Anda di halaman 1dari 5

Pada pendapat teeuw,penjadian bahasa Indonesia dari bahasa melayu pada sumpah pemuda 28 Oktober 1928 merupakan.

bahkan dapat disebutpengakuan keyakinan.pada tokoh pegerakan nasional dan pemuda terpelajar,seperti Muhammad Yamin,Rustam Effendi,Amir Hamzah,Sanus Pane,Armijn Pane,dan ditegaskan oleh Bakri Siregar bahwa masa awal sastra Indonesia modern tidak bias di pisahkan dari masalah masyarakat da bangsa Indonesia dalam perkembngan sejarahnya,dengan alat sastra itulah tampak kesadaran sosial dan politik bangsa Indonesia pada awal abad ke-20. Kutipan pendapat Bakri Siregar tokoh-tokoh multatuli,R.A.Kartini,Ki Hadjar Dewantara,Mas Marko Kartodikromo,Semaun,dan Rustam Effendi sebagai juru bicara kesadaran sosial yang melawan kolonialisme Belanda ( Siregar,1964:17-30 ),menurut Bakri,tokoh multatuli ( Eduard Douwes Dekker,1820-1887 ) adalah orang belanda yang humanis dan menaruh simpati besar terhadap penderitaan rakyat Indonesia,khususnya dijawa. Raden Ajeng Kartini (1879-1904 ) disebut juga sebagai juru bicara. Kesadaran sosial melawan kolonialisme karena tulisan-tulisannya mengandung simpati kepada rakyat jelata dan mengkritik kolonialisme dengan bahasanya yang lembut.tulisa-tulisan R.A.Kartini kemudian terkenal setelah diterbitkan dalam buku door duisternis tot licht (Habis gelap habislah terang ), Sedangkan edisi barunya terbit dengan judul surat-surat kartini: Renungan tentang dan untuk bangsanya ( terjemahan sulastin sutrisno,1979).adapun Ki Hajar Dewantara yang terkenal sebagai pendiri lembaga Pendidikan Taman Siswa diakui tokohnya olehBakri siregar dalam konteks pendidikan dan pengajaran yang benar-benar berpihak kepada pribumi, sedangkan Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan Rustam Efendi didudukan sebagai tokoh-tokoh pergerakan politik dan pers perjuangan yang berkesempatan juga mengarang sastra. Dari tangan Mas Marco lahirlah student hijo (1919) dan Rasa Merdeka (1924): dari Semaun lahir Hikayat Kadirun (1924), dan dari Rustam Efendi lahirlah Bebasari (1926) yang semuanya telah menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Perjuangan itu pun diperlihatkan oleh Bakri Siregar pada gerakan kebudayaan Pujangga Baru dengan pernyataan bahwa Pujangga Baru sampai pada batas-batas tertentu memberikan kemungkinan untuk saluran gerakan nasional dalam politik, mulai dari yang kiri sampai yang kanan, dari yang sadar politik sampai pada yang tidak sadar politik, bahkan memisahkan diri dari perjuangan politik.Pendapat Ajip Rosidi dalam bagian awal Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969:113) dapat diringkas sebagai berikut. Perkenalan masyarakat Nusantara dengan bangsa portugis, belanda, dan inggris pada abad ke-16 dan ke-17 telah mengubah nasib masyarakat Nusantara dari bangsa merdeka menjadi bangsa jajahan belanda selamaratusan tahun. Oleh karena itu mulailah dibuka sekolah-sekolah untuk anak bumiputra dengan mata pelajaran mengenai tata cara kehidupan, ilmu bumi negeri belanda, pengetahuan umum, moral, dan bahkan bahasa belanda. Usaha tersebut menimbulkan reaksi para pemimpin nasional Indonesia yang kemudian giat memperjuangkan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan nasional sehingga pada 28 Oktober 1928 terceteluslah Sumpah Pemuda.

