Anda di halaman 1dari 4

Efektifitas Perjanjian Internasional Bidang HAM

HAK Asasi Manusia (HAM) dipercaya memiliki nilai universal. Nilai universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu, yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional. Bahkan nilai universal ini dikukuhkan dalam berbagai instrumen internasional, termasuk perjanjian internasional dibidang HAM, seperti International Convenant on Civil and Political Rights, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, dan lain-lain. Kenyataan menunjukan, penerapan nilai universal HAM tidak ada kesamaan dan keseragaman. Di Indonesia berbagai perjanjian internasional bidang HAM seolah tidak berakibat secara signifikan bagi kemajuan HAM masyarakat. Ada berbagai sebab, mengapa di Indonesia, perjanjian internasional HAM tidak efektif. Ini tidak semata-mata bersumber pada unwillingness pemerintah melakukan kewajibannya. Penyebab pertama, terjadi bias dalam pembuatan dan perancangan perjanjian internasional bidang HAM. Ini terjadi karena pengusulan perjanjian internasional sering dilakukan negara maju. Para ahli dan perancang negara maju terbiasa dengan kerangka berpikir (framework of thinking) dari sistem dan budaya hukum yang berlaku di negara maju. Mereka tidak dapat diharapkan memiliki sensitivitas terhadap sistem dan budaya hukum yang berlaku di negara

berkembang, seperti Indonesia. Bahkan ada kesan pemaksaan peradaban bangsa Eropa untuk diterima, meski peradaban ini telah lama diterima, melalui paksaan maupun kesukarelaan bangsa lain. Peradaban Eropa telah lama diposisikan sebagai peradaban modern. Sebagai bukti, dapat dilihat satu sumber hukum internasional yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional. Di situ disebutkan Prinsip-prinsip Hukum Umum yang diakui Bangsa-bangsa beradab (General Principles of Law Recognized by Civilized Nations). Pertanyaannya, apa maksud bangsa-bangsa beradab"? Bukankah ini mengindikasikan, saat Piagam PBB dirancang, ada dikotomi bangsa beradab dan bangsa tidak beradab? Mereka yang merancang Piagam PBB dapat dipastikan berasal dari bangsa yang mengklaim dirinya bangsa-bangsa beradab." Saat itu, beradab-tidaknya suatu bangsa mungkin untuk membedakan negara Eropa atau negara-negara yang memiliki tradisi Eropa dengan negara yang baru terbebas dari kolonialisme, kebanyakan ada di Asia dan Afrika. Sebenarnya, ini merupakan suatu "penghinaan" dalam konteks masyarakat internasional dewasa ini. Piagam PBB yang masih mencantumkan kata-kata "bangsa-bangsa beradab", tidak diamandemen. Kerangka berpikir seperti inilah yang kerap mewarnai perancangan instrumen internasional bidang HAM. Tidak heran bila rumusan pasal lebih merefleksikan aneka ketentuan yang implementable (dapat dilaksanakan) di negara maju tetapi unimplementable di negara berkembang. Ketika perjanjian internasional dirancang, dalam benak perancang terpatri kuat asumsi,

pemerintahan negara berkembang adalah yang banyak melakukan pelanggaran

HAM. Karena itu, perjanjian internasional bidang HAM lebih ditujukan untuk negara berkembang ketimbang negara maju. Padahal pelaku pelanggar HAM tidak hanya berasal dari negara berkembang, tetapi juga bisa dari negara maju. Masalah lain yang muncul dalam pembuatan dan perancangan perjanjian internasional di bidang HAM adalah perjanjian itu dibuat dengan menggunakan benchmark (patokan) infrastruktur hukum yang berlaku di negara maju. Padahal ada jurang amat lebar antara infrastruktur hukum di negara maju dan negara berkembang. Ketidakefektifan juga disebabkan perumusan pasal yang terlalu idealis dan kompromistis. Ini terjadi karena meski negara berkembang memiliki kesempatan mendebat dan mengubah pasal yang diajukan guna mengurangi bias yang mungkin terjadi dari perancang negara maju namun kesempatan yang ada tidak termanfaatkan dengan baik. Para ahli maupun anggota delegasi negara berkembang justru mencari hal-hal yang bersifat ideal tanpa memperhatikan infrastruktur hukum bagi implementasi di negaranya. Bahkan anggota delegasi ada yang menyuarakan pandangan negara maju. Sumber persoalan lain adalah kenyataan, perjanjian internasional, sadar atau tidak, telah digunakan sebagai alat intervensi negara maju terhadap negara berkembang. Pembentukan perjanjian internasional dibidang HAM kerap dilakukan bukan untuk tujuan mulia, yaitu menghormati HAM. Perjanjian internasional di bidang HAM kerap dijadikan alat bagi aneka kepentingan negara maju atas negara berkembang. Hukum adalah produk politik, perjanjian internasional juga adalah produk politik.

Negara maju melakukan berbagai cara untuk mendesak dan menekan pemerintahan negara berkembang agar turut dalam berbagai perjanjian internasional di bidang HAM. Keikutsertaan itu pada gilirannya dijadikan entry point negara maju untuk mendesak pemerintah negara berkembang agar mematuhi kewajibannya. Desakan yang dilakukan tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional mengingat negara berkembang telah mengikuti perjanjian internasional. Ini berakibat pada kecurigaan bahkan keenganan negara berkembang untuk melaksanakan kewajibannya yang termaktub dalam perjanjian internasional.

Untuk mengakses dan mendownload tugas kuliah ini selengkapnya anda harus berstatus Paid Member

Anda mungkin juga menyukai