Anda di halaman 1dari 8

EKSPEDISI BARUNA (1964): EKSPEDISI LAUT

PERTAMA DENGAN KORDINASI NASIONAL

M
enjelang akhir thaun 1963 sampai memasuki awal tahun 1964 Indonesia
menoreh banyak momen-momen sejarah yang menjadi catatan penting,
yang mewarnai gejolak politik di negeri ini. Krisis Irian Barat dengan
Belanda berakhir dengan pengalihan kekuasaan di wilayah itu kepada Pemerintah Republik
Indonesia. Sementara itu konflik dengan Malaysia menimbulkan konfrontasi fisik dengan
negara jiran itu, yang terkenal dengan kampanye Ganyang Malayssia. Krisis dengan Amerika
dan Inggris meruncing, yang oleh Indonesia keduanya dituduh sebagai dalang nekolim (neo-
kolonialisme dan imperialisme). Kedutaan Inggris dan perumahan stafnya di Jakarta dibakar
habis oleh massa pendemo yang murka. Bulan Maret 1964 Presiden Soekarno menyatakan go to
hell with your aid kepada Amerika Serikat atas bantuannya yang disertai tekanan politik.
Conefo (Conference of the New Emerging Forces) disiapkan untuk menghadapi dan
menandingi negara-negara Oldefo (Old Establihed Forces). Kekuatan PKI (Partai Komunis
Indonesia) mencapai puncaknya menjadi partai komunis terbesar di luar negara komunis. Issu
Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) menjadi debat politik yang panas dan telah
mengarah ke konflik horizontal yang membahayakan. Tetapi disamping itu ada juga berita yang
menggembirakan, tiga putra Indonesia (Fred Athaboe, Sudarto dan Sugirin) dalam kaitannya
dengan Operasi Cenderawasih, merupakan putra-putra Indonesia yang pertama kali berhasil
mendaki, menaklukkan dan mengibarkan bendera merah-putih di Puncak Jaya di Papua,
puncak tertinggi di Indonesia yang berselimut es abadi.
Dengan latar belakang situasi nasional yang penuh hiruk-pikuk politik seperti itu, Bung
Karno sebagai Presiden, yang juga bergelar sebagai Nakoda Agung, mengeluarkan instruksinya
yang mengejutkan untuk segera menggelar ekspedisi ilmiah kelautan yang dinamainya
Ekspedisi Baruna, untuk mengekplorasi perairan laut Nusantara dengan mengerahkan segala
potensi nasional. Setelah puncak tertinggi di tanah air ditaklukkan oleh putra-putra Indonesia,
kini tantangannya ke laut.
Presiden Soekarno dalam amanatnya sebelum melepas Ekspedisi Baruna, sebagaimana
dilaporkan oleh Harian Merdeka, 9 Mei 1964, menyatakan bahwa untuk menjadi negara adil
makmur kita harus sanggup mengeksplorasi kekayaan alam kita. Disamping itu kita harus pula

