Anda di halaman 1dari 29

I.

PENDAHULUAN

ODHA adalah istilah yang populer dan merupakan singkatan dari Orang dengan HIV dan AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus golongan RNA yang spesifik menyerang sistem kekebalan tubuh /imunitas manusia, sistem syaraf dan menyebabkan AIDS. HIV positif adalah orang yang telah terinfeksi virus HIV dan tubuh telah membentuk antibodi terhadap virus tersebut. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome /Sindrom Defisiensi Imun Akut (SIDA) adalah kumpulan gejala klinis akibat penurunan sistem imun yang timbul akibat infeksi HIV. AIDS sering bermanifestasi dengan munculnya berbagai penyakit infeksi oportunistik, keganasan, gangguan metabolisme dan lainnya. Stigma, yaitu ciri negative yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya serta diskriminasi yang dialami kelompok ODHA juga menjadi beban tambahan bagi pengidap HIV dan keluarganya.

Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan penyulit psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti. Walaupun sulit untuk menemukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai kejadian depresi yang pasti pada Odha, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari yang ada di dalam masyarakat umum. Secara umum telah terbukti bahwa penyakit HIV berhubungan dengan tekanan sosial dan kehidupan tertentu, seperti stigma (cap buruk), yang mungkin mempengaruhi seseorang menjadi depresi.

II.

PEMBAHASAN

I.

HIV/AIDS a. Definisi HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut "sel T-4" atau disebut juga "sel CD-4". Virus HIV ini hidup didalam cairan tubuh manusia, yaitu: Cairan darah, Cairan sperma, Cairan vagina dan Air susu Ibu.

Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan orang dengan HIV/AIDS amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lamakelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal. Oleh karena penyakit yang menyerang bervariasi, AIDS kurang tepat jika disebut penyakit. Definisi yang benar adalah sindrom atau kumpulan gejala penyakit.

Masa inkubasi HIV sangat tergantung pada daya tahan tubuh masingmasing orang, rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang tidak memperlihatkan gejala-gejala, walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan sel CD4 semakin menurun. Ketika sistem kekebalan tubuh sudah dalam keadaan parah, seorang Odha akan mulai menampakkan gejalagejala. HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara tertentu, tanpa peduli kebangsaan, ras, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, kelas ekonomi maupun orientasi seksual.

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV. AIDS disebabkan oleh adanya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di dalam tubuh.

b. Cara Penularan 1. Lewat Cairan Darah. Melalui transfusi darah / produk darah yang sudah tercemar HIV, lewat pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai bergantian tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna Narkotika. Melalui pemakaian jarum suntik yang berulangkali dalam kegiatan lain, misalnya : peyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit, misalnya alat tindik, tato, dan alat facial wajah. 2. Lewat Cairan Sperma dan Cairan Vagina Melalui hubungan seks penetratif (penis masuk kedalam Vagina/Anus), tanpa menggunakan kondom, sehingga memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks lewat vagina) ; atau tercampurnya cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi dalam hubungan seks lewat anus. 3. Lewat Air Susu Ibu Penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan lewat vagina; kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi (Mother-to-Child

Transmission) ini berkisar hingga 30%, artinya dari setiap 10 kehamilan dari ibu HIV positif kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif. Secara langsung (transfusi darah, produk darah atau

transplantasi organ tubuh yang tercemar HIV). Lewat alat-alat (jarum suntik, peralatan dokter, jarum tato, tindik, dll) yang telah tercemar HIV karena baru dipakai oleh orang yang terinfeksi HIV dan tidak

disterilisasi terlebih dahulu.

Karena HIV dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi orang lainditemukan dalam darah, air mani dan cairan vagina Odha. Melalui cairan-cairan tubuh yang lain, tidak pernah dilaporkan kasus penularan HIV (misalnya melalui: air mata, keringat, air liur/ludah, air kencing). Melalui hubungan seksual dengan seseorang yang terinfeksi HIV tanpa memakai kondom, melalui transfusi darah, melalui alat-alat tajam yang telah tercemar HIV (jarum suntik, pisau cukur, tatto, dll), melalui ibu hamil yang terinfeksi HIV kepada janin yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya.

Dalam satu kali hubungan seks secara tidak aman dengan orang yang terinfeksi HIV dapat terjadi penularan. Walaupun secara statistik kemungkinan ini antara 0,1% hingga 1% (jauh dibawah risiko penularan HIV melalui transfusi darah) tetapi lebih dari 90% kasus penularan HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seks yang tidak aman.

Karena kegiatan sehari-hari Odha tidak memungkinkan terjadinya pertukaran cairan tubuh yang menularkan HIV. Kita tidak tertular HIV selama kita mencegah kontak darah dengan Odha dan jika berhubungan seks, kita melakukannya secara aman dengan memakai kondom. Seorang Odha kelihatan biasa, seperti halnya orang lain karena tidak menunjukkan gejala klinis. Kondisi ini disebut "asimptomatik" yaitu tanpa gejala. Pada orang dewasa sesudah 5-10 tahun mulai tampak gejala-gejala AIDS.

Hubungan seksual secara anal (lewat dubur) paling berisiko menularkan HIV, karena epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka dibandingkan epitel dinding vagina, sehingga HIV lebih mudah masuk ke aliran darah. Dalam berhubungan seks vaginal, perempuan lebih besar risikonya daripada pria karena selaput lendir vagina cukup rapuh. Disamping itu karena cairan sperma akan menetap cukup lama di dalam vagina, kesempatan HIV masuk ke aliran darah menjadi lebih tinggi.

HIV di cairan vagina atau darah tersebut, juga dapat masuk ke aliran darah melalui saluran kencing pasangannya.

AIDS tidak ditularkan melalui a. Makan dan minum bersama, atau pemakaian alat makan minum bersama. b. Pemakaian fasilitas umum bersama, seperti telepon umum, WC umum, dan kolam renang. c. Ciuman, senggolan, pelukan dan kegiatan sehari-hari lainnya. Lewat keringat, atau gigitan nyamuk

c. Epidemiologi Memperingati 20 tahun penelitian HIV, jurnal Nature Medicine menerbitkan edisi khusus dengan tema HIV/AIDS. Penerbitan ini bersamaan dengan International AIDS Society Conference on HIV

Pathogenesis and Treatment yang diadakan di Paris, Juli 2003. Penelitian mengenai HIV dimulai pada 1983 saat kelompok peneliti Perancis yang diketuai Luc Montagnier menduga bahwa ada hubungan antara retrovirus dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Setahun berikutnya, Robert C Gallo dan kawan-kawan berhasil mengisolasi retrovirus dari pasien AIDS. Virus ini kemudian diberi nama HIV (Human Immunodeficiency Virus).

Sampai saat ini diperkirakan, penderita AIDS berjumlah lebih dari 42 juta jiwa. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan berjumlah sekitar 5,6 juta. Total lebih dari 20 juta jiwa telah meninggal karena AIDS. Sejak penemuannya, ribuan peneliti di seluruh dunia telah ikut berperan dalam penelitian HIV. Lebih dari 125 ribu artikel tentang HIV telah dipublikasi, namun masalah AIDS masih belum terpecahkan. Beberapa usaha telah dilakukan, baik pencegahannya maupun pengobatannya. Vaksin untuk pencegahan misalnya, telah

dikembangkan tapi belum cukup efektif. berbagai obat juga telah dikembangkan dan diaplikasikan secara klinik, tapi masih belum cukup efektif untuk menyembuhkan pasien HIV/AIDS.

d. Etiologi AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Virus ini diketemukan oleh montagnier, seorang ilmuwan perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala

limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (national Institute of Health, USA 1984) menemukan Virus HTLV-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberi nama resmi HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik maupun antigenik. HIV-2 dianggap kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan, kedua virus itu disebut sebagai HIV saja.

e. Patogenesis HIV adalah retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom. Untuk masuk ke dalam sel, virus ini berikatan dengan reseptor (CD4) yang ada di permukaan sel. Artinya, virus ini hanya akan menginfeksi sel yang memiliki receptor CD4 pada permukaannya. Karena biasanya yang diserang adalah sel T lymphosit (sel yang berperan dalam sistem imun tubuh), maka sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel T yang mengekspresikan CD4 di permukaannya (CD4+ T cell). Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan kemudian melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami proses reverse transcription, yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini dilakukan oleh enzim reverse transcriptase.

Proses sampai step ini hampir sama dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan DNA genom dari sel yang diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). Proses ini dilakukan oleh enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang terintegrasi ke dalam genom sel dinamakan provirus. Dalam kondisi

provirus, genom virus akan stabil dan mengalami proses replikasi sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya, setiap DNA sel menjalankan proses replikasi secara otomatis genom virus akan ikut bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi diri dari serangan sistem imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus seumur hidup (a life long infection).

Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan sebagai vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien HIV/AIDS. Soalnya, vektor HIV yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk ke dalam sel yang sudah dan akan diinfeksi oleh virus HIV itu sendiri.

f. Manifestasi klinis 1. Gejala infeksi HIV Pada awalnya sulit dikenali karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam 6 minggu pertama setelah kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, skait menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan

amapi 4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala. Pada tahun ke 5 atau 6 tergantung masing-masing penderita, mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan pembengkakan di daerah kelenjar getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut akan terjadi penurunan berat badan secara cepat (> 10%), diare

terus-menerus lebih dari 1 bulan disertai panas badan yang hilang timbul atau terus menerus. 2. Tanda-tanda seorang tertular HIV Sebenarnya tidak ada tanda-tanda khusus yang bisa menandai apakah seseorang telah tertular HIV, karena keberadaan virus HIV sendiri membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun hingga mencapai masa yang disebut fullblown AIDS). Adanya HIV di dalam darah bisa terjadi tanpa seseorang menunjukan gejala penyakit tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila seseorang terinfeksi HIV untuk pertama kali dan kemudian memeriksakan diri dengan menjalani tes darah, maka dalam tes pertama tersebut belum tentu dapat dideteksi adanya virus HIV di dalam darah. Hal ini disebabkan kaena tubuh kita membutuhkan waktu sekitar 3 - 6 bulan untuk membentuk antibodi yang nantinya akan dideteksi oleh tes darah tersebut. Masa ini disebut window period (periode jendela) . Dalam masa ini , bila orang tersebut ternyata sudah mempunyai virus HIV di dalam tubuhnya (walau pun belum bisa di deteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV melalui perilaku yang disebutkan di atas tadi.

Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang sudah sampai pada tahapan AIDS adalah: a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat b. Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan) c. Diare berkepanjangan (lebih dri satu bulan)

Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa : a. Batuk berkepanjagan (lebih dari satu bulan) b. Kelainan kulit dan iritasi (gatal) c. Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan

Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah telinga, leher, ketiak dan lipatan paha.

3. Perbedaan antara HIV dan AIDS, yaitu: HIV adalah Human Immuno Deficiency Virus, suatu virus yang menyerang sel darah putih manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/ daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang

infeksi/penyakit. AIDS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu timbulnya sekumpulan gejala penyakit yang terjadi karena kekebalan tubuh menurun,oleh karena adanya virus HIV di dalam darah.

Infeksi HIV/AIDS berbahaya, karena telah banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal : a. Gejala muncul setelah 2 - 10 tahun terinfeksi HIV b. Pada masa anpa gejala sangat mungkin menularkan kepada orang lain. c. Setiap orang dapat tertular HIV/AIDS. d. Belum ada vaksin dan obat penyembuhnya.

Perjalanan Penyakit dan Gejala yang Timbul a. Dalam masa sekitar 3 bulan setelah tertular, tubuh belum membentuk antibodi secara sempurna, sehingga tes darah tidak memperlihatkan bahwa orang tersebut telah tertular HIV. Masa 3 bulan ini sering disebut dengan masa jendela. b. Masa tanpa gejala, yaitu waktu (5 - 7 tahun) dimana tes darah sudah menunjukkan adanya anti bodi HIV dalam darah, artinya positif HIV, namun pada masa ini tidak timbul gejala yang menunjukkan orang tersebut menderita AIDS, atau dia tampak sehat. c. Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai penderita AIDS. Gejala AIDS sudah timbul dan biasanya penderita dapat bertahan 6 bulan sampai 2 tahun dan kemudian meninggal.

g. Pemeriksaan penunjang 1. Tes Darah Tes untuk mengetahui antibodi HIV pertama tersedia pada 1985. Baru setelah tes dapat diperoleh, muncul berbagai pertanyaan tentang bagaimana cara memakai tes tersebut. Umumnya, orang dapat dibagi dalam dua kubu: mereka yang setuju dengan tes secara sukarela dan mereka yang mengusulkan tes wajib. Gagasan wajib melakukan tes itu ditolak oleh sebagian besar negara akibat biaya dan masalah logistik yang terkait.

Tiga negara yang mewajibkan tes adalah Kuba (75 persen warga dites), Bulgaria (45 persen dites) dan bekas Uni Soviet (30 persen). Karena HIV tidak ditularkan melalui hubungan biasa sehari-hari (yaitu, bukan virus yang diangkut udara) tetapi melalui perilaku tertentu, tes wajib untuk seluruh penduduk dilihat sangat mahal, secara ilmiah tidak dapat dibenarkan, dan dapat menimbulkan perlakuan tidak adil. Di negara lain, kelompok tertentu dijadikan sasaran dan dites, sering kali tanpa persetujuan dari yang bersangkutan. Kelompok ini mencakup

narapidana, pekerja seks, pengguna narkoba dalam tempat pemulihan, dan perempuan hamil. Penolakan terhadap tes wajib berarti program harus mengembangkan strategi untuk membujuk orang yang berisiko terinfeksi HIV untuk melakukan tes HIV karena akan bermanfaat untuk mereka.

Orang yang mengusulkan tes sukarela secara luas menganggap bahwa jika seseorang mengetahui apakah ia terinfeksi HIV atau tidak akan menjadi unsur penting dalam mendorong terjadinya perubahan. Berarti, orang dengan HIV akan menerapkan penggunaan narkoba atau hubungan seks yang lebih aman untuk melindungi pasangannya, dan orang yang memakai narkoba bersamanya. Untuk mereka yang HIVnegatif, ini akan mendorong perubahan perilaku agar meyakinkan bahwa mereka tidak tertular HIV di masa yang akan datang.

Sebaliknya, ada yang menganggap bahwa setiap orang yang menyuntik narkoba dan melakukan seks yang tidak aman harus mengubah perilakunya, terlepas apakah mereka HIV-positif atau tidak. Karena pesannya sama, tes tidak dibutuhkan dan dapat meningkatkan perlakuan tidak adil, stigmatisasi dan pengucilan. Daripada melakukan tes secara massal, mereka mengusulkan program pendidikan massal sebagai gantinya. Banyak negara di Asia melakukan gabungan antara tes wajib, tes sukarela dan surveilans sentinel.

2. Bagaimanakah tes HIV dipakai? Umumnya tes HIV dipakai dalam dua cara: untuk surveilans

masyarakat (surveilans sentinel) dan untuk diagnosis perorangan. Surveilans masyarakat biasanya dilakukan dengan melakukan tes intensif (skrining) terhadap kelompok kunci dalam masyarakat agar mengetahui luasnya penyebaran infeksi HIV.

