mendapat julukan sebagai negara dengan tingkat penggundulan hutan paling cepat di dunia. Di sisi lain, 10,2 juta jiwa yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan tetap hidup dalam jerat kemiskinan, meskipun harus diakui bahwa keberadaan HPH mampu membuka keterisolasian dan sempat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di daerah terpencil. Berkaca pada rentannya sistem pengelolaan hutan pada masa lalu tersebut, kata Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, Kemenhut tidak ingin lagi hanya mengandalkan kemampuan sektor ini dari pengembangan usaha besar oleh swasta atau BUMN. Meskipun kedua badan usaha itu tetap diharapkan mampu menciptakan "trickle down effect" bagi perekonomian masyarakat. Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat yang masih miskin itu, kata Menteri,

"Kita membuka akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat sekitar hutan yang jumlahnya mencapai 48,8 juta jiwa melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa, dan Kemasyarakatan (HKm)." Dengan demikian, ujar Zulkifli, jika terjadi perubahan eksternal yang berakibat pada krisis keuangan dan berlanjut krisis multidimensial, perekonomian mereka tetap mampu bertahan dari guncangan krisis ekonomi. Untuk mendukung upaya itu, Kemenhut sampai 2010 telah mencadangkan areal HTR 631.628 hektare (ha) dengan luas izin yang sudah diberikan mencapai 90.45,89 ha untuk 22 unit izin HTR. Sementara realisasi pembangunan HKm mencapai 415.153 ha dari total areal yang diverifikasi untuk kegiatan ini seluas 400.000 ha. Sampai akhir tahun 2010, realisasi izin usaha Hkm mencapai 107 unit usaha. Sedangkan realisasi izin usaha Hutan Desa sudah seluas 113.354 ha dari total areal yang diverifikasi selas 100.000 ha. Akses permodalan Guna mendukung pengembangan ketiga jenis izin usaha di sektor kehutanan tersebut, Kemenhut juga membuka akses permodalan bagi rakyat ke sektor pembiayaan melalui Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLUP3H). "Dana yang rencananya disalurkan melalui BLUP3H mencapai Rp1.208.749.619.400 untuk areal seluas 171.674 hektare. Sampai kini, realisasi pencairan dana BLUP3H sudah mencapai Rp7.422.753.000 dan realisasi luas tanaman HTR mencapai 870 hektare," kata Sekjen Kemenhut, Hadi Daryanto. Selain membuka akses rakyat untuk memiliki izin usaha, Kemenhut juga merangkul rakyat untuk membangun Kebun Bibit Rakyat (KBR). Selama 2010-2014, pemerintah berencana membangun 48.000 unit KBR di 65.189 desa dan 7.878 kelurahan. Lokasi KBR ini mencapai 66 presen dari total jumlah desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.

Setiap KBR, menurut Menhut, pihaknya akan mendapat bantuan dana pembangunan sebesar Rp50 juta untuk memproduksi 50.000 batang bibit tanaman kehidupan atau tanaman kayu untuk memasok kebutuhan bahan baku industri. "Pemerintah selama tahun 2010 menyediakan anggaran Rp400 miliar yang berasal dari APBN-P." Dalam upaya mendukung peningkatan ekonomi rakyat ini, kata Sekjen Kemenhut, Hadi Daryanto, pemerintah berniat meng-"kloning" sistem aglomerasi yang tumbuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk dikembangkan di luar Jawa. Sistem aglomerasi ini dipilih karena mampu menciptakan divisi antardaerah dan memperpendek jarak angkutan kayu dari hulu ke industri pengolahan kayu. Melalui sistem ini, hutan sengon milik rakyat di Jawa pada 2009 sudah mampu memasok kebutuhan bahan baku kayu sengon sampai 3,2 juta meter kubik untuk industri kayu lapis dan penggergajian, serta industri biomasa "pellet" kayu untuk energi. Terciptanya kemitraan pengusaha dan rakyat dalam penanaman maupun pemasaran kayu sengon lewat sistem aglomerasi ini mampu mengangkat harkat hidup masyarakat pedesan di Jawa. Bahkan, banyak di antara petani yang menggarap peluang usaha ini kemudian mampu menjadi "haji sengon" dari hasil panenan tanaman kayu kerasnya. "Sistem aglomerasi kehutanan seperti ini yang akan didorong di luar Jawa dengan membangun koridor ekonomi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua melalui industri berbasis hutan tanaman, termasuk HTR. Ini sering dengan rencana percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi selama 2011-2015," kata Hadi Selain mengandalkan kayu, Kemenhut juga mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat sekitar hutan melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Karena itu, saat berkunjung ke Sulawesi Selatan, Menhut memberikan bantuan bagi pengembangan sutera di daerah itu dengan mengizinkan impor kokon hibrid dari China.

Selain bantuan telur ulat sutera impor, Zulkifli Hasan juga menyerahkan satu unit mesin pemintal sutera untuk masyarakat Kabupaten Wajo. Selama ini, Kabupaten Enrekang, Soppeng, Toraja, Sinjai, Sidrap, Barru, dan Bulukumba dikenal sebagai sentra produksi ulat sutera yang produksi kokonnya kemudian diserap industri pertenunan di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Di samping sutera, kawasan hutan Indonesia selama ini dikenal kaya akan plasma nutfah dan memiliki potensi yang sangat besar untuk produksi rotan, madu, dan puluhan jenis komoditas nonkayu lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Sayangnya, potensi itu belum digarap serius, termasuk industri jasa wisata alam. Dongkrak industri Untuk terus memperkuat kemampuan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan menciptakan lapangan kerja, Kemenhut berupaya menarik minat usaha swasta untuk ikut membangun dan memanfaatkan kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan. Untuk itu, kata menteri, pihaknya kini telah menyusun aturan yang menyangkut pemanfaatan jasa wisata alam di kawasan konservasi. Ini merupakan langkah antisipasi karena banyaknya investor yang tertarik mengelola kawasan wisata di hutan lindung maupun kawasan konservasi, seperti tiga investor yang tertarik membangun kereta gantung di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sampai akhir tahuan lalu, menurut data Kemehut, investasi pengusahaan pariwisata alam di taman nasional, taman hutan rakyat, dan taman wisata alam sudah mencapai Rp159 miliar, sedangkan investasi untuk pemanfaatan jenis tanaman dan satwa liar mencapai Rp47,5 miliar. Terkait dengan pemanfaatan kawasan konservasi ini, Kemenhut sejak 2009 juga telah membuka peluang investasi melalui IUPHHK Restorasi Ekosistem yang realisasinya sudah mencapai 227.602 dolar AS.

Selain itu, Menhut dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa penghentian izin baru di kawasan hutan primer dan lahan gambut, seiring kebijakan moratorium dalam LoI Indonesia-Norwegia, tidak akan menghambat investasi sektor kehutanan. Apalagi, sampai saat ini masih ada sekitar 45 juta hektare kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan usaha kehutanan. Dari luas kawasan hutan nasional sekitar 132 juta hektare, menurut data Kemehut, kawasan yang sudah dieksploitasi mencapai sekitar 90 juta hektare. Dari luas kawasan yang sudah dimanfaatkan tersebut ada sekitar 42 juta hektare yang kondisinya masih bagus dan sekitar 45 juta hektare yang sudah tidak berhutan. "Kawasan tidak berhutan ini yang diprioritaskan untuk untuk ditata dan dimanfaatkan. Yang penting, distribusinya juga sampai ke rakyat biar adil," ujarnya. Dikatakanya, sudah banyak investor yang meminta areal untuk pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI). Kemenhut sendiri sampai 2010 lebih fokus pada investasi industri perkayuan yang berbasis hutan tanaman, termasuk kayu dari hutan rakyat. Investasi industri primer kehutanan dengan kapasitas di atas 6.000 meter kubik ini diperkirakan mencapai Rp23,6 triliun dengan serapan tenaga kerja mencapai 254.994 orang. Dari investasi yang sudah dilakukan, menurut data Kemenhut tersebut, ekspor industri kayu olahan nasional pada 2010 tercatat 2,77 juta meter kubik dengan nilai 1,5 miliar dolar AS, naik beberapa point jika dibandingkan pada volume ekspor 2009 sebesar 2,72 juta mter kubik dengan nilai ekspor 1,3 miliar dolar. Meski nilai ekspor itu masih sangat jauh dibandingkan masa kejayaan sektor industri primer kehutanan beberapa dekade lalu yang bisa mencapai 4,5 miliar dolar, namun dengan kebijakan yang produnia usaha serta penetrasi pasar yang tepat dan berkesinambungan, bukan tidak mungkin sektor ini bisa

kembali diperhitungkan walaupun harus melawan Malaysia dan China yang kini menguasai pasar kayu internasional. Copyright ANTARA foto: MANFAATKAN KAYU HUTAN. Dua warga memotong kayu yang terbawa banjir di Dusun Cempaka, Pakis, Panti, Jember, Jatim, Senin (7/3). Sejumlah warga Desa Pakis, yang terkena banjir lumpur tersebut memanfaatkan kayu gelondongan yang terbawa banjir untuk dijadikan kayu bakar. FOTO ANTARA/Seno S./Koz/Spt/11Oleh Arief Pujianto formatnews - Jakarta, 9/3 - Kementerian Kehutanan kini terus memanfaatkan potensi kawasan hutan nasional sebagai pendukung sistem kehidupan untuk mendongkrak perekonomian nasional, sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat. Langkah ini ditempuh karena peran masyarakat dalam pemanfaatan potensi hutan sangat minim sejak pertama kali dieksploitasi. Mereka bahkan terpinggirkan karena pengelolaan ekonomi hutan hanya bertumpu pada usaha skala besar melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH). Sayangnya, banyak kelompok usaha besar baik swasta maupun BUMN yang masing-masing bisa menguasai izin pengelolan hutan ratusan hektare -bahkan sampai jutaan hektare -- hutan alam mengalami kebangkrutan saat diterjang krisis keuangan di pertengahan 1997, yang berujung pada krisis multidimensional. Kondisi itu kemudian diikuti oleh maraknya aksi pembalakan liar dan penjarahan yang membuat luas kawasan hutan rusak semakin berkurang. Indonesia bahkan kemudian mendapat julukan sebagai negara dengan tingkat penggundulan hutan paling cepat di dunia. Di sisi lain, 10,2 juta jiwa yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan tetap hidup dalam jerat kemiskinan, meskipun harus diakui bahwa keberadaan HPH mampu membuka keterisolasian dan sempat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di daerah terpencil.