1
menyertainya dengan national pride (kebanggan nasional) karena kedua unsur itu bergandengan
erat satu sama lain. Untuk itu perlu segera dieksplorasi kekayaan alam kita yang kebanyakan
masih terpendam di dalam perairan samudra kita. Oleh karenanya Presiden menginstruksikan
untuk segera melaksanakan Ekspedisi Baruna guna menyelidiki kekayaan alam laut kita dan
segala rahasia yang terpendam di dalamnya.
Mengenai istilah Baruna, Presiden
Soekarno menjelaskan bahwa Baruna terdapat
dalam mitologi Hindu yang berkembang di
Indonesia pada abad pertama, dan dikenal sebagai
Dewa Laut. Disamping Baruna dikenal juga
banyak dewa-dewa lainnya, antara lain Kuwera,
sebagai Dewa Kekayaan. Kuwera yang terdapat
pada relief candi Borobudur selalu berdekatan
dengan Baruna. Menurut Presiden, ini penting
artinya bahwa kekayaan ada hubungannya dengan
laut.
Pada era awal 1960-an itu ada badan
Gambar 1. Instruksi Presiden Soekarno:
negara yang sangat powerful untuk melaksanakan Laksanakan Ekspedisi Baruna untuk
segala instruksi Presiden, Pemimin Besar mengeksplorasi kekayaan alam laut kita
dan segala rahasia di dalamnya”. (1964)
Revolusi, yakni KOTI (Komando Operasi
Tertinggi). Adalah KOTI yang kemudian segera membentuk Panitia Persiapan Ekspedisi
Baruna dengan penanggung-jawab Menteri/Pangal Laksamana R. E. Martadinata. Istilah
Operasi Baruna dan Ekspedisi Baruna, keduanya dipakai. Sebagai pelaksanaan komando dari
KOTI kegiatan ini berupa Operasi Baruna, tetapi dilihat dari substansinya yang merupakan
ekspedisi ilmiah, sering pula disebut Ekspedisi Baruna. KOTI sendiri dalam laporannya
menyebutnya Ekspedisi Ilmiah Laut Operasi Baruna, sedangkan dalam laporan ilmiah
berbahasa Inggris cukup disebut Baruna Expedition.
Ekspedisi Baruna dipersiapkan dalam waktu yang sangat singkat dan melibatkan semua
unsur-unsur nasional yang terkait dengan masalah kelautan. Inilah ekspedisi ilmiah kelautan
yang pertama di Indonesia yang dilaksanakan dengan kordinasi nasional, melibatkan unsur-
unsur Angkatan Laut, Ditjen Pelayaran, Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI, cikal
bakal LIPI), Lembaga Penelitian Perikanan Laut (sekarang Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan), perguruan tinggi (Unpad, ITB, IPB), Ditjen
Geologi, serta Lembaga Meteorologi dan Geofisika. Tujuan ekspedisi adalah untuk

2
mengadakan kajian tentang berbagai aspek kelautan seperti oseanografi fisika, kimia, biologi,
geologi, perikanan, dan meteorologi yang ditekankan pada kawasan perairan bagian timur
Indonesia.

Gambar 2. Atas: Kapal riset RI Jalanidhi. Bawah: Suasana di laboratorium


kering (dry lab) di kapal RI Jalanidhi.

Tiga kapal dikerahkan untuk pelaksanaan Ekspedisi Baruna 1964 ini yakni kapal RI
Jalanidhi, KM Djadajat, dan RI Tamrau. Kapal RI Jalanidhi merupakan kapal riset andalan
dan berfungsi sebagai kapal komando, yang akan lebih banyak bekerja di peraiaran lepas pantai.
Kapal KM Djadajat dari Ditjen Pelayaran (Kementerian Perhubungan) berfungsi sebagai kapal
transpor yang membawa para peneliti yang akan bekerja di pantai dan daratan dari pulau ke
pulau. Sementara itu RI Tamrau betugas sebagai kapal bantu untuk tugas-tugas pengamanan,
dan membawa penyelam-penyelam dari satuan Kipam (Komando Intai Para Amfibi, ALRI)
untuk membantu pekerjaan bawah air.

