Anda di halaman 1dari 18

UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM LAUT INTERNASIONAL

NAMA : NUR SIFA DEFIANI


NIM : B10020360
NOMOR URUT ABSEN: No. 31
KELAS : H

Dosen Pengampu : Bernard Sipahutar, S.H., M.H.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2022
RESUME BAB I:
SEJARAH SINGKAT DAN PERKEMBANGAN HUKUM LAUT
DARI ZAMAN KE ZAMAN

A. HUKUM LAUT PADA ZAMAN KUNO SAMPAI ABAD KE-19

1. Pada Zaman Kuno Status Hukum atas Lautan Tidak Pernah Dipersoalkan
Pada zaman kuno, status hukum dari lautan tidak pernah dipersoalkan oleh siapa pun.
Setiap orang bebas memanfaatkan laut, demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada masa itu,
laut lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran dan perikanan. Ada pula
kelompok-kelompok masyarakat lokal di sekitar pantai yang memanfaatkan laut tersebut
demi melakukan upacara-upacara keagamaan atau kepercayaan yang mereka yakini. Semua
aktivitas tersebut kebanyakan dilakukan di wilayah atau kawasan laut yang dekat dengan
pantai. Hal ini disebabkan karena teknologi kelautan terutama teknologi perkapalan dan
perikanan masih sederhana. Kemampuannya mengarungi laut pun masih terbatas pada jarak
yang tidak begitu jauh dari pantai. Meskipun demikian, ada pula orang-orang yang berani
mengarungi laut sampai jauh ke perairan laut bagian tengah. Bahkan sampai ke pulau ataupun
benua yang lain dalam jarak yang relatif jauh. Sumber daya alam, terutama ikan, yang
dikandung lautan pun berlimpah ruah dan tidak akan ada habis-habisnya untuk dieksploitasi.
Di samping itu, juga disebabkan karena jumlah penduduk dunia pada zaman kuno tidaklah
banyak sehingga kebutuhan hidupnya pun terbatas.

2. Penjelajahan Bangsa-Bangsa Eropa untuk Mencari Sumber Rempah-Rempah tetapi


Menemukan Benua Baru
Sekitar abad ke-14 hingga 17 terjadi perlombaan bangsa-bangsa Barat, seperti bangsa
Spanyol, Portugal, Italia, Inggris, Belanda, dan lain-lain untuk mengarungi lautan dalam
rangka mencari benua-benua baru. Sebenarnya, tujuan utama para pengarung lautan tersebut
adalah mencari negara atau bangsa yang merupakan asal dari penghasil rempah-rempah yang
pada waktu itu harganya sangat mahal di benua Eropa.
Untuk mencari atau menemukan negara atau bangsa asal penghasil rempah-rempah
tersebut, jika dilakukan melalui daratan, tentulah akan sangat lama, mengingat tempatnya itu
diduga amat jauh di timur. Oleh sebab itu, jalan yang diperkirakan lebih memungkinkan
adalah melalui laut. Untuk itu, berbagai teori, hipotesis, ataupun asumsi dikemukakan oleh
para pengarung lautan pada masa itu. Misalnya, Christopher Columbus, seorang pelaut
bangsa Italia, mengemukakan, bahwa bumi ini bulat. Jika kita pergi dari barat ke timur
mengelilingi bumi ini, kita akan datang dari timur. Atas teorinya itu, pada tahun 1492,
Christopher Columbus beserta awak kapalnya berlayar ke arah timur mengarungi samudra
Atlantik dan pada akhirnya dia sampai di suatu belahan bumi yang boleh dikatakan baru pada
waktu itu, ke arah timur dari benua Eropa. Ternyata dia menemukan Kepulauan Bahama,
Kuba, dan benua (daratan) baru di kawasan sebuah benua yang sekarang bernama Amerika.
Sedangkan dalam pelayarannya yang kedua, Christopher Columbus berhasil menemukan
Guadeloupe, Pucrto Riko, dan Kota Isabela di Kepulauan Karibia pada tahun 1493. Masih
dalam pelayarannya yang kedua tersebut, dia kemudian menemukan Jamaika pada tahun
1494. Selanjutnya, dalam pelayaran yang ketiga dia mencmukan Kepulauan Trinidad pada
tahun 1498, dan dalam pelayarannya yang keempat menuju ke arah barat pada tahun 1502,
dia berhasil menjelajahi pantai Honduras hingga berhasil sampai di Panama pada tahun 1504.
Seorang pelaut Portugal bernama, Vasco de Gama, berlayar menyusuri pantai barat
benua Afrika dan berhasil menemukan Benua Afrika bagian selatan bernama Tanjung
Harapan Baik (Capeo Good Hope) pada tahun 1497 dan pada tahun 1498 dia sampai di India.
Masih pada tahtin 1497, John Cabot, berlayar dari Inggris dan menemukan New Foundland.
Juga pada tahun 1497, seorang Italia yang lain, Amerigo Vespucci, mengklaim telah
menemukan Teluk Meksiko (the Gulf of Mexico). Pada tahun 1499, penjelajah Spanyol
bernama Alonso de Ojeda bersama dengan Amerigo Vespucci mencmukan Guyana dan
Venezuela. Pedro Cabral, seorang navigator Portugal, pada tahun 1500 berhasil sampai di
Brazil. Vincente Pinzon, scorang berkebangsaan Spanyol juga berhasil menjelajahi pantai
Brazil pada tahun 1500.
Jauh sebelumnya, para pelaut Portugis sudah lebih dahulu mengarungi samudra
Atlantik juga ke arah selatan mengitari pantai barat benua Afrika dan menemukan Tanjung
Mayador di Sahara Barat pada tahun 1433. Seorang pelaut Portugis, Dinis Dias, mengelilingi
Tanjung Verde (Cape Verde) di Afrika Barat, pada tahun 1445. Pada tahun 1444, seorang
penjelajah Portugis yang lain, Nuno Tristam, berhasil mencapai Sungai Senegal. Pada tahun
1488, Bartolomeu Dias, juga seorang pelaut Portugis, mengelilingi Tanjung Harapan Baik
(Cape of Good Hope) dan berhasil mencapai Sungai Ikan Besar (Great Fish River) di Afrika
Selatan. Pada tahun 1509, Alfonso D Albuguergue, juga seorang pelaut Portugis berlayar
menyusuri benua Afrika dari pantai barat sampai pantai timurnya, sampai ke Asia dan
mendarat di India dan kemudian berhasil mengukuhkan kekuasaan Portugal di Asia. Ja lalu
diangkat menjadi Gubernur Portugal di India pada tahun 1509. Masih pada tahun 1509,
Diego Lopez de Seguira, berlayar mengelilingi pulau Sumatra (Indonesia), sedangkan
Francisco Serrano, mengunjungi pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara (Indonesia).
Pada tahun 1513, Jorge Alvarez yang juga seorang Portugis, berhasil mencapai
Kanton di Cina dalam pelayarannya dari Portugal ke benua Asia. Tahun 1517, Francisco
Hernandez de Cordoba, seorang berkebangsaan Spanyol, menemukan Yucatan di Meksiko,
Alvarez Pineda, seorang Spanyol, melengkapi penjelajahannya atas Teluk Meksiko pada
tahun 1519. Juga pada masa yang sama, Ferdinand Magelhaens, seorang Portugal, yang
berlayar atas restu raja Spanyol, mulai usaha pertamanya dalam mengelilingi dunia dan
melintasi bagian paling selatan benua Amerika yang kemudian dikenal dengan Selat
Magelhaens, dan akhirnya menemukan Pilipina (Asia) pada tahun 1521 tetapi dia mati
terbunuh di sana. Pada tahun 1521, seorang Spanyol bernama Francisco de Cordillo,
menjelajahi pantai utara benua Amerika dimulai dari utara ke selatan sampai di Karolina
Selatan (South Carolina). Pada tahun 1538, Francisco de Ulloa, seorang Spanyol, berlayar
sampai di ujung Teluk Kalifornia. Hernando de Soto, seorang Spanyol, pada tahun 1539
berhasil mendarat di Florida dan selanjutnya menjelajahi bagian selatan Amerika Utara. Pada
tahun 1539, dia berhasil menemukan sungai Mississippi. Pelaut Belanda, A. A. Buyskes,
Ellout, dan van der Cappellen, pada tahun 1596 berhasil mendarat di pulau Jawa (Jayakarta,
Betawi, Batavia) yang pada tahun 1602 mendirikan perserikatan dagang dengan nama
Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).

