Anda di halaman 1dari 2

Teladan Ibnu Taimiyah dan Wasiat Imam Malik

Jika ia telah menetapkan suatu kebenaran, ia tetap nyatakan kebenaran, apapun yang terjadi.
Walaupun harus berbeda dengan pendapat umum, juga pendapat penguasa. Akhir-akhir ini
ummat Islam telah kehilangan panutan. Ada semacam krisis keteladanan. Ulama yang
semestinya menjadi tokoh idola, teladan dan panutan ummat ternyata banyak yang
mengecewakan.

Ujian terberat bagi ulama adalah istiqamah dalam sikap dan pendirian. Pada ujian ini tidak
sedikit ulama yang berguguran. Mereka tidak kuat memegang teguh prinsip, mudah mengalah
atau dikalahkan. Ada yang kalah karena tergiur iming-iming duniawi, ada pula yang dikalahkan
oleh ancaman dan siksaan. Ibnu Taimiyah termasuk sedikit di antara ulama yang istiqamah
memegang prinsip. Jika ia telah menetapkan suatu kebenaran, ia tetap nyatakan kebenaran,
apapun yang terjadi. Walaupun harus berbeda dengan pendapat umum, apalagi berbeda
dengan pendapat penguasa. Ibnu Taimiyah tak hirau soal ini. Akibat keteguhannya dalam
memegang prinsip, ia harus keluar masuk tahanan.

Sampai akhir hayatnya ia tetap dalam posisinya seperti itu. Berkali-kali ia diisolir, berkali-
kali diintimidasi, tapi ia tak goyah untuk mempertahankan pendiriannya yang diyakini
kebenarannya. Tak sejengkalpun ia mundur. Dari lisan Ibnu Taimiyah akhirnya muncul kata-
kata mutiara: "Penjara ku adalah berkhalwat, pembuanganku adalah tempat hijrahku, dan
pembunuhanku adalah syahid." Di setiap masa selalu saja kita jumpai ulama yang teguh
pendirian seperti ini. Mereka adalah Ulama-ulama yang patut diteladani. Sayang, jumlah
mereka terlalu sedikit jika dibandingkan dengan ulama yang suka menjual diri. Untuk menjadi
panutan, seorang ulama tidak cukup hanya mengandalkan ilmunya. Kedalaman dan keluasan
ilmu agama memang menjadi syarat mutlak, tapi tanpa moralitas yang tinggi, seorang ulama
menjadi tidak berarti. Ulama menghiasi ilmunya dengan ketaqwaan, keikhlasan, kejujuran, dan
keadilan.

Imam Malik pernah ditanya tentang seorang 'alim atau ulama. Ia menjawab, "Seorang yang
'alim tidak dikatakan 'alim sampai ia dapat mengamalkan secara khusus untuk dirinya suatu
amalan yang tidak diwajibkan kepada manusia, dan ia tidak memberikan fatwa kepada orang
lain tentang amalannya itu yang sekiranya ditinggalkan tidak berdosa." Kebanyakan ulama
sekarang sempurna ketika berpidato. Isi ceramahnya tidak ada yang cacat. Semua berisi
kebaikan dan anjuran untuk berbuat baik.

Akan tetapi jika sudah pada taraf pelaksanaan, justru sebagian dari mereka sendiri yang
tidak mengamalkannya. Karena itulah Allah Swt memperingatkan: "Mengapa kamu suruh orang
lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri padahal kamu
membaca al-Kitab. Maka tidakkah kamu berpikir?" (al-Baqarah: 44)

Kepada mereka yang kemana-mana membawa al-Kitab tapi tidak diamalkannya, al-Qur'an
lebih garang lagi dengan menjulukinya sebagai "khimar" (keledai). Adakah tamsil yang lebih
buruk lagi? "Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka
enggan memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah
buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi
petunjuk kepada kaum yang zhalim." (al-Jumu'ah: 5)

Di antara yang bisa menandai seorang ulama adalah kemampuannya dalam mengendalikan hawa
nafsu. Ulama adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsu. Akan tetapi dalam
kenyataannya masih banyak dijumpai ulama yang mengumbar hawa nafsunya. Akibatnya, jika
mereka berfatwa, maka fatwanya cenderung mengikuti hawa nafsu, baik itu hawa nafsunya
sendiri, maupun hawa nafsu orang lain. Hawa nafsu orang lain yang paling banyak
mempengaruhi ulama dalam sejarah adalah hawa nafsu para penguasa yang diharapkan
hadiah-hadiah dan ditakuti ancaman tindakannya.

Di antara jenis-jenis ulama yang buruk ada yang rakus, ada pula yang penakut. Kedua-duanya
berusaha untuk mendekati penguasa, dengan cara memalsukan kenyataan yang ada, mengganti
hukum-hukum, menyelewengkan maksud-maksud hukum, mengikuti kehendak hatinya, demi
untuk memuaskan keinginan para penguasa. Terhadap kecenderungan itu, Allah Swt
memperingatkan Rasulullah Saw dengan firman-Nya: "Kemudian Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syari'at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari'at itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari
(siksaan) Allah. Sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu sebagian mereka menjadi penolong
bagi sebagian yang lain, dan Alah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa. Al-Qur'an itu
adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini." (al-Jatsiyah:
18 ? 20) Sebagian besar kesesatan mereka bukan tanpa sengaja, juga tanpa pengetahuan.
Kesesatan mereka semata-mata karena dorongan hawa nafsu yang tak mampu dibendungnya.
Mereka telah menjadi budak hawa nafsu. Allah berfirman:

"Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati
mereka meyakini (kebenaran)nya." (an-Naml: 14)

Ulama yang lemah jiwanya dan sakit hatinya, selalu berusaha memoles kejahatannya dengan
perhiasan yang menarik. Mereka rela membaktikan ilmunya untuk kepentingan politik, menjual
agama dengan dunia, mengabdikan diri sebagai "pengeras suara" para penguasa. Tak segan-
segan mereka juga rela berangkulan dengan setan-setan dan teman-temannya.

Anda mungkin juga menyukai