3
Ada cerita tersendiri
mengenai kapal RI Jalanidhi ini
(Gambar 2). Kapal ini mempunyai
panjang total 53,9 m, lebar 9,5 m,
dengan bobot 985 ton, kecepatan
jelajah 12 knot (mil per jam). Kapal
ini dibuat di galangan Sasebo
Heavy Industries, Jepang,
diluncurkan tahun 1963, dan
diserahkan kepada Pemerintah RI Gambar 3. Beberapa peserta Ekspedisi Baruna (1964),
sebagai pampasan perang (war dari kiri ke kanan: Dr. Gatot Rahardjo (chief scientist,
MIPI), A. L. Lumanauw (hydrographer/ perwira
compensation), untuk digunakan kapal RI Jalanidhi), Kasijan Romimohtarto (biologist/
sebagai kapal riset dan ditempatkan MIPI), A. Gani Ilahude (physical /chemical
di Lembaga Penelitian Laut MIPI. oceanographer/MIPI)
Tetapi MIPI saat itu menghadapi
kesulitan untuk mengoperasikannya karena belum siap dengan personalia ABK (Anak Buah
Kapal). Sebagai solusi, dijalinlah kerjasama dengan pihak Angkata Laut RI, yang akan
menyediakan ABK, sedangkan kepemilikan, penganggaran dan pemanfaatan kapalnya tetap di
bawah kendali MIPI. Jadilah kapal ini merupakan kapal kombinasi, bercat putih tidak seperti
lazimnya kapal-kapal Angkatan Laut yang berwrna kelabu, tetapi mempunyai nomor lambung
“1005” yang khas untuk identifikasi kapal-kapal Angkatan Laut. Untuk melancarkan tugas para
peneliti MIPI bekerja di atas kapal riset yang diawaki oleh personel Agkatan Laut, maka
sebagian besar peneliti MIPI kemudian dimiliterisasi, mengikuti Sekolah Angatan Laut di
Surabaya selama empat bulan, kemudian pulang dengan menyandang pangkat perwira tituler
Angkatan Laut, tetapi tidak meninggalkan statusnya sebagai orang MIPI. Untuk efisiensi
pengoperasiannya dan menghindari dualisme pengelolaanya maka beberapa tahun kemudian
barulah RI Jalanidhi dialihkan sepenuhnya ke Angkatan Laut, dan ditempatkan dalam gugus
kapal-kapal hidro-oseanografi.
RI Jalanidhi merupakan kapal riset oseanografi yang sangat moden pada zaman itu,
bahkan konon merupakan kapal pertama di dunia yang memang khusus dirancang sejak awal
untuk tujuan riset oseanografi modern. Sebelum itu boleh dikata semua kapal-kapal oseanografi
di dunia merupakan kapal-kapal konversi, dari kapal-kapal transpor umum, kapal perang atau
kapal tunda dsb, yang kemudian dikonversi atau dilengkapi dengan fasilitas dan peralatan
oseanografi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas oseanografi. RI Jalanidhi mempunyai mesin

4
derek (winch) dengan kabel baja yang dapat menurunkan alat-alat penelitian sampai ribuan
meter untuk dapat mencapai dasar laut sedalam apa pun. Di buritannya ada mesin derek berat
(heavy winch) untuk operasi alat-alat berat misalnya untuk melakukan pengambilan sampel
sedimen dasar laut-dalam (deep-sea coring) atau untuk menurunkan pukat (trawl) dan pengeruk
(dredge). Di kapal ini terdapat laboratorium basah (wet lab) dan laboratorium kering (dry lab).
Laboratorium basah untuk mengolah sampel-sampel air dan biota yang diperoleh baik untuk
analisis fisika, kimia, maupun biologi. Laboratorium ini dilengkapi pula dengan fasilitas untuk
bekerja dengan bahan radio-aktif. Ada pula kamar gelap yang tidak saja untuk proses fotografi,
tetapi juga terdapat alat röntgen kecil untuk misalnya pemeriksaan struktur kerangka ikan tanpa
merusak ikannya. Di geladak atas ada balloon station yang dapat digunakan untuk persiapan
pelepasan balon radiozonde, yakni balon pemantau meteorologi yang diterbangkan sampai ke
atmosfer lapisan tinggi, dilengkapi dengan transmitter pemantau hingga bisa mengirimkan
data-data meteorologi in-situ secara langsung ke receiver di kapal. Pengukuran data
meteorologi di lapisan tinggi dengan radiozonde dari posisi di laut di Nusantara ini pertama kali
dilakukan dari kapal ini. Laboratorum kering menampung instrumen-instrumen elektronik
seperti PDR (Precision Depth Recorder) untuk pengukuran kedalaman dasar laut-dalam dengan
akurat, pengukur arus GEK, dan berbagai instrumen elektronik pendukung lainnya.