3. Penjelajahan atas Lautan oleh Bangsa-Bangsa Asia


Sebenarnya di kawasan Asia pun juga terjadi penjelajahan lautan, seperti yang
dilakukan oleh Laksamana Cheng Ho, scorang berkebangsaan Cina yang terkenal dengan
penjelajahan lautnya. Dia berlayar dari Cina menuju ke Sri Lanka (Asia Selatan) antara 1408-
1411 melalui Nusantara (Indonesia) dan pada tahun 1418 mengunjungi Aden (Jazirah Arab).
Bahkan Laksamana Cheng Ho, antara tahun 1431-1433, berhasil mencapai Mekah (Saudi
Arabia) untuk menunaikan ibadah haji.
Di Nusantara, sebenarnya kegiatan mengarungi lautan juga berkembang, terutama
terbukti dari kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang dikenal sebagai kerajaan maritim yang telah
mengadakan hubungan politik dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain di Asia. Juga
Kerajaan Majapahit yang berhasil mempersatukan Nusantara. Akan tetapi, berbeda dengan
bangsa-bangsa Barat yang penjelajahan maritimnya berkembang menjadi kolonialisme dan
imperialisme, penjelajahan maritim bangsa-bangsa Timur hanya berhenti hampir bersamaan
dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan tersebut.

4. Status Hukum atas Lautan mulai Dipersoalkan: Klaim-Klaim Sepihak dan Perang Buku
Spanyol dan Portugal serta Italia maupun Inggris berpendapat, bahwa lautan itu dapat
dimiliki. Atas dasar dalilnya tersebut, negara-negara itu mulai mengklaim hak atas lautan.
Italia mengklaim kedaulatannya atas Laut Tengah, Spanyol atas Laut Pasifik, Portugal atas
Laut Atlantik, Inggris atas Laut Utara. Klaim-klaim ini didukung oleh para sarjananya
sebagaimana dituangkan di dalam buku-bukunya. Misalnya, John Shelden (Inggris) membela
klaim Inggris atas Laut Utara sebagaimana dituangkan dalam bukunya yang berjudul Mare
Claussum (Laut Tertutup).
Sementara itu, sebagai negara kecil yang juga bersama-sama mengarungi lautan,
Belanda tidak lagi bebas untuk berlayar di Laut Utara maupun Laut Atlantik. Oleh karena itu,
Belanda menentang klaim-klaim negara-negara tersebut dengan mengatakan, bahwa lautan
itu tidak boleh dimiliki oleh siapa pun dan harus terbuka bagi semua bangsa. Sikap Belanda
ini dibela mati-matian oleh seorang ahli hukumnya yang terkemuka yakni Hugo de Groot
alias Grotius. Grotius dalam bukunya De jure Praedae (Hukum tentang Rampasan Perang)
secara khusus mengemukakan pembelaannya dengan menyatakan, bahwa laut tidak dapat
dimiliki oleh siapa pun dan karena itu harus terbuka bagi semua bangsa. Adapun alasannya
mengapa dia berpendapat demikian, karena laut itu demikian luasnya dan tidak ada seorang
pun yang dapat hidup di laut secara permanen dalam jangka waktu lama. Di samping itu, laut
mengandung sumber daya alam yang tidak ada batasnya dan yang tidak akan habis untuk
dapat dimanfaatkan oleh semua bangsa.

5. Embrio Lahirnya Pranata Hukum Laut: Laut Teritorial dan Laut Lepas serta Hak Lintas
Damai
Pada suatu waktu, Vatikan atau Tahta Suci, di Roma, Italia menghadapi persoalan
tentang kemungkinan Paus meninggal dunia. Pada masa itu Paus sering melakukan
perjalanan yang kadang-kadang melelahkan ke daerah-daerah. Kemudian ada pihak yang
mempersoalkan, dimanakah Paus harus dimakamkan jika Paus ketika sedang dalam
perjalanannya ternyata meninggal dunia? Jawaban atas persoalan ini, Paus harus dimakamkan
di daerah yang merupakan wilayah negara tempatnya meninggal dunia. Lalu dicapailah
kesepakatan di kalangan para Kardinal, bahwa jika Paus meninggal di laut, maka Paus harus
dimakamkan di Wilayah negara yang memiliki laut tersebut. Di sini secara tersimpul mulai
tumbuh embrio dari pranata hukum laut yang disebut laut teritorial atau laut wilayah dan laut
lepas.
Laut teritorial atau laut wilayah adalah bagian laut yang merupakan wilayah suatu
negara pantai, sedangkan laut lepas adalah bagian laut yang terletak di luar laut teritorial yang
bukan merupakan bagian wilayah negara pantai. Pada laut teritorial berlaku kedaulatan
negara pantai, sedangkan pada laut lepas tidak ada satu negara pun boleh mengklaim
kedaulatan ataupun melakukan tindakan-tindakan yang merupakan manifestasi dari
kedaulatan. Laut lepas bebas bagi setiap orang atau semua bangsa, terutama bebas untuk
berlayar dan manangkap ikan.
Kebebasan untuk berlayar dan menangkap ikan di laut teritorial hanya dimiliki oleh
kapal-kapal dari negara pantai yang bersangkutan saja. Kapal-kapal asing tentulah tidak
memiliki kedua kebebasan tersebut di dalam laut teritorial negara pantai yang bersangkutan.
Kedua kebebasan itu hanya masih berlaku di laut lepas saja. Ini sesuai dengan status laut
lepas sebagai bagian laut yang bukan merupakan wilayah negara.
Sepanjang menyangkut tentang perikanan dan sumber daya alam hayati lainnya, hal
ini memang bisa dipahami. Akan tetapi, berkenaan dengan pelayaran, persoalannya tentulah
sedikit berbeda. Jika pada laut teritorial tidak ada lagi kebebasan untuk berlayar bagi kapal-
kapal asing, tentulah akan mengganggu kelancaran lalu lintas pelayaran dan perniagaan
antarbangsa. Untuk itu ditempuh suatu jalan tengah yang sekiranya dapat menjamin
keseimbangan antara kepentingan semua pihak. Kapal-kapal asing, diakui haknya untuk
berlayar di laut teritorial suatu negara pantai, bukan berdasarkan kebebasan pelayaran seperti
halnya di laut lepas, bukan pula berdasarkan adanya izin lebih dahulu dari negara pantai. Hak
yang diberikan kepada kapal-kapal niaga asing untuk berlayar di laut teritorial suatu negara
pantai ini ternyata dapat memenuhi kebutuhan semua pihak yang kemudian diakui dan
diterima sebagai suatu yang sudah sepatutnya demikian. Hak inilah yang kemudian lebih
dikenal dengan nama hak lintas damai (the right of innocent passage).
Kapal-kapal asing berhak berlayar di laut teritorial suatu negara pantai, tanpa izin
terlebih dahulu dari negara pantai yang bersangkutan. Demikian pula haknya tersebut bukan
berdasarkan atas kebebasan berlayar seperti yang berlaku di laut lepas, melainkan
berdasarkan atas hak lintas damai. Dengan demikian, kedaulatan negara pantai pada laut
teritorialnya tetap diakui dan dihormati, sebaliknya kelancaran lalu lintas pelayaran dan
pernjagaan antarbangsa tetap terjamin.

