Anda di halaman 1dari 59

A.

Latar Belakang Penelitian

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki posisi strategis. Posisi strategis

Indonesia tidak hanya dilihat dari posisi di persilangan antara dua benua, yaitu Asia

dan Australia, serta dua samudera, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia,

tetapi juga di antara Laut China Selatan dan Laut Asia Timur dengan Samudera

Hindia, antara individualisme liberal di selatan dengan komunisme di utara, antara

penghasil komoditas di selatan dengan pengguna komoditas di utara, antara penghasil

energi di selatan dengan pengguna energi di utara, antara middle power di selatan

dengan global power, antara non-nuclear power di selatan dengan nuclear power di

utara, dan antara anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan bukan anggota Dewan

Keamanan PBB di selatan. Indonesia kini berada dalam lingkaran perebutan pengaruh

antara kekuatan dominan pasca-Perang Dunia II dengan kekuatan lama yang bangkit

kembali.

Pada Perang Dunia II (1939 – 1945), Perebutan pengaruh kekuatan di Indonesia

(pada waktu itu Hindia Belanda) dapat dilihat pada pertempuran antara Sekutu

melawan Jepang. Sumber minyak bumi di Indonesia menjadikan alasan bagi jepang

untuk menginvasi Indonesia yang pada saat itu telah diduduki oleh sekutu (Belanda).

Strategi pihak sekutu untuk menggagalkan upaya invasi Jepang adalah dengan

menghadang melalui laut. Sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya beberapa

pertempuran laut antara Sekutu dengan Jepang. Pertempuran laut tersebut terjadi

pada kurun waktu Tahun 1942 – 1943, yaitu Pertempuran Borneo, Pertempuran

Manado, Pertempuran Tarakan, Pertempuran Balikpapan, Pertempuran Ambon,


2

Pertempuran Palembang, Pertempuran Selat Makassar, Pertempuran Selat Badung,

Pertempuran Laut Jawa, Pertempuran Selat Sunda, Pertempuran Jawa, Pertempuran

Timor.

Pertempuran mengakibatkan kerugian bagi kedua armada. Sekutu mengalami

kerugian yang lebih besar dibandingkan dengan Jepang, Kerugian yang diderita bagi

Sekutu adalah tenggelamnya Hr. Ms. Kortenaer, HMS Jupiter, Hr. Ms. De Ruyter,

Hr. Ms. Java, HMS Exeter, HMS Encounter, USS Pope (perairan laut jawa) USS

Houston, HMAS Perth (perairan selat sunda), serta ± 2300 personel terbunuh.

Sedangkan jepang menderita kerugian berupa tenggelamnya 4 kapal penumpang

bermuatan dan 1 kapal penyapu ranjau. Hal ini merupakan faktor kekalahan Sekutu

terhadap jepang, sehingga pada tanggal 9 Maret 1942 Sekutu menyerah kepada

Jepang.1

Pada masa sekarang, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan

khususnya di bidang eksplorasi dan deteksi laut dalam telah mendorong upaya

manusia untuk mencari dan menyelamatkan aset kapal – kapal yang sudah karam

serta muatannya dari dasar laut yang berada di wilayah kedaulatan suatu negara. 2

Banyak hal yang menjadi pertimbangan bagi peneliti atau yang berkepentingan untuk

mengetahui seluk beluk kerangka-kerangka kapal yang tenggelam di masa lalu yang

1
J & W Stratford, Holborn Hill collection of John Gribble, “Share Heritage: Joint Responsibilities in
the Management of British Warship Wreck Overseas” on International Seminar 8 th July 2008
University of Wolvehamton
2

Amber Crossman Cheng, All In The Same Boat? Indigenous Property Rights in Underwater Cultural Heritage,
32 Hous. J. Int’l L. (2010), hal. 698
3

mengandung nilai historis, arkeologis, sekaligus nilai komersil. Nilai ekonomis yang

cukup menjanjikan dari penemuan-penemuan kerangka kapal tersebut menimbulkan

kompetisi diantara berbagai pihak untuk mengajukan klaim kepemilikan kerangka-

kerangka kapal beserta muatannya.3 Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum

mengenai status kepemilikan atas penemuan-penemuan kerangka terutama yang

memiliki nilai ekonomis karena adanya kepentingan pihak-pihak tertentu dan

keberagaman instrument hukum sera penemuannya berada diluar yurisdiksi negara

bendera kapal tersebut, yang saat ini banyak diketemukan di perairan yurisdiksi

Indonesia khususnya Laut Jawa (korban pertempuran Laut Jawa pada tahun 1942

antara Sekutu dan Jepang).4

Wilayah Indonesia merupakan perairan yang sangat luas (2/3 dari wilayah

Indonesia merupakan perairan) yang berada diantara benua Asia dan Australia serta

diantara Samudera Hindia dan Pasifik menjadikan posisinya begitu strategis sebagai

jalur lintas pelayaran perdagangan internasional sejak ribuan tahun yang

menghubungkan negara-negara di wilayah Eropa, Afrika, Timur Tengah, Asia

Selatan maupun Asia Timur. Kondisi geografis yang memiliki lautan yang sangat

luas ini membuat perairan Indonesia menjadi salah satu wilayah perairan yang paling

banyak dipenuhi oleh kapal-kapal karam. Hingga saat ini, telah ditemukan kurang

lebih 463 runtuhan kapal karam di Indonesia menurut National Committee of

Underwater Heritage (Komite Nasional untuk Cagar Budaya), dan masih terdapat
3
Jeremi Neil, Sifting Through the wrecked: An Analysis and Proposed Resolution Concerning the Disposition of
Historic Shopwrecks Located in international water 55 N.Y.L.SCH. L. Rev. 895 passim (2010/2011).

4
ibid
4

10.000 runtuhan kapal karam di bawah air Indonesia berdasarkan dokumen dari Cina

mengenai kapal-kapal yang tidak pernah kembali dari Indonesia 5. Secara detail

dijelaskan dalam rapat koordinasi yang dihadiri kementerian dan lembaga bidang

kemaritiman yang dipimpin oleh Deputi 1 Bidang Kedaulatan Maritim, Kementerian

Koordinasi Bidang Kemaritiman (Ambasador Arif Havas Oegroseno) bahwa terdapat

41 kapal perang asing yang diduga berada di perairan Indonesia antara lain Jepang

(15 Kapal perang dan 1 kapal selam); Amerika Serikat (1 kapal induk, 4

cruiser/destroyer dan 2 kapal selam); Belanda (7 Cruiser/destroyer dan 2 kapal

selam); Inggris (4 cruiser/destroyer); Australia (1 Cruiser) dan Jerman (2 kapal selam

Nazi).6

Kapal-kapal karam yang berada di dasar laut perairan internasional merupakan

situs penemuan yang sangat berharga pada saat ini mengingat barang-barang tersebut

memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan, kerangka-kerangka

kapal tersebut mengandung berbagai macam muatan yang memiliki nilai budaya,

historis, arkeologis serta para ahli baja mengangap bahwa kandungan baja sebelum

bom Hiroshima Nagasaki belum terkontaminasi oleh radio aktif. Perkembangan

teknologi di bidang eksplorasi laut dalam telah memicu timbulnya upaya manusia

untuk mencari dan menyelamatkan kapal-kapal yang sudah karam serta muatannya

dari dasar laut internasional. Peningkatan jumlah penemuan kerangka kapal ini
5

http://www.huffingtonpost/2012/03/31/indonesia-shipwrecks-html (diakses pada tanggal 06 Agustus 2017 jam


1600)
6

Arif Havas Oegroseno, Deputi 1 bidang Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman dalam rapat koordinasi inter
Kementerian tanggal 24 Juli 2017 tentang Kebijakan Indonesia tentang kerangka/wreck kapal perang asing di
dasar perairan Indonesia.
5

kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai status kepemilikan atas

penemuan tersebut karena banyaknya kepentingan dari berbagai pihak didalamnya,

keberagaman instrumen hukum internasional, serta wilayah penemuan yang berada

diluar yurisdiksi negara.

Kerangka-kerangka kapal tersebut memiliki informasi sejarah yang sangat

penting yang merupakan suatu bukti adanya perdagangan dan pertukaran budaya.

Sehingga banyak negara maupun golongan masyarakatnya menganggap bahwa

banyak kapal – kapal yang karam tersebut beserta muatannya merupakan bagian dari

warisan budaya mereka dan merupakan Sea War Grave pahlawan-pahlawan yang

gugur dalam pertempuran. Karena memiliki nilai historis dan ekonomi yang cukup

meningkat saat ini, ketika kapal karam ditemukan, banyak kepentingan yang timbul

diantara pihak – pihak yang mengklaim kepemilikan dengan berbagai alasan.7

Menjelang peringatan 75 tahun (27 Februari 2017) hilangnya 1200 pelaut

Belanda saat perang laut melawan Jepang di Laut Jawa tahun 1942, 8 Pemerintah

Belanda berencana untuk mendirikan sebuah monumen peringatan dengan

menyertakan kerangka kapal-kapal yang tenggelam bersama para pelaut tersebut. 9

Namun rencana tersebut harus terhalang karena Belanda baru saja mengetahui bahwa

kerangka-kerangka kapal tersebut diduga sudah tidak utuh lagi dan menjadikan isu
7

Elizabeth Varmer, RMS Titanic: underwater cultural heritage's sacrifice, Journal of Business Law 271 (2012),
hal. 276
8

Battle of Java on 27 February 1942, Battle of Coral Sea, 7-9 May 1942; Battle of Gulf 23-25 October 1944;
Battle of Philipine Sea 19-20 June 1944. History Year by Year Dorling Kinderslay Limited, Great Britain, 2011,
page 394-395.
9

http://nationalgeographic.co.id/berita/2017/02/kenangan-pertempuran-laut-terhebat-sepanjang-perang-dunia-
kedua (diakses pada tanggal 19 Juni 2017)
6

tersebut menjadi isu nasional dan politik dalam negeri Belanda terutama dengan

rencana pemilihan umum yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 Maret 2017 lalu.

Media masa Belanda mengangkat isu tentang lalainya dan tidak perhatian dari

pemerintah Belanda dalam menjaga benda bersejarah Belanda yang merupakan

kuburan masal pahlawan Belanda yang gugur dalam pertempuan Laut Jawa tahun

1942 antara Sekutu melawan Jepang.