Berkaca pada rentannya sistem pengelolaan hutan pada masa lalu tersebut, kata Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, Kemenhut tidak ingin lagi hanya mengandalkan kemampuan sektor ini dari pengembangan usaha besar oleh swasta atau BUMN. Meskipun kedua badan usaha itu tetap diharapkan mampu menciptakan "trickle down effect" bagi perekonomian masyarakat. Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat yang masih miskin itu, kata Menteri, "Kita membuka akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat sekitar hutan yang jumlahnya mencapai 48,8 juta jiwa melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa, dan Kemasyarakatan (HKm)." Dengan demikian, ujar Zulkifli, jika terjadi perubahan eksternal yang berakibat pada krisis keuangan dan berlanjut krisis multidimensial, perekonomian mereka tetap mampu bertahan dari guncangan krisis ekonomi. Untuk mendukung upaya itu, Kemenhut sampai 2010 telah mencadangkan areal HTR 631.628 hektare (ha) dengan luas izin yang sudah diberikan mencapai 90.45,89 ha untuk 22 unit izin HTR. Sementara realisasi pembangunan HKm mencapai 415.153 ha dari total areal yang diverifikasi untuk kegiatan ini seluas 400.000 ha. Sampai akhir tahun 2010, realisasi izin usaha Hkm mencapai 107 unit usaha. Sedangkan realisasi izin usaha Hutan Desa sudah seluas 113.354 ha dari total areal yang diverifikasi selas 100.000 ha. Akses permodalan Guna mendukung pengembangan ketiga jenis izin usaha di sektor kehutanan tersebut, Kemenhut juga membuka akses permodalan bagi rakyat ke sektor pembiayaan melalui Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLUP3H). "Dana yang rencananya disalurkan melalui BLUP3H mencapai Rp1.208.749.619.400 untuk areal seluas 171.674 hektare. Sampai kini, realisasi pencairan dana BLUP3H sudah mencapai Rp7.422.753.000 dan

realisasi luas tanaman HTR mencapai 870 hektare," kata Sekjen Kemenhut, Hadi Daryanto. Selain membuka akses rakyat untuk memiliki izin usaha, Kemenhut juga merangkul rakyat untuk membangun Kebun Bibit Rakyat (KBR). Selama 2010-2014, pemerintah berencana membangun 48.000 unit KBR di 65.189 desa dan 7.878 kelurahan. Lokasi KBR ini mencapai 66 presen dari total jumlah desa dan kelurahan di seluruh Indonesia. Setiap KBR, menurut Menhut, pihaknya akan mendapat bantuan dana pembangunan sebesar Rp50 juta untuk memproduksi 50.000 batang bibit tanaman kehidupan atau tanaman kayu untuk memasok kebutuhan bahan baku industri. "Pemerintah selama tahun 2010 menyediakan anggaran Rp400 miliar yang berasal dari APBN-P." Dalam upaya mendukung peningkatan ekonomi rakyat ini, kata Sekjen Kemenhut, Hadi Daryanto, pemerintah berniat meng-"kloning" sistem aglomerasi yang tumbuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk dikembangkan di luar Jawa. Sistem aglomerasi ini dipilih karena mampu menciptakan divisi antardaerah dan memperpendek jarak angkutan kayu dari hulu ke industri pengolahan kayu. Melalui sistem ini, hutan sengon milik rakyat di Jawa pada 2009 sudah mampu memasok kebutuhan bahan baku kayu sengon sampai 3,2 juta meter kubik untuk industri kayu lapis dan penggergajian, serta industri biomasa "pellet" kayu untuk energi. Terciptanya kemitraan pengusaha dan rakyat dalam penanaman maupun pemasaran kayu sengon lewat sistem aglomerasi ini mampu mengangkat harkat hidup masyarakat pedesan di Jawa. Bahkan, banyak di antara petani yang menggarap peluang usaha ini kemudian mampu menjadi "haji sengon" dari hasil panenan tanaman kayu kerasnya. "Sistem aglomerasi kehutanan seperti ini yang akan didorong di luar Jawa dengan membangun koridor ekonomi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua melalui industri berbasis hutan tanaman, termasuk HTR. Ini sering