6. Berapa Lebar Laut Teritorial dan Bagaimana Pengukurannya?


Seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda bernama Cornelis von Bynkershoek pada
tahun 1789 dalam bukunya De Dominio Maris Dissertatio (Suatu Essay tentang Kekuasaan
atas Laut) mengemukakan pendapatnya, ia menyatakan bahwa lebar laut teritorial itu diukur
dari garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dengan mengikuti arah. Atau
lekukan pantai tersebut. Garis inilah yang sckarang lazim disebut sebagai garis pangkal biasa
atau garis pangkal normal (normal base line). Sedangkan mengenai lebar laut teritorial,
diukur dari garis pangkal normal dengan cara si pengukur berdiri pada garis pangkal normal
itu dan menembakkan meriam yang dimiliki oleh negara itu ke arah laut. Titik yang
merupakan jatuhnya peluru dari meriam itulah yang merupakan batas luar dari lebar laut
teritorial ncgara pantai yang bersangkutan. Teori Bynkershoek ini dikenal dengan nama teori
jarak tembak meriam (cannon shot rule theory).
Akan tetapi, teori ini belum memberikan jawaban tegas tentang lebar laut teritorial
negara-negara pantai, sebab jarak tembak meriam itu sangat relatif. Untuk menentukan lebar
laut teritorial yang pasti, pada tahun 1782, dua orang ahli hukum berkebangsaan Italia,
bernama Galiani dan Azuni mengemukakan, bahwa lebar laut teritorial negara-negara pantai
adalah sejauh 3 (tiga) mil laut diukur dari garis pangkal normal. Pendapat ini
dikemukakannya ketika terjadi perang Kemerdekaan Amerika Serikat (tahun 1776 – 1782)
berkenaan dengan netralitas suatu negara ketiga dalam peperangan tersebut. Tegasnya,
perang di laut tidak boleh dilakukan di dalam jarak 3 mil laut diukur dari garis pangkal laut
teritorial negara ketiga yang bersangkutan. Di luar dari jarak 3 mil laut tersebut yang
kemudian dikenal dengan nama laut lepas, di sanalah peperangan dapat dilakukan.
Lebar laut teritorial 3 mil laut ini mulai diterima dan diterapkan oleh negara-negara
pantai sehingga lama kelamaan berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional. Untuk
kurun waktu beberapa lama, memang lebar laut teritorial 3 mil laut ini sempat menjadi
hukum kebiasaan internasional. Kedua pranata hukum laut ini pun (laut teritorial dan laut
lepas) secara legal sudah diterima dan diakui eksistensinya oleh masyarakat internasional
(negara-negara).

B. HUKUM LAUT PADA AWAL ABAD KE-20 SAMPAI PERANG DUNIA II


1. Liga Bangsa-Bangsa dan Konferensi Kodifikasi Hukum Internasional di Den Haag,
Belanda, Tahun 1930
Pada tahun 1919 didirikanlah sebuah organisasi internasional dalam ruang lingkup
global, yakni Liga Bangsa-Bangsa (the League of Nations) dengan tujuan mewujudkan
keamanan dan perdamaian dunia serta untuk mencegah terulangnya lagi perang dunia. Liga
Bangsa-Bangsa didirikan berdasarkan Piagam tersendiri dengan nama Kovenan Liga Bangsa-
Bangsa (Covenant of the League of Nations). Dalam rangka mewujudkan tujuannya itu,
Kovenan Liga Bangsa-Bangsa mengamanatkan kepada negara-negara anggotanya supaya
melakukan pengodifikasian hukum internasional. Untuk maksud tersebut, Liga Bangsa-
Bangsa memprakarsai penyelenggaraan konferensi internasional di Den Haag pada tanggal
13 Maret — 12 April tahun 1930 untuk mengodifikasikan hukum internasional. Adapun
bidang-bidang hukum internasional yang akan dikodifikasikan adalah tentang
kewarganegaraan (mationality), perairan teritorial (territorial waters), tanggung jawab negara
terhadap kerugian yang diderita oleh perorangan, ataupun harta kekayaan orang asing yang
ada di wilayah negara lain. Dengan demikian, hukum laut internasional yang dalam hal ini
adalah tentang laut atau perairan teritorial hanyalah salah satu bidang hukum intermasional
yang akan dikodifikasikan dalam Konferensi tersebut. Ini dilakukan dalam rangka mencapai
kata sepakat tentang lebarnya yang seragam. Akan tetapi, Konferensi Den Haag 1930 ini
gagal mencapai kesepakatan mengenai lebar laut teritorial yang seragam.

