Anda di halaman 1dari 2

Contoh yang ironis adalah krisis yang terjadi di tubuh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang

seharusnya-atau sepatutnya-menjadi lokomotif proses demokratisasi di negara ini, mengingat para tokohnya adalah mereka yang terlibat secara intensif dalam pergulatan pencarian keadilan. Di tahun 1996 pergantian pengurus YLBHI menimbulkan perpecahan sehingga beberapa aktivisnya, Hendardi dan kawan-kawan, keluar dari YLBHI dan membentuk Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Di tahun 2001, kemelut serupa juga terjadi dalam pergantian kepengurusan dari Bambang Widjojanto kepada caretaker yang digugat sejumlah LBH daerah, dan berujung pada mundurnya aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir, sebagai pekerja bantuan hukum LBH. Perseteruan serupa kini berulang kembali pada kepengurusan yang terbaru. Mungkin tak berlebihan bila seorang panelis menggambarkan apa yang terjadi saat ini adalah keruntuhan keadaban publik (collapse of public civility), yang terjadi akibat adanya pendangkalan di masyarakat. Tanda-tandanya bisa terlihat dari banyaknya gejala ekstrem di sekitar kita. Sebagai contoh, tingkat korupsi di Indonesia sangat ekstrem sehingga negara kita dimasukkan dalam kategori "terkorup di dunia". Tingkat kekerasan juga sangat ekstrem, dan ini antara lain ditunjukkan oleh rangkaian peledakan bom secara serentak di sejumlah kota di Indonesia pada malam Natal tahun 2000, dan klimaksnya adalah tragedi peledakan bom di Bali yang merenggut sekitar 200 jiwa. Emosi masyarakat kita juga sangat ekstrem, hal ini bisa dilihat sewaktu terjadi kerusuhan bulan Mei 1998, di mana warga malah "bergotong royong" membakar pusat pertokoan. Bandingkan misalnya dengan penduduk kota New York yang pekan ini dilanda pemadaman listrik total(blackout). Mereka dengan tenang bergotong royong untuk mengamankan kota dan menjalankan fungsi sosial yang terhenti. Gaya hidup masyarakat kita juga menjadi sangat ekstrem. Di tengah keterpurukan ekonomi, Indonesia tetap memiliki konsumen pembeli mobil mewah setingkat Ferrari dan Maserati. Gejala-gejala ekstrem seperti ini hanya datang dari sebuah masyarakat yang mengalami pendangkalan intelektualitas sehingga buta dalam melihat kompleksitas permasalahan dan bebal dalam mengenali sisi kepentingan umum. Lantas, siapakah yang harus berperan untuk membangun sebuah masyarakat berwacana (informed people) yang memahami prinsip-prinsip demokrasi? Media massa menjadi salah satunya. Mengutip Ariel Heryanto dalam bukunyaChallenging Authoritarianism in Southeast Asia (2003) disebutkan bahwa salah satu faktor yang mendorong tumbangnya Soeharto adalah kegagalan rezim ini untuk mengintimidasi dan mengooptasi media. Dengan kata lain, idealnya media memang menjadi salah satu kekuatan yang mendorong akselerasi demokratisasi.

Namun, pers Indonesia ternyata mengalami perubahan kualitas yang signifikan, yang oleh seorang panelis digambarkan sebagai sebuah perubahan gerakan dari civic journalism menjadi voyeuristic journalism (jurnalistik "intip") atau jurnalistik yang membisniskan instink voyeuristic manusia. Gejala ini bukan saja melanda pers cetak, tetapi juga media televisi. Misalnya saja, dalam soal-soal kepresidenan, yang ditampilkan bukanlah kualitas kepemimpinannya, melainkan tingkat selebritinya. dengan demikian, pertanyaannya apakah mungkin sosok media seperti ini menjadi polisi demokrasi? Tantangan yang dihadapi pers saat ini juga berbeda dengan situasi di zaman Orde Baru. Dulu, yang harus dihadapi adalah represi pemerintah yang sistematis. Kini, pers harus berhadapan dengan aksi- aksi represif kelompok, seperti yang dialami majalah Tempo ketika massa yang terdiri dari ratusan orang menyerbu kantor redaksinya, Maret lalu. Tak adanya otoritas hukum(lawlessn ess) adalah ciri khas negara yang belum demokratis, di mana warga negara harus berupaya sendiri melindungi dirinya dari kemungkinan tindakan semena-mena pihak yang lebih kuat dan berpengaruh. Bila ini yang terjadi, semakin jauhlah cita-cita bangsa ini mentransformasikan dirinya menjadi bangsa yang demokratis dan beradab. Namun, optimisme tetap tak boleh hilang. Betapapun carut- marutnya situasi di dalam negeri, inilah wajah Indonesia yang terus- menerus berproses menemukan jati dirinya: sebuah Indonesia yang tidak final, yang terus menjadi. Setidaknya bangsa ini telah memiliki pijakan yang jelas, yaitu tak ingin kembali ke periode gelap otoriterianisme. Diakui bahwa sosok masyarakat madani yang ada saat ini masih jauh dari yang dicita-citakan, namun wujudnya sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya. Disadari bahwa politisi sipil kita memang masih memble, tetapi ini bukanlah alasan untuk mengembalikan wewenang politik ke tangan militer.Suatu ide sosial politik memerlukan prasarana sosial kultural untuk dapat terwujud. Di sinilah peran masyarakat madani harus diberdayakan. Indonesia beruntung memiliki organisasi seperti Muhamamdiyah dan Nahdlatul Ulama yang telah menjadi aktualisasi civil Islam (Islam kewargaan) terpenting dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Kedua organisasi ini telah memberikan kontribusi besar dalam menghasilkan better ordering of society (masyarakat yang lebih teratur) melalui berbagai usaha dan program dalam bidang pendidikan, keagamaan, pelayanan sosial, dan ekonomi. Jejak ini yang seharusnya terus ditumbuhkembangkan dan digalang kebersamaannya oleh ratusan ormas maupun LSM yang dimiliki negeri ini. Proses reformasi memang lambat dan tertatih-tatih, tetapi kita menyadari bahwa bangsa ini telah berada di point of no return. Jika eksperimentasi sekarang ini kembali gagal, itu berarti penundaan untuk kesekian kalinya bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Mengutip komentar Nurcholish Madjid, jika merujuk pengalaman di masa lalu, dibutuhkan tenggang waktu satu generasi untuk tibanya sebuah kesempatan baru bagi eksperimen demokrasi di negeri kita.

Anda mungkin juga menyukai