dengan rencana percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi selama 2011-2015," kata Hadi Selain mengandalkan kayu, Kemenhut juga mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat sekitar hutan melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Karena itu, saat berkunjung ke Sulawesi Selatan, Menhut memberikan bantuan bagi pengembangan sutera di daerah itu dengan mengizinkan impor kokon hibrid dari China. Selain bantuan telur ulat sutera impor, Zulkifli Hasan juga menyerahkan satu unit mesin pemintal sutera untuk masyarakat Kabupaten Wajo. Selama ini, Kabupaten Enrekang, Soppeng, Toraja, Sinjai, Sidrap, Barru, dan Bulukumba dikenal sebagai sentra produksi ulat sutera yang produksi kokonnya kemudian diserap industri pertenunan di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Di samping sutera, kawasan hutan Indonesia selama ini dikenal kaya akan plasma nutfah dan memiliki potensi yang sangat besar untuk produksi rotan, madu, dan puluhan jenis komoditas nonkayu lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Sayangnya, potensi itu belum digarap serius, termasuk industri jasa wisata alam. Dongkrak industri Untuk terus memperkuat kemampuan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan menciptakan lapangan kerja, Kemenhut berupaya menarik minat usaha swasta untuk ikut membangun dan memanfaatkan kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan. Untuk itu, kata menteri, pihaknya kini telah menyusun aturan yang menyangkut pemanfaatan jasa wisata alam di kawasan konservasi. Ini merupakan langkah antisipasi karena banyaknya investor yang tertarik mengelola kawasan wisata di hutan lindung maupun kawasan konservasi, seperti tiga investor yang tertarik membangun kereta gantung di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sampai akhir tahuan lalu, menurut data Kemehut, investasi pengusahaan

pariwisata alam di taman nasional, taman hutan rakyat, dan taman wisata alam sudah mencapai Rp159 miliar, sedangkan investasi untuk pemanfaatan jenis tanaman dan satwa liar mencapai Rp47,5 miliar. Terkait dengan pemanfaatan kawasan konservasi ini, Kemenhut sejak 2009 juga telah membuka peluang investasi melalui IUPHHK Restorasi Ekosistem yang realisasinya sudah mencapai 227.602 dolar AS. Selain itu, Menhut dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa penghentian izin baru di kawasan hutan primer dan lahan gambut, seiring kebijakan moratorium dalam LoI Indonesia-Norwegia, tidak akan menghambat investasi sektor kehutanan. Apalagi, sampai saat ini masih ada sekitar 45 juta hektare kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan usaha kehutanan. Dari luas kawasan hutan nasional sekitar 132 juta hektare, menurut data Kemehut, kawasan yang sudah dieksploitasi mencapai sekitar 90 juta hektare. Dari luas kawasan yang sudah dimanfaatkan tersebut ada sekitar 42 juta hektare yang kondisinya masih bagus dan sekitar 45 juta hektare yang sudah tidak berhutan. "Kawasan tidak berhutan ini yang diprioritaskan untuk untuk ditata dan dimanfaatkan. Yang penting, distribusinya juga sampai ke rakyat biar adil," ujarnya. Dikatakanya, sudah banyak investor yang meminta areal untuk pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI). Kemenhut sendiri sampai 2010 lebih fokus pada investasi industri perkayuan yang berbasis hutan tanaman, termasuk kayu dari hutan rakyat. Investasi industri primer kehutanan dengan kapasitas di atas 6.000 meter kubik ini diperkirakan mencapai Rp23,6 triliun dengan serapan tenaga kerja mencapai 254.994 orang. Dari investasi yang sudah dilakukan, menurut data Kemenhut tersebut, ekspor industri kayu olahan nasional pada 2010 tercatat 2,77 juta meter kubik

dengan nilai 1,5 miliar dolar AS, naik beberapa point jika dibandingkan pada volume ekspor 2009 sebesar 2,72 juta mter kubik dengan nilai ekspor 1,3 miliar dolar. Meski nilai ekspor itu masih sangat jauh dibandingkan masa kejayaan sektor industri primer kehutanan beberapa dekade lalu yang bisa mencapai 4,5 miliar dolar, namun dengan kebijakan yang produnia usaha serta penetrasi pasar yang tepat dan berkesinambungan, bukan tidak mungkin sektor ini bisa kembali diperhitungkan walaupun harus melawan Malaysia dan China yang kini menguasai pasar kayu internasional. Copyright ANTARA foto: MANFAATKAN KAYU HUTAN. Dua warga memotong kayu yang terbawa banjir di Dusun Cempaka, Pakis, Panti, Jember, Jatim, Senin (7/3). Sejumlah warga Desa Pakis, yang terkena banjir lumpur tersebut memanfaatkan kayu gelondongan yang terbawa banjir untuk dijadikan kayu bakar. FOTO ANTARA/Seno S./Koz/Spt/11