Gambar 4. Kiri: Kapal KM Djadajat, pendukung Ekspedisi Baruna. Kanan: Penataan sampel
koleksi di geladak kapal KM Djadajat

Kapal pendukung Ekspedisi Baruna lainnya adalah KM Djadajat yang dalam ekspedisi
ini lebih berfungsi sebagai kapal transpor yang membawa para peneliti dari pulau ke pulau
untuk penelitian di pantai-pantai dan pulau-pulau. Kapal ini merupakan kapal perintis milik

5
Pemerintah yang pernah digunakan oleh Presiden Soekarno dalam pelayaran inspeksi ke
kawasan timur Indonesia tahun 1957. Oleh sebab itu rakyat menjuluki kapal itu sebagai Kapal
Soekarno. Seusai Ekspedisi Baruna kapal ini kembali melaksanakan fungsinya sebaga kapal
perintis, tetapi naas, pada tahun 1980 kapal yang historis ini menabrak terumbu karang di
perairan Natuna, dan akhirnya karam tak terselamatkan. Bangkai kapal KM Djadajat ini
kemudian ditumbuhi berbagai biota laut dan menjadi situs selam (dive spot) yang menarik
untuk wisata selam.
Ekspedisi Baruna di lapangan berada di bawah pimpinan Letkol Laut Sugeng Harjanto,
sedangkan sebagai Ketua Tim Ilmiah (Chief Scientist) adalah Dr. Gatot Rahardjo dari MIPI.
Seluruh peserta ekspedisi berjumlah 308 orang dari berbagai instansi, termasuk tiga orang
perempuan peneliti. Dalam bidang biologi ada peneliti dari ITB yakni Dr. Mahhargo Suprapto
dan Prof. Dr. Doddy Tisna Amidjaja (catatan: 20 tahun kemudian Prof. Doddy Tisna Amidjaja
menjadi Ketua LIPI). Dalam bidang geologi laut ada pakar-pakar Prof. De Neve (Unpad), Prof.
Tjia Hong Djin (ITB), Drs. HMS Hartono (Dirjen Geologi). Tenaga-tenaga dari MIPI umumnya
berusia muda di bawah 30 tahun. Ada juga peserta delapan orang dari Jepang yang dipimpin
oleh Shuhei Shirei didampingi Prof. Hiroshi Niino dari Tokyo University.
Ekspedisi Baruna diberangkatkan dari
Tanjung Priok tanggal 9 Mei 1964, dan berakhir
kembali tanggal 27 Juli 1964 setelah
melaksanakan pelayaran ekspedisi selama 78
hari. Wilayah yang menjadi cakupan ekspedisi
adalah perairan Laut Jawa, Laut Banda, dan Laut
Arafura, sedangkan pulau-pulau atau pantai yang
dikunjungi untuk disurvei antara lain
Masalembo, Kangean, Bima (Sumbawa),
Satengar, Komodo, Taka Bonerate, Tukang Besi
(sekarang Wakatobi), Ambon, Seram, Banda,
Tanimbar, Aru dan Kei.
Segera setelah berakhirnya ekspedisi,
dibuatlah laporan naratif mengenai kegiatan-
kegiatan yang dilakukan selama ekspedisi, dan Gambar 5. Buku Laporan “Baruna
hasil-hasil sementaranya. Laporan teknis ilmiah Expedition”

memerlukan waktu untuk mempersiapkannya dan


akan disampaikan kemudian. Dari hasil sementara antara lain dapat disebutkan bahwa dalam

6
bidang geologi diperoleh temuan baru berupa adanya ngarai (canyon) dasar laut yang mengarah
ke Palung Aru. Selain itu ditemukan pula adanya gunung api bawah laut (submarine volcano) di
Busur Banda Dalam. Di bidang oseanografi diperoleh gambaran tentang ciri persebaran
berbagai faktor fisika dan kimia di perairan yang diteliti. Berbagai koleksi biota laut telah
diperoleh sebagai bahan kajian lebih lanjut. Di perairan Laut Arafura ditemukan potensi udang
yang sangat besar untuk dapat dikembangkan secara komersial, tetapi karena waktu penelitian
yang sangat terbatas gambaran potensi ini masih bersifat sementara.
Semula direncanakan setahun setelah berakhirnya ekspedisi, laporan teknis ilmiah telah
dapat dipublikasikan. Bertepatan
dengan hari ulang tahun
Proklamai tanggal 17 Agustus
1965, publikasi perdana
berbahasa Inggris tentang hasil-
hasil ekspedisi mulai diterbitkan
oleh KOTI di bawah judul
Baruna Expedition, berisikan
beberapa artikel. Tetapi sebulan
kemudian meletuslah peristiwa
Gerakan 30 September (G-30S
PKI) yang menggemparkan
panggung politik di Nusantara,
dan tak lama kemudian KOTI pun
bubar. Seiring dengan itu bubar
pula Panitia Ekspedisi Baruna dan
rencana penerbitan hasil-hasil
Gambar 6. Ekspedisi Baruna mendapat liputan yang
luas dalam pemberitaan nasional. berikutnya pun tak berlanjut.
Berbagai hasil Ekspedisi Baruna
kemudian dipublikasikan sendiri-sendiri secara lepas di berbagai jurnal ilmiah oleh masing-
masing lembaga peserta.
Dari apa yang telah dihasilkan oleh Ekspedisi Baruna dapat disimpulkan bahwa hasil
ilmiahnya belumlah optimal, tetapi dampak politisnya lebih nyata. Setidaknya telah
menimbulkan kepercayaan diri bahwa kita sebagai bangsa mampu menyelenggarakan kordinasi
nasional dalam upaya eksplorasi laut yang harus dapat lebih ditingkatkan di masa mendatang.

7
Salah satu hasil dari Ekspedisi Baruna yang mempunyai implikasi dalam perekonomian
adalah temuan mengenai potensi udang di Laut Arafura. Adalah Ekspedisi Baruna yang
pertama kali mengidentifikasi potensi udang di perairan ini, yang sebelumnya tidak diketahui.
Karena waktu ekspedisi yang sempit tidak memungkinkan kajian mendalam mengenai potensi
udang di perairan ini. Namun didasarkan pada informasi awal dari Ekspedisi Barauna, tahun
1970-an barulah dilaksanakan exploratory fishing di perairan ini, dalam kerjasama dengan
Jepang, yang hasilnya menegaskan bahwa cadangan udang di perairan ini sungguh sangat
menjanjikan. Berdasarkan informasi ini, kemudian tahun 1980-an dimulailah eksploitasi udang
secara besar-besaran di perairan ini. Laut Arafura pun dikeroyok ramai-ramai baik oleh
perusahan perikanan asal dalam negeri masupun luar negeri, yang legal maupun yang illegal.
Demikian hebatnya eksploitasi perikanan di perairan ini dan sulit dikontrol hingga dalam dua
dekade saja cadangan udang disini sudah menjadi sangat kritis.

PUSTAKA

https://difasona.blogspot.co.id/2016. Tenggelamnya Kapal Perintis Djadajat.


Moosa, M. K. (editor). 2009. Otobiografi Kasijan Romimohtarto. Anak Kampung yang
Beruntung. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Jakarta: 203 hlm.
Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat
Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.
Oltmans, W. 2001. Bung Karno Sahabatku. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Scientific Commission of the Baruna Expedition . 1965. Baruna Expedition, vol 1, Section A,
B, C.

-----
Anugerah Nontji
10/05/2017

Anda mungkin juga menyukai