2. Beberapa Perkembangan Baru dalam Bidang Hukum Laut antara 1930-1958


Kegagalan Konferensi Kodifikasi Hukum International di Den Haag 1930
mengakibatkan masih tetap berlangsungnya lebar laut teritorial yang tidak seragam. Selain
itu, ada pula pranata hukum laut baru (yang sebelumnya tidak pernah dikenal) yang
diperkenalkan olch negara-negara ataupun para sarjana, seperti zona tambahan (contiguous
zone). Tentang zona tambahan ini untuk pertama kali diperkenalkan oleh Oden de Bouen
yang kemudian diikuti dan diterapkan oleh beberapa negara secara sepihak. Menurut Oden de
Bouen, di samping memiliki kedaulatan atas laut teritorialnya, negara pantai juga berhak
menetapkan suatu zona di luar laut teritorialnya atau di laut lepas yang berbatasan dengan
laut teritorialnya, untuk tujuan-tujuan menerapkan hukum nasionalnya terhadap tindak pidana
yang terjadi di dalam wilayahnya ataupun mengadili atau menghukum si pelaku.
Pada tahun 1935 Norwegia dengan Dekrit Kerajaan (Royal Decree) secara sepihak
menetapkan lebar laut teritorial 4 (empat) mil laut. Namun pengukurannya bukanlah dari
garis pangkal normal yang sudah umum dikenal pada waktu itu, melainkan dari garis pangkal
lurus dari ujung ke ujung (Straight base line from point to point). Jika garis pangkal normal
ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dan mengikuti arah atau lekukan pantai, garis
pangkal lurus dari ujung ke ujung ini juga ditarik pada pantai ketika air laut surut, tetapi tidak
mengikuti arah atau lekukan pantai melainkan dengan menghubungkan titik-titik terluar dari
pantainya atau titik-titik terluar dari pulau-pulau di depan pantainya. Adapun alasan
Norwegia menerapkan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung, adalah kemustahilan baginya
untuk menerapkan garis pangkal normal disebabkan karena pantainya berliku-liku secara
tajam dan dalam, serta di depan pantainya terdapat pulau-pulau, baik dalam posisi berderet-
deretan maupun berupa gugusan-gugusan.
Dengan penerapan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung, Norwegia memiliki
wilayah perairan yang jauh lebih luas ketimbang sebelumnya. Lebar laut teritorialnya sendiri
sudah diperlebar dari semula 3 (tiga) mil laut menjadi 4 (empat) mil laut dan bagian laut yang
terletak pada sisi dalam dari garis pangkal lurus dari ujung ke ujung tersebut, yang kemudian
lebih dikenal dengan nama perairan pedalaman (internal waters) juga menjadi bagian
wilayah perairannya. Hal ini tentulah sangat menguntungkan bagi Norwegia tetapi sangat
merugikan bagi Inggris sebagai negara tetangga yang wilayahnya saling berhadapan.
Nelayan-nelayan Inggris yang sebelumnya banyak menangkap ikan di perairan laut di depan
pantai Norwegia ditangkapi oleh kapal-kapal Angkatan Laut Norwegia untuk selanjutnya
diadili dan dihukum oleh Norwegia berdasarkan hukum nasionalnya.
Inggris memprotes tindakan Norwegia tersebut. Namun yang diprotes oleh Inggris
bukanlah pelebaran laut teritorial 4 mil laut melainkan pengukurannya yang didasarkan atas
garis pangkal Jurus dari ujung ke ujung, yang sebelumnya sama sekali tidak pernah dikenal di
dalam hukum laut internasional. Inggris menyatakan, bahwa garis pangkal lurus dari ujung ke
ujung sebagai tempat pengukuran lebar laut teritorial adalah tidak sah dan bertentangan
dengan hukum internasional. Dengan demikian, tindakan Norwegia yang menangkap
nelayan-nelayan Inggris serta mengadili menurut hukum nasionalnya juga bertentangan
dengan hukum internasional.
Penyelesaian secara damai telah ditempuh melalui perundingan langsung antara kedua
pihak. Namun kedua pihak tetap bertahan pada argumentasinya sehingga selalu mengalami
kegagalan. Perang Dunia II yang berlangsung dari 1939-1945 mengendapkan sengketa ini
untuk beberapa lama. Kemudian setelah Perang Dunia II berakhir, penyelesaian secara damai
melalui perundingan masih terus ditempuh namun tetap mengalami kegagalan. Akhirnya,
pada tahun 1949, kedua pihak sepakat menyelesaikan sengketa ini dengan mengajukannya ke
hadapan Mahkamah Internasional di Den Haag.
Mahkamah Internasional setelah memeriksa sengketa ini, pada tahun 1951
mengeluarkan putusan yang isinya membenarkan tindakan Norwegia menerapkan garis
pangkal lurus dalam pengukuran lebar laut teritorialnya. Melalui putusan Mahkamah
Internasional ini, hukum atau peraturan perundang-undangan nasional Norwegia meningkat
statusnya menjadi hukum internasional. Seperti sudah diketahui, bahwa salah satu sumber
hukum internasional dalam arti formal adalah putusan-putusan badan peradilan (Gudicial
decision). Mengacu pada putusan Mahkamah Internasional ini, negara-negara yang secara
geografis posisinya sama seperti atau hampir sama dengan Norwegia ternyata mengikutinya
dengan menerapkan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung dalam pengukuran lebar laut
teritorialnya.
Klaim sepihak yang lain yang juga menimbulkan pengaruh yang cukup fundamental
terhadap perkembangan hukum laut, adalah dua Proklamasi Presiden Amerika Serikat, Harry
S. Truman, pada tanggal 28 September 1945, yakni Proklamasi tentang Landas Kontinen dan
Proklamasi tentang Perikanan. Dalam Proklamasi tentang Landas Kontinen ditegaskan bahwa
dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar area laut teritorial, tetapi
bersambungan dengan pantainya merupakan landas kontinen Amerika Serikat. Oleh karena
itu, Amerika Serikat berhak untuk mengeksplorasinya dan mengeksploitasi sumber daya
alamnya. Sedangkan dalam Proklamasi tentang Perikanan ditegaskan bahwa zona perairan
laut lepas yang berbatasan dan bersambungan dengan laut teritorial Amerika Serikat
merupakan zona perikanan Amerika Serikat. Dengan demikian, Amerika Serikat berhak
untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam (ikan) nya.
Dalam kedua Proklamasinya ini, Amerika Serikat tidak mengklaim kedaulatan atas
kedua zona tersebut, tetapi hanya menyatakan dirinya memiliki hak yang sifatnya eksklusif
atas sumber daya alam yang dikandug di dalamnya. Amerika Serikat hanya mengklaimnya
sebagai landas kontinen dan zona perikanan, bukan sebagai kedaulatannya, dan klaimnya itu
hanya atas sumber daya alamnya saja. Jadi, dalam hal ini Amerika Serikat menyadari bahwa
kedua zona itu bukan bagian wilayahnya, dan karena itu mereka tidak mengklaim kedaulatan,
melainkan hanya mengklaim zona itu sebagai landas kontinen dan zona perikanannya, Atas
dasar itu, Amerika Serikat menyatakan dirinya secara sepihak berhak mengeksplorasi kedua
zona tersebut dan mengeksploitasi sumber daya alam yang dikandungnya. Proklamasi
Truman ini ternyata tidak mendapat tentangan dari negara-negara lain, tetapi justru diikuti
oleh beberapa negara.
Di kawasan Amerika Latin, tiga negara, yakni Cile, Ekuador, dan Peru (CEP) dalam
suatu Konferensi di Ciyudad Truijillo, Peru, pada tahun 1952, mengklaim bagian lautan di
depan pantainya selebar 200 mil laut sebagai zona maritimnya. Adapun sebagai alasannya,
biota laut yang ada di zona maritim selebar 200 mil laut tersebut, mendapat sumber makanan
dari daratannya, yakni, melalui sungai-sungai yang mengalir dari wilayah daratannya ke laut
di depan pantainya itu. Oleh karena itu, sumber daya alam berupa biota laut itu menjadi hak
dari negara itu untuk mengeksploitasinya demi kemanfaatan bagi rakyat di wilayah
daratannya masing-masing. Sedangkan limbahnya, secara langsung ataupun tidak langsung,
dialirkan kembali oleh sungai-sungai tersebut ke laut sebagai sumber makanan bagi biota laut
di zona tersebut. Hal ini berlangsung sebagai suatu sirkulasi alamiah secara terus menerus