Dari Link: http://www.formatnews.com/?act=view&newsid=3348&cat=57

Pertumbuhan ekonomi dewasa ini merupakan sesuatu yang mendasar dalam ekonomi kapitalis, betapa tidak! semua negara yang menerapkan ekonomi kapitalis berorientasi pada pertumbuhan ekonomi termasuk salah satu diantaranya Indonesia. Pertumbuhan ekonomi menjadi prinsip dasar politik ekonomi kapitalis. Pemerintah akan merasa bangga apabila pencapain pertumbuhan ekonomi mencapai target yang di tetapkan, hal ini karena mereka pikir dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka secara tidak langsung akan meningkatkan perekonomian masyarakat, atau dengan kata lain dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tercipta apa yang di sebut kesejahteran, sebagai indikatornya pengangguran berkurang dan kemiskinan berkurang. namun betulkah itu yang terjadi saat ini! Menarik jika kita menyimak pernyataan menteri perekonomian Hattarajasa yang di kutif oleh Rizal Ramli seorang pengamat ekonomi dari ECONIT. bahwa pemerintahan 2010 merasa bangga karena pencapain pertubuhan ekonomi tahun 2010 telah mencapai target yakni 6 % (metro tv/1/1/11). yang jadi pertanyaan bagi kita seharusnya apakah pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebesar 6% tersebut berdampak langsung terhadap kesejahteran rakyat? Banyak pakar ekonomi menyangsikan terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini. Mereka berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini justru bukan dipengaruhi oleh hasil produksi dalam negeri yang tinggi bukan pula dari kinerja ekspor Indonesia yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi saat ini dipengaruhi oleh tingkat konsumsi masyarakat kelas menengah dalam membeli otomotif seperti kendaraan. kedua, Hot money atau investasi asing dalam bentuk portopolio (metro tv 1/1/11). Jadi inilah indicator pertumbuhan tinggi di Indonesia tahun 2010. yaitu tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi dan hot money dari para investasi asing. Jika kita telaah lebih lanjut sebetulnya hal ini tidak baik bagi perekonomian Indonesia karena secara tidak langsung telah mendidik masyarakat Indonesia menjadi masyarakat konsumtif. Terkait hot money inilah yang perlu untuk di kritisi, karena hot money berbahaya bagi perekonomian Indonesia. Mengapa? karena hot money ini suatu saat bisa keluar dari Indonesia dan akan merontokan perekonomian bangsa ini. Ini persis dengan kajadian tahun 1998 yang menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia yaitu keluarnya hot money dari Indonesia. Dengan kata lain pertumbuhan yang diciptakan merupakan boble ekonomi yang suatu saat akan pencah dan menimbulkan krisis yang sangat besar. Sayangnya bangsa ini tidak belajar dari pengalaman krisis tahun 1998. Oleh karena itu sebutulnya pertumbuhan ekonomi saat ini merupakan pertumbuhan semu yang tidak ada korelasinya terhadap kesejahteraan masyarakat. Jika memang benar pertumbuhan ekonomi itu tinggi, maka sejatinya pengangguran dan kemiskinan akan berkurang dan kesejahteran masyarakat meningkat. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia benar tinggi, maka tidak akan ada TKW yang bekerja di Arab dan Malaysia ungkap Efendi Ghazali dalam tv one. Artinya memang benar bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini tidak ada pengaruhnya terhadap rakyat. Ini terlihat dari kemiskinan yang meningkat sangat signifikan pada tahun 2010 yaitu dari 12,4 juta menjadi 43,4 juta penduduk miskin dari total penduduk sebesar 234 juta(Pikiran Rakyat, 13/12/2010). Tabel pertumbuhan ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia 2001-2009 Tahun PDB Riil Tingkat Pertumbuhan Persentase Pendudu (Milyar Rupiah) (%) Kota Desa 2001 1.442.984,6 3,83 9,76 2002 1.506.124,4 4,38 14,46 2003 1.577.171,3 4,72 13,57 2004 1.656.525,7 5,03 12,13 2005 1.750.815,2 5,69 11,37 2006 1.847.126,7 5,5 13,47 2007 1.963.091,8 6,28 12,52 2008 2.082.100,00 6.1 11,65 2009 2.177.000,00 4.5 10,71 Sumber: BPS (1994; 2001; 2009)

Miskin (%) Penduduk Miskin (juta) Jumlah Kota Desa Jumlah 24,95 18,41 8,60 29,30 37,90 21,10 18,20 13,30 25,10 38,40 20,23 17,42 12,20 25,10 37,30 20,11 16,66 11,40 24,80 36,20 19,51 15,97 12,40 22,70 35,10 21,81 17,75 14,49 24,80 39,29 20,37 16,58 13,56 23,61 37,17 18,93 15,42 12,77 22,20 34,97 17,35 14,15 11,91 20,62 32,53