Ini dapat dilakukan dengan mengadakan skrining HIV pada perempuan hamil atau pasien IMS, agar mengetahui berapa yang terinfeksi HIV pada waktu tertentu: skrining ulangan di kemudian hari dapat menunjukkan cepatnya HIV menyebar dalam masyarakat tertentu itu. Orang yang dites dengan cara ini tidak diberitahukan hasil tesnya dan hasilnya juga anonim (tanpa nama). Tes perorangan adalah untuk mereka yang merasa mungkin telah terpajan oleh HIV melalui praktek penyuntikan, seks yang berisiko, atau dari transfusi darah. Tes seperti ini harus mencakup konseling prates dan pascates (untuk informasi lebih lanjut lihat ini). Melakukan tes memungkinkan orang untuk

mengubah perilakunya sehingga mereka tidak menularkan virus itu (jika hasil tesnya positif) atau, jika hasil tes mereka negatif, untuk meyakinkan mereka supaya tidak tertular virus ini di masa mendatang. Tes juga bisa berarti bahwa orang mungkin mendapatkan saran-saran berkaitan dengan kesehatan mereka, pengobatan untuk infeksi oportunistik seperti TB, dan informasi tentang bagaimana mengurangi

kemungkinan menularkan virus pada bayinya yang belum lahir, saat melahirkan atau ketika menyusui.

h. Pencegahan dan pengobatan 1. Pencegahan a. Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan penyuntikan atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka b. Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan penularan HIV) c. Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya, sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan. d. Abstinensi (puasa, tidak melakukan hubungan seks) e. Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya f. Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom

Ada dua hal yang perlu diperhatikan: a. Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau cukur) harus disterilisasi dengan benar b. Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang lain 2. Pengobatan Berbagai pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan AIDS. Yang banyak dipraktikkan sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia (chemotherapy). Obat-obat ini biasanya adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk replikasi virus, seperti inhibitor

reverse transcriptase dan protease. Zidovudin-lebih dikenal dengan

AZT-adalah obat AIDS yang pertama kali digunakan. Obat yang merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai digunakan sejak tahun 1987. Setelah itu dikembangkan inhibitor protease seperti indinavir, ritonavir, dan nelfinavir. Sampai saat ini Food and Drug Administration (FDA) Amerika telah mengizinkan penggunaan sekitar 20 jenis obat-obatan.

Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama lainnya karena pemakaian obat tunggal tidak

menyembuhkan dan bisa memicu munculnya virus yang resisten terhadap obat tersebut. Pemakaian obat kombinasi menjadi standar pengobatan AIDS saat ini, yang disebut highly active antiretroviral threrapy (HAART). Walaupun demikian, cara ini juga masih belum efektif.

Zidovudin (ZDV) : Merupakan analog nukleosida, dan bekerja pada enzim reverse transcriptase. CDC telah menyarankan pemakaian obat ini untuk infeksi HIV. Dosis: 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam @ 100 mg

Didanosin (DDI) : Belum ada rekomendasi pemberian DDI sebagai terapi pertama, melainkan dipakai bila penderita tidak toleran terhadap ZDV, atau sebagai pengganti ZDV dimana ZDV sudah amat lama dipakai, atau bila pengobatan dengan ZDV tidak mendapatkan hasil. Dosis: 2x100 mg, setiap 12 jam (BB<60 Kg) atau 2x125 mg, setiap 12 jam (BB>60 Kg).

Dideoxycytidine (DDC, Zalcitabine): Diberikan sebagai kombinasi dengan ZDV, tetapi belum cukup pengalaman untuk pemakaian tersebut. Dosis: 0,03 mg/KgBB, diberikan setiap 4 jam.

Obat-obat lain: Berbagai jenis obat antiretroviral dikembangkan namun masih dalam taraf penelitian. Yang cukup menjanjikan ialah derivat HEPT dan TIBO, yang menghambat HIV-1 secara sangat spesifik, namun tidak HIV-2. Senyawa ini bekerja pada enzim reverse transcriptase. Vaksin untuk mencegah penularan HIV sampai saat ini belum diketemukan.

Terapi kombinasi : Banyak ahli cenderung mempergunakan terapi kombinasi ZDV dengan obat antiretroviral lain, misalnya: Triple: Saquinavir 1800 mg/hari (Ro.31-8959), ZDV 600 mg/hari, DDC 2,5 mg/hari. Double: DDC+ZDV, DDC+saquinavir. Terapi kombinasi

terbukti memberikan hasil lebih baik dan mengurangi kemungkinan timbulnya resistensi virus terhadap obat-obat antiretroviral tersebut.

Terapi gen Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen. Artinya, pengobatan dilakukan dengan mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam sel yang terinfeksi HIV. Gen ini bisa berupa antisense dari dari salah satu enzim yang diperlukan untuk replikasi virus tersebut atau ribozyme yang berupa antisense RNA dengan kemampuan untuk menguraikan RNA target.

Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses transkripsi menjadi RNA bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah itu, RNA antisense ini akan berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan mengganggu translasi mRNA sehingga tidak menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk replikasi tidak berhasil diproduksi, otomatis HIV tidak akan berkembang biak di dalam sel. Sama halnya dengan antisense, ribozyme juga menghalangi produksi suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNA-nya Pendekatan yang dilakukan dengan fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi imunologi karena tidak

mengakibatkan respons imun yang tidak diinginkan. Hal ini berbeda dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan timbulnya respons imun di dalam tubuh. Untuk keperluan terapi gen seperti ini, dibutuhkan sistem pengiriman gen yang efisien yang akan membawa gen hanya kepada sel yang telah dan akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu, sistem harus bisa mengekspresikan gen yang dimasukkan (gen asing) dan tidak mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama.