atau berkesinambungan, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Teori Bioma. Akan
tetapi, yang diklaim oleh ketiga negara tersebut bukan hanya sekadar sumber daya alamnya,
melainkan zona maritim itu secara keseluruhan sebagai bagian dari wilayahnya. Tentu saja
klaim tersebut dapat dipandang sebagai sangat ekstrem untuk kurun waktu itu sehingga
banyak negara yang menolaknya.
Sementara itu, klaim-klaim yang berupa pelebaran laut teritorial masih terus
berlangsung, terutama menjelang akan diselenggarakannya Konferensi Hukum Laut di
Jenewa pada tahun 1958. Antara lain, Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengklaim
lebar laut teritorial 12 mil laut berdasarkan penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung
untuk menggantikan lebar laut teritorial sebelumnya selebar 3 mil laut berdasarkan penarikan
garis pangkal normal sebagaimana ditentukan di dalam Territoriale Zee en Maritieme
Kringen Ordonantie (Stb. Nomor 442 Tahun 1939). Namun klaim Indonesia ini pun banyak
mendapat perlawanan, terutama dari negara-negara Blok Barat, terutama sekali Negeri
Belanda dan sekutu-sekutunya yang pada masa itu sedang dalam masa konfrontasi mengenai
Irian Barat (Irian Jaya, Papua) yang masih dijajah oleh Negeri Belanda. Sebaliknya negara-
negara Blok Timur, seperti Uni Soviet, RRC dan negara-negara satelitnya serta beberapa
negara Non Blok justru mendukungnya.
C. HUKUM LAUT SETELAH BERDIRINYA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
SAMPAI KONFERENSI HUKUM LAUT JENEWA 1958 DAN 1960
1. Pasal 13 Ayat 1 Huruf a Piagam PBB: Pengembangan Progresif dan Pengodifikasian
Hukum Internasional
Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa yang secara resmi berdiri pada tanggal 24
Oktober 1945, di dalam Pasal 13 ayat 1 huruf a Piagamnya mengamanatkan kepada Majelis
Umum, supaya melakukan pengembangan secara progresif hukum internasional dan
pengodifikasiannya. Berdasarkan amanat ini, Majelis Umum pada tahun 1947 membentuk
Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) berdasarkan Resolusi Nomor
II/74, yang anggotanya terdiri dari para ahli hukum terkemuka dari berbagai bangsa dan
negara serta mewakili berbagai,sistem hukum di dunia. Ada empat tugas utama dari Komisi
Hukum Internasional ini, yakni:
a. Menetapkan bidang-bidang hukum internasional yang akan dikembangkan secara
progresif dan dikodifikasikan
b. Melakukan pengkajian secara mendalam atas bidang-bidang hukum internasional
yang ditetapkan untuk dikembangkan secara progresir dan dikodifikasikan
c. Menyiapkan rancangan naskah konvensi dari bidang-bidang hukum internasional
yang akan dikembangkan secara progresif dan dikodifikasikan
d. Menyampaikan rancangan naskah konvensi dalam bidang-bidang hukum
internasional tersebut kepada Majelis Umum PBB.
Majelis Umum setelah menerima rancangan naskah konvensi tersebut dari Komisi
Hukum Internasional, selanjutnya menyerukan negara-negara anggotanya melalui sebuah
resolusi, supaya menyelenggarakan Konferensi internasional untuk membahas dan
merumuskan konvensi internasional dalam bidang yang bersangkutan dengan menjadikan
rancangan naskah konvensi yang telah disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional sebagai
acuan dalam pembahasannya. Berdasarkan amanat dari Pasal 13 ayat 1 huruf a Piagam PBB
itu dan juga berdasarkan Statutanya sendiri, Komisi Hukum Internasional telah berhasil
menyiapkan rancangan naskah dari beberapa instrumen hukum internasional pada masa-masa
awal berdirinya, antara lain sebagai berikut.
a. Draft Declaration on the Rights and Duties of States
b. Ways and Means for Making the Evidence of Customary International Law More
Readily Available
c. Formulation of Nurenberg Principles
d. Question of International Criminal Jurisdiction
e. Reservation to Multilateral Conventions:
f. Question of Defining Aggression
g. Draft Code of Offences against the Peace and Security of Mankind
h. Nationality, including Statelessness
i. Law of the Sea (coercief, IWP)
2. Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958
Dalam bidang hukum laut, Komisi Hukum Internasional ternyata telah berhasil
menyiapkan rancangan naskah konvensi hukum laut yang meliputi:
a. Rancangan naskah Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona, Tambahan
b. Rancangan naskah Konvensi tentang Laut Lepas
c. Rancangan naskah Konvensi tentang Perikanan dan Pengonservasian Sumber-Sumber
Daya Hayati Laut Lepas, dan
d. Rancangan naskah Konvensi tentang Landas Kontinen.
Keempat rancangan naskah konvensi hukum laut ini diserahkan oleh Komisi Hukum
Internasional kepada Majelis Umum (MU) PBB pada tahun 1956 disertai dengan
rekomendasi untuk menyelenggarakan Konferensi internasional tentang hukum laut.
Selanjutnya berdasarkan atas rekomendasi dari Komisi tersebut, Majelis Umum PBB dengan
Resolusi Nomor 1105 (XII) tanggal 21 Februari 1957 menyerukan kepada negara-negara
anggota PBB supaya menyelenggarakan konferensi internasional untuk merumuskan kaidah-
kaidah hukum laut dengan menjadikan keempat rancangan naskah konvensi hukum laut hasil
karya Komisi Hukum Internasional sebagai acuan dalam pembahasannya. Untuk itu pada 24
Februari sampai 27 April 1958 diselenggarakanlah Konferensi Hukum Laut Internasional di
Jenewa yang berhasil menyepakati empat konvensi tentang hukum laut, yaitu sebagai berikut.
a. Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone (Konvensi tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan), mulai berlaku pada tanggal 10 September 1964
b. Convention on the High Seas (Konvensi tentang Laut Lepas), mulai berlaku pada
tanggal 30 Scptember 1962
c. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas
(Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-Sumber Daya Hayati Laut
Lepas), mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966
d. Convention on the Continental Shelf (Konvensi tentang Landas Kontinen), mulai
berlaku pada tanggal 10 Juni 1964.
Akan tetapi, Konferensi gagal mencapai kata sepakat mengenai lebar laut teritorial
yang seragam. Oleh karena adanya lebar laut teritorial yang seragam merupakan kunci utama
dari keempat Konvensi, namun dengan kegagalan tersebut maka keempat Konvensi menjadi
kehilangan maknanya. Keempat Konvensi itu menjadi serba tidak pasti, terutama mengenai
luas masing. Masing pranata hukum laut tersebut. Jadi setelah berakhirnya Konferensi
Hukum Laut Jenewa 1958, lebar laut teritorial yang tidak seragam masih tetap berlangsung.
Untuk mengatasi kegagalan ini dan masih dalam rangka mencapai kata sepakat
mengenai lebar laut teritorial yang seragam, Majelis Umum PBB dengan Resolusi Nomor
1307/XIII tanggal 10 Desember 1958, meminta kepada Sekretaris Jenderal PBB supaya
memprakarsai penyelenggaraan konferensi hukum laut di Jenewa yang kedua. Untuk itu
diselenggarakanlah Konferensi Hukum Laut Jenewa (yang kedua) pada 16 Maret — 26 April
tahun 1960 yang secara khusus membahas tentang lebar laut teritorial. Akan tetapi,
Konferensi ini pun tetap mengalami kegagalan sehingga status quo masih tetap terus
berlangsung.
D. DARI KONVENSI HUKUM LAUT JENEWA 1958 KE KONVENSI HUKUM LAUT
PBB 1982
1. Suasana Penuh Ketidakpastian setelah Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 dan 1960
Setelah selesainya Konferensi Hukum Laut Jenewa 1960, masalah kelautan terus
berkembang ke arah yang tidak terkendali sehingga menimbulkan ketidakpastian, antara lain,
masih tetap berlangsungnya klaim-klaim sepihak atas laut yang berupa tindakan pelebaran
laut teritorial. Sengketa-sengketa mengenai masalah kelautan dan hukum laut juga semakin
banyak terjadi, seperti tentang Kasus Landas Kontinen Laut Utara (North Sea Continental
Shelf Case) tahun 1969, Kasus Landas Kontinen antara Inggris dan Prancis (Anglo-French
Continental Shelf Case) tahun 1977, Kasus Landas Kontinen antara Libia dan Malta, (Lybia-
Malta Continental Shelf Case) tahun 1984, Kasus Landas Kontinen antara Guinca dan
Guinca-Bissau, (Guinea-Guinea Bissau Continental Shelf Case) tahun 1985, sengketa antara
RRC, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunei Darrussalam, dan Filipina tentang Laut Cina
Sclatan yang antara lain menyangkut Kepulauan Paracel dan Spratley di Laut Cina Selatan
yang masih terus berlangsung hingga kini, dan lain-lain.
Kemajuan yang semakin pesat dalam bidang teknologi kelautan, seperti teknologi
penambangan dasar laut dan tanah di bawahnya yang sudah menjangkau sampai pada jarak
dan kedalaman yang sangat jauh, mengakibatkan pengertian landas kontinen menurut
Konvensi tentang Landas Kontinen 1958, dipandang sudah tidak sesuai lagi dan harus diganti
dengan yang baru. Kemajuan dalam bidang teknologi perkapalan dengan berhasilnya dibuat
kapal-kapal tangker dalam ukuran yang luar biasa besarnya dengan muatan berupa minyak
dan gas bumi, menimbulkan masalah pelayaran yang tentulah – tidak sebebas masa
sebelumnya, karena kapal-kapal semacam ini tidak aman berlayar di laut yang sempit dan
dangkal. Belum lagi masalah pencemaran laut yang diakibatkan oleh bocor atau pecahnya
kapal-kapal tangker tersebut sehingga muatannya tumpah dan mencemari lingkungan laut.
Demikian juga kemajuan teknologi penangkapan ikan yang sudah sangat canggih,
yang mengakibatkan semakin terbatasnya jumlah ikan yang dapat ditangkap disebabkan
penangkapan ikan yang berlebih-lebihan serta musnahnya jenis-jenis spesies ikan-ikan
tertentu. Di lain pihak, kebutuhan umat manusia terhadap ikan juga semakin meningkat
sehingga terjadi banyak pencurian ikan (illegal fishing) dan terjadinya sengketa perikanan
antara negara-negara.
Dari apa yang dipaparkan di atas, semuanya berpotensi memunculkan masalah
bersama umat manusia, yakni masalah lingkungan hidup (human environment), terutama
yang berkenaan dengan lautan. Masalah lingkungan hidup sebenarnya sudah menjadi
perhatian dunia mulai pada awal tahun tujuh puluhan yang ditindaklanjuti dengan Konferensi
Stockholm, Swedia, pada tahun 1972 yang menghasilkan Deklarasi Stockholm 1972 tentang
Lingkungan Hidup.
2. Berkembangnya Pemikiran untuk Mengganti Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 dengan
Konvensi Hukum Laut Baru
Mulailah muncul pemikiran untuk merumuskan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah
hukum laut baru untuk menggantikan kaidah-kaidah hukum laut lama sebagai mana diatur di
dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958. Adalah Arvid Pardo, Duta Besar Republik Malta
untuk PBB dalam pidatonya di depan Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1967 yang
secara khusus menyoroti terjadinya perlombaan yang berlebih-lebihan dalam aktivitas
negara-negara di laut, terutama dalam mengeksplorasi laut dan mengeksploitasi sumber daya
alamnya, yang jika dibiarkan terus berlangsung, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik-
konflik yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan. Menurutnya, hal ini disebabkan karena
sudah tidak memadainya Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 dalam mengatur aktivitas umat
manusia di laut.
Ternyata pidato Arvid Pardo ini disambut hangat oleh semua delegasi negara-negara
dalam Sidang Majelis Umum PBB 1967 tersebut dan disepakati untuk melakukan pengkajian
yang komprehensif mengenai lautan, terutama tentang pengeksploitasian sumber daya alam
dari dasar laut dan tanah di bawahnya dari samudra-dalam (sea-bed and ocean floor) yang
terletak di luar yurisdiksi nasional negara-negara, sebagaimana dituangkan dalam Resolusi
MU PBB Nomor 2340 (XXII) tanggal 18 Desember 1967 yang setiap sidang tahunan Majelis
Umum PBB selalu diperbarui dan disusul dengan resolusi-resolusi baru mengenai masalah
kelautan. Selanjutnya resolusi-resolusi MU PBB tersebut ditindaklanjuti dengan melakukan
pembentukan komisi-komisi ahli dengan tugas melakukan pengkajian secara lebih mendalam
atas segala aspek yang berkenaan dengan kelautan.
Masalah kelautan tidak saja dibahas dalam sidang-sidang Majelis Umum PBB, tetapi
juga menjadi perhatian dari organ utama lainnya, seperti Economic and Social Council
(ECOSOC), organ-organ khusus maupun subsider dari PBB yang bidangnya memiliki kaitan
dengan lautan, seperti World Health Organisation (WHO), World Meteorological
Organisation (WMO), International Maritime Organisation (IMO), Negara-Negara Anggota
Non Blok (Non Aligned Countries), dan lain-lain. Juga organisasi internasional regional,
seperti European Community (EC) dan terakhir menjadi European Union (EU), organisasi-
organisasi internasional regional dan sub-regional di benua Afrika, seperti Organisation of
African Unity (OAU) sekarang menjadi Afrikan Union (AU), Organisasi NegaraNegara
Afrika Barat dan Organisasi Negara-Negara Afrika Timur, Organisasi internasional regional
Asia Tenggara yakni Association of South East Asia Nations (ASEAN), Organisation of
American States (OAS), dan lain-lain.
Di samping itu, organisasi-organisasi non-pemerintah juga tidak kalah perhatiannya
terhadap lautan dan mereka juga memberikan sumbangan pemikirannya sesuai dengan bidang
kegiatannya masing-masing. Beberapa di antaranya adalah, Stockholm International Peace
Research Institute (SIPRI), World Peace Through Law Center, American Bar Association
(ABA), International Law Association (ILA), Commission to Study the Organisation of
Peace, dan lain-lain. Bahkan juga dari orang perorangan ada yang menyampaikan
pemikirannya mengenai masalah lautan, seperti, Senator Claiborne Pell, Mrs. Elisabeth Mann
Borgese, Mr. Christopher W. Pinto, dan lain-lain.
3. Konferensi Hukum Laut PBB 1973-1982 Menghasilkan Konvensi Hukum Laut PBB
1982
Berdasarkan perkembangan mengenai masalah kelautan yang semakin pesat serta
dengan semakin matangnya hasil pembahasan rancangan naskah konvensi yang berhasil
disiapkan, Majelis Umum PBB dalam sidang umumnya pada tahun 1973, berhasil
mengesahkan Resolusi Nomor 3067(XXVIII) yang menyerukan kepada negara-negara
supaya menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut Internasional di Caracas, Venezuela,
pada tahun 1973. Konferensi dilanjutkan di New York dan Jenewa secara silih berganti, dan
akhirnya berhasil menyepakati naskah final Konvensi yang ditandatangani dalam Konferensi
di Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982. Selanjutnya negara-negara
menindaklanjuti dengan menyatakan persetujuan terikat pada Konvensi, baik dengan cara
peratifikasian (ratification), pengakseptasian (acceptation), pengaksesian (accession),
maupun cara lain yang dibenarkan oleh Konvensi. Sesuai dengan Pasal 308, Konvensi mulai
berlaku (enter into force) pada tanggal 16 November 1994.
Konvensi Hukum Laut PBR 1982 merupakan satu Konvensi yang mengatur masalah
kelautan secara utuh dan terpadu sebagai satu kesatuan. Hal ini disebabkan karena laut atau
lautan itu sendiri adalah satu dan karena itu haruslah diatur di dalam satu konvensi, bukan
dengan cara memecah-mecah menjadi lebih dari satu konvensi. Tentu saja substansinya pun
juga jauh lebih luas dan besar jika dibandingkan dengan substansi Konvensi Hukum Laut
Jenewa 1958.