Kita dapat melihat dari data BPS (1994; 2001; 2009) bahwa terjadi gap antara pertumbuhan ekonomi dengan kemisknan. artinya disatu sisi pertumbuhan ekonomi naik tetapi kemiskinan pun ikut naik. Dengan demikian menarik untuk disimak pernyataan Neti Budiawati dosen ekonomi Universitas Pendidikan Indonesia, bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi saat ini tidak ada korelasinya terhadap kesejahteraan masyarakat. Lebih baik pertumbuhan ekonomi tinggi tapi pengangguran dan kemiskinan juga tetap tinggi atau pertumbuhan ekonomi rendah tapi kesejahteraan masyarakat meningkat. Tentu kita sebagai orang yang waras lebih memilih kesejahteraan masyarakat yang tinggi di bandingkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. apa artinya pertumbuhan ekonomi tinggi jika masyarakatnya tetap miskin dan pengangguran

tetap bertambah. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi menjadi prisip dasar politik ekonomi (baca: Kapitalisme) yang diterapkan di Indonesia, di mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan tujuan sekaligus solusi berbagai macam permasalahan perekonomian nasional, seperti kemiskinan dan pengangguran. Dalam konteks yang lebih luas pembangunan dikatakan berhasil bila pemerintah dapat membawa perekonomian Indonesia pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagaimana yang pernah dicapai Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi sejak tahun 1997 dan saat ini. Sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang rendah atau stagnan, dianggap sebagai kegagalan pemerintah ekonomi dalam mengatur kebijakan ekonominya. Di atas prinsip mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ditegakkan pula prinsip kebijakan fiskal yang bersahabat dengan pasar (market friendly) atau bersahabat dengan para investor (investors friendly). Dengan prinsip ini, jika terjadi benturan kepentingan antara public interest dengan investor interest dalam kebijakan fiskal, maka pemerintah akan memenangkan kalangan investor. Seperti yang tersirat dari pemikiran Boediono, bahwa kebijakan fiskal harus dilakukan secara berhati-hati dan dengan pertimbangan yang matang akan dampaknya terhadap kepercayaan para investor. Jangan sampai kebijakan fiskal yang dipilih berakibat pada melemahnya kepercayaan pasar walaupun baru sekedar mengagetkan mereka saja. Dalam pandangan an-Nabhani, bahwa pertumbuhan ekonomi dijadikan prinsip dasar adalah keliru dan tidak sesuai dengan realitas, serta tidak akan menyebabkan meningkatnya taraf hidup dan kemakmuran bagi setiap individu secara menyeluruh. Politik ekonomi pemerintah ini menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia secara kolektif yang dicerminkan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Akibatnya pemecahan permasalahan ekonomi terfokus pada barang dan jasa yang dapat dihasilkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bukan pada individu manusianya. Sehingga pembahasan ekonomi yang krusial untuk dipecahkan terfokus pada masalah peningkatan produksi. Agar hal tersebut tercapai, aturan main (hukum) dan kebijakan yang diterapkan negara harus akomodir terhadap para pelaku ekonomi yang menjadi lokomotif pertumbuhan, yakni para pemilik modal (investor). Konsekuensinya, meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi distribusi pendapatan menjadi sangat timpang sebab sebagian kekayaan nasional memusat di tangan segelintir orang saja (para pemilik modal). Menurut Capra, pertumbuhan ekonomi yang tinggi mendorong peningkatan pendapatan golongan kaya dan menyebabkan kesenjangan semakin lebar. Inilah yang dikatakan an-Nahbani bahwa distribusi pendapatan di negara yang menerapkan ekonomi Kapitalis didasarkan pada kebebasan kepemilikan, sehingga yang menang adalah yang kuat, yakni para investor. Oleh karena itu, jika pemerintah benar-benar ingin meminimalisir kemiskinan dan meingkatkan kesejahteraan masyarakat maka tolak ukur pertumbuhan ekonomi bukanlah indikatornya, melainkan kesejahteraan individulah yang menjadi indikatornya. karena belum tentu pertumbuhan ekonomi tinggi masyarakatnya sejahtera (seperti kondisi saat ini). Dengan demikian orietasi pada pertumbuhan ekonomi sudah tidak tepat dijadikan prinsip dasar pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (Oleh Julian, Direktur Pembinaan dan Pengkaderan Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam FPEB Universitas Pendidikan Indonesia dan Aktivis BKLDK JABAR) Daftar Pustaka: 1. an Nabhani.2009. Sistem Ekonomi Alternatif. Al Azhar Press. Bogor 2. Yusanto, Ismail.2009. Pengantar Sistem Islam. Al Azhar Press. Bogor 3. Laporan tahunan BPS

http://www.dakwahkampus.com/pemikiran/ekonomi/1429-pertumbuhan-ekonomi-vskesejahteraan-ekonomi.html
Dari link:

Membangun Ekonomi Untuk Kesejahteraan Rakyat


SENIN, 26 JULI 2010 13:43 ADMINISTRATOR

Oleh : Adam Rumbaru Peningkatan kesejahteraan rakyat akan dicerminkan dalam meningkatnya pendapatan masyarakat dari waktu-waktu, dan itu tidak akan diindikasikan dengan tingkat upah dan gaji serta tingkat tabungan masyarakat. Membangun kesejahteraan rakyat perlu dibangun ekonomi secara baik. Pembangunan ekonomi yang baik menurut saya adalah pembangunan ekonomi yang memiliki pertumbuhan yang tinggi dan berkualitas, resistensi terhadap goncangan dan terdistribusikan secara adil. Namun demikian kesejahteraan rakyat mengharuskan berkembangnya rasa aman. Kesejahteraan juga tidak mungkin tanpa berkembangnya rasa keadilan. Perwujudan penegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekayaan diantara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan rejeki. Dalam masyarakat yang tidak adil, maka kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukan perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental, namun dalam kemiskinan masyarakat dan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah mereka yang berpaham kapitalis. Dengan adanya kapitalisme itu, seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya dari kemiskinan. Untuk itu perlu diberantaskan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat. Pembangunan ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana yang terdapat pada ekonomi Islam. Sistem ekonomi ini bertolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari Syariat Islam. Ekonomi Islam tidak hanya bertujuan memenuhi kebutuhan duniawi, tetapi juga bagaimana mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak. Tujuan ini disebut dengan Falah, yakni kesuksesan, kemuliaan atau kemenangan. Dalam konsep falah, akhirat merupakan kehidupan yang diyakini nyatanyata ada, dan akan terjadi, dan memiliki nilai kuantitas dan kualitas yang lebih berharga dibandingkan dunia. Kehidupan dunia akan berakhir dengan kematian atau kemusnahan, sedangkan kehidupan akhirat bersifat kekal dan abadi. Dalam ekonomi Islam, konsep Resource Based Ekonomy menjadi konsekuensi logis dalam aktivitas produksi. Hal ini diperlukan untuk keberlangsungan generasi selanjutnya, sehingga orientasinya lebih berjangka panjang.Impilikasi kongkrit dari aktivitas ini adalah konsep pembangunan yang berkesinambungan. Sejalan dengan itu perlu adanya menciptakan pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Pembangunan ekonomi ke depan harus disusun berdasarkan sekuen dan prioritas, yakni sebagai berikut: Pertama, memenuhi prakondisi untuk mengakselarasi pergerakan sektor riil. Kedua, memberikan stimulus fiskal dengan tetap memperhatikan keberlanjutan fiskal, untuk mempercepat pergerakan ekonomi. Ketiga, meningkatkan stabilitas makro dan moneter. Stabilitas makro dan meliter merupakan

syarat keharusan untuk pembangunan ekonomi Inndonesia. Stabilitas makro memberikan harapan tumbuh dan berkembangnya ekonomi, sehingga dapat mendorong perbaikan kinerja sektor riil. Bersama dengan perbaikan iklan usaha, kondisi iklim makro yang stabil akan meningkatkan minat dan keyakinan investor untuk menanamkan modalnya. Keempat, penyehatan dan peningkatan efisiensi sektor perbankan dan penguatan pasar modal. Sektor perbankan yang sehat merupakan faktor penting untuk meningkatkan pertumbuhan. Namun, penyehatan perbankan tidak boleh berhenti pada upaya restrukturisasi. Upaya tersebut akan dilanjutkan pada peningkatan fungsi intermediasi perbankan, yang pada gilirannya dapat mendorong kinerja sektor riil.

Penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Barisan Insan Muda (DPP. BIMA)

Dari link: http://www.indowarta.com/index.php? option=com_content&view=article&id=9330:membangun-ekonomi-untukkesejahteraan-rakyat-

Pertumbuhan Naik, Kesejahteraan tak Ikut Naik


Selasa, 08 Pebruari 2011 09:05 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Di luar dugaan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2010 mampu mencapai 6,1 persen alias di atas target yang ditetapkan dalam APBN Perubahan sebesar 5,8 persen. Adalah Badan Pusat Statistik (BPS) yang merilis angka pertumbuhan ekonomi tersebut, Senin (7/2).

Tentu ini menjadi kabar baik bagi pemerintah yang selama ini menganggap pertumbuhan ekonomi merupakan pertanda bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Apakah kesejahteraan rakyat benar-benar ikut terkerek? Berikut wawancara Republika dengan pengamat ekonomi dari The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip: Pengaruh dari pertumbuhan ekonomi? Setiap ada pertumbuhan ekonomi, dorongan konsumsi naik, demand naik, supply naik. Penambahan pasokan akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan jam kerja. Tapi, ada gap tambahan tingkat kesejahteraan yang diperoleh kalangan menengah ke bawah dengan menengah ke atas. Kalau kalangan menengah ke bawah ada peningkatan atau tamabahan, tapi tidak signifikan. Implikasi pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat ? Harus dibedakan kriteria penetapan kemiskinan dengan achievement di bidang pertumbuhan ekonomi. Karena pertumbuhan ekonomi itu didorong oleh gross revenue atau pendapatan kotor. Pendapatan kotor itu diperoleh berdasarkan perhitungan dari output komponen ekonomi mikro sampai besar. PDB kita itu mayoritas disumbang oleh pengusaha besar. Walaupun jumlahnya kurang dari 5 persen, tapi mereka menyumbangkan PDB lebih dari 75 persen. Maka PDB kita naik, besar dari sisi itu. Itu yang membentuk PDB kita. PDB tidak melihat apakah ini sumbangan dari pelaku ekonomi kecil atau besar, yang dilihat adalah akumulasi dari pertumbuhan itu. Karena struktur ekonomi kita seperti itu maka akan muncul semacam kontradiktif. Pertumbuhan ekonomi naik, tapi kesejahteraan tidak naik. Karena penyumbang PDB itu adalah pelaku eknomi yang jumlahnya kecil itu. Itu yang menyebabkan selalu ada dikotomi, pertumbuhan ekonomi 6,1 persen tidak sejalan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Ada gap itu. Pendapatan per kapita kita 300 dolar AS. Siapa yang membentuk 300 dolar AS itu sebagaian besar itu dibentuk oleh sebagaian kecil kelompok pelaku ekonomi yang 5 persen itu. Pendapatan mereka lebih dari 10.000 dolar AS. Selama struktur ekonomi kita timpang antar pelaku ekonomi maka akan selalu muncul dikotomi bahwa perumbuhan ekonomi tidak mencerminkan kesejahteraan.