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menunjukan itikad baik dalam

menindaklanjuti isu dugaan hilangnya kerangka kapal perang Hr.Ms De Ruyter,

Hr.Ms Java dan Hr. Ms Kortenaer yang terdapat di perairan Laut Jawa. Sebagai

tindak lanjut dari pembicaraan Presiden RI dan Perdana Menteri Belanda pada

tanggal 23 November 2016, Indonesia – Belanda sepakat untuk membuat suatu

roadmap kerjasama penanganan isu tersebut antara lain10:

1. Verifikasi bersama mengenai lokasi dan kondisi kerangka kapal tersebut.

(6-9 Februari 2017) melalui program Joint Expert Meeting Indonesia – Belanda

yang membahas secara akademik mempelajari data hasil survei kelautan

dengan menggunakan peralatan Multibeam Echosounter tentang kapal perang

Belanda yang tenggelam di Laut Jawa saat pertempuran Laut Jawa February

1942.

10

Surat dari Kementerian Luar Negeri kepada Presiden RI nomor 101/BK/02/2017/05/01 tentang tindak
lanjut penanganan isu bangkai kapal perang Belanda di Laut Jawa.
7

2. Apresiasi bersama (8 – 10 Agustus 2017), membahas tentang status

hukum dan pengaturan atau penanganan 3 historic shipwreck sebelum

dilaksanakan kerjasama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda

dimasa yang akan datang.

3. Kerjasama pelestarian warisan/cagar budaya maritim atau pembuatan

maritime conservation area sebagai forward looking solution. Kegiatan tahap

ketiga untuk sementara belum dilaksanakan mengingat laporan hasil dari tahap

kedua belum dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Pemerintah Belanda melalui Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri telah

menyampaikan secara formal nota keberatannya terhadap dugaan ”hilangnya”

kerangka 3 historic shipwreck di perairan laut Jawa tersebut.11 Namun Pemerintah

Indonesia secara resmi merespon tuntutan Belanda dan Inggris dengan memberi

pernyataan bahwa Indonesia tak bisa disalahkan atas dugaan hilangnya kerangka

kapal-kapal milik kedua negara, Pemerintah Indonesia tidak pernah secara resmi

menerima laporan keberadaan ketiga historic shipwreck tersebut.

Pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa Belanda tidak pernah secara meminta

langsung kepada pemerintah Indonesia untuk melindungi kerangka-kerangka tersebut

sehingga bila ada kehilangan, bukan menjadi tanggungjawab pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indonesia baru menerima laporan formal dan pemberitahuan tentang

11

Surat dari Kingdom of The Netherlands, D/03487/12/2016/38 dated 23 December 2016 tentang nota
keberatan atas hilang 3 Netherlands historic shipwreck di perairan Laut Jawa
8

lokasi tenggelamnya ketiga kapal perang tersebut dari pihak pemerintah Belanda pada

tahun 2017. Indonesia baru mencantumkan posisi kerangka kapal perang tersebut

pada publikasi Notices to Mariners di tahun 2017.12 Pemerintah Belanda juga tidak

mencantumkan keberadaan kerangka kapal tersebut di peta laut keluaran pemerintah

Belanda tahun 1950 yaitu peta laut Indonesia nomor 66 dan peta nomor 70. 13 Secara

ketentuan dalam menjamin keselamatan pelayaran, seharusnya Belanda

menginformasikan keberadaan kerangka kapal perangnya kepada dunia pelayaran

internasional melalui peta navigasi laut. Pihak Belanda mendapat informasi dan

laporan dari The Karel Doorman Fondation yaitu pihak ketiga yang telah

melaksanakan survei dan penyelaman di ketiga lokasi tersebut. Sehubungan dengan

hal tersebut, pemerintah Indonesia melalui kementerian luar negeri memfasilitasi

untuk bersama-sama melaksanakan verifikasi data dan mencari informasi yang ada

dengan membentuk Joint Expert Meeting (JEM) antara Pemerintah Indonesia dan

pemerintah Belanda.14

Dengan adanya kegiatan tersebut, negara-negara sekutu yang kapal perangnya

tenggelam pada saat pertempuran Laut Jawa 1942 seperti Amerika Serikat, Australia

dan Inggris serta Jepang mengajukan nota keberatan kepada kementerian luar negeri

Indonesia atas dugaan hilangnya kerangka kapal perang mereka di laut Jawa tersebut.

Negara-negara tersebut akan melakukan hal yang sama seperti halnya pemerintah
12

Indonesian Notices To Mariner Number 28 – Nr. 416 – 433/2017 tanggal 7 Juli 2017
13

Laporan pelaksanaan Joint Expert Meeting Indonesia – Belanda tanggal 7 Februari 2017
14

ibid
9

Belanda. Dengan adanya permasalahan tersebut, pemerintah Indonesia harus mampu

menjelaskan kepada dunia internasional tentang permasalahan yang dialami dalam

penanganan historic shipwreck di perairan Indonesia tersebut sesuai dengan ketentuan

dan peraturan nasional maupun internasional. Meskipun pada kenyataannya

pemerintah Indonesia belum secara tegas mengatur hal tersebut dalam suatu

perundang-undangan hingga saat ini.

Pemerintah Amerika Serikat melalui Angkatan Laut AS menegaskan

berkewajiban untuk melindungi dan menjaga keberadaan kerangka kapal perang AS

yang tenggelam di perairan suatu negara yaitu melalui National Historic

Preservation Act.15 Pemerintah Amerika Serikat berpedoman pada article 95 United

Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS-1982) menyatakan “Warships

on the high seas have complete immunity from the jurisdiction of any state other than

the flag state”.

Pemerintah Indonesia melalui kerjasama beberapa kementerian bidang maritin

dan TNI AL khususnya Pushidrosal telah menginventarisir beberapa kapal perang

asing yang tenggelam di perairan Selat Sunda dan Laut Jawa antara lain16:
15

Jasson R. Harris, International Article, Protecting Sunken Warships as Objects Entitled to Sovereign
Immunity date 4 – 1 – 2002.

16
Laporan pelaksanaan Joint Expert Meeting Indonesia – Belanda tanggal 7 Februari 2017. Joint
Expert Meeting Indonesia – Belanda adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mendiskusikan
pencarian dan klarifikasi data terhadap dugaan hilangnya kerangka kapal perang Belanda yang berada
di perairan Indonesia. Personel JEM terdiri dari para ahli dari beberapa Kementerian dan Lembaga
nasional di Indonesia antara lain Kementerian Luar Negeri, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Arkeologi Nasional dan Pushidrosal TNI AL. Sementara itu dari
Pihak pemerintah Belanda diwakili oleh Kantor Hidrografi Belanda, Minister of Foreign Affairs,
Arkeologi Nasional Belanda, Kedutaan Belanda di Jakarta serta Beberapa keluarga dari korban kapal
perang Belanda yang tenggelan di perairan Laut Jawa. JEM Indonesia – Belanda hingga saat
10

1. Amerika Serikat.

a. USS Houston – Sea War Grave of 693 personnel

b. USS Pope - Sea War Grave.

2. Inggris.

a. HMS Electra - Sea War Grave of 119 personnel (90% lost)

b. HMS Exeter - Sea War Grave of 54 personnel (90% lost)

c. HMS Encounter - Sea War Grave of 8 personnel (90% lost)

d. HMS Jupiter

3. Belanda.

a. Hr. Ms. De Ruyter - Sea War Grave of 354 personnel .

b. Hr. Ms. Java - Sea War Grave of 512 personnel .

c. Hr. Ms. Kortenar - Sea War Grave of 40 personnel .

d. Hr. Ms. Witte de With.

4. Australia. HMAS Perth - Sea War Grave of 353 personnel.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kedaulatan di seluruh

yurisdiksi nasional sesuai yang diatur dalam perundang-undangan nasional. Sebagai

contoh pada aturan dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, arah

pengelolaan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) adalah untuk kepentingan

konservasi, mengingat BMKT memiliki nilai sejarah dan ilmu pengetahuan yang

sangat tinggi. Namun tidak diperkuat oleh UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan

dilaksanakan 2 kali pertemuan formal.


11

yang mengatur bahwa kegiatan pengangkatan BMKT merupakan pemanfaatan

sumber daya kelautan yang akan dikembangkan sebagai salah satu bentuk jenis

industri jasa maritim. Ketidakjelasan terhadap kelembagaan pengelolaan juga

berpotensi terjadi jika melihat dalam UU No. 27 Tahun 2007 sebagaimana diubah

dengan UU No. 1 Tahun 2014. Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengatur bahwa izin

pengelolaan kegiatan pengangkatan BMKT merupakan kewenangan Menteri

Kelautan dan Perikanan, sedangkan jika merunut pada UU No. 11 Tahun 2010

tentang Cagar Budaya yang mengatur BMKT sebagai benda cagar budaya, maka

yang berhak melakukan pengelolaan adalah Menteri Pendidikan Dasar dan

Kebudayaan.

Selain itu dalam pengaturan dan praktik nasional di Indonesia, isu kepemilikan

atas kapal karam bersejarah mengalami problematika yang berkepanjangan. Hal ini

terjadi karena adanya konflik antara peraturan yang berlaku yakni antara UU No. 11

Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2009

tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal

Muatan Kapal yang Tenggelam. Konflik ini terjadi karena peraturan-peraturan

tersebut memegang nilai yang berbeda dalam hal pengangkatan dan kepemilikan atas

kapal karam bersejarah. Kerangka kapal karam bersejarah yang di tetapkan sebagai

cagar budaya bawah air telah dilarang untuk diangkat berdasarkan UU No. 10 Tahun

2011 kecuali untuk kepentingan penelitian.


