1. Pada Zaman Kuno Status Hukum atas Lautan Tidak Pernah Dipersoalkan
Pada zaman kuno, status hukum dari lautan tidak pernah dipersoalkan oleh siapa pun.
Setiap orang bebas memanfaatkan laut, demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada masa itu,
laut lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran dan perikanan. Ada pula
kelompok-kelompok masyarakat lokal di sekitar pantai yang memanfaatkan laut tersebut
demi melakukan upacara-upacara keagamaan atau kepercayaan yang mereka yakini. Semua
aktivitas tersebut kebanyakan dilakukan di wilayah atau kawasan laut yang dekat dengan
pantai. Hal ini disebabkan karena teknologi kelautan terutama teknologi perkapalan dan
perikanan masih sederhana. Kemampuannya mengarungi laut pun masih terbatas pada jarak
yang tidak begitu jauh dari pantai. Meskipun demikian, ada pula orang-orang yang berani
mengarungi laut sampai jauh ke perairan laut bagian tengah. Bahkan sampai ke pulau ataupun
benua yang lain dalam jarak yang relatif jauh. Sumber daya alam, terutama ikan, yang
dikandung lautan pun berlimpah ruah dan tidak akan ada habis-habisnya untuk dieksploitasi.
Di samping itu, juga disebabkan karena jumlah penduduk dunia pada zaman kuno tidaklah
banyak sehingga kebutuhan hidupnya pun terbatas.
4. Status Hukum atas Lautan mulai Dipersoalkan: Klaim-Klaim Sepihak dan Perang Buku
Spanyol dan Portugal serta Italia maupun Inggris berpendapat, bahwa lautan itu dapat
dimiliki. Atas dasar dalilnya tersebut, negara-negara itu mulai mengklaim hak atas lautan.
Italia mengklaim kedaulatannya atas Laut Tengah, Spanyol atas Laut Pasifik, Portugal atas
Laut Atlantik, Inggris atas Laut Utara. Klaim-klaim ini didukung oleh para sarjananya
sebagaimana dituangkan di dalam buku-bukunya. Misalnya, John Shelden (Inggris) membela
klaim Inggris atas Laut Utara sebagaimana dituangkan dalam bukunya yang berjudul Mare
Claussum (Laut Tertutup).
Sementara itu, sebagai negara kecil yang juga bersama-sama mengarungi lautan,
Belanda tidak lagi bebas untuk berlayar di Laut Utara maupun Laut Atlantik. Oleh karena itu,
Belanda menentang klaim-klaim negara-negara tersebut dengan mengatakan, bahwa lautan
itu tidak boleh dimiliki oleh siapa pun dan harus terbuka bagi semua bangsa. Sikap Belanda
ini dibela mati-matian oleh seorang ahli hukumnya yang terkemuka yakni Hugo de Groot
alias Grotius. Grotius dalam bukunya De jure Praedae (Hukum tentang Rampasan Perang)
secara khusus mengemukakan pembelaannya dengan menyatakan, bahwa laut tidak dapat
dimiliki oleh siapa pun dan karena itu harus terbuka bagi semua bangsa. Adapun alasannya
mengapa dia berpendapat demikian, karena laut itu demikian luasnya dan tidak ada seorang
pun yang dapat hidup di laut secara permanen dalam jangka waktu lama. Di samping itu, laut
mengandung sumber daya alam yang tidak ada batasnya dan yang tidak akan habis untuk
dapat dimanfaatkan oleh semua bangsa.
5. Embrio Lahirnya Pranata Hukum Laut: Laut Teritorial dan Laut Lepas serta Hak Lintas
Damai
Pada suatu waktu, Vatikan atau Tahta Suci, di Roma, Italia menghadapi persoalan
tentang kemungkinan Paus meninggal dunia. Pada masa itu Paus sering melakukan
perjalanan yang kadang-kadang melelahkan ke daerah-daerah. Kemudian ada pihak yang
mempersoalkan, dimanakah Paus harus dimakamkan jika Paus ketika sedang dalam
perjalanannya ternyata meninggal dunia? Jawaban atas persoalan ini, Paus harus dimakamkan
di daerah yang merupakan wilayah negara tempatnya meninggal dunia. Lalu dicapailah
kesepakatan di kalangan para Kardinal, bahwa jika Paus meninggal di laut, maka Paus harus
dimakamkan di Wilayah negara yang memiliki laut tersebut. Di sini secara tersimpul mulai
tumbuh embrio dari pranata hukum laut yang disebut laut teritorial atau laut wilayah dan laut
lepas.