E. BAGAIMANA HUBUNGAN ANTARA KONVENSI HUKUM LAUT JENEWA 1958


DAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB 1982?
Di dalam hukum internasional pada umumnya dan hukum perjanjian internasional
pada khususnya, terutama berkenaan dengan perjanjian-perjanjian internasional multilateral,
tidak lazim suatu perjanjian internasional yang belakangan (baru) menyatakan tidak berlaku
(mencabut) perjanjian internasional yang duluan (lama), sebagaimana halnya di dalam hukum
nasional. Dalam praktiknya, adalah sangat jarang, jika tidak mau dikatakan tidak ada satu
pun, perjanjian internasional yang belakangan (baru) menyatakan tidak berlaku lagi
perjanjian internasional yang duluan (belakangan), terhitung mulai berlakunya perjanjian
internasional yang belakangan (baru). Keduanya tampak dibiarkan sama-sama berlaku
meskipun substansinya mengenai masalah yang sama. Hal ini disebabkan negara-negara yang
sebelumnya tidak terikat pada kedua perjanjian internasional itu, sesuai dengan
kedaulatannya, berhak untuk menentukan apakah akan menyatakan persetujuan untuk terikat
pada perjanjian internasional yang duluan (lama) ataukah akan menyatakan persetujuan
terikat pada perjanjian internasional yang belakangan (baru).
Demikian pula negara-negara yang sebelumnya sudah menjadi pihak atau peserta
pada perjanjian internasional yang (duluan) lama, berhak untuk menentukan sendiri, apakah
masih tetap untuk terikat pada perjanjian internasional yang duluan (lama) dan menolak
untuk menyatakan persetujuan terikat pada perjanjian internasional yang (belakangan) baru.
Dengan demikian, kedua perjanjian internasional tersebut dibiarkan berlaku secara
bersamaan. Sepanjang menyangkut perjanjian internasional yang substansinya
memungkinkan untuk demikian, hal ini tidak menimbulkan masalah.
Bagaimana halnya, jika obyeknya sesuatu yang konkret, seperti laut yang merupakan
sesuatu yang satu atau tunggal. Konvensi Hukum Laut Jenewa, 1958 dan Konvensi Hukum
Laut PBB 1982 objeknya adalah laut yang besar, atau tunggal. Bukankah tidak mungkin
kedua Konvensi diberlakukan secara bersamaan, lebih-lebih karena substansi masing-masing
Konvensi itu sanga, berbeda. Sedangkan di lain pihak, sebagian negara sudah terikat pada
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dan sebagian lagi tetap terikat pada Konvensi Hukun Laut
Jenewa 1958. Dalam hal inilah tampak, betapa tidak mudah menerapkan asas lex posteriori
derogat legi priori terhadap hubungan antara perjanjian internasional yang duluan (lama) dan
yang belakangan (baru). Demikian pula jika dikatakan bahwa Konvensi Hukum Laut PBB
1982 secara tersimpul atau secara diam-diam telah meniadakan atau mencabut Konvensi
Hukum Laut Jenewa 1958. Sebab jika itu terjadi, negara-negara yang tetap terikat dan
mempertahankan Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 tentulah akan menolaknya.
Jika demikian halnya, bukankah besar kemungkinan terjadinya masalah antara kedua
kelompok negara tersebut karena masing-masing menerapkan Konvensi yang berbeda
terhadap satu obyek (laut) yang sama? Potensi terjadinya masalah ini memang sudah ada, dan
dalam beberapa kasus juga sudah terjadi. Sebagai contoh, Indonesia dan Australia ketika
merundingkan Perjanjian tentang Celah Timor pada tahun delapan puluhan, kedua negara
mendasarkan pandangannya pada Konvensi yang berbeda. Indonesia yang sebelumnya sudah
menyatakan persetujuan terikat pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982 mengusulkan
penerapan Konvensi Hukum Laut PBB 1982, sedangkan Australia yang belum menyatakan
persetujuan terikat pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982, tetapi masih tetap terikat pada
Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, menghendaki penerapan Konvensi Hukum Laut Jenewa
1958.
Terlepas dari masalah-masalah yang bisa terjadi seperti diuraikan di atas, apakah
Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 masih terus berlaku secara berdampingan dengan
Hukum Laut PBB 1982 dengan segala masalah yang ditimbulkannya, semua itu akan
tergantung pada proses politik dan waktu. Dengan demikian, pada suatu waktu, secara de
facto Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 tidak diimplementasikan lagi. Sementara itu,
pengimplementasian Konvensi Hukum Laut PBB 1982 justru semakin efektif. Dalam
kenyataannya, proses inilah yang kini sedang berlangsung. Hingga kini, hanya beberapa
negara saja (untuk tidak dikatakan sudah tidak ada lagi negara) yang masih bertahan pada
Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, sedangkan sebagian besar negara-negara sudah menjadi
pihak atau peserta pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa kini secara de facto dan de jure, Konvensi Hukum Laut PBB 1982 sudah berlaku
sebagai hukum internasional positif menggantikan Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958.
SOAL DAN JAWABAN

1. Mengapa pada zaman kuno, status hukum dari lautan tidak pernah dipersoalkan oleh
siapa pun?
Jawaban:
Pada masa itu, laut lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran dan
perikanan. Setiap orang bebas memanfaatkan laut, demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hal ini disebabkan karena teknologi kelautan terutama teknologi perkapalan dan
perikanan masih sederhana. Kemampuannya mengarungi laut pun masih terbatas pada
jarak yang tidak begitu jauh dari pantai.

2. Apakah tujuan utama dari perlombaan bangsa-bangsa Barat, seperti bangsa Spanyol,
Portugal, Italia, Inggris, Belanda, dan lain-lain untuk mengarungi lautan dalam rangka
mencari benua-benua baru pada abad ke-14 hingga 17?
Jawaban:
Tujuan utama para pengarung lautan tersebut adalah mencari negara atau bangsa yang
merupakan asal dari penghasil rempah-rempah yang pada waktu itu harganya sangat
mahal di benua Eropa. Untuk mencari atau menemukan negara atau bangsa asal penghasil
rempah-rempah tersebut, jika dilakukan melalui daratan, tentulah akan sangat lama,
mengingat tempatnya itu diduga amat jauh di timur. Oleh sebab itu, jalan yang
diperkirakan lebih memungkinkan adalah melalui laut.