12

Pemerintah Indonesia dalam penanganan kerangka kapal perang asing yang

berada di perairan yurisdiksi Indonesia, dengan Kementerian Koordinator

Kemaritiman sebagai inisiator melaksanakan pendekatan-pendekatan yang saling

terkait antara lain aspek kedaulatan negara, cagar budaya, konservasi, survei kelautan,

keselamatan navigasi dan keamanan.17 Selanjutnya dalam pembahasan peraturan

perundangan terkait dengan cagar budaya yang sampai dengan saat ini belum

terbentuk, disepakati untuk memasukan area 41 kapal perang asing yang tenggelam

tersebut ke dalam kawasan konservasi maritim. Hal ini didasarkan kepada

pertimbangan kemudahan pembentukan instrumen hukum pendukungnya, yang

hanya membutuhkan pengusulan oleh Pemerintah daerah kepada Menteri Kelautan

dan Perikanan untuk selanjutnya ditetapkan.18

Dewasa ini banyak muncul para pemerhati lingkungan khususnya dengan

mengatasnamakan keselamatan navigasi yang menduga akibat kerentanan bangkai –

bangkai kapal ini akan bahaya yang terjadi di laut, maka muncullah usaha dari

berbagai pihak untuk menyelamatkan bangkai kapal beserta muatannya dari dasar

laut. Upaya penyelamatan ini selain membutuhkan teknologi yang sangat canggih

juga membutuhkan modal yang sangat besar pula. Keadaan ini memicu para

penyelamat (salvors) untuk kemudian memperjualbelikan hasil penemuannya dengan

17

Surat Kementerian Koordianator Kemaritiman Republik Indonesia Nomor 178/Deputi-1/Maritim/VII/2017


tanggal 25 Juli 2017 tentang Penyampaian hasil rapat koordinasi inter Kementerian dan Lembaga nasional tentang
kebijakan sementara pemerintah Indonesia tentang kerangka/wreck kapal perang asing di dasar perairan Indonesia.
18

ibid
13

maksud untuk membayar semua usaha yang telah mereka lakukan.19 Karena

adanya insentif keuntungan (nilai ekonomis) yang akan diperoleh dalam upaya

penyelamatan bangkai kapal beserta muatannya telah menyebabkan ledakan

teknologi dalam industri penyelamatan harta karun serta tanggung jawab untuk

mencari bangkai kapal lebih banyak dari sebelumnya. Meskipun demikian, ada

beberapa perusahaan yang berdalih bahwa mereka merupakan perusahaan arkeologi –

komersil, misalnya Odyssey Marine Exploration Inc., dimana perusahaan semacam

ini selain memandang penemuan mereka sebagai barang – barang yang memiliki nilai

komersil mereka juga memperhatikan aspek arkeologi serta historisnya dengan cara

mendokumentasikan serta menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui akademik

dan media lainnya untuk dipelajari lebih lanjut.20

Terkait dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan

melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut tentang Pengangkatan Kerangka Kapal

yang tenggelam, diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor 71 tahun 2013

tentang Salvages atau Pekerjaan Bawah Air. Dalam Permenhub tersebut dinyatakan

bagi kapal yang tenggelam khususnya yang berada area yang membahayakan

keselamatan navigasi (< kedalaman 100m) dalam kurun waktu 180 hari harus sudah

diangkat kerangka tersebut. Untuk kepentingan keselamatan pelayaran dalam

permenhub tersebut kerangka-kerangka kapal harus segera diangkat terutama di area-

19

Jean F Rydstrom, Annotation, Nature and Extent of Peril Necessary to Support Claim for Marine Salvage, 26
A.L.R. Fed. 858 (2002), bagian 2
20

A Commitment to Archaeology, Odyssey Marine Exploration, dapat diakses pada


http://www.shipwreck.net/archaeology.php [diakses tanggal 7 Agustus 2017]
14

area alur pelayaran yang padat. Dengan adanya pengaturan tersebut, secara otomatis

kerangka-kerangka kapal yang berada di jalur pelayaran harus diangkat dan

dibersihkan untuk kepentingan pelayaran nasional terutama yang belum diketahui

pemiliknya, hal ini sebagai upaya untuk menjamin keselamatan navigasi yang

dikhawatirkan oleh pemilik kerangka kapal asing tersebut.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat dilihat kurang harmonisnya peraturan

perundang-undangan nasional yang mengatur tentang Benda Berharga Asal Muatan

Kapal yang Tenggelam (BMKT) adalah benda berharga yang memiliki nilai sejarah,

budaya, ilmu pengetahuan, dan ekonomi yang tenggelam di wilayah perairan

Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, dan landas kontinen Indonesia,

minimal berumur 50 (lima puluh) tahun. Dari beberapa peraturan tidak ada satupun

peraturan tentang penanganan kerangka kapal perang secara khusus, serta belum

terbitnya peraturan pelaksanaan dari UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,

menyulitkan berbagai pihak terutama pelaksana teknis ditingkat Pemerintah Daerah

dalam melakukan langkah-langkah baik dalam pengelolaan maupun tindakan

terhadap pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sebagai akibat kurangnya

sosialisasi dan pemahaman terkait status BMKT. Pemerintah Indonesia juga belum

secara tegas mengatur tentang penanganan international historic shipwreck yang

berada di perairan Indonesia sehingga kepentingan ekonomis, perlindungan cagar

budaya bawah laut (marine protected area) dan keselamatan pelayaran belum

harmonis pengaturannya.
15

Dalam hukum internasional, terkait dengan perlindungan terhadap warisan

budaya bawa air, pada tahun 2001 PBB menyelenggarakan konvensi dan

menghasilkan Konvensi UNESCO 2001 yang secara umum mengatur antara lain:

perlindungan terhadap warisan budaya bawah air dan dimanfaatkan untuk

kepentingan umat manusia; Cagar budaya bawah air dilarang untuk di eksploitasi

secara komersil untuk perdagangan dan spekulasi dan prinsip-prinsip pelestarian

insitu. Sampai dengan saat ini, Indonesia belum meratifikasi hasil konvensi tersebut,

tentu saja keputusan untuk meratifikasi atau tidak perlu dikaji secara mendalam

manfaatnya bagi kepentingan nasional, karena ada konsekuensi yang harus

ditanggung, seperti antara lain: menghentikan perizinan yang telah dikeluarkan

termasuk mengembalikan kepada investor segala biaya yang sudah dikeluarkan dalam

rangka perizinan; menyusun roadmap/rencana aksi pengelolaan warisan budaya

bawah air; menyiapkan segala sarana dan prasarana penunjang termasuk

kelembagaan pengelolaanya, seperti balai pelatihan, museum maritim, dan

pengembangan sumber daya manusianya; serta harmonisasi terhadap peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan BMKT untuk disesuaikan dengan ketentuan

dalam Konvensi UNESCO 2001.

Peranan hukum internasional dalam perkembangan sistem hukum suatu negara

mempunyai fungsi yang cukup penting. Hal ini berkaitan dengan makin banyaknya

kegiatan-kegiatan lintas batas negara sehingga menyebabkan batas-batas teritorial

suatu negara bukanlah suatu hambatan dalam hubungan ekonomi, sosial, budaya

maupun politik yang dilakukan antar individu maupun antar negara. Untuk mengatur
16

lalu lintas kepentingan tersebut maka diperlukan seperangkat peraturan internasional

yang berfungsi mengatur mengenai tatacara berhubungan satu sama lain antar negara

di dunia untuk meminimalisir terjadinya perselisihan antara negara maupun

perorangan yang berkepentingan.

Adanya globalisasi lebih memicu perkembangan hukum internasional.

Globalisasi membuat hubungan individu, korporasi dan negara saling berinteraksi

lebih jauh, lebih cepat dan lebih murah dibandingkan masa-masa sebelumnya.

Komunikasi dan teknologi menyebabkan jarak sudah tidak menjadi masalah yang

berarti dan saling ketergantungan antara negara-negara di dunia juga semakin kuat.

Perkembangan hubungan lintas batas ini memerlukan pengaturan secara internasional

baik itu dituangkan melalui perjanjian bilateral maupun multilateral.

Negara mematuhi hukum internasional karena mempunyai kepentingan dan

membutuhkan sosialisasi dan interaksi dalam hubungan dengan masyarakat

internasional. Jika diamati secara sepintas, kondisi ini disatu pihak menunjukkan

adanya perkembangan yang mengarah kepada perbaikan dan peningkatan hubungan

antar negara yang diharapkan akan mensejahterakan masyarakat internasional.

Namun di lain pihak perkembangan ini juga menimbulkan kekawatiran karena hukum

internasional itu belum tentu sejalan dengan sistem hukum masing-masing negara.

Dalam praktik modern, ratifikasi peraturan internasional mempunyai arti lebih

daripada sekadar tindakan konfirmasi. Ratifikasi dianggap sebagai penyampaian

pernyataan formal oleh suatu negara mengenai persetujuan untuk terikat pada suatu

perjanjian internasional. Sengketa kepemilikan status kerangka kapal perang


17

bersejarah merupakan suatu problematika yang cukup unik dan kompleks dalam

penyelesaiannya, mengingat banyaknya kepentingan yang berbenturan antar

penemu/pencari harta karun, Negara bendera (negara asal) dan Negara lokasi

diketemukan kerangka tersebut.

Peneliti menyadari, bahwa objek penelitian ini sudah diteliti oleh pihak lain,

oleh karena itu untuk menghindari duplikasi dalam penelitian ini, peneliti

membandingkan penelitian sejenis yang sudah ada, antara lain:

1. Thesis dari Katarina Kepplerus Tahun 2010, Importance of Solving Legal

Problems Regarding Wrecks - Risks Posed by Dangerous Wrecks in Swedish Waters.

Tesis ini membahas masalah-masalah hukum dalam kaitannya dengan kerangka

kapal, dengan fokus pada kerangka kapal yang berbahaya dan terbengkalai, dan

mengambil perspektif de lege ferenda tentang peraturan mengenai tanggung jawab

kecelakaan, tanggung jawab untuk penghancuran rongsokan dan pencegahan

pencemaran terhadap lingkungan laut.

Kerangka kapal yang ditinggalkan dapat menghalangi navigasi dan

menimbulkan bahaya bagi lingkungan laut khususnya para pelaut. Selain itu,

kecelakaan membuat berbagai masalah, negara pantai dan masyarakat, otoritas, pelaut

dan perusahaan asuransi. Jumlah bangkai kapal di perairan Swedia tidak diketahui

tetapi saat ini sedang diinventarisasi oleh Administrasi Kelautan Swedia.

Hukum internasional dan nasional yang mencakup kerangka kapal tidak

lengkap. Ciri dominan dari bidang hukum ini adalah kurangnya pengaturan.