HIV sebagai Vector Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses transfer gen asing ini diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Poznansky dan kawan-kawan dari Dana-Farber Cancer Institute Amerika. Setelah itu penelitian tentang penggunaan HIV sebagai vektor untuk terapi gen berkembang pesat. Wenzhe Ho dari The Children Hospital of Philadelphia bekerja sama dengan Julianna Lisziewicz dari National Cancer Institute berhasil menghambat replikasi HIV di dalam sel dengan menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim yang esensial untuk replikasi HIV). Sementara itu, beberapa grup juga berhasil menghambat

perkembangbiakan HIV dengan menggunakan ribozyme. Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen yang stabil. Dari hasil percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah berhasil dibuat vektor yang bisa mengekspresikan gen asing dengan stabil dalam jangka waktu yang lama pada organ, seperti otak, retina, hati, dan otot. Walaupun belum sampai pada aplikasi secara klinis,

aplikasi vektor HIV untuk terapi gen bisa diharapkan. Hal ini lebih didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA (siRNA) yang berfungsi menghambat ekspresi gen secara spesifik. Prinsipnya sama dengan antisense dan ribozyme, tapi siRNA lebih spesifik dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair) sehingga lebih mudah

digunakan. Baru-baru ini David Baltimore dari University of California Los Angeles (UCLA) berhasil menekan infeksi HIV terhadap human T cell dengan menggunakan siRNA terhadap protein CCR5 yang merupakan co-receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan sebagai sistem pengiriman gen. Semoga metode ini dapat segera digunakan untuk pengobatan AIDS di seluruh dunia.

Penatalaksanaan Stadium Lanjut Pada stadium lanjut, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun dan banyak komplikasi dapat terjadi, umunya berupa infeksi oportunistik yang mengancam jiwa penderita.

Zidovudin (ZDV) Pada stadium lanjut ZDV juga cukup banyak memberikan manfaat. Pada keadaan penyakit yang berat dosis ZDV diperlukan lebih tinggi, agar dapat menembus ke susunan syaraf pusat (SSP). Dosis dan pemberian belum ada kesepakatan, tetapi sebagai dosis awal pada penderita dengan berat badan 70 Kg, diberikan ZDV 1000 mg, dalam 4-5 kali pemberian.

Pengobatan Infeksi Oportunistik Infeksi HIV merupakan infeksi kronis yang kompleks sehingga memerlukan perawatan multidisipliner, para spesialis, konselor dan kelompok-kelompok pendukung lainnya. Umumnya pada stadium yang lebih lanjut lanjut, bila sekali muncul infeksi maka jarang bersifat tunggal tetapi beberapa macam infeksi bersamaan. Keadaan ini memerlukan pengobatan yang rumit. Bila sudah timbul keadaan yang demikian maka sebaiknya penanganan penderita dilakukan oleh sebuah tim.

Perawatan Fase Terminal Sampai saat ini dapat dinyatakan bahwa AIDS adalah penyakit fatal, belum dapat disembuhkan. Oleh karena itu penderita yang kita rawat akhirnya akan sampai pada fase terminal sebelum datangnya kematian. Pada fase terminal, dimana penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan hanyalah bersifat simptomatik dengan tujuan agar penderita merasa cukup enak, bebas dari rasa mual, sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa cemas.

II. Depresi pada ODHA a. Definisi

Gangguan depresif ditandai dengan kerentanan yang panjang terhadap serangan penyakit ini, meliputi mood yang menurun, atau hilangnya minat dan kegembiraan dalam beraktivitas. Para professional dalam kesehatan mental membedakan 2 bentuk depresi yang berat, yaitu Gangguan Depresif Mayor (Major depresif disorder, MDD) dan Gangguan Dysthimik (dysthymic disorder ). Menurut DSM-IV-TR, MDD terjadi tanpa riwayat mania, campuran atau serangan hypomania. Serangan MDD berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu dan penderita yang didiagnosis dalam kategori ini secara khas juga mengalami 4 gejala dalam daftar yaitu perubahan selera dan berkurangnya berat badan, perubahan dalam tidur dan aktifitas, kurang tenaga, meraasa bersalah, kesulitan berpikir dan membuat keputusan, dan berulang kali mempunyai pikiran bunuh diri. Gangguan dysthimic ditandai dengan gejala depresif kronik, yang timbul sepanjang hari, sekurang-kurangnya 2 tahun. Penderita mengalami lebih banyak hari yang depresif dibanding hari tanpa depresif.

b.

Epidemiologi

Saat ini, setiap 15 detik, satu orang muda terinfeksi HIV. Untuk kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, jumlah ODHA tahun 2007 secara total untuk kasus dewasa dan anak antara 3,3 juta 4 juta. Gambaran epidemiologi penularan HIV AIDS di Indonesia adalah cukup tingginya kelompok usia produktif yang menjadi

korban HIV; 48% proporsi penderita HIV AIDS di Indonesia adalah kelompok penduduk usia produktif (20 39 tahun ). Secara Nasional pada triwulan II 2008, Subdit AIDS dan PMS melaporkan 12.686 kasus AIDS secara kumulatif, dan HIV sebanyak 6.277 kasus.

