Anda di halaman 1dari 2

Kembalinya Tim Ekspedisi Borobudur

"Perjalanan terberat ekspedisi Borobudur ini, kami alami pada "leg" ketiga yaitu perjalanan dari Madagaskar-Cape Town. Soalnya, kami harus melalui "jalur maut" yang ditakuti pelaut ulung, Tanjung Harapan." RUANG rapat Gedung Sapta Pesona di lantai 16 tiba-tiba berubah hening ketika Kapten Laut (P) I Gusti Ngurah Putu Sedana memulai kisah perjalanannya. Ya, sebuah perjalanan menelusuri jejak nenek moyang di abad ke-8 dengan kapal kecil bernama "Samuderaraksa" yang hanya berukuran panjang 18,29 m dan lebar 4,25 m, dengan isi kotor GT 31 atau NT 24, dan 20 awak. Selain Sedane, hadir pula di gedung yang berlokasi di Jln. Medan Merdeka Barat Jakarta Pusat itu, 6 "teman" seperjuangan lainnya berikut si pembuat kapal, H. As'ad Abdullah. Keenam temannya itu adalah Niken Maharani, Serlin. Irfan Risnandar, Muhammad Abduh, Mujoko, dan Anthoni Ugiono. Sementara itu, empat ABK lainnya tak melakukan "penampakan". Kisah heroik 10 "pelaut" Indonesia itu, memang sengaja diceritakan di hadapan wartawan, Senin (8/3) pagi. Soalnya, ekspedisi mengarungi dua samudera sejauh 11.000 mil selama hampir 8 bulan tersebut, patut mendapat "acungan jempol". Betapa tidak, dengan hanya menggunakan kapal kecil yang dibuat "dadakan" oleh H. As'ad Abdullah, mereka bisa menempuh perjalanan bermil-mil jauhnya. Apalagi, pada leg ketiga, mereka mesti melalui "jalur maut" bernama Tanjung Harapan yang ditakuti oleh para pelaut ulung. Dalam kesempatan sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardhika mengungkapkan rasa syukur sekaligus kebanggaannya karena tim ekspedisi Borobudur kembali dengan selamat. "Semula, kami sempat khawatir tentang kemungkinan tiadanya minat kaum muda untuk menjadi anak buah kapal (ABK). Namun, perasaan khawatir itu berubah menjadi gembira, setelah mengetahui banyaknya 'pelamar' dari kalangan anak-anak muda. Sesudah dilakukan seleksi, akhirnya dari 350 orang 'pelamar' terpilih 10 orang, 2 di antaranya adalah perempuan yakni Niken Maharani dan Serlin," ujar Ardhika. Gde Ardhika pun kembali mengisahkan pembuatan kapal dan napak tilas yang bermula dari mimpi seorang eks anggota angkatan laut Inggris, Philip Beale. Entah bagaimana awalnya, kemudian Beale bertemu dengan H. As'ad Abdullah, seorang pembuat kapal tradisional terkenal di Pulau Kangean, sekira 60 mil di utara daratan Bali. "Coba tanya Pak As'ad, tak ada konsep pembuatan kapal itu di atas kertas. Menurut Pak As'ad, konsep kapal itu hanya ada di sini," tegas Ardhika seraya menudingkan jari telunjuk kanannya ke pelipis. Seloroh Ardhika itu hanya dibalas senyuman oleh As'ad yang saat itu duduk di sebelah kanan gedung rapat. Meskipun begitu, ternyata pembuatan kapal Borobudur ini sudah melalui penelitian mendalam serta pendesainan terperinci oleh sebuah tim ahli. Pendesainan rekonstruksi kapal Borobudur didasari oleh pertimbangan kapal ini membutuhkan kapasitas 12 orang dan sekira 20-30 ton barang serta persediaan makanan agar dapat mengarungi "rute kayu manis" (The Cinnamon Route) yang sangat jauh. Berdasarkan pertimbangan itu, akhirnya kapal Borobudur dibuat dengan ukuran panjang 18,23 meter, lebar 4,25 meter, dalam 2,10 meter, isi kotor GT 31 atau NT 24. Adapun luas layar 116,6 meter persegi. Di bawah pengawasan Nick Burningham, ahli arkeologi maritim dari Inggris, kapal Borobudur ini dibuat dengan teknik tradisional tanpa menggunakan paku dan besi. Sementara itu, dalam jumpa pers, As'ad menjelaskan, pembuatan kapal itu memakan waktu relatif singkat, yakni sekira 4 bulan 6 hari, dengan total biaya sekira Rp 250 juta. "Padahal, biasanya saya membutuhkan waktu 5 bulan untuk menyelesaikan kapal sejenis dengan Borobudur," ujar As'ad yang sudah menekuni pekerjaan pembuat kapal tradisional sejak tahun 1969. Menurutnya, seluruh pembuat kapal Borobudur itu adalah putra-putra Indonesia dikoordinasikan oleh dirinya. Konstruksi kapal dibuat berdasarkan interpretasi dari relief-relief yang terdapat di Candi Borobudur.

Selain itu, kondisi kapal Borobudur disesuaikan dengan kondisi kapal yang pernah digunakan para pelaut Indonesia pada abad ke-8, yakni tidak menggunakan alat dayung atau mesin. Praktis pula kapal ini hanya mengandalkan layar saja. Namun untuk keamanan, kapal Borobudur ini dilengkapi dengan sejumlah alat komunikasi seperti telefon satelit. The Cinnamon Route "Saya sempat merasa gugup begitu ditunjuk untuk memimpin pelayaran ini bersama Philip Beale. Soalnya, belum pernah sekalipun saya menakhodai kapal tradisional menempuh perjalanan yang sangat jauh. Namun, pengalaman saya mengendalikan kapal layar bertiang dua milik TNI AL sedikit-banyaknya menumbuhkan kepercayaan di dalam diri saya," ungkap anggota TNI berpangkat kapten pelaut tersebut. Leg pertama ditempuh, lanjutnya, tanpa halangan berarti hingga tim ekspedisi tiba di Seychelles. Pun begitu dengan leg kedua yang mengantarkan tim ke Madagaskar. "Nah, begitu hendak berlayar menuju Cape Town (Afrika Selatan), kami mulai menemui hambatan yang tak tanggung-tanggung, yakni perubahan cuaca yang begitu cepat. Itulah Tanjung Harapan, sebuah rute yang ditakuti para pelaut. Oleh karena itu, kami tertahan di sana selama 2 bulan. Beruntung, masyarakat di sana welcome karena ternyata masih memiliki hubungan sejarah dengan bangsa Indonesia," tuturnya sumringah. Setelah penantian selama 2 bulan, cuaca memihak kepada tim. Akhirnya, perjalanan menelusuri "Rute Kayu Manis" itu pun kembali dilanjutkan. Tak dinyana, di dalam perjalanan, cuaca kembali tak bersahabat. "Karenanya, dengan terpaksa kami mengambil teknik "zig-zag" dalam perjalanan tersebut. Sebanyak empat kali kami terpaksa mengubah jalur pelayaran, sebelum akhirnya tiba di Cape Town. Kami pun harus menunggu arah angin yang akan mengantarkan kami ke Cape Town," ucapnya. Di dalam perjalanan, ternyata tak cuma masalah cuaca yang dihadapi anggota tim. Perbedaan pendapat pun sering terjadi antara "pelaut" Indonesia dengan pelaut asing. "Kami sering berbeda cara mengambil keputusan. Masalahnya, kami mengandalkan insting sebagai pelaut, sedangkan para 'bule' itu mengandalkan sebuah alat saat mengambil keputusan dalam pelayaran. Anehnya, beberapa kali insting kami ternyata benar, sehingga para 'bule' itu kemudian mengikuti kemauan kami," tutur Sedane dengan nada bangga. Pada leg keempat, tak tertampak lagi masalah yang mampu menjadi penghalang pelayaran dari Cape Town ke Ghana. Apalagi, cuaca di sana tak lagi ganas seperti di Tanjung Harapan. "Di leg keempat ini kami baru menikmati pelayaran yang sebenar-benarnya," ujar Sedane mengakhiri penuturan ceritanya.(Hazmirullah/"PR")***

Anda mungkin juga menyukai