Laut teritorial atau laut wilayah adalah bagian laut yang merupakan wilayah suatu
negara pantai, sedangkan laut lepas adalah bagian laut yang terletak di luar laut teritorial yang
bukan merupakan bagian wilayah negara pantai. Pada laut teritorial berlaku kedaulatan
negara pantai, sedangkan pada laut lepas tidak ada satu negara pun boleh mengklaim
kedaulatan ataupun melakukan tindakan-tindakan yang merupakan manifestasi dari
kedaulatan. Laut lepas bebas bagi setiap orang atau semua bangsa, terutama bebas untuk
berlayar dan manangkap ikan.
Kebebasan untuk berlayar dan menangkap ikan di laut teritorial hanya dimiliki oleh
kapal-kapal dari negara pantai yang bersangkutan saja. Kapal-kapal asing tentulah tidak
memiliki kedua kebebasan tersebut di dalam laut teritorial negara pantai yang bersangkutan.
Kedua kebebasan itu hanya masih berlaku di laut lepas saja. Ini sesuai dengan status laut
lepas sebagai bagian laut yang bukan merupakan wilayah negara.
Sepanjang menyangkut tentang perikanan dan sumber daya alam hayati lainnya, hal
ini memang bisa dipahami. Akan tetapi, berkenaan dengan pelayaran, persoalannya tentulah
sedikit berbeda. Jika pada laut teritorial tidak ada lagi kebebasan untuk berlayar bagi kapal-
kapal asing, tentulah akan mengganggu kelancaran lalu lintas pelayaran dan perniagaan
antarbangsa. Untuk itu ditempuh suatu jalan tengah yang sekiranya dapat menjamin
keseimbangan antara kepentingan semua pihak. Kapal-kapal asing, diakui haknya untuk
berlayar di laut teritorial suatu negara pantai, bukan berdasarkan kebebasan pelayaran seperti
halnya di laut lepas, bukan pula berdasarkan adanya izin lebih dahulu dari negara pantai. Hak
yang diberikan kepada kapal-kapal niaga asing untuk berlayar di laut teritorial suatu negara
pantai ini ternyata dapat memenuhi kebutuhan semua pihak yang kemudian diakui dan
diterima sebagai suatu yang sudah sepatutnya demikian. Hak inilah yang kemudian lebih
dikenal dengan nama hak lintas damai (the right of innocent passage).
Kapal-kapal asing berhak berlayar di laut teritorial suatu negara pantai, tanpa izin
terlebih dahulu dari negara pantai yang bersangkutan. Demikian pula haknya tersebut bukan
berdasarkan atas kebebasan berlayar seperti yang berlaku di laut lepas, melainkan
berdasarkan atas hak lintas damai. Dengan demikian, kedaulatan negara pantai pada laut
teritorialnya tetap diakui dan dihormati, sebaliknya kelancaran lalu lintas pelayaran dan
pernjagaan antarbangsa tetap terjamin.
1. Mengapa pada zaman kuno, status hukum dari lautan tidak pernah dipersoalkan oleh
siapa pun?
Jawaban:
Pada masa itu, laut lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran dan
perikanan. Setiap orang bebas memanfaatkan laut, demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hal ini disebabkan karena teknologi kelautan terutama teknologi perkapalan dan
perikanan masih sederhana. Kemampuannya mengarungi laut pun masih terbatas pada
jarak yang tidak begitu jauh dari pantai.
2. Apakah tujuan utama dari perlombaan bangsa-bangsa Barat, seperti bangsa Spanyol,
Portugal, Italia, Inggris, Belanda, dan lain-lain untuk mengarungi lautan dalam rangka
mencari benua-benua baru pada abad ke-14 hingga 17?
Jawaban:
Tujuan utama para pengarung lautan tersebut adalah mencari negara atau bangsa yang
merupakan asal dari penghasil rempah-rempah yang pada waktu itu harganya sangat
mahal di benua Eropa. Untuk mencari atau menemukan negara atau bangsa asal penghasil
rempah-rempah tersebut, jika dilakukan melalui daratan, tentulah akan sangat lama,
mengingat tempatnya itu diduga amat jauh di timur. Oleh sebab itu, jalan yang
diperkirakan lebih memungkinkan adalah melalui laut.
3. Jika pada laut teritorial tidak ada lagi kebebasan untuk berlayar bagi kapal-kapal asing,
tentulah akan mengganggu kelancaran lalu lintas pelayaran dan perniagaan antarbangsa.
Bagaimanakah solusi dari persoalan tersebut?
Jawaban:
Solusinya adalah ditempuh suatu jalan tengah yang sekiranya dapat menjamin
keseimbangan antara kepentingan semua pihak. Kapal-kapal asing, diakui haknya untuk
berlayar di laut teritorial suatu negara pantai, bukan berdasarkan kebebasan pelayaran
seperti halnya di laut lepas, bukan pula berdasarkan adanya izin lebih dahulu dari negara
pantai. Hak yang diberikan kepada kapal-kapal niaga asing untuk berlayar di laut
teritorial suatu negara pantai dapat memenuhi kebutuhan semua pihak yang kemudian
diakui dan diterima sebagai suatu yang sudah sepatutnya demikian. Hak inilah yang
kemudian lebih dikenal dengan nama hak lintas damai (the right of innocent passage).
4. Apakah perbedaan antara garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (Straight base line from
point to point) dengan garis pangkal normal?
Jawaban:
Jika garis pangkal normal ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dan mengikuti
arah atau lekukan pantai, garis pangkal lurus dari ujung ke ujung ini juga ditarik pada
pantai ketika air laut surut, tetapi tidak mengikuti arah atau lekukan pantai melainkan
dengan menghubungkan titik-titik terluar dari pantainya atau titik-titik terluar dari pulau-
pulau di depan pantainya.
5. Apakah dasar hukum dibentuknya Komisi Hukum Internasional? Apa saja tugas-
tugasnya?
Jawaban:
Majelis Umum pada tahun 1947 membentuk Komisi Hukum Internasional
(International Law Commission) berdasarkan Resolusi Nomor II/74, yang anggotanya
terdiri dari para ahli hukum terkemuka dari berbagai bangsa dan negara serta mewakili
berbagai,sistem hukum di dunia. Ada empat tugas utama dari Komisi Hukum
Internasional ini, yakni:
a. Menetapkan bidang-bidang hukum internasional yang akan dikenmbangkan secara
progresif dan dikodifikasikan
b. Melakukan pengkajian secara mendalam atas bidang-bidang hukum internasional
yang ditetapkan untuk dikembangkan secara progresir dan dikodifikasikan
c. Menyiapkan rancangan naskah konvensi dari bidang-bidang hukum internasional
yang akan dikembangkan secara progresif dan dikodifikasikan
d. Menyampaikan rancangan naskah konvensi dalam bidang-bidang hukum
internasional tersebut kepada Majelis Umum PBB.
6. Konvensi tentang hukum laut apa saja yang berhasil disepakati pada Konferensi Hukum
Laut Internasional di Jenewa pada tanggal 24 februari-27 April 1958?
Jawaban:
Konferensi Hukum Laut Internasional di Jenewa yang berhasil menyepakati empat
konvensi tentang hukum laut, yaitu sebagai berikut:
a. Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone (Konvensi tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan), mulai berlaku pada tanggal 10 September 1964
b. Convention on the High Seas (Konvensi tentang Laut Lepas), mulai berlaku pada
tanggal 30 Scptember 1962
c. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas
(Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-Sumber Daya Hayati Laut
Lepas), mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966
d. Convention on the Continental Shelf (Konvensi tentang Landas Kontinen), mulai
berlaku pada tanggal 10 Juni 1964.
7. Hal apakah yang menurut Arvid Pardo, Duta Besar Republik Malta merupakan akibat
dari tidak memadainya Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 dalam mengatur aktivitas
umat manusia di laut dan di sebutkan dalam pidatonya di depan Sidang Majelis Umum
PBB pada tahun 1967?
Jawaban:
Dalam pidatonya, Arvid Pardo secara khusus menyoroti terjadinya perlombaan yang
berlebih-lebihan dalam aktivitas negara-negara di laut, terutama dalam mengeksplorasi
laut dan mengeksploitasi sumber daya alamnya, yang jika dibiarkan terus berlangsung,
dikhawatirkan akan menimbulkan konflik-konflik yang berkepanjangan dan tidak
berkesudahan. Menurutnya, hal ini disebabkan karena sudah tidak memadainya Konvensi
Hukum Laut Jenewa 1958 dalam mengatur aktivitas umat manusia di laut.
8. Bagaimana hubungan antara Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 dan Konvensi Hukum
Laut PBB 1982?
Jawaban:
Di dalam hukum internasional pada umumnya dan hukum perjanjian internasional
pada khususnya, terutama berkenaan dengan perjanjian-perjanjian internasional
multilateral, tidak lazim suatu perjanjian internasional yang belakangan (baru)
menyatakan tidak berlaku (mencabut) perjanjian internasional yang duluan (lama),
sebagaimana halnya di dalam hukum nasional.
Apakah Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 masih terus berlaku secara
berdampingan dengan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dengan segala masalah yang
ditimbulkannya, semua itu akan tergantung pada proses politik dan waktu. Hingga kini,
hanya beberapa negara saja (untuk tidak dikatakan sudah tidak ada lagi negara) yang
masih bertahan pada Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, sedangkan sebagian besar
negara-negara sudah menjadi pihak atau peserta pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kini secara de facto dan de jure, Konvensi
Hukum Laut PBB 1982 sudah berlaku sebagai hukum internasional positif menggantikan
Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958.
9. Bagaimanakah mekanisme teori jarak tembak meriam (cannon shot rule theory) yang
dikemukakan oleh Cornelis von Bynkershoek untuk mengukur lebar laut teritorial?
Jawaban:
Seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda bernama Cornelis von Bynkershoek pada
tahun 1789 dalam bukunya De Dominio Maris Dissertatio (Suatu Essay tentang
Kekuasaan atas Laut) mengemukakan pendapatnya, ia menyatakan bahwa lebar laut
teritorial itu diukur dari garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dengan
mengikuti arah. Atau lekukan pantai tersebut. Garis inilah yang sekarang lazim disebut
sebagai garis pangkal biasa atau garis pangkal normal (normal base line). Sedangkan
mengenai lebar laut teritorial, diukur dari garis pangkal normal dengan cara si pengukur
berdiri pada garis pangkal normal itu dan menembakkan meriam yang dimiliki oleh
negara itu ke arah laut. Titik yang merupakan jatuhnya peluru dari meriam itulah yang
merupakan batas luar dari lebar laut teritorial ncgara pantai yang bersangkutan. Teori
Bynkershoek ini dikenal dengan nama teori jarak tembak meriam (cannon shot rule
theory).
10. Apakah alasan Norwegia menerapkan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (Straight
base line from point to point)?
Jawaban:
Alasannya adalah karena merupakan kemustahilan bagi Norwegia untuk menerapkan
garis pangkal normal disebabkan karena pantainya berliku-liku secara tajam dan dalam,
serta di depan pantainya terdapat pulau-pulau, baik dalam posisi berderet-deretan maupun
berupa gugusan-gugusan. Dengan penerapan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung,
Norwegia memiliki wilayah perairan yang jauh lebih luas ketimbang sebelumnya. Lebar
laut teritorialnya sendiri sudah diperlebar dari semula 3 (tiga) mil laut menjadi 4 (empat)
mil laut dan bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal lurus dari ujung
ke ujung tersebut, yang kemudian lebih dikenal dengan nama perairan pedalaman
(internal waters) juga menjadi bagian wilayah perairannya.