Pada pasien yang terinfeksi HIV dilaporkan 4 sampai 40 % telah memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan depresif.

c.

Patofisiologi

HIV adalah virus RNA berbentuk sferis dengan diameter 80-100 nm. Sel target HIV adalah CD4+ helper T lymphocytes, monosit/makrofag, sel dendritic, sel Langerhans, sel microglial di susunan saraf pusat. Virus menggunakan sel target untuk masuknya virus kedalam sel induk, diseminasi, replikasi (virus menggunakan protein dan asam amino sel target untuk membentuk virus baru), dan reservoir (virus hanya terjebak, tanpa replikasi). Efek pada sistem imun adalah disfungsi dan berkurangnya sel limfosit CD4, defek imunologis yang disebabkan oleh HIV meliputi kerusakan jaringan limfoid, disfungsi sel CD8+, abnormalitas sel B, disfungsi timus dan abnormalitas autoimun.

Beberapa mekanisme yang terlibat pada penurunan CD4, meliputi penurunan sel T CD4 melalui penghancuran sel tunggal yang disebabkan oleh akumulasi DNA HIV pada sel atau melalui hambatan terhadap fungsi sel.

HIV menginfeksi sel system kekebalan dan system syaraf. Infeksi sel di dalam system syaraf pusat (terutama astrosit) secara langsung menyebabkan

perkembangan sindroma neuropsikiatrik, yang sering dipersulit lebih jauh pada pasien dengan AIDS oleh efek neuropsikiatrik dari infeksi sistem saraf pusat.

d.

Gejala Klinis

Berdasarkan PPDGJ-III gejala utama pada episode depresif adalah : y y afek depresif kehilangan minat dan kegembiraan

berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah, (rasa lelah yang nyata setelah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas.

Gejala lainnya : y y y y y y y konsentrasi perhatian berkurang harga diri dan kepercayaan diri berkurang Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna pandangan masa depan yang suram dan pesimistis gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri tidur terganggu nafsu makan berkurang.

Depresi pada Odha juga dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan daya ingat serta konsentrasi. Namun, depresi, berbeda dengan kesedihan atau kecil hati, bukan merupakan dampak alami dari penyakit. Lamanya suasana hati yang lesu, kegelisahan, atau kemarahan mungkin biasanya menjadi bagian dari penyesuaian terhadap penyakit, tetapi

perkembangan depresi yang parah bukanlah sesuatu yang normal. Sebagaimana diagnosis depresi berat dihubungkan dengan berbagai penyakit, suasana hati yang lesu harus dilihat sebagai bagian dari kumpulan gejala seperti rasa senang yang hilang, perasaan bersalah atau tidak berharga, memikirkan kematian, dan gejala neurovegetatif. Bahkan bila gambaran semacam ini ditemukan, penyebab medis sebaiknya diselidiki dan diobati sebelum memulai pengobatan dengan

antidepresan.

Selain itu terdapat masalah yang psikososial yang biasa dihadapi ODHA yaitu stigma dan diskriminasi, depresi, pengucilan dari lingkungan social dan keluarga, masalah dalam pekerjaan/ekonomi, masalah dalam pengasuhan anak. Stigmatisasi mencerminkan perilaku, tetapi diskriminasi adalah tindakan atau perilaku. Diskriminasi adalah cara mengekspresikan, baik secara sengaja ataupun tidak disengaja dengan melakukan stigmatisasi pendapat, yang dapat membuat seseorang bertindak atau berperilaku menolak layanan atau hak untuk oranglain.

Stigmatisasi dan diskriminasi telah dicatat dalam kaitannya dengan penyakit menular dan dinaggap tercela yang tidak dapat disembuhkan, misalnya TBC, Sifilis dan lepra. Stigmatisasi terhadap HIV AIDS tampak jauh lebih parah.

e.

Diagnosis

PPDGJ-III membagi episode depresif menjadi 4 episode depresif yaitu : 1. Episode Depresif Ringan (F32.0) Pedoman Diagnostik sebagai berikut :  Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut diatas.  Ditambah sekurang-kurang nya 2 dari gejala lainnya.  Tidak boleh ada gejala yang berat diantara nya.  Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu  Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya. 2. Episode Depresif Sedang (F32.1) Pedoman diagnostik sebagai berikut :  Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala depresi seperti pada episode depresi ringan  Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.  Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu  Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga. 3. Episode depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2)  Semua 3 gejala utama depresi harus ada  Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya hanya berintesitas berat.  Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejala nya secara rinci. Dalam hal demikian,

penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.  Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.  Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas. 4. Episode depresif berat dengan gejala psikotik  Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut diatas  Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood congruent).

f.

Penatalaksanaan

Banyak klinisi percaya bahwa gangguan depresi pada pasien terinfeksi HIV harus diobati secara agresif dengan medikasi antidepresan. Dosis awal antidepresan harus kira-kira seperempat dari dosis normal yang digunakan pada orang dewasa, dan dosis harus dinaikkan sedikit-sedikit setiap dua sampai 3 hari hingga tercapai suatu efek terapetik, obat trisiklik dan serotonin-spesific reuptake inhibitor keduanya telah digunakan secara efektif pada pasien terinfeksi HIV. Penggunaan obat simpatomimetik (sebagai contohnya, amphetamine) juga merupakan pendekatan pengobatan yang beralasan.