Jika pertumbuhan ekonomi itu benar membawa angin segar, sebenarnya kalangan mana yang merasakan angin tersebut? Pertumbuhan 6,1 persen itu mencerminkan daya beli sekelompok masyarakat yang kemudian ditunjukan berapa tingkat PDB per kapita masyarakat. Angin segarnya buat pelaku ekonomi yang membidik konsumen yang berpendapatan menengah ke atas. Ini di dalami oleh orang-orang marketing, orang marketing itu akan masuk ke segmen-segmen masyarakat. Dia akan jual produknya pada kelompok masyarakat dengan pendapatan per kapita lebih dari 300 dolar AS. Kelompok masyarakat itu lumayan banyak di Indonesia, terutama di kota besar. Tidak mengherankan pertumbuhan ekonomi disumbang faktor konsumsi. Barang-barang konsumsi itu contoh elektronik, makanan, kendaraan bermotor, itu hanya menyangkut kelompok menengah ke atas. Ada kelompok kecil, tapi punya kemampuan daya beli yang luar biasa di perkotaan. Karena daya belinya besar, dia akan punya kemampuan beli, itu yang kemudian mendorong konsumsi kita. Lalu bagaimana nasib kalangan yang lain, terutama kalangan menengah ke bawah ? Sebenarnya kalau dibilang tidak ada pengaruhnya tidak tepat juga. Harus diakui juga by definition angka kemiskinan dan angka pengangguran turun sekarang. Tetapi kalau bicara definisi bagaimana miskin di Indonesia ini, yang kita agak prihatin karena ukuran miskin di Indonesia kira-kira konsumsi kurang dari Rp 200 ribu per bulan. Bayangkan Rp 200 ribu itu bisa apa. Tidak miskin kalau bisa mendapatkan segitu. Bagaimana caranya agar pertumbuhan tersebut dapat dirasakan masyarakat kelas bawah? Perubahan. Bagaimana caranya kita mengubah struktur ekonomi, menggeser. Membuat pelaku ekenomi kecil menenngah punya kontribusi besar. Kalau jumlah pelaku usaha kelompok kecil dan menengah itu 99 persen. Data itu menurut kantor kementerian. Satu persen itu pengusaha besar. Sekarang bagaimana caranya kita menaikan kontribusi yang 99 persen itu meningkat. Kalau sudah kita lakukan, otomatis akan banyak orang-orang yang pendapatannya menengah ke bawah itu punya kesejahteraan lebih bagus. Sebagai contoh caranya, usaha kecil itu kendalanya cuma dua. Pertama marketing, kedua financing. Jadi kalau kita mau bicara bagaimana menaikkan skala usaha mereka, pemerintah harus menjadi semacam konsultannya. Dia bisa menjadi mediator membantu mencari akses ke pasar. Bagaimana dia bisa mendapakan akses pembiayaan yang mudah dan murah. Pemerintah kasih pancingnya, misalnya subsisdi bunga, atau program KUR (Kredit Usaha Rakyat). KUR itu bagus, Sekarang tinggal bagaimana penetrasinya. Subsidinya juga harus benar-benar. Terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi itu, efek apa yang paling terlihat? Yang jelas begini, 6,1 persen itu, di mata orang investor, menunjukkan ekonomi kita stabil. Itu nanti akan mendorong lembaga rating kita akan menurunkan sovereign risk kita dan sovereign ratingnya naik. Rating investment grade akan masuk ke

2011. Selama ini posisi kita 2 level di bawah investment grade. Investasi asing baik jangka menengah, pendek, atau panjang akan masuk ke Indonesia. Penerbitan surat utang terutama oleh pemerintah itu akan turun. Ini punya impact. Jangan dianggap remeh juga, karena itu punya impact makro yang bagus. Indonesia dianggap punya fundamental kuat, kinerja stabil. Investor akan masuk dan mampu menurunkan harga surat hutang.
Redaktur: Johar Arif Reporter: Rosyid Nurul Hakim

Dari link: http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/11/02/08/162923-

pertumbuhan-naik-kesejahteraan-tak-ikut-naik

Anda mungkin juga menyukai