Anda di halaman 1dari 2

paradoks ria

Saat aku banyak bengong hingga mati gaya di rumah seperti ini. . . Membuatku punya banyak waktu untuk memikirkan banyak hal. Saat ku menonton tv dan melihat tayangan anak anak jalanan yang mengais rejeki di tengah hiruk pikuk ibu kota yang ganas seperti itu, menerbangkan pikiranku. Di samping rumah rumah megah yang anggota keluarganya tiap hari sok sok nggak mau makan nasi. Makan roti dengan banyak macam selai, keju, susu, coklat dan bisa juga diubah menjadi burger. Yang anak anaknya dimanjakan dengan berbagai permainan import, ulang tahun dengan biaya jutaan, tak jarang dipanggilkan artis terkenal kenalan papinya. Yang ibunya tak kalah bling bling. Tiap hari arisan ke sana kemari pamer berlian, intan dan emas putih yang nempel di mana mana. Di samping semua itu, berdiri barisan rumah sempit yang terlihat tak mampu lagi berdiri. Dengan anak anak yang makan dua kali sehari saja suda cukup, baju yang penting nggak bolong kebanyakan suda cukup, tidur di tikar usang suda cukup, apa apa suda cukup. Tidak cukup dicukup cukupkan. Yang sana tidur harus di spring bed mahal, sprei harus bergambar tokoh favorit, selimut harus tebal, bantal juga harus dua. Miris aku melihatnya. Uang dihambur hamburkan. Makan nggak asin sedikit dibuang. Yang satu, yang penting makan, asal kenyang suda alhamdulillah. . . . Satu tempat berparadoks ria. Satu tempat dua dunia. Manusia yang berkecukupan dan sisanya dibuang. Manusia yang jauh dari kata cukup, tapi selalu dicukup cukupkan. Saat aku melihat ibu ibu menggendong bayi. Untuk bisa menarik simpati. Padal bayi sewaan sepuluh ribu rupiah per hari. Lumayan untuk membeli nasi. Tiba tiba datang satpol pp. lari kesana kemari. Kalau suda pergi beraksi lagi. Aku tau semuanya tak kan begitu. Bila semua orang mau memberi. Berbagi dan tidak menonjolkan rasa sombong sebagai sesama ciptaan Tuhan. Masya Allah, sungguh fana dunia ini. Saat ku melihat kakek dan nenek yang seharusnya menikmati masa tua di tengah keluarga, harus berjalan tertatih tatih untuk bisa makan hari ini. Untuk bisa menghidupi diri. Padahal yang sana makanan dibuang buang. Yang sini makanan di idam idamkan. Dicari di tong sampah, di mana mana. Padahal tak ada. Pernah ada program reality show diamana ada kakek dan nenek. Yang nenek sakit, tidak bisa bangun dari tempat tidur. Entah itu tempat tidur atau bukan. Terlihat terlalu kurus hingga tinggal tulang dan kulit saja. Yang kakek juga suda terlalu tua untuk mengurus nenek. Andai mereka ada di tempat yang layak. Andai yang berlebihan uang mau membantu mereka. Pernah suatu hari, aku melihat sebuah keluarga. Keluarga yang tak pernah aku bayangkan sebelumna. Entah apa yang ada di benak mereka. Di tumpukan sampah yang mulai menggunung, ibu dan ayah mencari cari sesuatu. Apa yang bisa dicari di tumpukan sampah basah seperti itu?? Si ibu menemukan

sesuatu. Lalu, dia berikan ke salah satu anaknya. Mereka punya 3 anak. Yang satu kira kira usia sebelas tahunan, yang kedua aku lupa dan yang ketiga masih balita seumuran adikku yang paling kecil(emang pada tau?? La mbuh.). sesuatu itu diberikan ke anak yang paling kecil. Dengan tanpa rasa jijik tiba tiba dia memakannya. Saat itu, ingin sekali aku menangis. Tapi malu.Mereka terlihat seperti gelandangan. Bahkan, lebih dari seorang gelandangan. Pakaian compang camping hingga berwarna hitam pekat, rambut anak anaknya yang terlihat sampai gembel, sampai bisa berdiri di atas kepala. Sopir yang saat itu aku tumpangin berkata kalau mereka ini gila. Aku makin ingin menangis. Tapi malu.Bukan menangisi mereka yang gila, menangisi anak anaknya. Anak yang seharusnya makan makanan bergizi untuk pertumbuhan, pakai baju baju bagus, kalau yang cewe didandani, entah dikucir, dikepang, atau di apain kek kayak adikku. Mereka mandi ajah pasti jarang. Ya Allah. . .sungguh fana dunia ini. Coba bayangkan bagaimana kehidupan mereka. Mau tidur dimana. Makan apa. Membayangkan hal seperti itu membuatku benar benar prihatin. Benar benar ingin menangis. Orang yang berlebih lebihan buang buang makanan seenak wudele dw. Orang yang kekurangan, sekuat tenaga mencari makanan hingga di gunungan sampah yang pasti jauh dari kata sehat, apalagi bergizi. Layak saja tidak. Sekilas aku melihat mereka, anak anaknya begitu lugu. Hanya berdiri di tepi sampah yang tergeletak begitu saja di tepi jalan mengamati ayah dan ibunya yang membolak balik sampah. Apalagi yang kecil. Makan dengan lahapna. Saat itu, aku tiba tiba teringat adikku di rumah. Adik, kakakmu yang kadang galak ini, pasti akan menyayangimu selalu!!! Tak kan ku biarkan kau seperti itu. Never! Andai saja ada yang peduli pada mereka. Sayangna aku masi kecil. Belum bisa cari uang. Masi hidup numpang. Andai dan andai. . . . . Anak anak kecil yang berlepotan debu juga tak mau kalah. Sok berdesak desak kan di kerumunan, pulang pulang bawa uang. Nyopet. Ada juga yang bersuara sumbang tapi PD banget nembang di angkotan. Ada yang tiba tiba naik bis, lalu membagikan amplop dari depan ke belakang dan kalau nggak salah bertuliskan tolong keiklasaanya. Buat makan sehari hari. Ada yang tiap hari berkhayal. Punya seragam, status siswa, tiap hari belajar, besar jadi orang. Padahal yang di sana, yang berseragam bekas setrika, berangkat sekolah naek mobil, malas malasan belajar. Baru bel masuk, suda pingin pulang. Kalu kepentok males, jadi berangkat nikung di kantin. Benar benar tak mensyukuri. Semua itu tidak akan terjadi. Bila orang orang ingin berbagi. Tidak tertutup harta yang kian hari kian dikeruk untuk kesenangan pribadi. Untuk disimpan dan disimpan. Padal mati hanya bawa modal kain kafan dan amal. Untuk apa. . . . . . Alangkah sia sianya kita bila apa yang kita miliki tidak untuk dibagi. Sia sialah kita kalau usaha kita selama hidup tidak dirasakan oleh orang yang kekurangan. Betapa malangnya suatu negara bila yang ada di negara itu hanya ingin menyenangkan diri saja. Huuuuh, semoga kita bukan termasuk di dalamnya. Amien. . . .

Anda mungkin juga menyukai