Pengobatan dengan obat antiretrovirus, seperti Azidothymidine, mencegah atau membalikkan gejala neuropsikiatrik yang berhubungan dengan ensefalopati HIV. Walaupun antagonis dopamin, seperti haloperidol (Haldol), mungkin diperlukan untuk pengendalian agitasi, obat tersebut harus digunakan dalam dosis yang serendah mungkin karena adanya peningkatan kepekaan pasien terhadap efek extrapiramidal dan terjadinya sindroma neuroleptik malignan. Keluarga pasien, kekasih, dan teman dekat seringkali merupakan kesatuan penting dalam pengobatan.

Bentuk dukungan psikososial dapat berupa: y Konseling :  konseling individu, termasuk konseling untuk ARV  konseling pasangan  konseling keluarga  konseling kelompok y Pendampingan :  layanan sahabat  pengawas minum obat  kunjungan rumah (home visit) y Dukungan ekonomi keluarga :  Kerja mandiri  Program peningkatan pendapatan keluarga Tujuan dukungan Psikologis :  mengurangi stress dan depresi  meningkatkan semangat hidup  meningkatkan kepatuhan berobat Tujuan dukungan sosial :  mengurangi diskriminasi oleh lingkungan  meringankan kebutuhan hidup  memberikan akses terhadap layanan kesehatan

g.

Prognosis

Serangan episode depresif mempunyai prognosis yang bervariasi, secara umum lebih baik jika difollow up dalam waktu lama. Resiko relaps berkurang jika pemberian antidepressant dilanjutkan sampai 6 bulan setelah serangan depresif. Secara keseluruhan angka bunuh diri sekitar 9%.

III.

KESIMPULAN

1.

HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS.

2.

Cara penularan HIV yaitu lewat cairan darah, lewat cairan sperma dan cairan vagina, lewat air susu ibu.

3. 4.

AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV. HIV adalah retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom. Untuk masuk ke dalam sel, virus ini berikatan dengan receptor (CD4) yang ada di permukaan sel.

5.

Manifestasi klinis flu dan diare sehingga penderita tampak sehat, 6 minggu pertama setelah kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih, sakit sendi, skait menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan selangkangan. Kemudian tahap lebih lanjut akan terjadi penurunan berat badan secara cepat (> 10%), diare terusmenerus lebih dari 1 bulan disertai panas badan yang hilang timbul atau terus menerus.

6.

Tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang sudah sampai pada tahapan AIDS adalah, berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat, demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan), diare berkepanjangan (lebih dri satu bulan).

7.

AIDS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu timbulnya sekumpulan gejala penyakit yang terjadi karena kekebalan tubuh menurun,oleh karena adanya virus HIV di dalam darah.

8. 9.

Pemeriksaan penunjang untuk HIV/AIDS tes darah dan tes HIV Pencegahan HIV/AIDS yaitu dengan gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru, selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan penularan HIV), bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya, sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa

dipertimbangkan, melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya, untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko dianjurkan melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom. 10. Pengobatan dengan Zidovudin (ZDV), Didanosin (DDI), Dideoxycytidine (DDC, Zalcitabine). 11. Gangguan depresif ditandai dengan kerentanan yang panjang terhadap

serangan penyakit ini, meliputi mood yang menurun, atau hilangnya minat dan kegembiraan dalam beraktivitas. 12. HIV menginfeksi sel system kekebalan dan system syaraf. Infeksi sel di dalam system syaraf pusat (terutama astrosit) secara langsung menyebabkan perkembangan sindroma neuropsikiatrik, yang sering dipersulit lebih jauh pada pasien dengan AIDS oleh efek neuropsikiatrik dari infeksi sistem saraf pusat. 13. Gejala utama pada episode depresif adalah afek depresif, kehilngan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah, (rasa lelah yang nyata setelah kerja sedikit saja) dan

menurunnya aktifitas. 14. ODHA adalah istilah yang populer dan merupakan singkatan dari Orang dengan HIV dan AIDS 15. y y y y 16. PPDGJ-III membagi episode depresif menjadi 4 episode depresif yaitu : Episode Depresif Ringan (F32.0) Episode Depresif Sedang (F32.1) Episode depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2) Episode depresif berat dengan gejala psikotik Depresi pada Odha juga dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan daya ingat serta konsentrasi. 17. Masalah psikososial yang biasa dihadapi ODHA yaitu stigma dan

diskriminasi, depresi, pengucilan dari lingkungan social dan keluarga, masalah dalam pekerjaan/ekonomi, masalah dalam pengasuhan anak. 18. Banyak klinisi percaya bahwa gangguan depresi pada pasien terinfeksi HIV harus diobati secara agresif dengan medikasi antidepresan.

19.

Pengobatan dengan obat antiretrovirus, seperti Azidothymidine, mencegah atau membalikkan gejala neuropsikiatrik yang berhubungan dengan ensefalopati HIV.

20.