Dalam zaman Maman S.Mahayana melalui artikelnya berjudul Masalah Angkatan dalam Sastra Indonesia yang dimuat dalam Sembilan Jawaban dalam sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik ( Mahayan, 2005: 389-400). MenurutMaman, Ajip dan Teeuw secara apriori telah menyimpulkan kelahiran kesusastraan Indonesia modern hanya berdasarkan karya yang publikasikan sebagai buku. Maman mengatakan bahwa dari periode Balai Pustaka sampai Angkatan 45 ada kesadaran kolektif sastrawan pada kebutuhan pemikiran, Kecendekian, dan ilmu sebagaimana dikatakan Budi Darma. Dalam kerangka elan nasionalisme dan cita-cita membangun masyarakat Indonesia yang merdeka (Mahayani, 2005: 392-394). Masalah itu pun sudah di bahas Ajip Rosidi dalam artikelnya berjudul Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1962) yang dimuat lagi dalam Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1985). Tanggapan Maman pun terbatas pada masalah penerbitan majalah dan surat kabar, sedangkan masa atau waktunya tetap berkisar pada lahir akhir abad ke-19 dan awal abad ke20. Mengenai awal sejarah sastra Indonesia adalah tahun 1900-an, baik di tinjau dari segi kebahasaan, kemasyarakatan ,kebangsaan, maupun penerbitannya. Hingga sekarang sejarah sastra Indonesia telah berlangsung relatif panjang dengan perkembangan yang terbilang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar. Sejumlah buku sejarah sastra Indonesia tercatat secara kronologis sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru Oleh A.Teeuw (1952), Sejarah Sastra Indonesia oleh Bakri Siregar (1964), Kesusatraan Baru Indonesia oleh Zuber Usman (1964), Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia oleh Ajip Rosidi (1969), Modren Indonesia Literature I-II oleh A.Teeuw (1979), Sastra Baru Indonesia oleh A.Teeuw (1980), Sari Kesusastraan Indonesia oleh J.S. Badudu (1981),

Dalam artikel Beberapa Catatan tentang Penulisan Sejarah Sastra (Damono, 2000) tercatat berbagai masalah penulisab sejarah sastra Indonesia, seperti siapa penulisnya, apa ideologinya, siapa pembaca sasarannya , dan apa sajak pokok bahasannya, Sejarah sastra dapat didasarkan pada perkembangan stilistik, tematik, ketokohan, atau konteks social, yang semuanya merupakan sarana menempatkan sastra sedemikian rupa sehingga memiliki makna bagi masyarakatnya. Terhadap sebuah karya sastra, misalnya, dapat dikembangkan telaah historis mengenai asal-usulnya, penerbitannya, persbarannya, cetak ulangnya, tirasnya, kritiknya, dan lain-lain. Misalnmya, Sejarah roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Roman ini menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena pasti disebut dalam hamper setiap buku pelajaran sastra Indonesia dengan alas an tertentu.

Masalah kepengarangan dapat juga di telaah dalam sejarah sastra Indonesia, misalnya sejarah kepengarangan Achdiat K.Mihardja, Armijn Pane, Chairil Anwar, Nh. Dini, Pramoedya Ananta Toer, Ramadhan K.H. Sanusi Pane, S. Takdir Alisjahbana, dan Rendra. Masalah pengajaran sastra Indonesia ,misalnya, dapat juga ditulis menjadi pengajaran sastra Indonesia di sekolah menengah yang didalamnya dapat dibahas mendalam sejumlah persoalan, seperti sejak kapan disusun kurikulum sastra, siapa saja perumusnya, bagaiman penerapannya disekolah, dan bagaimana perkembangannya.

2.4 Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia


Masalah periodisasi sejarah sastra Indonesia secara eksplisit telah diperlihatkan oleh Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), Jakob Sumardjo dalam Lintasan Sejarah Sastra Indonesia 1 (1992), dan Rachmat Djoko Pradopo dalam beberapa teori Sastra, Metode Kritik dan penerapannya (1995). Secara garis besar Ajip Rosidi (1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai berikut. I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencangkup kurun waktu 1900-1945 yang Dapat dibagi lagi menjadi beberapa period, yaitu 1. Period awal hingga 1933 2. Period 1933-1942 3. Period 1942-1945 II. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat di bagi-bagi menjadi beberapa period, yaitu 1. Period 1945-1953 2. Period 1953-1961 3. Period 1961-1968 Pada Kenyataan telah tercatat lima angkatan yang muncul dengan rentang waktu 10-15 tahun sehingga dapat disusun periodisasi sejarah sastra Indonesia modern sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sastra Awal (1900-an), Sastra Balai Pustaka (1920-1942), Sastra Pujangga Baru (1930-1942), Sastra Angkatan 45 (1942-1955), Sastra Generasi Kisah (1955-19650, dan Sastra Generasi Horison (1966-).

Dikatakan oleh Jakob bahwa penamaan itu didasarkan pada nama badan penertiban yang menyiarkan karya para sastrawan, seperti Penerbit Balai Pustaka, majalah Pujangga baru, majalah kisah, dan majalah horizon, kecuali angkatan 45 yang menggunakan tahun revolusi tahun Indonesia. Ada juga penamaan Angkatan 66 yang dicetuskanH.B.Jassin dengan merujuk gerakan politik yang penting di Indonesia pada sekitar tahun 1966.

Peendapat Rachmat Djoko Pradopo tertuang dalam artikel Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia yang merupakan tulisan pertama dalam Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya (1995: 1-35). Berasal dari tulisan Racmat Djoko Pradopo yang dimuat dalam Horison No.6 tahun II juni 1967 Berjudul Penggolongan Ankatan dan Angkatan 66 dalam sastra dengan tambahan dan pemecahan baru. Adapun ringkasanya kurang lebih sebagai berikut.Yang di maksud angkatan ialah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam satu kurun masa atau menepati suatu periode tertentu kesamaan atau sekurang-kurangnya kemiripan ide , gagasan, atau semangat sebagai akibat logis dari interaksi mereka yang sezaman.Penulisan sejarah sastra Indonesia dapat dilakukan dengan dua cara atau metode, yaitu (1) menerapkan teori estetika resepsi atau estetika tanggapan, dan (2) menerapkan toeri penyusunan rangkaian perkembangan sastra dari periode ke periode atau Angkatan ke angkatanSetelah meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari H.B.Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, Ajip Rosidi, Maka tawaran Rachmat Djoko Pradopo mengenai periodisasi sejarah satra Indonesia adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Periode Balai Pustaka: 1920-1940, Periode Pujangga Baru: 1930-1945, Periode Angkatan 45: 1940-1955, Periode Angkatan 50: 1950-1970, dan Periode Angkatan 70: 1965- sekarang (1984)

Tradisi awal sastra Indonesia yang dimulai oleh para pengarang keturunan Tionghoa dan tokoh-tokoh pergerakan nasional itu tampak pada karya mereka yang kebanyakan diterbitkan oleh pihak swasta. Dirumuskan format baru bedasasrkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu (1) Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, (2) Geger politik dan tragedy nasional 30 September 1965, dan (3) Reformasi politik 21 Mei 1998. Geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965 bukan peristiwa yang tiba-tiba terjadi dan sampai sekarang merupakan bahan kajian yang memikat perhatian para ahli sejarah dan politik. Reformasi politik Mei 1998 dapat dipandang sebagai klimaks kehendak masyarakat untuk memperoleh kehidupan sosial, politik, dan budaya yang lebih segar, santun dan demokratis. Dengan dasar pemikiran seperti itu, ketiga momentum besar tersebut dapat di pergunakan sebagai tonggak-tonggak pembagian waktu sejarah sastra Indonesia sehingga muncul format baru seperti telah disebut awal buku ini, yaitu (1) masa pertumbuhan atau kebangkitan (1900-1945), (2) masa revolusi atau pergolakan (1945-1965), masa pemampanan (1965-1998), dan (4) masa pembahasan (1998-sekarang). Kepercayaan gelanggang tahun 1950, munculnya organisasi kebudayaan bentukan partai seperti Lekra [1950], LKN [1959], dan lesbumi), pasang surut majalah sastra (seperti kisah, sastra, dan cerpen), deklarasi manifest kebudayaan, dan campur tangan kekuasaan dan politik ke tengah kehidupan sastra. Masa pemampanan dapat mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1965-1998 dengan alas an pada masa itu terjadi pemampanan.

Anda mungkin juga menyukai