Perundang-undangan mengenai kecelakaan kapal paling baik dilakukan secara


18

nasional karena fakta bahwa kerusakan paling banyak dilakukan oleh kapal karam di

perairan nasional. Meskipun demikian, harmonisasi internasional pada isu-isu terkait

kerusakan akan bermanfaat.

2. Thesis dari Dianna Zwart yaitu “Causes of shipwrecks: identifying the causes

of shipwreck through the archaeological record” membahas mengenai beberapa

faktor yang mempengaruhi catatan arkeologi seperti yang terjadi hingga kini.

Disampaikan bahwa kapal karam tidak terlihat sama dengan kapal yang tersisa

pelabuhan untuk melanjutkan perjalanan. Dalam menentukan suatu situs arkeologi

diperlukan catatan sejarah dan riwayat dari kerangka kapal tenggelam sebelum

kejadian tenggelam, sehingga akan mudah mengetahui riwayat dari kerangka

tersebut. Pembahasan pada teori proses pembentukan situs arkeologi, teori kisaran

menengah dan arkeologi kognitif. Dengan kognitif arkeologi juga merusak proses

budaya dan penilaian risiko akan dibahas.

3. Thesis dari David M. VanZandt Graduate pada Diploma Maritime

Archaeology Graduate Certificate Maritime Archaeology Bachelor of Science

Nuclear Engineering Department of Archaeology Flinders University Thesis

Advisor: Associate Professor Mark Staniforth November 2009 yaitu A Systematic

Method for the Identification of Historic Era Shipwrecks. Tesis ini membahas

pengembangan metode sistematis untuk identifikasi bangkai kapal era bersejarah

berdasarkan teknik sains forensik tradisional. Teknik-teknik tradisional ini digunakan


19

dalam identifikasi sisa-sisa manusia ketika aplikasi teknik forensik canggih, seperti

analisis DNA, tidak mungkin atau praktis.

Identifikasi kapal karam memungkinkannya untuk ditempatkan di dasar laut

secara keseluruhan, atau mariscape, dan secara sinergis memberikan kontribusi pada

perspektif sejarah, bukan hanya sebagai pulau terisolasi data arkeologi dan historis ke

dalam dirinya sendiri.

Mengapa diperlukan penamaan kapal tenggelam? Apa yang membuat

identifikasi itu penting dan mengapa peduli tentang itu? Saat kapal tenggelam secara

efektif menjadi waktu dari budaya material yang terkait dengan periode waktu

tersebut. Kekayaan informasi arkeologi termasuk data pembangunan kapal, jenis

kargo, kondisi berlayar untuk awak kapal, dan, jika kapal perang, jenis dan jenis

persenjataan, dapat ditemukan dalam batas-batas situs kapal karam. Semua data

penting ini ditafsirkan dalam konteks budaya dan sejarah yang sangat terbatas.

Menempatkan nama pada kerangka kapal membuka jalan baru untuk interpretasi data.

Identifikasi menempatkan kapal karam dalam konteks yang lebih luas dari dasar laut

sehingga memungkinkan dan mendorong interpretasi data di luar batas kapal karam

sebagai entitas tunggal. Hal ini memungkinkan kapal karam untuk diperiksa tidak

hanya secara lokal tetapi secara global terkait dengan budaya dan sejarah maritim.

4. Disertasi dari Natali Pearson, Deputy Director, Sydney Southeast Asia Center,

Unversity of Sydney dengan judul disertasi adalah “Not Our History, Not Our

Heritage: New Perspectives on World War II Ships in Indonesia”, Juni 2018. Pada
20

presentasi dan diskusi yang dilaksanakan di Marine Heritage Galery, Kementerian

Kelautan dan Perikanan RI tanggal 14 Juli 2018, Natali Perason menyampaikan

presentasi tentang disertasi hasil penelitiannya tentang keberadaan historical wreck

khususnya kapal perang Belanda yang tenggelam di Laut Jawa memiliki nilai sejarah

Perang Dunia II yang perlu dijaga kelestariannya. Penulis memberikan kritik kepada

pemerintah Indonesia yang tidak mampu menjaga keberadaan benda bersejarah yang

berada di wilayah territorial bahkan cenderung mengabaikan arti sejarah dari Perang

Dunia II tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya perhatian, kebijakan

maupun regulasi yang menunjukan keseriusan pemerintah Indonesia dalam

menangani permasalahan yang telah menjadi isu internasional.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dalam naskah ini rumusan masalah

penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana primat hukum nasional Indonesia terhadap hukum

internasional untuk menentukan status hukum kerangka kapal perang asing di

perairan kepulauan Indonesia?

2. Bagaimana penataan (aspek) hukum positif untuk kepastian hukum

jaminan keselamatan pelayaran dan kelestarian sejarah dari kerangka kapal

perang asing yang berada di perairan kepulauan Indonesia?


21

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan saran novelty atau kebaruan

saran tentang kepastian hukum penanganan kerangka kapal perang asing di wilayah

perairan Indonesia, sebagai berikut:

1. Mengkaji secara pasti primat hukum nasional Indonesia terhadap hukum

internasional untuk menentukan status hukum kerangka kapal perang asing di

perairan kepulauan Indonesia.

2. Menemukan dan menggagas upaya penataan (aspek) hukum positif untuk

kepastian hukum jaminan keselamatan pelayaran dan kelestarian sejarah dari

kerangka kapal perang asing yang berada di perairan kepulauan Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan dari segi teoritis

maupun praktis dalam kehidupan bernegara yang memiliki hubungan dengan negara

lain sebagai dampak dari masa lalu dan etika bernegara saat ini.

Adapun kegunaan dibagi 2 yaitu kegunaan teoritis dan kegunaan praktis sebagai

berikut:

1. Kegunaan Teoritis dari penelitian ini adalah

a. Sebagai bahan informasi yang dapat digunakan dalam

memperluas wawasan terhadap primat hukum nasional Indonesia


22

terhadap hukum internasional untuk menentukan status hukum kerangka

kapal perang asing di perairan kepulauan Indonesia.

b. Untuk dapat mengetahui status hukum dari kerangka kapal

perang asing bersejarah yang sudah lebih dari 50 tahun tenggelam

berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional.

c. Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan suatu

gambaran yang konkrit terhadap permasalahan penataan (aspek) hukum

positif untuk kepastian hukum jaminan keselamatan pelayaran dan

kelestarian sejarah dari kerangka kapal perang asing yang berada di

perairan kepulauan Indonesia.

2. Kegunaan Praktis

a. Sebagai saran dan kontribusi kepada pemerintah Indonesia

khususnya tim Kementerian Luar Negeri Indonesia terhadap primat

hukum nasional Indonesia terhadap hukum internasional untuk

menentukan status hukum kerangka kapal perang asing di perairan

kepulauan Indonesia.

b. Sebagai referensi operasional bagi satuan operasional (penegak

hukum di laut) dalam melaksanakan tugasnya menjaga kedaulatan NKRI.

E. Kerangka Pemikiran
23

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kedaulatan di seluruh

yurisdiksi nasional sesuai yang diatur dalam perundang-undangan nasional.

Kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia ini akan diuraikan dengan menggunakan

Grand Theory yaitu teori kedaulatan negara, dan kemudian dijabarkan Middle Range

Theory yaitu teori hukum laut internasional, serta akan dirinci lebih lanjut dengan

Applied Theory yang menggunakan teori kepastian hukum.

1. Teori Kedaulatan Negara sebagai Grand Theory

Teori hukum tentang kedaulatan (souvereignity) adalah kekuasaan

tertinggi, absolut, dan tidak ada instansi lain yang dapat menyamakannya atau

mengontrolnya, yang dapat mengatur warga negara dan mengatur juga apa yang

menjadi tujuan dari suatu negara, dan mengatur berbagai aspek pemerintahan,

dan melakukan berbagai tindakan dalam suatu negara, termasuk tetapi tidak

berbatas pada kekuasaan membuat undang-undang, menerapkan dan

menegakkan hukum, menghukum orang, memungut pajak, menciptakan

perdamaian dan menyatakan perang, menandatangai dan memberlakukan

traktat, dan sebagainya.21

John Austin fokus pada aliran hukum positif yang analitis. Bagi Austin,

hukum merupakan sebuah perintah dari penguasa, dan hukum secara tegas

dipisahkan dari moral. Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command),

yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang
21

Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum tahun 2013, hal 91.
24

diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar. Selanjutnya

Austin, mengemukakan bahwa hukum yang tepat disebut hukum (hukum

positif) mempunyai 4 (empat) unsur, yaitu: command (perintah), sanction

(sanksi=ancaman hukuman), duty (kewajiban), dan sovereignty (kedaulatan).

Menurut Austin, hukum harus dipahami sebagai ‘komando.’ Hukum selalu

merupakan kumpulan perintah yang bersifat komando (laws are commands).

Hukum selalu berwatak komando. Dengan demikian, menurut Austin, yang

menjadi kata kunci dalam yurisprudensi adalah komando. Hukum yang berlaku

dalam masyarakat adalah komando umum dari entitas politikyang memiliki

kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political

authority). Atau, Austin menyebutnya sebagai sovereign: penguasa yang

berdaulat atas warganya. Otoritas ini berfungsi mengatur perilaku setiap

anggota masyarakatnya.22

Pendapat teori kedaulatan lainnya adalah dari Herbert Lionel Adolphus

Hart yang merupakan ahli hukum abad 20 yang berpaham liberal positivism

dan utilitarisme. Teori kedaulatan yang disebut dengan “the doctrine of

sovereignity” yang mengajarkan bahwa “….in every society, where there is

law, there is ultimately to be found latent beneth the variety of political forms,

is a democracy as much as in an absolute monarchy, this simple relationship

between subjects rendering habitual obedience, and sovereign who render

22

John Austin, The Province of Jurisprudence Determined (1832).


25

habitual obedience to no one. This vertical structure composed of sovereign

and subjects is, according to the theory, as essential a part of a society which

passesses’ law, as a backbone is of man. Where there is present, we may speak

of the society, together with its law; where it is not present, we can apply none

of these expressions, for the relation of sovereign and subject forms, according

this theory, part of their very meaning.”23

“di setiap kehidupan bermasyarakat, disitu pasti ada hukum, ada yang akhirnya

ditemukan laten yang memunculkan berbagai bentuk politik, yaitu sebuah

demokrasi seperti dalam monarki absolut, hubungan sederhana antara subjek

yang membuat kepatuhan kebiasaan, dan berdaulat yang membuat kepatuhan

menjadi kebiasaan untuk siapa saja. Struktur vertikal yang terdiri dari

kedaulatan dan subyek ini, menurut teori, sebagai bagian penting dari

masyarakat yang melanggar hukum, sebagai tulang punggung adalah manusia.

Di mana ada, kita dapat berbicara tentang masyarakat, bersama dengan

hukumnya; jika tidak ada, kita tidak dapat menerapkan satupun dari ekspresi

ini, untuk hubungan bentuk kedaulatan dan subjek, menurut teori ini, bagian

dari arti mereka sendiri”

Kedaulatan negara atas wilayah sangat penting dalam mempelajari hukum

internasional. Dalam hukum internasional, sesuatu dapat dikatakan negara jika

23

Herbert Lionel Adolphus Hart, the doctrine of sovereignity tahun 1981 hal 49
26

sudah memiliki rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat dan kemampuan

untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. Wilayah disebutkan sebagai

syarat nomor 2 menunjukkan bahwa wilayah yang tetap merupakan syarat

penting terbentuknya suatu negara. Karena di atas wilayah itulah nantinya akan

diselenggarakan suatu negara dengan pemerintahan yang berdaulat. Oleh

karena itu dalam artikel kali ini penulis akan membahas mengenai wilayah

dalam hukum internasional dan kedaulatan negara atas wilayah.

Kedaulatan Negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah atau

teritorialnya dan akan berakhir ketika sudah dimulai wilayah atau territorial

Negara lain. Meskipun suatu Negara memiliki judicial jurisdiction atau

kewenangan untuk mengadili seseorang berdasarkan prinsip-prinsip yurisdiksi

dalam hokum internasional, namun tidak begitu saja Negara dapat

melaksanakannya (enforcement jurisdiction) ketika orang tersebut sudah

melarikan diri ke Negara lain. Demikian pula berlaku terhadap seorang

terpidana yang berhasil kabur dari tahanan, Negara tidak bisa langsung

menangkapnya lagi ketika si terpidana berhasil kabur ke luar negeri. Untuk

itulah dalam tata krama pergaulan internasional dibutuhkan permohonan

ekstradisi dari Requesting State kepada Requested State. Dengan demikian,

keterbatasan kedaulatan territorial bisa dijembatani melalui kerja sama dengan

Negara-negara lainnya untuk proses penegakan hukumnya. Keberhasilan kerja

sama penegakan hukum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan

jika tidakada perjanjian bilateral maupun multilateral dalam penyerahan pelaku


27

kejahatan atau dalam kerja sama penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian

itupun kerja sama penegakan hokum dapat dilaksnakan berlandaskan asas

resiprositas (timbal balik).

D.P.O’ Connel menyimpulkan bahwa yurisdiksi sebagai “The Power of a

sovereign to affect the rights of persons, whether by legislation, by executive

decree or bay the judgment of a court.” Hal ini diartikan bahwa yurisdikasi

merupakan sebuah kekuatan atau kewenangan dari sebuah entitas yang

berdaulat untuk mempengaruhi hak-hak seseorang baik melalui sebuah

legislasi, peraturan eksekutif, atau melalui putusan pengadilan. 24 Pengertian ini

mengenai teori yurisdiksi dikemukanan oleh Lung-Chu Chen, dimana

yurisdiksi disebut sebagai suatu horizontal allocation of authority. Chen

mengemukakan bahwa25:

“Jurisdiction (horizontal allocation of authority) is concerned here with the

competence of a state to make and apply law to particular events, which may or

may not accour within the bordres of a state and which may or may not involve

Nationals of the state. It extends to all activities having to do with making and

applying law and involves not only the judicial branch of goverment, but he

24

Daniel Patrick O’Connell, The International Law of the Sea Volume I, 1962
25

Lung-Chu Chen, An Introduction Contemporary International Law, A Policy – Oriented Perspective,


third edition by Oxford, 2000
28

legislative and executive branches (Including the latter’s administrative

agenciesi)”.

“Yurisdiksi (alokasi otoritas horisontal) adalah wilayah/daerah tempat

berlakunya sebuah undang-undang yang berdasarkan hukum, yang mungkin

atau mungkin tidak terjadi dalam perbatasan suatu negara dan yang mungkin

atau mungkin tidak melibatkan warga negara dari negara. Ini mencakup semua

kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan dan penerapan hukum dan tidak

hanya melibatkan cabang yudisial pemerintah, tetapi juga bagian legislatif dan

eksekutif (termasuk bagian administrasi)”.

Dalam teori kedaulatan hukum, bisa diartikan bahwa hukum adalah

lembaga tertinggi. Artinya hukum yang berlaku di dalamnya adalah kekuasaan

yang paling tinggi. Negara tidak bisa memberikan keputusan apapun jika sudah

menyalahi aturan hukum yang berlaku. Sehingga hukum yang sudah dibuat

harus terdapat semua hal yang menyangkut kepentingan negara tersebut.26

Negara merupakan subjek hukum yang terpenting dibanding dengan

subjek-subjek hukum internasional lainnya. Pasal 1 konvensi Montevideo 27

Desember 1933 mengenai hak dan kewajiban negara menyebutkan bahwa

negara sebagai subjek dalam hukum internasional harus memiliki empat unsur

yaitu: penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang berdaulat dan

kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain. Sebagaimana ditentukan

26

Budi Lazarusli dan Syahmin A.K; Suksesi Negara, Penerbit Remadja, Bandung 1986 hlm.12
29

dalam pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak-hak dan Kewajiban-

kewajiban Dasar Negara, bahwa: Negara sebagai subjek hukum internasional

harus memenuhi ciri-ciri tertentu, yaitu 27:

a. memiliki penduduk yang pasti,

b. wilayah yang pasti,

c. berpemerintahan yang berdaulat, dan

d. kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.

Pengertian negara sebagai subjek hukum internasional adalah organisasi

kekuasaan yang berdaulat, menguasai wilayah tertentu, penduduk tertentu dan

kehidupan didasarkan pada sistem hukum tertentu. Dalam pengertian mengenai

negara tersebut walaupun memiliki banyak pendapat dan perbedaan dalam

memberikan pengertian tentang negara tetapi baik menurut para ahli dan

konvensi Montevideo tetap memiliki persamaan bahwa suatu negara akan

berdaulat jika memiliki kriteria-kriteria yang di terima oleh masyarakat

internasional.

Suatu negara dapat saja lahir dan hidup tetapi itu belum berarti bahwa

negara tersebut mempunyai kedaulatan, kedaulatan ialah kekusaan tertinggi

yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai

kegiatan sesuai kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan

27

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Konteporer, Bandung: Refika Aditama, 2006,
30

dengan hukum internasional. Sesuai konsep hukum internasional kedaulatan

memiliki tiga aspek utama yaitu28:

a. Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk

secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau

kelompok-kelompok lain tanpa tekanan atau pengawasan dari Negara

lain.

b. Aspek intern kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif

suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja

lembaga-lembaganya tersebut dan hak untuk membuat undang-undang

yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.

c. Aspek territorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan

eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-

benda yang terdapat di wilayah tersebut.

Negara mempunyai kedaulatan atas wilayah yang berada di dalam

kekuasaannya. Kekuasaan negara atas wilayah tersebut melahirkan konsep

kedaulatan teritorial, yaitu kekuasaan negara untuk menjalankan jurisdiksinya

atas orang-orang dan harta benda yang berada dalam wilayahnya. Pengertian

kedaulatan tertinggi mengandung dua pembatasan, yaitu;

28

Boer Mauna, hukum internasional (pengertian, peranan dan fungsi dalam era dinamika global), edisi ke-2,
penerbit Alumni, Bandung, 2005.
31

a. kekuasaan terbatas pada batas-batas wilayah negara yang memiliki

kekuasaan,

b. kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai.

Wilayah laut adalah bagian negara yang berupa perairan. Negara yang

memiliki atau berbatasan dengan laut disebut negara pantai atau ada sebutan

negara kepulauan. Terhadap bagian wilayah laut tertentu negara memiliki

kedaulatan, dan terhadap bagian wilayah laut tertentu negara mempunyai hak

berdaulat. Ketentuan hukum internasional yang berlaku bagi wilayah laut antara

lain hukuk internasional kebiasaan, Konvensi Jenewa 1958, Konvensi Hukum

Laut 1982 (United Nations on The Law of the Sea 1982).

Bagian laut yang berada dalam kedaulatan negara adalah

a. laut pedalaman (internal waters),

b. laut teritorial (territorial sea), dan

c. bagi negara kepulauan yang memiliki kedaulatan atas peraian

kepulauan (archipelagic rights).

Sedangkan bagian wilayah laut yang negara hanya memiliki hak berdaulat

berupa :

a. zona tambahan (contiguous zone),

b. zona ekonomi ekslusif (exclusive economic zone) dan


32

c. landas kontinen (continental shelf).

Dari uraian tersebut diatas, penulis mencoba mengkorelasikan antara

teori kedaulatan dengan judul proposal yang diajukan. Keberadaan kerangka

kapal perang asing bersejarah seperti diatur dalam UNCLOS 1982 memiliki

kekebalan dan merupakan kedaulatan negara pemilik dari shipwreck tersebut,

namun yang harus diketahui adalah lingkungan sekeliling dari shipwreck

tersebut adalah merupakan kedaulatan Indonesia. Dimana posisi shipwreck

tersebut berada di perairan kepulauan Republik Indonesia yang berdaulat atas

kolom air diatas shipwreck tersebut dan dasar laut dari shipwreck itu tenggelam.

Kekebalan hukum dan kedaulatan negara bendera hanya di shipwreck tersebut

yang juga sudah tidak memiliki fungsi sebagaimana kapal perang/kapal

pemerintah sebagaimana mestinya.

2. Teori Hukum Laut Internasional sebagai middle range theory.

Hukum Internasional dalam menjalin hubungan kerjasama baik bilateral

maupun multilateral, seluruh negara wajib hukumnya untuk menaati pedoman

dan tata cara yang telah disepakati oleh negara-negara yang tergabung dalam

PBB. Tata cara inilah yang disebut dengan hukum internasional. Hukum

Internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala

internasional. Pada awalnya, hukum internasional hanya diartikan sebagai

perilaku dan hubungan antarnegara. Namun, dalam perkembangan pola


33

hubungan internasional yang semakin meluas, hukum internasional juga

mengurus struktur dan perilaku organisasi internasional, individu, dan

perusahaan multinasional.