Haloperidol (Haldol), mungkin diperlukan untuk pengendalian agitasi, obat tersebut harus digunakan dalam dosis yang serendah mungkin karena adanya peningkatan kepekaan pasien terhadap efek extrapiramidal dan terjadinya sindroma neuroleptik malignan. Keluarga pasien, kekasih, dan teman dekat seringkali merupakan kesatuan penting dalam pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prevention of Mother to Child HIV transmission. Depertemen Kesehatan Republik Indonesia 2008. 2. Puri.B.K, Laking.P.J, Treasaden.I,H, Textbook of psychiatry second edition.2005, p : 173-196 3. Sadock BJ, Kaplan HI, Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri klinis, 7th edition jilid 1. P: 557-570 4. Halgin RP, Whitbourne SK, Abnormal Psychology Clinical Perspective on Psychological Disorders 4th edition. 2003. P : 265-297 5. Stern TA, Herman JB, Massachusetts General Hospital Psychiatry Update and Board Preparation.McGraw-Hill 2nd edition.2004. p : 103-112 6. Sadock BJ, Alcot Virginia, Kaplan and Sadocks Synopsis of Psychiatri : Behavioral Sciences/Clinical Psychiatri, 10th edition.2007. 7. Maslim R, editor. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Hal : 64-65 8. http://spiritia.or.id/cst/dok/kesjiwa2.pdf 9. Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N, et al. Viral load and heterosexual transmission of human immunodeficiency virus type 1. N Engl J Med 2000;342:921-929. 10. Diagnoses of HIV/AIDS 32 states, 20002003. MMWR Morb Mortal Weekly Rep 2004;53:1106-10. 11. Palella FJ Jr, Delaney KM, Moorman AC, et al. Declining morbidity and mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med 1998;338:853-860. 12. CDC posts new HIV testing, referral guidelines. AIDS Alert 2002;17:2, 810. 13. Paltiel AD, Weinstein MC, Kimmel AD, et al. Expanded screening for HIV in the United States -- an analysis of cost-effectiveness. N Engl J Med 2005;352:586-595.

14. Sanders GD, Bayoumi AM, Sundaram V, et al. Cost-effectiveness of screening for HIV in the era of highly active antiretroviral therapy. N Engl J Med 2005;352:570-585. 15. Bulterys M, Jamieson DJ, O'Sullivan MJ, et al. Rapid HIV-1 testing during labor: a multicenter study. JAMA 2004;292:219-223. 16. Markowitz M, Mohri H, Mehandru S, et al. Infection with multidrug resistant, dual-tropic HIV-1 and rapid progression to AIDS: a case report. Lancet 2005;365:1031-1038. 17. Goulder PJ, Walker BD. HIV-1 superinfection -- a word of caution. N Engl J Med 2002;347:756-758. 18. Davis KR, Weller SC. The effectiveness of condoms in reducing heterosexual transmission of HIV. Fam Plann Perspect 1999;31:272-279. 19. Friis-Moller N, Sabin CA, Weber R, et al. Combination antiretroviral therapy and the risk of myocardial infarction. N Engl J Med 2003;349:1993-2003. [Erratum, N Engl J Med 2004;350:955.] 19

20. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-1 infected adults and adolescents. Panel on clinical practices for treatment of HIV infection (Department of Health and Human Services). 21. Aberg JA, Gallant JE, Anderson J, et al. Primary care guidelines for the management of persons infected with human immunodeficiency virus: recommendations of the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2004;39:609-629. 22. Mellors JW, Munoz A, Giorgi JV, et al. Plasma viral load and CD4+ lymphocytes as prognostic markers of HIV-1 infection. Ann Intern Med 1997;126:946-954. 23. Hirsch MS, Brun-Vezinet F, Clotet B, et al. Antiretroviral drug resistance testing in adults infected with human immunodeficiency virus type 1: 2003 recommendations of an International AIDS Society-USA Panel. Clin Infect Dis 2003;37:113-128.

Anda mungkin juga menyukai

  • CR GBS
    CR GBS
    Dokumen34 halaman
    CR GBS
    Arief Moricla Rahman
    Belum ada peringkat
  • CR GBS
    CR GBS
    Dokumen34 halaman
    CR GBS
    Arief Moricla Rahman
    Belum ada peringkat
  • Css Depresi
    Css Depresi
    Dokumen13 halaman
    Css Depresi
    Arief Moricla Rahman
    Belum ada peringkat
  • Css Depresi
    Css Depresi
    Dokumen13 halaman
    Css Depresi
    Arief Moricla Rahman
    Belum ada peringkat
  • Jdwal Jaga
    Jdwal Jaga
    Dokumen1 halaman
    Jdwal Jaga
    Arief Moricla Rahman
    Belum ada peringkat
  • Jdwal Jaga
    Jdwal Jaga
    Dokumen1 halaman
    Jdwal Jaga
    Arief Moricla Rahman
    Belum ada peringkat
  • Jdwal Jaga
    Jdwal Jaga
    Dokumen1 halaman
    Jdwal Jaga
    Arief Moricla Rahman
    Belum ada peringkat
  • Jdwal Jaga
    Jdwal Jaga
    Dokumen1 halaman
    Jdwal Jaga
    Arief Moricla Rahman
    Belum ada peringkat
  • Akademi Jendral Maicih Batch 2
    Akademi Jendral Maicih Batch 2
    Dokumen1 halaman
    Akademi Jendral Maicih Batch 2
    Arief Moricla Rahman
    Belum ada peringkat