Anda di halaman 1dari 3

TEKNOLOGI GPS UNTUK AGRONOMI Perhitungan produksi padi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) kerap menimbulkan

pro kontra. Bahkan ada yang menganggap perhitungannya cenderung overestimate. Untuk itu Departemen Pertanian berencana menerapkan perhitungan luas panen tanaman padi dengan menggunakan teknologi GPS (Global Positioning System).

Kepala Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian, Edi Abdurrachman usai membuka Temu Koordinasi Kehumasan Departemen Pertanian di Bogor, Selasa (24/3) mengatakan, saat ini setiap kabupaten di 21 provinsi sudah mendapatkan masing-masing dua alat GPS. Diakui, selama ini perhitungan luas panen tidak diukur langsung dan hanya menggunakan prakiran (eye estimate). Cara ini masih menimbulkan perdebatan dimasyarakat. Bahkan ada

pengamat yang menyatakan hasil perhitungan produksi padi saat ini over estimate. Sedangkan untuk menghitung produktivitas hanya berdasarkan sampel yang jumlah 60 ribu sampel. Jumlah sampel itu masih relatif kecil dibandingkan dengan luas areal sawah yang ada di Indonesia seluas hampir 7 juta hektar. Apalagi dibandingkan dengan luas panen selama satu tahun yang mencapai 12 juta hektar. Berdasarkan ilmu statistika sampel sebanyak 60 ribu itu seharusnya hanya untuk satu propinsi. Sebelumnya jumlah sampel yang diambil BPS mencapai 120 ribu. Saya tidak tahu mengapa jumlah sampelnya dikurangi, katanya. Pengukuran luas panen padi selama ini dilakukan mantri tani yang berada di bawah dinas pertanian. Sedangkan perhitungan produktivitas tanaman padi dilakukan mantri statistika dengan mengambil sampel ubinan ukuran 2,5 meter kali 2,5 meter. Dari penghitungan luas panen dan produktivitas itu didapatkan produksi padi nasional. Hasil perhitungan Badan Pusat Statistika (BPS) pada angka ramalan (ARAM) I 2009, produksi padi nasional sebanyak 60,93 juta ton gabah kering giling (GKG). Hasil uji coba di Kabupaten Subang (Jawa Barat) Brebes (Jawa Tengah) dan Sidrap (Sulawesi Selatan) ternyata hasil pengukuran luas areal tanaman padi secara manual lebih tinggi dibandingkan menggunakan GPS. Karena itu pemerintah berupaya memperbaiki sistem pencatatan dan perhitungan produksi padi. Salah satunya dengan pelatihan kepada petugas pencatatan di kabupaten di seluruh Indonesia cara pencatatan dengan GPS, katanya. Dikatakan, nantinya alat GPS yang sudah ada di kabupaten bisa digunakan bergantian di tingkat kecamatan.Dengan masih terbatasnya jumlah GPS, Pemerintah Pusat berharap Pemerintah Daerah ikut berpartisipasi dengan menambah alat GPS melalui dana APBD. Apalagi harga alat ini relatif murah hanya sekitar Rp5 juta/unit. Pada tahun 2009, pemerintah melalui Deptan akan menambah alat GPS sebanyak 500 unit. Alat itu rencananya akan diberikan ke dinas perkebunan untuk membantu menghitung luas areal perkebunan. Selain itu juga ke daerah yang belum menpapatkan bantuan, khususnya wilayah Indonesia Timur. Kita harapkan tahun depan seluruh propinsi yang sudah mendapatkan bantuan GPS dapat melakukan perhitungan produksi padi dengan alat tersebut. Sehingga tidak menimbulkan keraguan lagi dalam perhitungan angka produksi padi, kata Edi. Data BPS, dibandingkan produksi padi 2008, produksi padi tahun ini meningkat sebanyak 680 ribu ton atau 1,13%. Angka sementara produksi padi 2008 sebanyak 60,25 juta ton GKG. Peningkatan peningkatan produksi padi nasional disebabkan naiknya luas panen sekitar 113 ribu hektar, dari 12,3 juta hektar menjadi 12,422 juta hektar. Di Jawa terjadi kenaikan luas panen sekitar 38.740 hektar, sedangkan di luar Jawa luas panen naik 74.260 hektar. Selain itu juga secara nasional terjadi peningkatan produktivitas dari 48,95 kuintal/hektar menjadi 49,05 kuintal/hektar. Namun untuk di Jawa, produktivitas turun dari 56,34 kuintal/hektar menjadi 56,21 kuintal/hektar. Sedangkan di luar Pulau Jawa naik dari 48,95 kuintal/hektar menjadi 49,05 kuintal/hektar. Kenaikan produksi padi tahun 2009 diperkirakan terjadi di Jawa seluas 140 ribu ton dan luar Jawa 540 ribu ton. Sumbangan peningkatan produksi padi berasal dari provinsi Jawa Barat, Sumatera

Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Riau. BPS over estimate Sementara itu Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir mengaku sangat mendukung jika pemerintah memperbaiki perhitungan luas areal sawah dengan menggunakan GPS. Sebab, selama ini perhitungan produksi padi yang dilakukan BPS cenderung berlebihan (overestimate). Padahal persoalan yang ada justru menghambat peningkatan produksi. Winarno menilai, pencatatan produksi padi yang selama ini dilakukan BPS banyak kelemahannya. Bahkan cara pengambilan sampel melalui metode ubinan yang dilakukan mantri tani dan mantri statistik, data produksi padi BPS lebih besar 10-20% dari sebenarnya. Karena itu dia mengkhawatirkan, kesalahan dalam menghitung data produksi padi akan berakibat kesalahan pemerintah dalam membuat kebijakan. Misalnya, ketika pemerintah memutuskan ekspor beras yang terjadi justru pro-kontra. Padahal jika data produksi padi itu benar, maka konflik tidak perlu terjadi. Winarno mengusulkan, agar pemerintah segera memperbaiki cara kerja, termasuk dalam pengambilan dan memperbanyak sample yang dilakukan petugas BPS. Kalau memang diperlukan anggaran tambahan untuk meningkatkan kinerja BPS saya setuju saja. Karena memang persoalan data sangat penting dan menentukan arah pembuat kebijakan, tuturnya. Bukan hanya kalangan petani, peneliti ekonomi pertanian juga menganggap data produksi padi yang dikeluarkan BPS cenderung overestimate. Bahkan trennya semakin membesar dari tahun ke tahun, sehingga dikhawatirkan arah kebijakan pertanian menjadi kurang tepat. Banyak kelemahan dari data produksi padi yang dikeluarkan BPS. Bukan masalah metodenya, tapi permasalahannya adalah dalam pelaksanaan di lapangan termasuk pengambilan sample, kata peneliti soisal ekonomi IPB, D.S Priyarsono. Dia mengakui, dalam menghitung produksi padi tidak lah mudah. Dalam menghitung produksi padi secara umum memang menggunakan rumus luas panen dikalikan produktivitas. Untuk mendapatkan data produksi padi biasanya dilakukan oleh mantri tani dan mantri statsitika. Hasil penelitian IPB terungkap bahwa luas baku sawah tidak pernah berkurang. Padahal, jelasjelas dalam kurun waktu tertentu telah terjadi alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian seperti industri. Dia mensinyalir, adanya conflict of interests dari mantri tani membuat mereka memberikan laporan tidak sesuai fakta dengan memperbesar data. Dengan demikian, laporan data luas panen cenderung overestimate. Saya mengusulkan, pencatatan produksi padi serahkan saja seluruhnya ke mantri statistik atau BPS karena tidak ada conflict of interests, tanpa melibatkan mantri tani atau petugas Deptan tegasnya. Selain itu Priyarsono juga menyarankan, agar pemerintah menggunakan teknologi satelit pengindraan jarak jauh yang sudah ada di Bakorsurtanal untuk mengetahui luas panen padi. Teknologi ini sudah banyak digunakan di luar negeri. Selama ini kita menggunakan metode eye estimate, sehingga hasilnya cenderung perkiraan dan menduga-duga, kata dia

Anda mungkin juga menyukai