Hukum laut internasional adalah sekumpulan kaedah hukum yang

mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan

pantai, yang terkurung oleh daratan dan atau organisasi maupun subyek hukum

internasional lainnya, yang mengatur mengenai kedaulatan negara di laut,

yurisdiksi negara dan hak-hak negara atas perairan tersebut. Hukum laut

internasional mempelajari tentang aspek-aspek hukum di laut dan peristiwa-

peristiwa hukum yang terjadi di laut.

Menurut Grotius (Hugo de Groot) – Hukum internasional terdiri dari

seperangkat prinsip-prinsip hukum dan karena biasanya dalam hubungan antara

negara-negara. Hubungan ini didasarkan pada kehendak bebas dan persetujuan

dari semua anggota untuk kepentingan bersama. Hugo Grotius merupakan

seseorang yang mempunyai begitu banyak keahlian sampai akhir hayatnya.

Beliau menulis karya-karya tentang teologi, sejarah, dan khususnya, topik-topik

hukum. Pada awalnya, pengaruh akar Belanda dapat terlihat jelas dalam

tulisannya. Misalnya, menggunakan banyak contoh sejarah dan hukum untuk

membuktikan bahwa Belanda mempunyai bentuk pemerintahan yang ideal

sejak masa kaum Batavia, atau bahwa Belanda mempunyai kebebasan


34

memanfaatkan laut karena dianggap wilayah perairan internasional (Mare

Liberum)29.

Cara yang digunakannya untuk mencapai kesimpulan tersebut sangat khas

cendikiawan humanis seperti Grotius. Menggunakan kepandaiannya yang

mengagumkan, tujuan utama beliau adalah menciptakan keteraturan dan

struktur dari ilmu pengetahuan yang sudah ada sebagaimana dapat ditemukan

dalam karya-karya penulis klasik. Pendekatan ini menghasilkan cara pandang

yang baru, khususnya melalui tulisan-tulisannya tentang hukum seperti De iure

belli ac pacis ("Hukum tentang Perang dan Damai"). Ditulis pada tahun 1625,

karya ini menjadi prinsip-prinsip fundamental bagi hukum internasional.

Di Belanda, Grotius dikenal sebagai Hugo de Groot, dan secara luas

masih diingat karena kisah pelariannya menggunakan peti buku. Di luar negeri,

nama Grotius diasosiasikan dengan seseorang yang mempunyai kecerdasan luar

biasa dalam bidang hukum. Bersama dengan para korban lainnya yang juga

Stadholder (de Witt bersaudara dan Oldenbarneveldt), Hugo Grotius dianggap

sebagai simbol perlawanan terhadap para penentang monarki (Oranje). Pada

tahun 1780-an, saat periode Patriot, beberapa barang peninggalan Grotius

ditemukan, termasuk dua buah peti buku.30

29

http://www.edukasinesia.com/2016/10/11-pengertian-hukum-internasional-menurut-para-ahli.html diakses 22
Juni 2017
30

ibid
35

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa keseluruhan kaidah-kaidah

dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-

batas negara antara negara dengan negara. Lebih lanjut ditegaskan, “hukum

internasional adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan azas-azas yang mengatur

hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara-negara antara

negara dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau

subjek hukum bukan negara satu sama lain.31

Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini

adalah hukum internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum

internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan

hukum perdata internasional. Hukum internasional publik adalah keseluruhan

kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi

batas negara, yang bukan bersifat perdata. Sedangkan hukum perdata

internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur

hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum

yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang

masing-masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda.32

Hukum laut internasional mengatur bahwa yurisdiksi atau kedaulatan

suatu negara hanya berlaku sampai kepada batas – batas teritorial negaranya

sehingga tidak dapat mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayah


31

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta: Binacipta, 1997), hlm. 3-4.
32

ibid
36

kedaulatannya. Namun, perkembangan teknologi, khususnya di bidang

eksplorasi laut dalam, tidak dapat membendung peningkatan aktivitas di luar

wilayah teritotial negara. Aktivitas inilah yang kemudian menimbulkan isu

ketidakpastian penerapan pengaturan mengenai kepemilikan atas penemuan

kerangka kapal di perairan internasional. Perkembanagan teknologi di bidang

eksplorasi di dasar laut menyebabkan timbulnya usaha dari berbagai pihak

untuk mencari dan menemukan kerangka kapal yang telah karam di dasar laut

selama beberapa waktu. Kapal – kapal yang telah karam di dasar laut ini

merupakan situs penemuan yang sangat berharga pada saat ini, karena itu tidak

bisa dibandingkan dengan situs – situs penemuan lainnya. Namun,

perkembangan teknologi juga, khususnya di bidang eksplorasi laut dalam, tidak

dapat membendung peningkatan aktivitas di luar wilayah teritotial negara.

Aktivitas inilah yang kemudian menimbulkan isu ketidakpastian penerapan

pengaturan mengenai kepemilikan atas penemuan bangkai kapal di perairan

internasional. Selain itu kapal - kapal tersebut memiliki berbagai macam

muatan yang bernilai budaya, historis, serta arkeologis. Kerangka-kerangka

kapal yang ada di dasar laut bukannya tidak mengalami berbagai macam

bahaya, baik yang sedang terjadi ataupun yang akan terjadi.

Isu mengenai kepemilikan atas penemuan kerangka kapal serta

muatannya di perairan internasional merupakan hal yang krusial dalam hukum

internasional. Beberapa konvensi internasional memang mengatur masalah

perlindungan terhadap bangkai kapal serta muatannya yang berada di perairan


37

internasional, diantaranya Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United

Nations Convention on the Law of the Sea)/UNCLOS 1982, dan Konvensi

UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001 (UNESCO

Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage)/UCH

Convention. Namun konvensi – konvensi ini tidak menyatakan secara rinci dan

jelas mengenai status hak kepemilikan atas penemuan tersebut.

Pendapak para ahli masih menunjukan ketidakseragaman dalam

pengaturan hukum laut terutama tentang akses dan kontrol tentang kekayaan

laut. Sejak diadopsinya UNCLOS 1982, perselisahan antara kepentingan negara

pantai dan negara dengan kekuatan maritim telah dapat terselesaikan. 33 Namun

perselisahan baru muncul dalam hak kepemilikan atas kapal karam bersejarah

di luar yurisdiksinya.34 Pentingnya upaya yang serius bagi pengaturan

kepemilikan atas kerangka kapal bersejarah tersebut mengingat nilai ekonomis

benda bersejarah saat ini sangat tinggi yang berpotensi menimbulkan konflik.

Pemerintah Belanda dalam menanggapi isu hilangnya 3 historical

shipwreck melalui pakar hukum internasional Belanda, Leut. Annemarieke

Vermeer, “The Netherlands considers that wrecks of warships continue to

enjoy sovereign immunity in accordance with UNCLOS 1982…, both States

agree that the flagstate and the coastal state should consent to any activities,

33

David J. Bederman, Historic Salvage and the Law of the Sea, University of Miami Inter – American
Law Review, 1998 hal 2.
34

Ibid.
38

including preservation, concerning these wreck, in accordance with


35
international and domestic law”. atau “Belanda menganggap bahwa

kerangka kapal perang memiliki kekebalan berdaulat sesuai dengan UNCLOS

1982….. Kedua Negara setuju bahwa negara bendera dan negara pantai harus

menyetujui setiap kegiatan, termasuk pelestarian, mengenai kecelakaan ini,

sesuai dengan hukum internasional dan domestik”. Untuk itu Indonesia –

Belanda berupaya untuk saling menjaga keberadaan historical shipwreck

tersebut.

Hukum laut internasional mengatur status imunitas berdaulat ke kapal

perang, memastikan bahwa kapal-kapal ini tidak "tunduk pada perampasan,

penangkapan atau penahanan oleh proses hukum apapun, atau proses apapun

yang dilakukan di masa sekarang".36 Namun perlu pertimbangan dan penelitian

lebih mendalam bahwa kerangka kapal tidak memiliki fungsi seperti kapal

perang lagi termasuk tidal memiliki lencana perang maupun bendera negara

yang seharusnya berada di kapal perang.

Secara hukum laut internasional, state practice, dan yurisprudensi

pengadilan internasional, dapat disimpulkan bahwa kerangka-kerangka kapal

perang yang tenggelam dan dijadikan war grave at sea adalah milik negara

bendera dan berada dibawah kedaulatan (sovereignty) negara tersebut37,

35

Report of Joint Expert Meeting track 2 on Joint Apreciation on 8 – 10 August 2017 in Jakarta Indonesia.
36

Dhiana Puspitawati - Setyo Widagdo, Legal Status of wafship wreck from world war II in Indonesian Territorial
Water (Incident of H.M.A.S. Perth Commercial Salvaging).
37
39

meskipun masih banyak pertentangan dengan ketentuan tersebut. Perdebatan

mengenai kepemilikan ini dan sengketa kepemilikan atas kerangka kapal

bersejarah bukanlah suatu fenomena yang baru38 dan tidak sedikit yang

mengambil jalur penyelesaian ligitasi sebagai contoh penanganan kasus Black

Swan dimana terjadi sengketa antar Odyssey, Peru dan Spanyol.

Di negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia,

perkembangan sistem hukum nasional cukup mendesak untuk diambilnya sikap

yang progresif tentang hukum nasional dan peranannya dalam masyarakat.

Suatu negara berkeinginan untuk mengganti pemikiran hukum yang konservatif

warisan pemerintah kolonial dengan suatu pemikiran hukum yang lebih

memperhatikan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun dengan

mempertimbangkan aspek kepentingan masyarakat agar peraturan tersebut

tidak bertentangan dengan hukum yang hidup di masyarakat.

Sistem hukum adalah suatu tatanan yang teratur dari berbagai unsur

menjadi suatu keharusan yang saling menguatkan untuk mencapai tujuan.

