Anda di halaman 1dari 3

Ketika Negara Mengintervensi Agama

Oleh Abd Moqsith Ghazali 19/02/2004 Sekiranya RUU KUB jadi diundangkan, maka sejumlah orang yang memiliki pemikiran yang berada di luar pemikiran dominan mainstream akan bernasib sial, karena mereka bisa-bisa mendapatkan sanksi pidana. Perselisihan tafsir atas agama selalu berakhir dengan eks-komunikasi, penghancuran, dan pembunuhan. Luar biasa mengerikan. Padahal, bertafsir dan berijtihad bukanlah tindak kriminal yang harus dipidanakan. Jika ini terjadi, maka kita telah kembali ke abad pertengahan. Adalah Khalifah al-Qadir yang pernah melakukan inkuisisi terhadap orang-orang yang berada di luar cetak biru ideologi Mu'tazilah, ideologi yang telah menjadi pilihan negara Abbasiyah saat lampau. Sejarah mencatat, Abdullah bin Khabab, Abu Manshur al-Hallaj, Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Rusyd, merupakan deretan orang yang menjadi korban dari kesewenang- wenangan negara hegemonik. Era reformasi tampaknya belum benar-benar berhasil menghapus karakter dan kebiasaan buruk Orde Baru yang hegemonik dan intervensionis. Sebagaimana rezim Soeharto, rezim Megawati kini juga suka mengatur dan mengintervensi aktivitas keberagamaan umat di Indonesia. Segala gerak langkah umat beragama selalui diawasi, dikontrol, dan dipantau sehingga tidak mengganggu stabilitas dan keamanan kawasan. Indikator yang paling telanjang menyangkut pokok soal ini adalah dikeluarkannya RUU Kerukunan Umat Beragama oleh Pemerintah Indonesia melalui Badan Litbang Departemen Agama. RUU KUB ini tergolong sangat tipis, karena hanya terdiri dari 15 bab dan 21 pasal. Hakikatnya, RUU ini memiliki tujuan adilihung, yaitu untuk memelihara kerukunan dan keharmonisan di kalangan umat beragama. Tidak tanggung-tanggung, RUU KUB ini memikul asas toleransi, pluralisme, dan kebebasan beragama (Pasal 2). Namun, tujuan adiluhung RUU KUB itu menjadi tawar kembali ketika kita membaca detail pasal-pasalnya. Batang tubuh RUU KUB niscaya mengandung bahaya dan problem yang cukup serius. Memaksa? Pertama, melalui rancangan perundang-undangan, pemerintah Indonesia hendak memaksa warganya untuk mengikuti dan menganut agama-agama yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Warga negara yang menganut agama di luar agamaagama yang ditetapkan itu (Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha) tentu akan kehilangan hak-hak keberagamaannya. Tindakan seperti ini tentu saja amat bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk memilih suatu agama bahkan untuk tidak beragama. Nabi Muhammad sekalipun pernah ditegur oleh Allah atas upaanya untuk memaksa seseorang agar masuk Islam. "Apakah kamu akan membenci manusia hingga mereka beriman (Afa anta tukrihu al-nas hatta yakunu mu`minin)". Allah SW melalui firman-Nya, faman sya`a falyukmin wa man sya`a falyakfur, telah memberikan kebebasan mutlak bagi manusia untuk bertuhan atau tidak bertuhan. Dengan meminjam terminologi ushul fikih, RUU KUB ini jelas berpunggungan dengan prinsip dasar Islam paling puncak, hifdz al-din (kebebasan dalam beragama). Kedua, RUU KUB ini telah bertindak amat angkuh ketika memposisikan diri sebagai penentu bagi sah dan tidaknya sebuah agama. Telah diputuskan, misalnya, bahwa agama yang sah di Indonesia hanya ada lima, yaitu Islam,

Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha [Pasal 1 Ayat (1)]. Selain yang lima itu adalah batal dan tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah agama. Padahal, secara faktual, agama dan keyakinan yang bersemai di bumi Indonesia ini bukan hanya lima, melainkan banyak-tak terkira. Dulu, melalui UU No 1/PNPS/1965, Konghucu pernah diakui sebagai agama resmi yang dapat secara sah tumbuh di Indonesia. Namun, sejak diterbitkannya keputusan Mendagri No 221a 1975 yang mengacu pada Tap MPR No. IV/MPR/1978, maka agama Konghucu kembali dianggap sebagai agama liar, seperti keliaran agama Bahai, Sikh, Adat Karuhun Kuningan dan lain-lain. Karena tidak diakui sebagai sebuah agama, sebagai konsekuensinya maka Bahai, Konghucu, Sikh, dan sebagainya tidak berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan ajaran-ajaran-nya. Perlindungan hanya diberikan kepada agama-agama yang diresmikan oleh ne- gara. (Lihat Pasal 4 RUU KUB). Ketiga, RUU itu memiliki ambisi untuk mengatur dan mengawasi segala aktivitas keberagamaan di Indonesia. Aktivitas keberagamaan yang selama ini telah berlangsung di tengah masyarakat, tiba-tiba hendak diatur dan ditertibkan oleh negara melalui perundang-undangan. Padahal agama dan negara adalah dua entitas yang berbeda. Masing-masing tidak boleh saling mengintervensi. Sejarah Indonesia telah menunjukkan betapa kehadiran negara dalam panggung agama seringkali justru menjadi petaka daripada menjadi rahmat. Umat beragama yang plural yang sudah terbiasa saling bekerja sama, saling memahami, hidup rukun, maka dengan intervensi negara melalui RUU KUB ini bisa menjadi cerai berai. Terus terang, pokok soal ini bermula dari kekeliruan negara di dalam mempersepsikan agama. Agama telah diletakkan sebagai sumber konflik, setangkup dengan etnis, suku, dan sebagainya. Sebagaimana tertera dalam naskah akademik RUU KUB ini, agama dinilai mengandung magma konflik yang luar biasa, dengan demikian ekspresi keberagamaan perlu diatur. Pluralitas agama akan menjadi malapetaka dan ketidakrukunan sekiranya tidak ada peraturan semacam UU KUB. Dengan argumen ini, tampak dengan jelas arogansi negara untuk menghakimi agama-agama. Padahal, mestinya negara cukuplah menjadi fasilitator dari agama dan bukan menjadi hakim dari agama. Kekeliruan rezim Soeharto di dalam memperlakukan agama dan para pemeluknya tidak selayaknya terulang kembali pada era reformasi ini. Hegemoni dan Monopoli Keempat, RUU KUB ini berupaya untuk melakukan hegemoni dan monopoli tafsir atas agama (Pasal 17 Ayat 1 RUU KUB). Segala jenis tafsir atas agama (Islam) yang tidak sejalan dengan tafsir resmi, karuan saja akan diberangus. Implikasinya, kegiatan ijtihad dan bertafsir oleh setiap umat beragama akan terhenti, karena tafsir atas agama telah dikuasai dan dimonopoli oleh sekelompok orang. Segala pemikiran akan diseragamkan. Tindakan pemberangusan terhadap pemahaman yang tidak bersejalan dengan tafsir resmi akan terus dilakukan. Pola pemberangusan seperti itu tentu saja sangat problematis di tengah antusiasme Islam yang senantiasa mengobarkan semangat kebebasan berpikir (hifdz al-'aql). Tegasnya, sekiranya RUU KUB jadi diundangkan, maka sejumlah orang yang memiliki pemikiran yang berada di luar pemikiran dominan mainstream akan bernasib sial, karena mereka bisa-bisa mendapatkan sanksi pidana. Perselisihan tafsir atas agama selalu berakhir dengan eks-komunikasi, penghancuran, dan pembunuhan. Luar biasa mengerikan. Padahal, bertafsir dan berijtihad bukanlah tindak kriminal yang harus dipidanakan. Jika ini terjadi, maka kita telah kembali ke abad pertengahan. Adalah Khalifah al-Qadir yang pernah melakukan inkuisisi terhadap orang-orang yang berada di luar cetak biru ideologi Mu'tazilah, ideologi yang telah menjadi pilihan negara Abbasiyah saat lampau. Sejarah mencatat,

Abdullah bin Khabab, Abu Manshur al-Hallaj, Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Rusyd, merupakan deretan orang yang menjadi korban dari kesewenang- wenangan negara hegemo-nik. Bahkan, dalam jangka panjang, sekali lagi kalau RUU KUB ini positif menjadi undang-undang, maka tidak tertutup kemungkinan sejumlah tradisi dan kearifankearifan lokal sekiranya oleh penguasa yang menganut ideologi tertentu dipandang sebagai aliran sesat yang menyimpang dari Islam maka akan dilarang hadir di bumi Indonesia. Tradisi ziarah kubur orang NU, waktu telu Orang Sasak, amalan tarekat para mistikus, dan sebagainya akan dibumihanguskan. Di sinilah bahaya dari negara jika terlibat sebagai hakim yang memegang palu godam untuk menentukan sah-tidaknya sebuah jenis penafsiran dalam agama. Kelima, RUU KUB itu tampak sangat diskriminatif terhadap agama minoritas dan meng-anak emas-kan agama mayoritas. Mayoritas yang dimaksudkan adalah kelompok terbesar dari umat agama tertentu yang terletak pada suatu daerah atau wilayah. Tentu saja, mayoritas yang diuntungkan oleh RUU KUB ini bukan hanya Islam, seperti halnya di Jawa. Melainkan juga umat non-Islam, sebagaimana Hindu yang mayoritas di Bali, atau Kristen yang mayoritas di Ambon, dan sebagainya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana nasib umat Islam yang minoritas di Kawasan Timur Indonesia, dan bagaimana nasib umat agama nonIslam yang minoritas di Jawa. Sindrom mayoritas-minoritas sungguh amat berbahaya di tengah kondisi negara Indonesia yang tidak sepenuhnya normal. Dalam konteks demikian, maka mayoritas merupakan monster bagi yang minoritas. Begitu juga sebaliknya, yang minoritas adalah mangsa mayoritas. Keresahan akan timbul di mana-mana, terutama di kalangan minoritas. Jika RUU KUB tidak segera dicegah-tangkal, maka tak ayal lagi akan terjadi gelombang konflik dan perkelahian massal antar umat beragama di pelbagai ruas wilayah Indonesia. Alih-alih untuk menciptakan kerukunan, yang terjadi justru RUU KUB akan menjadi bumbu dan penyulut konflik di tengah masyarakat.. Akhirnya, sebagai wujud partisipasi publik di dalam proses penentuan fondasi perundang-undangan, maka umat beragama kiranya tidak bisa berdiam diri menghadapi RUU KUB yang nyata-nyata akan mengganggu komunikasi internal umat suatu agama dan antar umat beragama di Indonesia. Melaui medium ini pula, perlu kita serukan bagi seluruh umat beragama di Indonesia untuk bangkit agar negara tidak bertindak intervensionis terhadap aktivitas keberagamaan di Indonesia. Penulis adalah aktivis Jaringan Islam Liberal Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai