Anda di halaman 1dari 5

Ilustrasi Ekspor.

ANTARA/Yudhi Mahatma/ed/nz/11

Krisis, Ekspor Malah Naik 24 Persen


Jakarta - Nilai ekspor Indonesia pada tahun 2011 tercatat sebesar US$ 203,62 miliar. Angka ini meningkat sebesar 24,88 persen dibandingkan ekspor 2010. "Ekspor Indonesia berhasil menembus target," kata Pejabat Sementara Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, dalam acara temu wartawan di Kantor Pusat BPS, Rabu, 1 Februari 2012. Sebelumnya pemerintah menetapkan target ekspor sebesar US$ 200 miliar di tahun 2011. Sektor industri menjadi motor utama peningkatan ekspor secara nasional. Industri menyumbang US$ 122 miliar sepanjang 2011, atau sebesar 60 persen dari total nilai ekspor. Pada tahun 2010 nilai ekspor industri hanya tercatat sebesar US$ 98 miliar. Sektor nonmigas lainnya, yaitu pertanian dan pertambangan, masing-masing menyumbang 2,54 persen dan 17,02 persen dari keseluruhan ekspor. Sementara itu ekspor sektor migas hanya mencapai US$ 41 miliar atau sebesar 20,43 persen dari total ekspor. Sektor migas tetap mencatat kenaikan volume ekspor sebesar 48,34 persen dibandingkan periode sebelumnya. Untuk pasar ekspor, Cina masih menjadi tujuan utama produk ekspor Indonesia dengan nilai total US$ 2,147 miliar, disusul Jepang dan Amerika Serikat, masing-masing sebesar US$ 1,604 miliar dan US$ 1,285 miliar.

Kala tani tak lagi identik miskin


Senin, 30 Januari 2012 11:58 WIB | 2182 Views Ganet Dirgantara

Tanaman cabai (FOTO ANTARA/Musyawir)


Kunci keberhasilan menjadi petani cabai haruslah memahami perilaku cabai. Mulai dari waktu memberikan makan (pupuk), minum, serta penanganan dalam menghadapi penyakit. Berita Terkait

Bupati Majalengka tak setuju Cirebon jadi provinsi Panen cabai Waykanan diperkirakan melimpah Air zat gizi esensial yang sering terlupakan Tapal batas Temajuk mulai menggeliat Musim banjir tiba, antisipasi siaga
Majalengka (ANTARA News) - Menjadi petani tidak identik dengan kemiskinan, setidaknya penduduk di Desa Suniabaru, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Masyarakat di sana membuktikan lebih dari 80 persen penduduk di desa berhawa sejuk itu, sejak 1997, telah menikmati kesuksesan dari profesi bertani. Menurut Fachrudin, salah seorang dari penduduk desa yang sukses dari bertani, sebagian besar anak muda di desanya tidak ada yang berkeinginan menjadi pegawai, termasuk mencari pekerjaan ke kota besar. "Anak muda di sini lebih memilih menjadi petani ketimbang menjadi pegawai," ujar

Fachrudin. Adalah tanaman cabai yang telah meningkatkan kesejahteraan penduduk desa tersebut. Tak heran, sebagian besar lahan pertanian dan kebun masyarakat di Desa Suniabaru, ditanami tanaman cabai. Seluruh produksi cabai dari daerah inilah yang selama ini memasok kebutuhan warga Jakarta dan sekitarnya. Fachrudin adalah satu dari puluhan petani cabai di Desa Saniabaru. Tahun lalu, pria berusia 54 tahun itu berhasil meraih penghargaan sebagai petani terbaik ditingkat provinsi dan kabupaten karena keuletannya mengembangkan tanaman cabai. Kini Fachrudin menjadi panutan petani di daerahnya. "Kunci keberhasilan menjadi petani cabai haruslah memahami perilaku cabai. Mulai dari waktu memberikan makan (pupuk), minum, serta penanganan dalam menghadapi penyakit," ujarnya. Berkat kerja keras, mau belajar memahami karakter tanaman cabai, serta menggunakan benih hibrida yang berkualitas, Fachrudin mampu membuat tanaman cabainya menghasilkan tiga ton cabai segar dalam satu kali panen. Padahal, tanaman cabai yang ditanamnya mampu 24 kali panen dalam tiga bulan. Tatkala harga cabai di tingkat petani dihargai Rp20.000 per kilogram, maka Fachrudin bisa mengantongi setidaknya Rp60 juta untuk satu kali panen. Sebagai perbandingan, umumnya, petani cabai yang menanam benih cabai non hibrida, hanya mampu memanen kurang dari satu ton cabai dalam sekali panen. Bahkan, kendati harga cabai saat ini sangat berfluktuasi, hal itu tidak merisaukan Fachrudin. Pria yang pendidikan formalnya hanya sampai setingkat sekolah dasar itu menggandeng puluhan petani yang tergabung dalam kelompok tani Karya Nyata. Bersama-sama, Fachrudin membeli mesin giling dan mesin kemasan plastik untuk membuat cabai kering giling. "Kalau harga cabai kurang bagus maka kami jual dalam bentuk cabai kering giling dalam kemasan plastik hampa udara. Sehingga, cabai bisa bertahan lama dan harga jualnya tidak jatuh," ujar dia.

Menurut dia untuk kemasan cabai kering giling 400 gram yang diproduksinya, berasal dari satu kilogram cabai segar yang prosesnya mulai dari pengeringan, penggilingan menjadi bubuk, dan pengemasan. Tidak Betah Fachrudin merasa keberhasilannya mengembangkan tanaman cabai saat ini salah satunya berkat didikan dan gemblengan orang tuanya sejak kecil. Merasa jenuh ikut orang tua bercocok tanam, Fachrudin memutuskan untuk berganti profesi dengan berdagang di Kota Bandung pada 1983. Namun, jerih payahnya menjadi pedagang kurang memberikan pendapatan yang optimal. Akhirnya, pada tahun 1997, dia memutuskan kembali ke Majalengka. Berbekal uang yang didapat dari hasil berdagang, Fachrudin membeli sepetak lahan pertanian di Suniabaru sebagai awal hidupnya bertani. Rupanya darah petani yang mengalir pada dirinya membuat keputusannya kembali ke desa tak sia-sia. Rupiah demi rupiah berhasil dikumpulkan sehingga lahan yang semula hanya 2.000 meter persegi kini sudah bertambah menjadi satu hektar (10.000 meter persegi). Fachrudin mengaku, keberhasilan menjadi petani dikarenakan dirinya banyak belajar dan mengikuti perkembangan teknologi, serta rajin mengikuti berbagai pelatihan tentang pertanian. Titik awal kesuksesannya menjadi petani cabai dimulai ketika ia mengikuti pelatihan yang digelar perusahaan benih PT East West Seeds Indonesia (Ewindo) pada 2001. Berkat pembinaan perusahaan tersebut, ia yang semula menggunakan benih biasa (non hibrida) telah menukarnya dengan benih hibrida yang hasilnya jauh lebih banyak. Dia juga banyak belajar dengan petugas penyuluh lapangan Ewindo yang dikombinasikan dengan pengalamannya sebagai petani. Fachrudin mengatakan, apabila menggunakan benih non hibrida, tanaman cabai hanya menghasilkan empat ton per hektar, tetapi dengan menggunakan benih hibrida, produksinya bisa mencapai 12 ton untuk lahan satu hektar. Keberhasilan ini lah yang ditularkan kepada kelompok tani yang dipimpinnya, sehingga apabila pada 2002 yang menggunakan benih hibrida baru 60 hektar, pada

tahun 2011 sudah mencapai 110 hektar. Fachrudin mengatakan, tidak semua petani di Desa Suniabaru menanami lahannya dengan cabai. Beberapa mengembangkan terong, jagung, kol, dan sayuran lainnya.

Bahkan Fachrudin mengakui lahan yang dimilikinya tidak semata ditanami cabai. "Harus diselingi dengan tanaman lain, tujuannya menghindarkan dari penyakit, kalau kita tanami dengan tanaman yang sama sangat rentan terhadap penyakit," ujar Fachrudin.

Anda mungkin juga menyukai