Sistem hukum diciptakan agar tidak terjadi tumpang tindih antar sistem itu

sendiri. Sistem hukum berlaku dengan baik apabila didukung dengan asas

hukum yang baik juga. Sistem hukum nasional mengatur segala aktivitas

Surat Kementerian Koordianator Kemaritiman nomor 178/Deputi-1/Maritim/VII/2017 tanggal 25 Juli 2017


tentang Penyampaian hasil rakor kebijakan Indonesia tentang kerangka/wreck kapal perang asing di dasar perairan
Indonesia.
38

Cathryn Henn, The Trouble With Treasure Historic Shipwrecks Discovered in International Waters, Vol 19,
University of Miami International Law and Comperative Law review, 2012
40

kehidupan manusia sejak lahir sampai meninggal dunia bahkan mengatur yang

masih di dalam kandungan dengan syarat lahir hidup.39

Tentang struktur hukum Friedman menjelaskan (Lawrence M. Friedman,

1984 : 5-6): “To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system

consist of elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction

…Strukture also means how the legislature is organized …what procedures the

police department follow, and so on. Strukture, in way, is a kind of crosss

section of the legal system…a kind of still photograph, with freezes the action.”

Untuk mulai dengan, sistem hukum memiliki struktur sistem hukum yang

terdiri dari unsur-unsur semacam ini: jumlah dan ukuran pengadilan; yurisdiksi

mereka ... Struktur juga berarti bagaimana legislatif diatur ... prosedur apa yang

diikuti oleh kepolisian, dan seterusnya. Strukture, dalam cara, adalah semacam

bagian silang dari sistem hukum ... semacam foto diam, dengan membekukan

tindakan." Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi

hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan

hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat. Struktur

adalah Pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut

ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana

pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan dan

dijalankan.

39

Mudakir Iskandarsyah, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Sagung Seto, Jakarta 2008.
41

Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud

dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia

yang berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan

menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.

Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap

manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum

dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan

aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum

yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat

dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan

secara efektif.

3. Teori Kepastian Hukum sebagai Applied Theory

Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,

terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku

bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari

hukum. Apabila dilihat secara historis, perbincangan mengenai kepastian

hukum merupakan perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan

pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.


42

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum,

karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan

menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan

kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Guna

memahami secara jelas mengenai kepastian hukum itu sendiri, berikut akan

diuraikan pengertian mengenai kepastian hukum dari beberapa ahli.

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan

kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian

hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum,

dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa

lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali

keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan

merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling

substantif adalah keadilan.

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu

pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan

adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang

boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang

didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung


43

melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi

penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut

aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya

kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan

sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat

umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan

untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk

kepastian.

Ada 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian

hukum, yaitu40 :

Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu

adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta,

artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan

dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di

samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah

diubah. Pendapat tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian

hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum

merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.

Berdasarkan pendapatnya tersebut, hukum positif yang mengatur kepentingan-

40

http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch/
diakses tanggal 22 Juni 2017
44

kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum

positif itu kurang adil.

Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang

berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat

dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan,

namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat

setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif,

individualistis, dan tidak menyamaratakan41.

Dalam hukum terdapat 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum,

yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai

hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas

tersebut adalah sebagai berikut42 :

a. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak

berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;

b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;

c. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

41

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum hal 161, Penerbit: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta,
2010
42

Lon Fuller, The Moralty of Law 1971 hal ; 54 -58


45

f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa

dilakukan;

g. Tidak boleh sering diubah-ubah;

h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian

antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah

aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif

dijalankan43.

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam

perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,

sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya

kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam

melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat.

Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian

dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan

multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum

harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga

siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang

satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber

43

ibid
46

keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang

mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan

kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan

kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau

ketetapan.Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman

kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan

yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti

hukum dapat menjalankan fungsinya. Menurutnya, kepastian dan keadilan

bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum.

Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang

buruk, melainkan bukan hukum sama sekali. Masalah kepastian hukum dalam

kaitan dengan pelaksanaan hukum, memang sama sekali tak dapat dilepaskan

sama sekali dari prilaku manusia. Kepastian hukum bukan mengikuti prinsip

“pencet tombol” (subsumsi otomat), melainkan sesuatu yang cukup rumit, yang

banyak berkaitan dengan faktor diluar hukum itu sendiri. Berbicara mengenai

kepastian, maka seperti dikatakan Radbruch, yang lebih tepat adalah kepastian

dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit des

Rechts).

Keselamatan pelayaran telah diatur oleh lembaga internasional yang

mengurus atau menangani hal-hal yang terkait dengan keselamatan jiwa, harta

laut, serta kelestarian lingkungan. Lembaga tersebut dinamakan International


47

Maritime Organization (IMO) yang bermarkas di London, Inggris bernaung

dibawah PBB. Salah satu faktor penting dalam mewujudkan keselamatan serta

kelestarian lingkungan laut adalah keterampilan, keahlian dari manusia yang

terkait dengan pengoperasian dari alat transportasi kapal di laut, karena

bagaimanapun kokohnya konstruksi suatu kapal dan betapapun canggihnya

teknologi baik sarana bantu maupun peralatan yang ditempatkan di atas kapal

tersebut kalau dioperasikan manusia yang tidak mempunyai keterampilan atau

keahlian sesuai dengan tugas dan fungsinya maka semua akan sia-sia.

Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan yang sangat luas,

Indonesia hanya memiliki satu undang-undang yang mengatur tentang

penggunaan laut. Undang-undang dimaksud adalah UU No 21 Tahun 1992

tentang Pelayaran yang disempurnakan dengan UU No 17 Tahun 2008.

Undang-Undang tersebut digunakan untuk mengontrol dan mengawasi semua

jenis kegiatan di perairan Indonesia.

Indonesia yang sangat berkepentingan dengan UNCLOS 1982 dan IMO

Conventions dimana Indonesia telah diakui secara Internasional sebagai Negara

Kepulauan. IMO Conventions yang sudah diratifikasi oleh Indonesia sebagai

standar kelaiklautan kapal melakukan persaingan dapat digunakan sebagai dasar

untuk membuat peraturan menjaga keselamatan, keamanan dan perlindungan

lingkungan pelayaran. Namun, sangat disayangkan sampai sekarang Pemerintah

belum serius menggunakan kemudahan yang telah disepakati bersama oleh


48

negara-negara anggota IMO antara lain mengizinkan perusahaan niaga Nasional

memiliki kapal.

Dengan adanya kepastian hukum baik yang bersifat nasional maupun

internasional akan mengurangi terjadi perselisihan antar bangsa dan

harmonisasi perundang-undangan nasional beserta aturan pemerintah lainnya

dapat menjamin kepastian hukum dalam penanganan kerangka kapal perang

asing bersejarah yang berada diluar perairan yurisdiksi nasional negara bendera

kapal yang tenggelam. Hukum harus pasti karena dengan hal yang bersifat

pasti dapat dijadikan ukuran kebenaran dan demi tercapainya tujuan hukum

yang menuntut kedamaian, ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban dalam

masyaraka serta kepastian hukum harus dapat menjadi jaminan kesejahteraan

umum dan jaminan keadilan bagi masyarakat.

Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa negara pantai, Pemerintah

Indonesia memiliki kewajiban untuk menjaga dan mengamankan keberadaan

kapal-kapal perang yang telah tenggelam di perairan yurisdiksi nasional

Indonesia.44 Pengaturan mengenai kepemilikan kerangka kapal perang

bersejarah telah diatur oleh beberapa negara di dunia seperti United State of

America, Australia, Inggris dan Spanyol yang mana dapat dijadikan sebagai

acuan untuk legal framework bagi negara-negara lain untuk mengatur secara

tegas penanganan atas kerangka kapal perang bersejarah yang berada dalam

44

ibid
49

yurisdiksinya. Perhatian dunia internasional terhadap kekayaan peninggalan

sejarah berupa peninggalan korban perang dunia yang berada di bawah air

seperti international historical shipwreck semakin meningkat.

F. Metodologi Penelitian

1. Tipologi Penelitian

Tipologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan – pendekatan

dalam penelitian hukum yuridis normatif. Penulis akan menggunakan referensi

buku dari Johnny Ibrahim dalam penelitian hukum yuridis normatif dapat

digunakan beberapa pendekatan-pendekatan sebagai berikut45:

a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).

Penulis akan melaksanakan penelitian perundang-undangan yaitu

berbagai peraturan hukum yang menjadi fokus baik hukum nasional

maupun hukum internasional. Belum adanya harmonisasi antara hukum

internasional dan hukum nasional maupun masih tumpang tindihnya

aturan-aturan nasional yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan

penggunaan aturan hukum untuk kepentingan tertentu. Dalam Perundang-

undangan nasional saat ini, masing-masing stakeholder masih

mengedepankan kepentingannya sendiri. Beberapa aturan internasional

juga masih ada yang belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia saat

ini. Produk hukum nasional juga masih ada yang bertentangan satu sama

45

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif


50

lainnya sehingga diperlukan untuk dilaksanakan singkronisasi produk-

produk hukum terkait penanganan kerangka kapal perang asing bersejarah

tersebut, khususnya yang berada di perairan Indonesia.

b. Pendekatan analitik (analytical approach).

Pendekatan analitik terhadap bahan hukum untuk mengetahui

makna yang terkandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam

peraturan perundang-undangan secara konseptual, sekaligus mengetahui

penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. Penulis

mencoba menggali dan menganalisis secara komprehensif, aturan dan

ketentuan nasional maupun internasional untuk mencari solusi terbaik

dalam penanganan kerangka kapal perang asing bersejarah yang berada

diluar yurisdiksi kapal bendera tersebut. Selain bersumber dari hukum

formal, penulis juga akan melaksanakan analisis terhadap para pakar

hukum nasional maupun internasional tentang penanganan kerangka

kapal perang asing bersejarah tersebut.

c. Pendekatan perbandingan (comparative approach).

Penulis melaksanakan penelitian dengan membandingkan aturan

hukum nasional maupun hukum internasional, menggagas adanya

harmonisasi aturan hukum nasional itu sendiri maupun regulasi

internasional yang belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia untuk


51

kepentingan kesejahtraan masyarakat Indonesia serta untuk menjamin

keselamatan pelayaran secara umum.

