Anda di halaman 1dari 3

SEPUTAR KASUS TENURE

Suku-suku Asli Indonesia Ungkapkan Sukaduka


Jambi, Selasa Kompas Ciber Media (KCM), 18 Januari 2005 Masyarakat suku-suku asli Indonesia, mengungkapkan suka dan dukanya untuk mempertahankan kawasan tempat tinggal mereka pada Forum pertemuan suku-suku asli Indonesia yang difasilitasi Komunitas Konservasi Indonesi (KKI) Warsi Jambi di Jambi, Selasa. Suku-suku asli Indonesia yang mengungkapkan suka dan dukanya pada forum pertemuan itu dari wilayah Sumatera adalah Orang rimba/suku anak dalam atau dikenal suku kubu dan Bathin IX, di Jambi, suku Mentawai (Sumatera Barat), suku Talang Mamak Sungai Gangsal dan Talang Mamak Tiga Balai (Riau). Sedang dari Jawa, masyarakat kesepuhan Taman Nasional Gunung Halimun (Jawa Barat dan Banten), suku Dayak Punan (Kalimantan), serta dari Sulawesi yaitu Suku Wana, Suku Seko, Suku Moronene, dan Bajau Togean. Lalu dari wilayah Sumatera lainnya Suku Sakai, Orang Akit, Orang Utan, Orang Kuala, Orang Bajau, Orang Lum, dan Orang Sekak Laut. Selester Saguruwjuw, mewakili suku Mentawai Sumatera Barat, mengatakan kehadiran PT Minang Sejahtera dan PT SSS yang mengeksploitasi hutan di kawasan tempat tinggal mereka selama ini telah membawa kesengsaraan, bahkan menimbulkan konflik diantara sesama. Akibat itu, katanya telah terjadi peristiwa pembakaran camp perusahaan kayu, dan mereka telah meminta Menteri Kehutanan (Menhut) untuk mencabut izin perusahaan tersebut. Sementara, Wak Ugis mewakili masyarakat Kesepuhan TN Gunung Halimun Jawa Barat dan Banten, kehadiran masyarakat kesepuhan di kawasan taman nasional itu sejak 1958, menjadi satu persoalan dan sering mendapat ancaman dari pemerintah agar mereka keluar dari taman. Padahal, katanya masyarakat Kesepuhan yang ada di taman meliputi wilayah Bogor, Sukabumi, dan Banten telah lama tinggal di kawasan itu. "Kami diancam diusir pemerintah, karena dianggap menyerobot lahan, padahal itu adalah tanah milik kami sendiri," katanya. Persoalan itu mencuat beberapa tahun lalu, ketika pemerintah pusat hendak melakukan perluasan TN Gunung Halimun. "Yang menjadi pertanyaan bagi masyarakat kesepuhan hingga mereka diancam diusir keluar dari taman, adalah siapa yang dulu datang ke kawasan, mereka atau pemerintah," katanya mempertanyakan.

Tak mau disebut terasing Masyarakat kesepuhan, juga tak ingin disebut sebagai masyarakat tertinggal atau terasing, karena mereka selama ini berdiam di kawasan itu tidak mau menambah persoalan dengan orang-orang luar yang dinilai sering menzholimi.

Karena itu, guna mempertahankan kawasan tempat tinggal mereka telah membentuk organisasi masyarakat adat Banten Kidul, dan bekerjasama dengan LSM untuk melakukan pemetaan hutan adat, serta kerjasama dengan Universitas Pajajaran Bandung dalam pengelolaan hutan. Hal yang sama juga diungkapkan Tumenggung Tarif, ketika era pemerintah Orde Baru (Orba) kawasan tempat tinggal mereka Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) di Kabupaten Sarolangun, Jambi tidak bisa berbuat banyak masuknya para penebang kayu liar (illegal logging). "Apabila kami mengadaka reaksi kami langsung diancam akan dibunuh, sehingga eksploitasi hutan dan pembukaan lahan perkebunan di kawasan hutan adat mereka terus berkembang," katanya. Namun, setelah reformasi mereka mulai bereaksi keras dan melakukan perlawanan bagi siapa saja yang menebang kayu di kawasan TNBD. Tumenggung Tarib yang mendapat penghargaan tertinggi tentang lingkungan masa era Presiden Megawati Soekarnoputri, karena mampu memprakarsai kelompoknya dengan menanam pohon karet di perbatasan taman guna menghadang orang luar masuk ke kawasan taman. "Tanaman karet itu kami jadikan batas wilayah, sehingga orang luar untuk menebang kayu dan mengambil hasil hutan lainnya di dalam kawasan taman tak dibenarkan," ungkap Tarif, ketua kelompok suku anak dalam Desa Air Hitam itu. Sedang Suhelmi, masyarakat Talang Mamak, dan Sakai Riau dalam memperjuangkan kawasan hutan alam dan hutan bakau dari kegiatan penebangan langsung melakukan perlawanan dengan pihak luar dan meminta dukungan dari pemerintah daerah dan pusat. "Kami terpaksa melakukan perlawanan itu untuk mempertahankan hak ulayat kami, karena terus dieksploitasi," kata Suhelmi. Pada forum diskusi tersebut juga menghadirkan Unesco, Ford Foundation, serta sejumlah NGO dalam dan luar negeri, serta para pemerhati lingkungan hidup di Indonesia. Direktur KKI-Warsi Rudi Syaf menjelaskan, latar belakang menggelar forum diskusi itu, karena kini kehidupan suku-suku asli di Indonesia yang menjadi aset bangsaitu kehidupannya makin terancam dan memprihatinkan akibat berbagai proses marginalisasi, sementara mereka mempunyai hak untuk hidup. Misalnya Suku anak dalam atau dikenal suku "Kubu" di Jambi yang ratusan tahun turun temurun hidup di kawasan hutan belantara, kini makin termarginalisasi karena kawasan hutan tempat mereka hidup sudah rusak. Padahal, suku itu berhak untuk mempertahankan hidup di kawasan hutan, dan mereka harus dilindungi dan diberdayakan. Karena itu, forum diskusi suku-suku asli minoritas di Indonesia perlu dijadikan wadah guna mendorong atau membangun komunikasi diantara mereka dan para pemerhati. "Forum diskusi dapat dijadikan untuk saling membagi rasa atau pengalaman, sekaligus menggalang solidaritas antar suku-suku asli di Indonesia", demikian Rudi Syaf. Forum pertemuan itu berlangsung selama dua hari (18-19 Januari 2005), dan dijadwalkan para peserta akan meninjau kawasan suku anak dalam Jambi di TNBD, Kab. Sarolangun pada 19 Januari 2005. (Ant/jy)

Copyright 2005-2006 WG Tenure | Working Group on Forest Land Tenure Gedung Badan Planologi Kehutanan, Jl. Ir. H. Juanda No. 100 Bogor 16122 Telp./Fax. : +62 251 381384 Email: wg_tenurial@cbn.net.id
Web developed by: anis rohmani

Anda mungkin juga menyukai