3. Jika pada laut teritorial tidak ada lagi kebebasan untuk berlayar bagi kapal-kapal asing,
tentulah akan mengganggu kelancaran lalu lintas pelayaran dan perniagaan antarbangsa.
Bagaimanakah solusi dari persoalan tersebut?
Jawaban:
Solusinya adalah ditempuh suatu jalan tengah yang sekiranya dapat menjamin
keseimbangan antara kepentingan semua pihak. Kapal-kapal asing, diakui haknya untuk
berlayar di laut teritorial suatu negara pantai, bukan berdasarkan kebebasan pelayaran
seperti halnya di laut lepas, bukan pula berdasarkan adanya izin lebih dahulu dari negara
pantai. Hak yang diberikan kepada kapal-kapal niaga asing untuk berlayar di laut
teritorial suatu negara pantai dapat memenuhi kebutuhan semua pihak yang kemudian
diakui dan diterima sebagai suatu yang sudah sepatutnya demikian. Hak inilah yang
kemudian lebih dikenal dengan nama hak lintas damai (the right of innocent passage).

4. Apakah perbedaan antara garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (Straight base line from
point to point) dengan garis pangkal normal?
Jawaban:
Jika garis pangkal normal ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dan mengikuti
arah atau lekukan pantai, garis pangkal lurus dari ujung ke ujung ini juga ditarik pada
pantai ketika air laut surut, tetapi tidak mengikuti arah atau lekukan pantai melainkan
dengan menghubungkan titik-titik terluar dari pantainya atau titik-titik terluar dari pulau-
pulau di depan pantainya.
5. Apakah dasar hukum dibentuknya Komisi Hukum Internasional? Apa saja tugas-
tugasnya?
Jawaban:
Majelis Umum pada tahun 1947 membentuk Komisi Hukum Internasional
(International Law Commission) berdasarkan Resolusi Nomor II/74, yang anggotanya
terdiri dari para ahli hukum terkemuka dari berbagai bangsa dan negara serta mewakili
berbagai,sistem hukum di dunia. Ada empat tugas utama dari Komisi Hukum
Internasional ini, yakni:
a. Menetapkan bidang-bidang hukum internasional yang akan dikenmbangkan secara
progresif dan dikodifikasikan
b. Melakukan pengkajian secara mendalam atas bidang-bidang hukum internasional
yang ditetapkan untuk dikembangkan secara progresir dan dikodifikasikan
c. Menyiapkan rancangan naskah konvensi dari bidang-bidang hukum internasional
yang akan dikembangkan secara progresif dan dikodifikasikan
d. Menyampaikan rancangan naskah konvensi dalam bidang-bidang hukum
internasional tersebut kepada Majelis Umum PBB.

6. Konvensi tentang hukum laut apa saja yang berhasil disepakati pada Konferensi Hukum
Laut Internasional di Jenewa pada tanggal 24 februari-27 April 1958?
Jawaban:
Konferensi Hukum Laut Internasional di Jenewa yang berhasil menyepakati empat
konvensi tentang hukum laut, yaitu sebagai berikut:
a. Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone (Konvensi tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan), mulai berlaku pada tanggal 10 September 1964
b. Convention on the High Seas (Konvensi tentang Laut Lepas), mulai berlaku pada
tanggal 30 Scptember 1962
c. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas
(Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-Sumber Daya Hayati Laut
Lepas), mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966
d. Convention on the Continental Shelf (Konvensi tentang Landas Kontinen), mulai
berlaku pada tanggal 10 Juni 1964.

7. Hal apakah yang menurut Arvid Pardo, Duta Besar Republik Malta merupakan akibat
dari tidak memadainya Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 dalam mengatur aktivitas
umat manusia di laut dan di sebutkan dalam pidatonya di depan Sidang Majelis Umum
PBB pada tahun 1967?
Jawaban:
Dalam pidatonya, Arvid Pardo secara khusus menyoroti terjadinya perlombaan yang
berlebih-lebihan dalam aktivitas negara-negara di laut, terutama dalam mengeksplorasi
laut dan mengeksploitasi sumber daya alamnya, yang jika dibiarkan terus berlangsung,
dikhawatirkan akan menimbulkan konflik-konflik yang berkepanjangan dan tidak
berkesudahan. Menurutnya, hal ini disebabkan karena sudah tidak memadainya Konvensi
Hukum Laut Jenewa 1958 dalam mengatur aktivitas umat manusia di laut.

8. Bagaimana hubungan antara Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 dan Konvensi Hukum
Laut PBB 1982?
Jawaban:
Di dalam hukum internasional pada umumnya dan hukum perjanjian internasional
pada khususnya, terutama berkenaan dengan perjanjian-perjanjian internasional
multilateral, tidak lazim suatu perjanjian internasional yang belakangan (baru)
menyatakan tidak berlaku (mencabut) perjanjian internasional yang duluan (lama),
sebagaimana halnya di dalam hukum nasional.
Apakah Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 masih terus berlaku secara
berdampingan dengan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 dengan segala masalah yang
ditimbulkannya, semua itu akan tergantung pada proses politik dan waktu. Hingga kini,
hanya beberapa negara saja (untuk tidak dikatakan sudah tidak ada lagi negara) yang
masih bertahan pada Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, sedangkan sebagian besar
negara-negara sudah menjadi pihak atau peserta pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kini secara de facto dan de jure, Konvensi
Hukum Laut PBB 1982 sudah berlaku sebagai hukum internasional positif menggantikan
Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958.

9. Bagaimanakah mekanisme teori jarak tembak meriam (cannon shot rule theory) yang
dikemukakan oleh Cornelis von Bynkershoek untuk mengukur lebar laut teritorial?
Jawaban:
Seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda bernama Cornelis von Bynkershoek pada
tahun 1789 dalam bukunya De Dominio Maris Dissertatio (Suatu Essay tentang
Kekuasaan atas Laut) mengemukakan pendapatnya, ia menyatakan bahwa lebar laut
teritorial itu diukur dari garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut dengan
mengikuti arah. Atau lekukan pantai tersebut. Garis inilah yang sekarang lazim disebut
sebagai garis pangkal biasa atau garis pangkal normal (normal base line). Sedangkan
mengenai lebar laut teritorial, diukur dari garis pangkal normal dengan cara si pengukur
berdiri pada garis pangkal normal itu dan menembakkan meriam yang dimiliki oleh
negara itu ke arah laut. Titik yang merupakan jatuhnya peluru dari meriam itulah yang
merupakan batas luar dari lebar laut teritorial ncgara pantai yang bersangkutan. Teori
Bynkershoek ini dikenal dengan nama teori jarak tembak meriam (cannon shot rule
theory).

10. Apakah alasan Norwegia menerapkan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (Straight
base line from point to point)?
Jawaban:
Alasannya adalah karena merupakan kemustahilan bagi Norwegia untuk menerapkan
garis pangkal normal disebabkan karena pantainya berliku-liku secara tajam dan dalam,
serta di depan pantainya terdapat pulau-pulau, baik dalam posisi berderet-deretan maupun
berupa gugusan-gugusan. Dengan penerapan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung,
Norwegia memiliki wilayah perairan yang jauh lebih luas ketimbang sebelumnya. Lebar
laut teritorialnya sendiri sudah diperlebar dari semula 3 (tiga) mil laut menjadi 4 (empat)
mil laut dan bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal lurus dari ujung
ke ujung tersebut, yang kemudian lebih dikenal dengan nama perairan pedalaman
(internal waters) juga menjadi bagian wilayah perairannya.

Anda mungkin juga menyukai