Untuk mencapai kesimpulan dari penelitian ini data yang telah

dikumpulkan, penulis akan menggunakan metode analisis yuridis

kualitatif, yang berarti bahwa analisis yang dilakukan terhadap data yang

ada akan memiliki titik berat normatif, melalui analisis menyeluruh

terhadap hukum internasional yang berlaku serta peraturan dan ketentuan

nasional.

d. Pendekatan historis (Historic approach).

Penulis mempelajari seluruh sejarah dokumen terkait international

historic shipwreck yang bersifat hukum maupun data non hukum. Dengan

pertimbangan diatas maka titik tolak penelitian mengenai international

historic shipwreck adalah analisis terhadap hukum laut internasional

UNCLOS 1982, konvensi-konvensi internasional, kebiasaan-kebiasaan

internasional dan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang

wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi di laut. Selain itu, peneliti juga

melakukan studi kepustakaan yang bukan saja terhadap hukum laut

internasional dan undang-undang tentang pengaturan wilayah laut, namun

juga terhadap buku-buku di bidang hukum yang membahas mengenai

penyelesaian sengketa legal status kepemilikan kerangka kapal perang

asing bersejarah di perairan luar wilayah perairan kepulauan Indonesia.


52

Studi kepustakaan tersebut diharapkan bisa membantu penulis untuk

menemukan mengenai konsep status hukum dari kerangka kapal perang

tersebut maupun resolusi konflik menghadapi tuntutan internasional

terhadap kepemilikan historis shipwreck.

2. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan kajian

yang dilakukan peneliti mengenai resolusi konflik dalam penyelesaian tuntutan

internasional tentang kepemilikan kerangka kapal perang asing bersejarah. Jenis

data tersebut adalah:

a. Data sekunder.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari aturan-

aturan baik hukum internasional maupun hukum nasional, perjanjian

internasional, jurnal nasional/internasional, buku-buku sumber bacaan

lainnya.

Penulis akan menggunakan beberapa instrumen hukum terkait

dengan Status hukum dan penanganan kerangka kapal perang asing

bersejarah yaitu peraturan internasional dan peraturan nasional yang

digunakan antara lain:

1) UNCLOS 1982;

2) IMO Convention on salvage 1989;


53

3) UNESCO Convention on Protecting of Underwater Cultural

Heritage 2001;

4) International Convention For The Unification of Certain

Rules Concerning The Immunity of State-Owned Ships 1926;

5) Regulation of the International Hydrographic Organization

For International (INT) Charts and Chart Specification of the IHO

April 2016;

6) Genewa Convention 1949 + Additional protocol 1977 tentang

Kewajiban Negara pihak untuk memperlakukan korban tewas

dengan penuh hormat, mencatat, dan apabila memungkinkan

melakukan pemeriksaan medis.

7) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 1985

tentang Pengesahan UNCLOS 1982.

8) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2008

tentang Pelayaran.

9) Undang – Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2010

tentang Cagar Budaya.

10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 5 tahun

2010 tentang Kenavigasian.

11) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 tahun

2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim.


54

12) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor

PM 33 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia nomor PM 71 tahun 2013 tentang

Salvage dan atau Pekerjaan Bawah Air.

13) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia nomor

PM 129 tahun 2016 tentang Alur – Pelayaran di Laut dan Bangunan

dan/atau instalasi di perairan.

b. Data primer. Data primer digunakan sebagai data pendukung.

1) Wawancara.

Dalam mengambil data primer secara langsung, penulis akan

melaksanakan wawancara ahli tentang hukum internasional

khususnya tentang penanganan kerangka kapal perang asing

bersejarah, para ahli nasional maupun internasional. Dan kutipan-

kutipan langsung dalam sebuah pertemuan bilateral (joint expert

meeting) terkait dengan proposal penulis yang relevan sebagai

pendukung data normatif yang ada. Adapun ahli hukum

internasional yang akan di wawancara adalah :

a) Laksda (Purn) Suryo Wiranto, Dosen Universitas

Pertahanan Indonesia;

b) Laksma TNI Dr. Kresno Buntoro (Kadiskumal); dan


55

c) Bapak Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, SH, MA.

(Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional

Kementerian Luar Negeri RI)

2) Data non hukum. Data yang digunakan sebagai data tambahan

dari sumber dokumen non hukum sebagai contoh kutipan-kutipan

data.

c. Data tersier. Untuk melengkapi pengertian dari istilah-istilah hukum

ataupun hukum internasional penulis menggunakan kamus internasional

maupun kamus istilah hukum.

3. Spesifikasi Penelitian.

Spesifikasi penelitian dapat ditujukan dengan penjelasan tentang

karakteristik penelitian hukum yang lebih deskriptif yaitu menjelaskan secara

komprehensif, sitematis dan lengkap atas bahan atau materi berupa data

dan/atau informasi yang berasal dari studi kepustakaan dan penelitian dari

berbagai sumber data.

4. Hipotesa Kerja (Asumsi).

Metode yang digunakan oleh penulis adalah menggunakan metode

normative kualitatif, yaitu penelitian dengan menguraikan kondisi maupun

fakta-fakta tentang objek penelitian. Fakta hukum inidianalisis dengan berbagai

undang-undang, teori serta doktrin atau pendapat ahli yang bertujuan untuk
56

mencari jawaban atas masalah yang akan dibahas secara rinci oleh penulis.

Pendekatannya lebih bersifat abstrak-teoritik yaitu semua data disusun dan

dilanjutkan dengan analisis berdasarkan kategori masalah atau temuan dengan

menggunakan pola pikir kontekstual.

5. Analisis.

Analisis suatu data yang diperoleh dimulai dengan mencermati dan

menelaah data serta peraturan-peraturan nasional maupun internasionala yang

tersedia dari berbagai sumber, wawancara, dokumen resmi, hasil dari suatu

seminar maupun dalam diskusi secara langsung para experts.

Analisis awal dari penulis terkait penanganan kerangka kapal perang

asing bersejarah di Indonesia, dalam hal pengaturan mengenai kepemilikan atas

kapal karam bersejarah di tingkat internasional sampai saat ini belum ada

kepastian mengenai pengaturannya. Hukum internasional belum menjelaskan

secara rinci status perbedaan antara Kapal perang yang memiliki kekhususan

immunities of warship dengan wreck yang merupakan kapal perang yang sudah

tenggelam tidak berfungsi lagi sebagai kapal perang. Dan belum diberikan

jawaban jelas mengenai siapakah pemilik dari kapal karam bersejarah yang

ditemukan adalah milik penemu, negara bendera kapal ataupun negara pantai

dimana kapal tersebut karam.

G. Sistematika
57

Rencana sistematika penulisan penelitian terdiri dari:

1. Bab I : Pendahuluan. Bab pertama merupakan Bab pendahuluan, pada

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah membahas mengenai latar masalah

yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini. Bab ini, selanjutnya

membahas permasalahan yang terdiri dari identifikasi masalah, batasan masalah

yang dibahas dalam masalah ini, dan rumusan masalah yang menjadi

pertanyaaan dalam penelitian ini. Bab ini pun membahas mengenai tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian dan yang terakhir dalam Bab

ini adalah sistematika penulisan.

2. Bab II : Kajian Pustaka. Pada bab kedua akan membahas mengenai

kajian pustaka yang relevan. Pada bab II ini akan di uraikan tentang landasan

teori tentang kedaulatan, teori hukum internasional dan teori kepastian hukum ,

beserta pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam membahas

kerangka kapal perang asing bersejarah di wilayah yurisdiksi nasional

Indonesia. Hal itu diperlukan untuk memberikan gambaran atau sebagai pisau

analisa dalam pembahasan berikutnya sehingga diketemukan bagaimana primat

hukum nasional Indonesia terhadap hukum internasional untuk menentukan

status hukum kerangka kapal perang asing di perairan kepulauan Indonesia.

Sehingga pedoman berfikir dalam pembahasan akan berpedoman pada teori-

teori yang ada pada bab ini.


58

3. Bab III : Objek Penelitian. Dalam bab ini pembahasan akan difokuskan

pada penjelasan atas perumusan masalah tentang bagaimana primat hukum

nasional Indonesia terhadap hukum internasional untuk menentukan status

hukum kerangka kapal perang asing di perairan kepulauan Indonesia. Dalam

bab 3 ini juga akan diurai mengenai upaya pengaturan kerangka kapal perang

asing yang berada di perairan Indonesia berdasarkan hukum nasional dan

hukum internasional serta upaya hukum Indonesia dalam menjawab tuntutan

internasional terkait penanganan kerangka kapal perang asing bersejarah.

Tumpang tindih dan tidak adanya kepastian hukum atas penanganan kerangka

kapal perang bersejarah di perairan Indonesia tersebut yang menjadikan

peluang perbuatan negatif bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

4. Bab IV : Analisis Dan Pembahasan. Pada bab ini akan dijelaskan

mengenai bagaimana peraturan hukum nasional tentang penanganan kerangka

kapal perang asing bersejarah di wilayah yurisdiksi nasional Indonesia untuk

menjamin terjadinya kepastian hukum. Melalui pembahasan ini akan

mengetahui upaya harmonisasi perundang-undangan tentang penanganan

kerangka kapal perang asing bersejarah hingga terjaminnya keselamatan

pelayaran (safety of navigation) dengan tidak mengabaikan kelestarian nilai

historic dari shipwreck tersebut. Analisis awal dari penulis terkait penanganan

kerangka kapal perang asing bersejarah di Indonesia, dalam hal pengaturan

mengenai kepemilikan atas kapal karam bersejarah di tingkat internasional


59

sampai saat ini belum ada kepastian mengenai pengaturannya. Hukum Laut

internasional belum menjelaskan secara rinci status perbedaan antara Kapal

perang yang memiliki kekhususan immunities of warship dengan wreck atau

kerangka kapal yang merupakan kapal perang yang sudah tenggelam tidak

berfungsi lagi sebagai kapal perang dimana kerangka tersebut tidak memiliki

fungsi sebagai kapal perang dan tidak memiliki lencana perang. Sesuai dengan

definisi dalam UNCLOS 1982, kerangka kapal perang seharusnya tidak

memiliki kekebalan seperti kapal perang aktif.

5. Bab V : Penutup. Bab ini membahas kesimpulan, saran dan implikasi

dari penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai